Senin, 29 Desember 2014

Langkanya Uang Kertas Seribuan


Alat pembayaran yang kita kenal adalah uang. Tapi pernahkah Anda memperhatikan ke-eksistensian suatu uang? Apakah semua uang akan selalu dicetak dan beredar di masyarakat?

Fenomena tidak-eksisnya lagi uang kertas seribuan saya temui saat saya belanja di pasar tradisional. Saat pergi ke pasar, tak banyak uang yang saya bawa, cukup 2 lembar uang Rp 10.000 dan selembar uang Rp 5000 untuk mengisi dompet. Jadi, Rp 25.000 ya. Rencananya saya mau masak sayur bayam dan sambal penyet ikan asap.


Untuk membuat sayur bayam, maka saya butuh seikat bayam (Rp 1500/ikat kalau 2 ikat hanya Rp 2500) dan pasangannya saya memilih jagung muda/acar/kuncung (satu plastik hanya Rp 500). Jadi, saya harus membayar Rp 2.000. Saya menyodorkan uang Rp 5000 pada penjual.

“Yang pas saja Mbak uangnya. Nggak ada uang seribuan. Dari kemarin sulit kok.” penjual sayur tadi mengembalikan uang saya.

“Ndak ada, Buk.”

Akhirnya saya menemukan dua uang logam Rp 500, saya berikan kepada penjualnya dan saya mendapat kembalian dua lembar uang Rp 2000. Berpindahlah saya ke penjual ikan asap. Lagi-lagi penjual mengeluhkan tidak adanya uang Rp 1000. Tampak isi tasnya dipenuhi dengan uang kertas Rp 2000-an. Karena habisnya hanya Rp 7000, penjual ikan tersebut memberikan tambahan ikan yang agak kecil sebagai pengganti uang kembalian Rp 1000.

Kejadian langkanya uang kertas seribuan saya temui lagi saat saya membeli jajanan pasar, seperti gethuk lindri, cetot, dan gethuk goreng.

“Mbak, kembaliannya kurang Rp 1000, pripun?”

Paringi gethuk malih, Bu (Beri gethuk lagi, Bu).”

Penasaran dengan langkanya uang kertas seribuan, saya iseng update status di facebook. Ternyata ada beberapa daerah yang juga mengalami kelangkaan uang kertas seribuan ini, sedangkan di daerah Papua masih banyak uang keras seribuan tapi tidak ada uang logam yang seribuan. Ini berbanding terbalik dengan keadaan di tempat saya. Walaupun masih jarang kemunculannya tapi sesekali kalau pas belanja saya juga dapat uang kembalian uang logam yang seribuan.


Kembali mengenani langkanya uang kertas seribuan, berdasarkan info di wikipedia.org, pada tahun 2014 ini Bank Indonesia memang tidak lagi mencetak uang kertas seribuan. Bisa jadi hal inilah yang mengakibatkan kelangkaan uang kertas seribuan. Nah, bagi kolektor uang jadul bisa nih ya dari sekarang menyimpan uang kertas seribuan untuk menambah koleksinya nanti.

Apakah Anda masih sering menemui uang kertas seribuan? 

Sabtu, 27 Desember 2014

Perempuan Gendut yang Berburuk Sangka

Tempo hari, saya pergi ke pasar dengan suami. Tujuan kami membeli gelas keramik yang saat ini sudah cukup sulit ditemukan kecuali di supermarket besar yang letaknya di kota. Akan tetapi, jurus ‘siapa tahu ada’ saya gunakan saat itu.

Berkelilinglah saya dengan suami di pasar semi modern yang letaknya 15 menit dari rumah. Setelah memarkirkan motor di penitipan motor, kami datangi satu per satu lapak penjual aksesoris dan berbagai kado. Sudah 5 lapak kami datangi dan hasilnya nihil. Saya mulai putus asa.


“Bi, ke supermarket depan situ yuk. Nggak ada nih. Capek.”
“Ya, coba nanya sekali lagi di situ.” suami menunjuk lapak di pojok pasar.

Kami pun mendekati lapak tersebut. Tampak si penjual sedang mengobrol dengan perempuan gendut yang berambut keriting ikal.

“Mbak, punya gelas yang seperti ini?” tanya saya sambil menunjukkan gelas yang sedikit pecah di salah satu sudutnya.

“Nggak ada, Mbak.” kata penjual sambil tersenyum ramah.

“Ya, kalau nyari yang sama plek ya tidak ada!” sambar perempuan gendut.

“Tidak harus sama Mbak yang penting model keramik.” jelas saya mulai gemes.

“Ganti punya orang ya, Mbak?” tanya penjual tadi.

“Iya.”

“Punya tetangga pasti?!” sambar perempuan gendut itu lagi.

“Iya.”

“Masak sama tetangga suruh ganti!! Nemen banget!!” ucapan perempuan gendut itu membuat saya geram.

Tanpa ba-bi-bu, emosi saya tersulut, “Mbaak....tetangga saya tidak minta ganti! Hanya saja kami masih memiliki perasaan ‘tidak enak’! Jadi, kami berinisiatif untuk menggantinya! Tidak lebih.”

Tanpa menunggu jawaban dari perempuan gendut tadi saya mohon pamit kepada mereka, penjual dan perempuan gendut. Suami yang tahu saya sudah mulai emosi hanya berkata, “Istighfar...” sambil menggandeng tangan saya untuk berlalu.

Gemes banget. Kok ya ada orang seperti itu.

Saya samapai mikir, inikah manusia? Diberikan akal dan pikiran akan tetapi digunakan untuk yang tidak-tidak. Atau mungkin kurang bersyukur ya? Lebih tepatnya setiap orang hendaknya memanfaatkan apa yang dimiliki untuk kebaikan.

Tidak sekali dua kali saya bertemu dengan orang seperti perempuan gendut itu. Saya penasaran, hati mereka terbuat dari apa? Atau bahkan saya juga sering berburuk sangka sehingga dipertemukan dengan mereka yang sama?

Hidup ini akan terasa hampa jika kita senang sekali berburuk sangka. Apa sih yang didapat? Saya yakin apabila hati dan pikiran ini sudah terbiasa berburuk sangka, buruk sangka akan menjadi makanan rutin setiap hari bahkan setiap detik. Semoga kita tidak termasuk orang yang hobi berburuk sangka dan selalu dihindarkan dari yang namanya 'berburuk sangka'. Aamiin.

Selasa, 23 Desember 2014

Ah, Bu Guru ZONK

"Ah, Bu guru Zonk!”
Begitulah teriak Fatta, siswa saya yang terkenal kritis di kelas.
Saya terperanjat. Diam seketika kemudian tertawa lepas yang diikuti suara tawa semua anak di kelas.
Ah, Bu guru Zonk

Kejadian tersebut terjadi saat pelajaran Bahasa Jawa tentang tokoh Werkudara. Di saat saya bercerita tentang tokoh wayang tersebut, tiba-tiba Fatta melemparkan pertanyaan.

“Bu, kalau yang di Mahabharata itu..itu yang Drupadi istrinya siapa, Bu?”
Jleb! Karena saya tidak hobi nonton Mahabharata alhasil tak tahu lah jawabannya. Apalagi saya termasuk lemah kalau harus berkutat dengan materi sejarah.

“Bu guru tidak tahu Ta, nanti Bu Ika cari dulu ya?” dan jawaban dia?
“Ah, Bu guru Zonk!”

Hahahaha. Kalau ingat kejadian hari itu saya hanya cengengesan.

Tak ada sakit hati. Yang ada adalah rasa malu. Saya seorang guru, panutan mereka, yang dianggap mereka serba bisa, pertanyaan segampang itu saya tidak bisa.

Ah, Bu guru ZONK!

Karena Fatta, kini saya sering menonton acara Mahabharata. Kali-kali kalau ada anak yang tanya lagi jadinya tidak mengecewakan mereka lagi. Akan tetapi, kejadian tersebut memberikan pelajaran penting untuk saya. Lebih baik saya mengatakan tidak tahu dan kemudian mencarikan jawabannya di lain waktu dibandingkan saya harus mengarang jawaban dan ternyata jawaban itu tidak tepat. Pembodohan masal namanya. Dan parahnya ini semua akan diingat mereka sampai nanti dewasa.

Manusia. Ingin rasanya tidak ada lagi kata-kata, “Ah, Bu guru Zonk!” Jalan satu-satunya adalah saya juga harus selalu belajar. Update selalu. Jangan sampai saya hanya meminta anak-anak untuk rajin belajar sedangkan saya hanya berleha-leha. Kapan anak-anak jadi penerus bangsa yang berkualitas? 

Good bye Bu Guru Zonk!

Kamis, 11 Desember 2014

Pensiunnya Sandal Kesayangan

Seperti kebanyakan orang lain, saya juga memiliki barang atau benda kesayangan. Tapi kesayangan bagi saya bukan berarti harus mahal harganya, dibeli saat acara penting, atau bahkan branded ya.

Seperti sandal yang ingin saya ceritakan kali ini. Sandal ini termasuk kesayangan saya. Harganya sangat murah, Rp 18.000. Saya membelinya di pasar Bitingan, Kudus, kira-kira dua tahun yang lalu. Sebenarnya dulu saya membeli dua pasang, satunya saya berikan kepada adik. Jadi, sandal kita kembaran. 

Sekitar setahun yang lalu, sandal ini hampir saja saya pensiunkan karena sudah mengelupas bagian alasnya. Eman. Akhirnya saya bawa ke tempat sol sepatu dan sandal langganan. Dengan uang Rp 7.000 akhirnya sandal ini bisa saya gunakan lagi. Yeay!

Pensiunnya Sandal Kesayangan
Bahannya karet, ringan, warnanya pastel, dan mau dipadu-padankan dengan gaya pakaian saya cocok. Itulah yang saya suka dari sandal ini. Mau digunakan saat pergi nge-lesi, pergi jalan-jalan bersama teman-teman, atau mungkin menyambangi toko buku, sandal ini terasa nyaman di kaki.

Sayangnya, Minggu lalu, saat saya hendak pergi dan memakainya, talinya yang sebelah kanan tahu-tahu putus. Padahal hari sebelumnya sandalnya masih berjuang bersama saya mengantarkan undangan.

“Bawa saja ke tempat sol. Nanti juga bisa lagi.” Usul ibu.

Ah, nggak lah, sandal saya yang satu ini memang sudah saatnya untuk pensiun dan digantikan oleh sandal yang lainnya. Sudah cukup kesetiannya selama ini.

Kalau Anda apakah memiliki barang atau benda kesayangan? 

Rabu, 10 Desember 2014

Menata Ulang Isi Almari

Menata almari? Wah, ini bukan jadi prioritas utama kegiatan bagi perempuan khususnya bagi IRT (Ibu Rumah Tangga) setiap harinya. Bahkan ini sering terlewatkan. Atau jangan-jangan tidak pernah sama sekali? Ah, tak mungkin.
Almari yang berantakan
Paling tidak satu bulan sekali saya menata ulang isi almari saya. Biasanya karena isinya hampir habis atau sudah kelewat berantakannya. Nah, dalam rangka menyambut anggota keluarga baru, kemarin saya melakukan kegiatan yang satu itu, menata ulang isi almari. Tidak mungkin lah ya nanti kalau anggota baru dalam keluarga saya datang kemudian lihat almari dan almarinya berantakan. Parahnya lagi tidak ada tempat untuk bajunya. Gubrak!

Selain menata ulang, saya juga meng-eliminasi beberapa baju yang sudah jarang sekali saya kenakan. Menuh-menuhin almari, pikir saya. Setelah meng-eliminasi beberapa baju, saya pun menatanya kembali. Saya memiliki beberapa teknik dalam menyusun baju di almari.
  1. Memisahkan baju berdasarkan kegunaannya, baju seragam, baju untuk di rumah, dan baju untuk bepergian.
  2. Memisahkan antara atasan dan bawahan.
  3. Meletakkan baju yang sering saya gunakan diurutan teratas.
  4. Memisahkan letak pakaian dalam, seperti celana dalam, bra, dan daleman kerudung.
  5. Memisahkan kerudung dan jaket.
  6. Menggantung baju gamis.

Itulah teknik yang saya gunakan selama ini. Kegiatan menata ulang isi almari memang sepele, tapi cukup menguras tenaga. Apalagi kalau harus menyetrika ulang semuanya. Lempoh. Dan saya percaya tiap orang memiliki caranya tersendiri daam menata isi almarinya. Apakah Anda memiliki teknik lain? Seberapa sering Anda menata ulang isi almari Anda? 

Selasa, 09 Desember 2014

Jatuh Cinta pada 3 AON


Dulu, seringnya saya menggunakan paketan internet dari Telkomsel yang tengah malam. Bisa internet kalau di atas pukul 00.00 sampai 06.00. Harga 7000/minggu dengan kecepatan internet yang mak wusss. Lumayan banget kan ya? Kantong mahasiswa gitu lho. Awalnya ya menikmati, lama-kelamaan capek juga jadi kelelawar. Padahal dulu sering kuliah pagi. Akan tetapi untuk menyalurkan hasrat untuk nge-blog saya jabani.

Makin ke sini, saya nemu paketan internet dari Indosat. Sedikit mahal dibandingkan dengan Telkomsel akan tetapi bisa sampai pukul 17.00 WIB. Jadi, saya tidak harus bangun tengah malam untuk bisa berselancar. Mengenai kecepatan internetnya? Mak wussss juga, tapi ya kantongnya itu yang mak wuss langsung bolong. Iya, berat diongkos, 2 gb/bulan/30ribu.

Percaya atau tidak, karena kegalauan saya masalah paketan internet, saya memasukkan “Mampu Langganan Internet” dalam list mimpi di tahun 2014 lho. Hehehe. Dan Allah mengabulkan. Pun dengan cara-Nya yang tidak sengaja.


Bulan Oktober lalu, ada teman KKN datang ke rumah.
“Wah, HP baru nih. Lihaaatt!” kami pun membuka pembicaraan tentang HP tersebut.
“Eh, Buk, di sini sinyal 3 bagus ya? Di rumahku sinyalnya hanya 1 bar.”
“Loh? Apa iya?” saya mengecek sinyal bar di HP teman saya itu, ternyata memang full.
“Kalau kayak gini BBMan ya lancar, Buuukk...hahahaha.” katanya sambil membalas BBM dari temannya.

Dari kejadian itulah saya ingin mencoba menggunakan 3. Sebenarnya dulu semasa kuliah ada teman yang menyarankan menggunakan 3 karena lebih murah dan ada gratis akses facebook dan BBM setahun. Pas untuk kantong mahasiswa. Akan tetapi, adik saya pernah cerita kalau 3 sering eror dan pending tiap kali kirim SMS. Nggak berani mencoba deh, sampai akhirnya ada cerita teman saya di atas.

Sudah hampir dua bulan ini saya menggunakan 3 AON. Memang, untuk mendapatkan kartunya saya harus rela naik motor pulang pergi 30 menit. Tidak semua konter menjualnya. Tapi, pas lah dengan apa yang saya terima. Internetnya cukup, tidak terlalu mak wusss yang penting bisa digunakan selama 24 jam. Saya tak lagi jadi kelelawar atau bahkan menunda mandi sore karena jam menunjukkan pukul 17.00.

Pada bulan pertama, saya menggunakan 3 AON yang 1 GB dengan harga 25 ribu. Akan tetapi, karena keasyikan menggunakannya, baru 2 minggu sudah habis. Saya pun membeli lagi 3 AON yang 5 GB dengan harga 60 ribu aktif 12 bulan. Cara pengaktifannya juga mudah seperti yang lainnya karena tinggal mendaftar ke 4444. Setelah selesai tinggal pakai deh.

Terima kasih 3, semoga selalu murah tapi jangan murahan. Kalau Anda pilih paketan internet apa?

Senin, 08 Desember 2014

Judes Rezeki Kabur

Semakin banyak orang yang kita temui, maka semakin banyak pula berbagai karakter seseorang yang kita tahu. Kemarin, saat mengantar undangan ke rumah teman, kebetulan karena itu kali kedua kunjungan saya dan dengan rute yang berbeda alhasil saya takut nyasar, bertanyalah saya pada orang.

