Senin, 07 Oktober 2013

Review: Landasan Hak Asasi Manusia

Judul                          : Landasan Hak Asasi Manusia
Penulis                       : Ahmad Samawi
Jumlah Halaman          : 36 halaman

Kurang lebih 69 kepala keluarga yang terdiri 233 jiwa anggota Syiah mengungsi. Rumah mereka dibakar secara paksa. Rata dengan tanah. Keselamatannya terancam karena masalah keluarga yang dikaitkan dengan masalah kepercayaan. Memprihatinkan memang. Hal yang sangat dasar, yaitu masalah kepercayaan namun masih saja diganggu gugat oleh manusia lain.

Terlalu teoritis. Memuakkan. Pun lebih berat dari buku karya Pramodya Ananta Toer, terlebih masalah Sampang di atas, tetapi Ahmad Samawi telah membuat saya berkali-kali membaca tulisannya agar memahami secara tepat. Namanya juga tulisan ilmiah, terkesan kaku. Akan tetapi, kalau bahasa yang digunakan di dalam modul lebih komunikatif, mungkin mahasiswa tidak merasa ‘terpaksa’ untuk membacanya. Termasuk saya di dalamnya.

Ahmad Samawi, mengusung judul “Landasan Hak Asasi Manusia” dalam 36 halaman ini bertujuan ingin menggambarkan pondasi-pondasi HAM yang patut diketahui oleh setiap orang. Kasus Sampang dapat dijadikan contoh bahwa benar adanya jika perbedaan itu ada di antara manusia. Sesuai dengan ungkapan Ahmad Samawi pada halaman 2-4, “Manusia memiliki sifat individu dan sosial. Sifat individu ditunjukkan manusia untuk selalu mementingkan diri sendiri dan sifat sosial ditunjukkan dengan kecenderungan untuk berkelompok. Di dalam kehidupan kelompok tersebut, setiap orang berinteraksi dengan orang lain demi tujuan bersama. Setiap orang merasa menjadi bagian dari kelompoknya dan karena itu ia memiliki loyalitas atau solidaritas (persatuan) kepada kelompoknya. Kehidupan berkelompok tersebut kemudian dijadikan bagian dari sistem nilai yang dijunjung tinggi yaitu persatuan.” Perbedaan itu nyata. Dengan perbedaan masalah kecil ataupun besar bermunculan. Bahkan Allah menjanjikan, ketika manusia bisa menyelesaikan masalah tersebut, maka Allah akan mengangkat derajat manusia itu.

“Bangsa Indonesia tidak memihak pada salah satu atau kedua ideologi kapitalisme dan komunisme. Bangsa Indonesia memiliki ideologi yang disepakati bersama.” (halaman 2-8)

Pernyataan di atas saat ini perlu dipertanyakan, masihkah berlaku? Kenyataan membuktikan bahwa justru masyarakat kini menggunakan ideologi komunisme untuk menyelesaikan setiap masalah. Mereka melupakan landasan filosofis yang mengaharapkan manusia untuk menggunakan pikirannya dalam melakukan segala sesuatu. Karena jelas adanya, ketika suatu pelanggaran terjadi maka bukan hanya aturan negara yang menghukum, bahkan agama dan masyarakat ikut serta untuk memberikan hukuman bagi si pelanggar.

Ahmad Samawi menyebutkan pula bahwa, “Berbeda halnya dengan masyarakat perkotaan. Masyarakat kota memiliki karakteristik interaksi sosial yang bersifat patembayan, sedangkan di dalam masyarakat pedesaan bersifat paguyuban. Artinya, hubungan antarindividu dilihat dari kepentingan masing-masing sehingga bersifat lebih individual.” (halaman 2-24)


Pernyataan itulah yang sering ditemukan akhir-akhir ini. Orang desa dengan orang kota itu berbeda. Kemudian apakah harus memunculkan permasalahan? Tidak. Kemudian bagaimana caranya? Perlu ditanamkan betul apa arti HAM yang sesungguhnya. Berinteraksi dengan masyarakat lain hukumnya adalah wajib, wajib menghormati kebebasan masing-masing, mematuhi peraturan yang ada yang sebelumnya telah disepakati bersama-sama.

Wujud nyata yang bisa dilakukan agar kasus Sampang tidak terulang adalah dengan memberikan pendidikan HAM sejak dini. Tak perlu  muluk-muluk berteori, seorang guru harus mampu memberikan contoh nyata bagaimana menempatkan HAM di dalam kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar