Kamis, 11 Juli 2013

Buku Hitam Ujian Nasional


Penulis            : HB Arifin (Editor)
Tahun terbit    : 2012
Kota               : Yogyakarta
Percetakan     : Resist Book dan CBE Publishing
Genre             : Teori sosial dan pendidikan
 
Cover
Masih hangat uforia siswa-siswa kelas XII, IX, dan terakhir kali siswa kelas VI SD merayakan kelulusannya. Putihnya baju dipenuhi selang-seling warna yang beradu tombak menggambarkan sebuah kepuasaan. Ya, mereka lulus Ujian Nasional (UN). Tak perduli lagi kelanjutan cerita ke depan, saat itu pula ketika amplop bertuliskan kata LULUS sudah di tangan lonjakan badan mengisyaratkan sebuah kemenangan.
Di lain sisi, wajah yang terlipat, dagu yang menempel dada, airmata yang tak keluar, seakan menjadi tanda dunia telah berakhir. Tangisan di pojok gedung sekolah meraungi nasib yang tak berpihak pada dirinya, “Aku TIDAK LULUS.”
Inilah potret anak bangsa yang menjadi korban Ujian Nasional (UN), jeritan mereka. Layaknya jeritan berbagai kalangan seperti Ahmad Rizali bersama kawan-kawan pada sebuah buku yang berjudulkan “Buku Hitam Ujian Nasional”.
Buku dengan 387 halaman ini berisi tentang kritik terhadap negara tentang pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia. Ujian Nasional yang diadakan selama beberapa hari dan dijadikan acuan sebagai kelulusan siswa tingkat SD, SMP, sampai SMA setelah belajar bertahun-tahun. Selain itu ada lagi aturan tentang batasan nilai-nilai minimal yang hanya akan membuat siswa merasa terbebani dan stress. Ditambah lagi ada program dari beberapa sekolah negeri yang menggunakan nilai Ujian Nasional sebagai tiket masuk penerimaan siswa baru. Masih pantaskah ada Ujian Nasional?
Dengan sistem tersebut, sebenarnya pemerintah hanya menerapkan pemahaman yang sempit terhadap asseessment. Asseessment hanya dianggap sebagai ujian. Bahkan seakan-akan negara kita lupa wasiat Ki Hajar Dewantara: “Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar dapat belajar dengan tenteram, karena dikejar-kejar oleh ujian yang sangat keras dalam tuntutannya. Mereka belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaannya, sebaliknya mereka belajar untuk dapat nilai-nilai yang tinggi dalam raport sekolah atau untuk dapat ijazah. Dalam soal ini sebaliknyalah kita para pemimpin perguruan bersama-sama dengan Kementerian PP dan K mencari bagaimana caranya kita dapat memberantas penyakit examen cultus dan diploma jacht (mengkultuskan ijasah dan diploma)”.
Berbagai argumen tentang ketidaksesuaian pelaksanaan Ujian Nasional terhadap tujuan pendidikan. Sesungguhnya penyelenggaraan sistem pendidikan nasional jika sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 menganut aliran pemikiran bahwa kelulusan tidak ditentukan secara nasional melainkan oleh masing-masing satuan pendidikan. Kenapa ada Ujian Nasional?
Dipandang dari kepentingan terwujudnya fungsi pendidikan dan tercapainya tujuan pendidikan nasional, penyelenggaraan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan tidaklah relevan.
Berbagai negara dihadirkan untuk membandingkan bagaimana pelaksanaan ujian di masing-masing negara. Mulai dari Finlandia sebagai negara tersohor dengan pendidikan terbaiknya kemudian Amerika.
Dipandang dari hakikat pendidikan sebagai yang ditetapkan pada pasal 1 ayat (1) diselenggarakannya Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan akan menghambat upaya menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang akan memungkinkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Dipandang dari prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagai proses pembudayaan, Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan akan menjadi kendala bagi berlangsungnya proses pembudayaan gemar membaca, menulis, mengembangkan kemauan dan kreatifitas peserta didik.
Ditetapkannya Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan hakikatnya bertentangan dengan ketentuan umum UU No. 20 Tahun 2003 pasal 61 ayat (2) yang memberikan wewenang kepada satuan pendidikan yang terakreditasi untuk menyelenggarakan ujian yang menentukan kelulusan.
Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan yang berangkat dari asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki kemampuan, minat, dan bakat yang seragam hakikatnya bertentangan dengan ketentuan pasal 12 ayat 1 (b) UU No. 20 Tahun 2003 yang tertulis; “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.”
Sekarang, masih perlukah Ujian Nasional?

1 komentar: