Sabtu, 03 Agustus 2013

Pikirku....


(Sebelum kecewa setelah membaca tulisan ini sampai selesai, mendingan tidak usah dibaca. Ini hanya curhatan seorang pengangguran kok.)

Usiaku 21 tahun, di mata orang sekampungku usia segitu sudah termasuk uzur. Ya, kawanku di masa SD saja kini anaknya menjadi muridku di TK tempatku mengajar. Bisa dibayangin nggak? Selain itu, ada pula yang sudah sibuk menjadi buruh pabrik yang hidup dipenuhi dengan shift kerja yang tak menentu. Uangnya banyak pasti?

Aku hidup di dalam kerumunan warga, jadi kalau ada warga sekitar yang seringkali membanding-bandingkan, kalau kamu ini kan gini, kalau kamu gitu kan gini. Wajar kah? Kemudian apa yang ku rasakan? Biasa saja, terlebih aku masih menuntut ilmu. Pikirku dulu.

‘Masih bertahankah aku dengan prinsip itu?’

5 jari tanganku tersisa untuk menghitung datangnya lebaran tahun ini. Ada perasaan yang berbeda. Ramadan kali ini banyak sekali jejalan-jejalan masalah financial yang menghampiri keluargaku. Termasuk di dalamnya adalah pembayaran kuliahku. Aku tahu ibu tak pernah bermaksud untuk menyalahkanku atas biaya kuliahku, tapi rasa-rasanya aku begitu tersiksa dengan perasaanku sendiri. Keadaan inilah yang merobohkan prinsipku.

‘Andaikan aku tidak kuliah dan bekerja seperti mereka, ibu pasti bahagia. Ibu pasti bisa merasakan ramadan dengan hikmat. Tak ada pikiran ini dan itu. Tak harus berhutang sana-sini demi membayar uang kuliahku. Mau ini bisa, mau beli itu bisa. Bla bla bla...’

Selalu pikiran itu yang muncul. Memang, rejeki itu sudah ada yang mengatur. Seperti kala itu, HP datang, paketan buku datang, paket minuman isotonik dan uang 150.000, kaos, dan teh, roti dan beberapa hadiah lainnya yang aku dapatkan dari ikutan kuis di radio maupun sosial media lainnya. Siapa yang nyangka? Tapi bukan manusia namanya kalau semua itu sudah cukup bagiku.

‘Itu tak membuat ibu bahagia,’ pikirku.

Terlebih lagi, kini adik keponakanku sudah bekerja di pabrik dan ibu bercerita kalau dia mendapatkan gaji Rp 900.000, bisa beli baju baru, ini dan itu. Aku tahu maksud ibu hanya bercerita saja, tapi sebagai pengangguran merasa ada yang mendesak hatiku, ‘Kenapa aku harus kuliah? Kenapa dulu nggak kerja juga. Kan kalau ramadan seperti ini aku bisa beliin ibu baju, bapak juga.’ Selalu seperti itu. Toh, semenjak SMA aku tak pernah mengenal baju baru di hari lebaran, so what? Harusnya aku tidak meradang. Harusnya...

Apa sih yang bisa aku lakukan? Menjadi penulis lepas pun aku belum jenak. Terlebih biaya untuk modem saja sampai saat ini aku suka mengakali dengan paket ala kelelawar, kalau nemu yang murah beli kartu perdana yang kadaluarsa seharga seribu untuk 100MB.

‘Ah, aku banyak alasan.’ pikirku lagi.

Ditambah lagi, ramadan kali ini aku merasa menambah beban ibu. Apa? Munjung mertua. Ya, ngantar bingkisan ke mertua. Memang, secara lazimnya itu tanggungjawab orangtuaku, tapi lagi-lagi aku terlalu berperasaan. Pekewuh sama ibu. Belum beruang saja sudah ngrepotin mlulu.

‘Kapan aku beruang?’, pikirku lagi.

Ah, kemarin ada yang kirim inbox, mbak tulisannya sudah dimuat. Silahkan cek rekening. Rp 100.000. Horeee!!! lumayan. Allah memang tak pernah tidur. Cukup nggak cukup uang itu ku berikan pada ibu. Paling tidak bisa buat ganti uang ibu yang dipakai membeli bingkisan ke mertua.

‘Alhamdulillah... agak lega’, pikirku lagi.

Kemarin lusa, ada tetangga juga yang main ke rumah. Aku dengar ibu bincang-bincang. “Wah Mbak Umi ya lebaran beneran ya, tabungannya banyak, anaknya pada gajian, suaminya pulang.” kata ibu.

Aku di dalam kamar hanya menahan desakan dalam hati.

Maaf bu...’, pikirku lagi.

Memang, lebaran itu tidak harus identik dengan baju baru, jajanan mewah yang tersaji di atas meja, opor ayam, apalagi rendang. Tapi inilah lebaran yang ada pada masyarakat. Aku dan keluargaku hidup di tengah-tengahnya, mau tidak mau secara umum mengikuti arus di dalamnya. Tapi tak terlampau jauh masuk di dalam garis orbitnya.

Ramadan, kemudian lebaran. Biarkanlah ku artikan kebahagiaan ibu pada masa ini dengan uang. Aku paham betul bahagia itu tidak selalu identik dengan uang, tapi ini keinginanku.

‘Maafkan adik membeli bahagia ibu dengan uang. Tapi ini caraku’, pikirku lagi.

‘Ah, ini curhatan apa ya?’, pikirku lagi.

“Ibu, maafkan adik kalau ramadan ini adik belum bisa membahagiakan ibu dengan cara adik. Biarkan mereka menikmati bahagianya sekarang. Ibu boleh iri. Sangat boleh. Ingatlah bu, suatu hari ibu juga akan merasakan itu. Disaat adik sudah menggapai mimpi adik, atau jika Allah mengijinkan adik jadi PNS. Suatu hari buk. Pasti, suatu hari. Bahagia ibu pun tidak hanya di bulan ramadan, tapi di bulan-bulan lainnya bu, 11 bulan yang lainnya. Adik janji bu.”

“Ya Allah.....pertemukan kami di ramadan tahun depan, agar hamba bisa melihat bahagia ibu di masa seperti masa ini. Ijinkan Ya Allah...”


22 komentar:

  1. halo mbak salam kenal :D usia saya satu tahun di bawah usia mbak, hehe. hampir mirip nih keadaan kita. saya mikir, ih belum punya penghasilan terus bikin senang orangtua gimana? eh ternyata dengan hal2 sederhana yg saya lakukan pun orangtua sudah bangga. kalau nilai saya bagus, orangtua senang. kalau ibadah saya rajin, orangtua juga senang. kita memang harus menyenangkan orangtua mbak tapi kita juga ga boleh rendah diri dengan apa yg ada dalam diri kita. bahagia itu sederhana lho, mbak. mungkin sekarang belum dalam bentuk materi tp bisa dalam bentuk lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, salam kenal juga ya?
      Aku juga selalu ngeyem-ngeyem alias baikin hati sendiri dengan apa yang mbak katakan. Tapi lagi-lagi ini karena aku terlalu perasa dan lingkungan mbak.
      Aku hanya berjanji pada diri sendiri kalau suatu hari akan membahagiakan ibu dan bapak lebih dari kebahagiaan mereka. Aamiin. Jadi pengen meweek....

      Hapus
  2. semoga selalu dimudahkan urusan mba Ika ya. rezeki selalu datang kepada siapa yang membutuhkan. karena aku pernah ngalami yang sama. meski itu tahun2 sebelum ini. jadi kalo ada yang tanya kenapa aku yakin dengan rezekiku hari ini,aku bakal bilang. selama aku masih hidup rezekiku dijamin Allah. insya Allah cukup. tetap berusaha aja, insya Allah masa depan jadi lebih baik dari sekarang. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Mbak Ilaa...
      Tiap kali lihat teman-teman blogger ada rasa semangat untuk melanjutkan mimpi-mimpiku mbak. Mimpi yang mungkin di suatu hari bisa untuk membahagiakan bapak ibuk.
      Ya, pasti mbak. Sesekali mengeluh boleh ya?
      Rasanya terlalu lelah menampung sendiri.

      Semoga Allah selalu memudahkan jalan kita. Aamiin.

      Hapus
  3. Entah kak, aku juga mikirin hal yg sama. meskipun bukan masalah kerjaan, aku masih 17 tahun hehe. tapi rasanya hampir miriplah.. semangat ka! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya rasa, usia seperti itu kamu sudah memiliki pikiran seperti sungguh luar biasa. Mari berjuang membahagiakan orangtua kita.
      Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi nantinya.

      Hapus
  4. jadi pengen nangis mbk, ceritanya hampir sama dengan yang saya alami. Yah hanya bisa ngrepotin orang tua, ngabisin dwit buat bayar uang kuliah, meski lebaran ini gak bisa kumpul tapi alhamdulillah kemarin bisa ngirim bingkisan buat orang tua dirumah hasil gaji kerja, seneng banget rasanya,tapi sayang malah kena marah, tapi tak apalah demi ortu..hehe btw nice post mbk :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh, maaf ya kalau malah buat kamu pengen nangis.
      Mari kita berjuang. meskipun masih kuliah tapi kalau bisa jangan ngrepotin orangtua lagi. Selamat sudah bisa kirim bingkisan buat ibuk di rumah. Ibuk pasti sedih lebaran ngga bisa kumpul. Baik-baik ya di rantau.
      Salam kenal :)

      Hapus
  5. Aamiin ya mba.. semoga dipertemukan dengan ramadhan tahun depan. Rejeki itu kan ngga cuma materi, umur panjang dan sehat juga rejeki berlimpah. Apalagi dipenuhi kesyukuran, dan saling cinta. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, Semoga kita semua dapat berjumpa.
      Ya mbak, memang tidak hanya materi. Saya percaya itu, terimakasih :)

      Hapus
  6. Hai mbak Ika salam kenal...semoga di berikan jalan yang terbaik dan dimudahkan dalam menggapai cita2nya yah :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga Mak :)
      Aamiin Mak, terimakasih doa dari Mak, semoga Aamiin Aamiin :)

      Hapus
  7. Salam kenal. Salut sama Ika, masih muda, tapi sudah kepikiran seperti itu, membahagiakan orang tau. Tapi kebahagiaan orang tua itu nggak selalu berhubungan sama materi kok, serius. Setuju sama yang dikatakan Erlinda, Ibu seringnya bahagia dengan hal-hal kecil kita lakukan. Coba sekali-kali bilang ke ibu, bahwa Ika sayang Ibu atau sekali-kali minta maaf ke ibu, bukan di Hari raya, pasti ibu akan terharu. Tulisan saya di http://www.zuna-zone.blogspot.com/2012/08/a-word-that-hard-to-say.html?m=1 juga tentang membuat ibu bahagia, sila dibaca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimaksih nasihatnya Kak :)
      Semoga, semoga ibu kita bahagia memiliki anak seperti kita :)

      Hapus
  8. Mirip pengalaman saya setahun yg lalu. Dan syukurnya skarang udah ada kerjaan.

    Tp skarang ibu justru ngeluh, nggak ada yg nemenin kmana-mana, kalo kmaren2 sayalah yg slalu nemenin ibu kmana-mana. Ibu sampe bilang "kamu cuti dululah selama ramadhan."

    Jd jika mungkin kita belum mampu membahagiakan ibu kita dgn uang, mungkin kita bisa ganti dgn kehadiran kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Allah....
      Terimakasih, ini nendang banget nasihatnya.
      Ya, semoga ibu bahagia, bahagia memiliki anak yang 'menganggur' ini.

      Hapus
  9. waaah luar biasa coretannya, semangat ya jangan putus asa, memuntut ilmu tetap lebih baik, jangan menyesal, tetap ada bedanya orang yang kuliah dan tidak... aku dulu juga mengalami hal yang sama mbk....jika kita bisa menulis teruslah menulis... Duluuu... sejak kuliah, aku suka sekali nongkrong di perpustakaan, baik perpustakaan kampus ataupun perpustakaan kota, buat apa? bukan buat baca buku. Tapi untuk membaca koran. Karena di perpustakaan biasanya tidak hanya tersedia satu macam koran tapi bermacam-macam koran jawa tengah dan nasional lengkap. nah disitu saya cari kolom2 yang menerima tulisan dari pembaca. memang tidak mudah menembus koran, aku dulu mengrimim terus selama dua tahun tak pernah di muat, tapi aku selalu belajar ciri khas setiap media hingga akhirnya tulisan saya bisa tembus. Kirim koran yang lokal-lokal dulu baru melangkah ke yang nasional, step by step lama-lama saya bisa menabung setiap minggu-setiap bulan hingga tetap bisa bertahan hidup di perantauan saat kuliah Uang itu memang bukan segalanya, tapi segalanya menjadi lebih sulit jika tidak ada uang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak ichaa.... terimakasih sudah mampir. Nasihatnya sudah saya lakukan. Saya mulai mengumpulkan kora-koran lokal. Hehehehehe :)
      Terimakasih sekali lagi.

      Hapus
  10. Yakin ada jalan, skrg kan ika kuliah, jg dlm rangka membahagiakan ibu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang dalam proses ya Mbak, semoga saya bisa membahagiakan ibuk. Aamiin :)

      Hapus
  11. Hi mbak icha,
    Dalam rangka balas berkunjung, tertarik pada postingan ini...
    Mmm, pepatah yang mengatakan bahwa uang dan kekayaan tdk mampu membeli 'kebahagiaan' itu bukan sekedar 'ungkapan manis' tapi jika diterapkan dgn benar, maka memang kebahagiaan tdk terletak pada materi.
    Tanpa jadi sok filosofis, aq percaya satu hal : Uang memang tdk bisa membeli Kebahagiaan, tapi tanpa ada Uang kita tidak bisa berbuat lebih, pada orang lain termasuk pada diri sendiri.
    Maka coba lakukan apa pun yang menjadi minat mbak Icha dan fokuskan pada tujuan utama, jika hati dan pikiran senang, pekerjaan sesulit dan seberat apapun mampu terselesaikan, dan Rejeki akan datang mengalir.
    Semoga diberkati kekuatan dan kesabaran dalam menjalani semuanya mbak, insya allah pasti terkabul :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin :)
      Terimakasih sudah berkunjung.
      Alhamdulillahsaat ni telah banyak masukan-masukan dari teman-teman yang sungguh menguatkan, terimakasih :)

      Hapus