Kamis, 27 Juni 2013

Cerpen Anak-anak: "Andaikan Ada Bapak"

(Ika Hardiyan Aksari)

Lima belas menit yang lalu hujan mulai reda. Bau tanah yang telah lama tak terguyur hujan kini berkawan dengan hidung mancung Yasinta. Matanya masih menerawang jauh ke langit. Alisnya pun tampak naik turun
“Yas, sudah malam, tutup jendelanya!” Perintah ibu Yasinta.
“Bentar lagi, Bu. Yas masih ingin melihat bulan.” Jawab Yasinta.
“Tapi jangan lama-lama ya? Nanti nyamuknya pada masuk ke kamar kamu, Yas.”
“Iya.” Jawab Yasinta singkat.
Tak berapa lama Yasinta pun menutup jendela kamarnya. Merapikan tempat tidurnya sebentar dan keluar kamar menemukan ibu yang sedang menyiapkan makan malam.
“Bu, Yasinta boleh tanya?”
“Mau tanya apa Yas?”
“Ibu pernah lihat bulan kan?”
“Ya pasti lah, Yas.” Kata Ibu Yasinta sambil membelai rambut Yasinta.
“Ibu tahu kan kalau di dalam bulan itu seperti ada seorang ibu yang menggendong bayi?” tanya Yasinta.
“Ya, terus....” tanya ibu Yasinta semakin penasaran.
“Setiap hari hanya ibu itu terus yang menggendong bayinya. Apa bayi itu juga tidak punya bapak seperti Yasinta?” kata Yasinta sambil melirik ke arah ibu.
“Hush! Kamu itu ngomong apa? Yasinta itu punya bapak.”
“Kalau Yas punya bapak, pasti Sabtu kemarin Yas bisa ikut sepeda santai bareng teman-teman.”

Sumber gambar di sini
***
Satu minggu yang lalu . . .
“Nah, anak-anak, bu guru mempunyai pengumuman bagus untuk kalian.” kata Bu Munifah kepada seluruh siswa kelas lima.
“Apa Bu???” tanya siswa secara serempak.
“Dalam rangka menyambut hari ulang tahun sekolah kita, maka akan diadakan acara sepeda santai. Oleh karena itu, Sabtu nanti kalian semuanya membawa sepeda ya? Jangan lupa juga sepeda kalian dihias. Sepeda yang paling bagus hiasannya akan mendapat hadiah dari ibu.”
“Horee.......!!!!”
Semua siswa tampak gembira. Beberapa dari mereka sudah  memiliki rencana akan menghias sepedanya sepulang sekolah nanti. Namun, tidak bagi Yasinta. Wajahnya tampak murung. Dia lebih memilih diam dan duduk di bangkunya.
Sesampainya di rumah, Yasinta ingin segera masuk kamar. Tak lupa ia meletakkan sepatu di rak dan mencuci tangannya.
“Yas, salamnya mana?”
“Assalamualaikum!” kata Yasinta dengan cepat.
“Wallaikumsalam Yas....”
Tidak ada lagi percakapan selanjutnya. Yasinta segera menutup pintu kamar dan membuang dirinya di atas ranjang. Yasinta kesal, marah.
Tok. . . tok . . tok . .
“Boleh ibu masuk, Yas?” tanya ibu di depan pintu kamar Yasinta.
“Ya.” jawab sang pemilik kamar.
“Kamu kenapa Yas? Pulang sekolah malah cemberut?” tanya ibu sambil mendekati Yasinta.
“Bu, kapan bapak pulang?” jawab Yasinta sambil bangkit dari posisi berbaringnya.
“Memangnya kenapa?”
“Yas tanya, kapan bapak pulang?” tanya Yasinta dengan nada suara mulai meninggi.
“Yas kangen bapak? Kalau Yas kangen bapak, ibu akan telpon bapak sekarang.” kata ibu dengan suara lembutnya.
“Nggak, Yas maunya bapak pulang sekarang! Yas, mau belajar naik sepeda sama bapak, Bu. Yas, mau ikut sepeda santai. Yas, pengen bapak pulang, Bu! Bapak harus pulang sekarang! Sekarang! Pokoknya sekarang!” akhirnya Yasinta pun menangis. Menyadari hal itu, ibu segera menghamburkan pelukannya untuk Yasinta.
Ibu Yasinta benar-benar menyadari keinginan Yasinta. Tapi apa daya, orang yang dinantikan kehadirannya memang tidak bisa hadir dalam waktu sekejap.
“Yas, ibu yang akan melatih Yas naik sepeda. Yas mau kan?”
“Nggak, Bu. Yas, maunya bapak. Ibu pasti nggak kuat kalau megangin sepedanya. Yas sudah besar, Bu. Pasti berat. Hanya bapak yang kuat.”
Berkali-kali ibu selalu membujuk Yasinta untuk berlatih naik sepeda dengannya. Tetapi, Yasinta tak bergeming.
Sampai pada hari Sabtu, Yasinta memilih untuk tidak berangkat sekolah. Dia berdiam diri dekat jendela kamar. Menantikan rombongan sepeda santai dari teman-temannya lewat di depan rumah. Tampak jelas rasa iri menghinggapi diri Yasinta. Ibu yang melihat Yasinta begitu murung, hatinya semakin gelisah. Apalagi, setiap malam Yasinta sering mengigau memanggil-manggil bapaknya.
***
Yasinta tampak lelap sekali tidurnya. Sebenarnya ibu tak tega membangunkan anak semata wayangnya ini. “Yas, bangun sayang. Coba lihat siapa yang datang?” kata ibu sambil menepuk pipi Yasinta lembut.
Yasinta mulai membuka matanya pelan. Sedikit demi sedikit Yasinta mengumpulkan kesadarannya. Dia mengucek-ngucek matanya. Ada sosok gagah yang sudah setahun ini tak pernah ia temui karena harus menjalankan tugasnya sebagai nahkoda sebuah kapal pesiar milik negara asing.
“Ba...pak.....” suara Yasinta terdengar parau.
Bapak yang selama ini ia rindukan kini sudah ada di depan mata. Dipeluknya dengan erat. Sangat erat. Yasinta seakan-akan tak percaya. “Pak, kenapa baru pulang? Seandainya Bapak pulang satu minggu yang lalu, pasti....” Yasinta tidak melanjutkan kalimatnya.
“Iya, bapak tahu. Ibu sudah cerita dengan bapak. Oleh karena itu, sekarang bapak pulang untuk mengajari anak bapak yang cantik ini untuk naik sepeda. Masak sih sudah kelas lima belum naik sepeda? Hahahaha....”
“Bapak!” teriak Yasinta seraya memeluk bapaknya kembali.


#Hak Cipta Milik Majalah BOBO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar