Minggu, 07 Juli 2013

Sambutan Ramadhan 1434



Suka cita ramadhan mulai terasa. Contoh kecilnya banyak sekali, adalah tweet atau postingan status Facebook teman-teman yang membahas persiapan ramadhannya. Terang saja, tak ada yang saya siapkan secara spesial. Entahlah, saya tidak pernah bisa merasakan uforia ramadhan seperti yang lainnya. Hanya mukena yang bersih dan wangi serta hati yang mulai saya tata kembali (memangnya selama ini kemana saja hatinya?) saja sudah sangat cukup.
Mengingat cerita ramadhan tahun lalu. Biasanya seminggu sebelum ramadhan tiba, saya bersama ibu sudah ke rumah si mbah di Pati, Jawa Tengah (2 jam dari rumah, Pati tempat kelahiran ibu). Biasanya juga sama bapak untuk ziarah ke makam si mbah kakung sama mbah uyut. Tapi ramadhan kali ini, rasa-rasanya memang ada cerita lain dari Allah SWT.
Sejak hari Jumat (5-7-2013), ibu tiba-tiba kena muntaber. Tapi alhamdulillah hari ini sudah mulai fit. Saya tahu rasa sesal karena tidak bisa pergi ke Pati begitu jelas terpampang dari mata ibu. Mau bagaimana lagi? Jalan Allah lebih indah, meskipun tidak sekarang.
Kemarin ketika saya pegi ke kampus untuk mengumpulkan tugas, saya melewati beberapa tempat pemakaman. Banyak sekali mobil palt luar kota yang parkir sana. Harusnya saya dan keluarga saat ini ada di Pati, batin saya.
Saya jadi teringat obrolan sore tadi bersama ibu.
“Bu, kalau tidak bisa ke sana kan bisa didoakan dari rumah.”
“Ya beda dik, ini kan satu tahun sekali. Nanti yang lain pada dijenguk anak-anaknya, mbah kakungmu nggak.” terang ibu.
“Lah, kan masih ada tante sama om yang di sana.” saya malah ngotot.
“Dik, kasih anak itu beda-beda.”
“Ya, tahu kalau ibu itu anak kasihannya mbah kakung.”
Tidak ada sahutan dari ibu. Saya pun diam.
“Kata Pak Lim (guru ngaji ibu), ziarah kubur pas mau ramadhan gini itu rasanya beda dik. Apalagi bagi anak yang dulu durhaka pada orangtuanya yang sudah meninggal ini sebagai gantinya.” jelas ibu dan saya hanya diam.
“Tapi kan ibu nggak durhaka sama mbah kakung.”
“Ya kan jelek-jeleknya gitu lho alasannya.” jelas ibu lagi dan saya hanya manggut-manggut.
Agak aneh juga mendengar kata-kata ibu. Kalau ziarah kubur bisa jadi penebus durhaka pada orangtua, pasti banyak anak yang milih durhaka pada orangtuanya. Oh TIDAK! Jelas tidak seperti itu pemahamannya ya, He J.
Terlepas dari obrolan saya dengan ibu, pastinya setiap insan menginginkan ramadhannya ini begitu bermakna. Dan doa sepanjang malam yang ingin dipanjatkan adalah “Semoga bisa bertemu dengan ramadhan tahun depan.” Ya begitu juga dengan saya dan kedua orangtua. Selalu berharap limpahkan kebahagiaan serta kesehatan bagi keluarga. Dan secara personal, saya mengharapkan kelancaran dan kebermaknaan kuliah saya. Aamiin. Dan semoga rejeki semakin mudah mengalir untuk biaya menikah nanti. Hihihihi, aamiin.
Ini harapan saya dan keluarga, bagaimana dengan Anda? Mari aamiin-kan bersama.

4 komentar:

  1. Selamat menunaikan ibadah Ramadan mak :)

    BalasHapus
  2. orang pada bingung pengen puasa kapan, kalo gue sih gak, hue puasa 1 ramadhan :3

    BalasHapus
  3. Wandiawan: Ya, ngikut pemerintah saja saya. Hidup di dalam negra kan memang seperti ini ya.

    BalasHapus