Tepat di depan suatu salon.
Sumber di SINI

"Mbak ndherek tangklet (ikut tanya). Gang ini apakah yang menuju SD tiiiittttt itu ya, Mbak?" tanya saya pada orang yang duduk agak jauh dari temannya yang sedang dilayani pemilik salon-saya kira- Belum sempat menjawab, pemilik salon tersebut yang langsung nerocos bagaikan mercon yang ujungnya tidak memberikan jawaban. Saya pun pamit.
Hmmm... Mungkin ogah ditanya-tanya. Pikir saya.

"Matursuwun... nggih. Monggo."

Adik saya yang nangkring di atas motor langsung ngedumel, persis dengan perkiraan saya, "Tanya kok malah dijudesin. Tahu gitu nggak usah tanya sini."

"Sudahlah. Ayo lanjut saja, lurus tidak usah masuk gang itu. SMS Mbak Eka aja suruh nunggu di gang." Perintah saya sambil menyalakan mesin motor.

Setelah bertemu dan sampai di rumah teman, saya nyeletuk, "Tadi kan bingung gang sebelah mana, nah tanya orang yang di sana tuh, eh malah dimarahin, judes."

"Loh, tanya alamat sini? Kamu tanya di mana?"

"Itu tuh yang salon dekat tiiittt...."

"Ohhh...ya ya. Emang gitu orangnya. Aku dulu juga pernah kena judesnya. Padahal aku mau tanya ada gas nggak di situ. Eh malah dislantap, kabur deh nggak mau ke situ lagi sampai sekarang."

***

Belajar dari pengalaman. Kesan kita terhadap orang bagi saya penting. Apalagi kita hidup bermasyarakat. Tak ingin rasanya dikenal sebagai sosok yang jelek. Namun bukan berarti kita jadi manusia bertopeng. Ya, sewajarnyalah. 

Apa yang kita berikan akan kembali lagi pada kita. Kita judes kepada orang ya nanti juga ada yang gantian judes kepada kita. Bukan mendoakan. Bukankah karma itu tak perlu menunggu sampai alam kubur. Idiiihh...jadi serem. Lagian buat apa sih ya judes, takut ah kalau rezekinya kabur.

Sabtu, 06 Desember 2014

Setelah Resign

Setelah saya memberikan surat pengunduran diri (seperti saya ceritakan di Bismillah, Saya Resign!), rasanya itu seperti keluar dari penjara. I’m free! Plooong banget. Tak ada beban.

Seandainya saya belum resign, siang tadi saya masih sibuk sendiri di kamar menyiapkan baju dan materi untuk ngajar. Setelah capek menyiapkan tetek bengek pasti langsung tidur 10 menit, bangun, mandi, sholat kemudian berangkat kerja sampai matahari menghilang dari peraduannya. Sesampainya di rumah saya langsung mandi, sholat, makan, dan tidur. Tak sempat ngobrol dengan bapak atau ibu karena ngantuk seharian nguli.

Selama ini seperti itu terus sampai-sampai saya merasa ada sesuatu yang hilang dari hidup saya. Terutama ada rasa bersalah pada ibu, dulu, saya masih sering ngobrol menghabiskan hari bersama ibu, setelah saya bekerja? Boro-boro deh.

Kata orang, “Wah, enak ya kerja di sana, di sini.”
Lupakan!

Siang tadi sepulang dari sekolah, sesuatu yang saya rindukan selama ini telah kembali. Saya bisa mengantar ibu belanja, beli lauk makan siang, bantu masak meskipun seragam ngajar masih nempel di badan. Tapi saya bahagia. Terlebih lagi bisa main bersama keponakan.

Semoga langkah saya ini memang benar. Melepaskan pekerjaan yang terlalu banyak menyita waktu saya. Tak ingin rasanya saya melewatkan masa-masa bersama orang-orang terkasih. Uang bisa dicari akan tetapi kebahagiaan sangat berharga bagi saya.

I love my family  

Jumat, 05 Desember 2014

Bismillah, Saya Resign!

Saya memposting tulisan ini sesaat setelah saya selesai membuat surat pengunduran diri yang selama ini saya idam-idamkan. Ya, akhirnya saya berani mengambil langkah ini. Yang awalnya saya piya piye, akhirnya saya pun berontak. Tak kuat.

Belum ada enam bulan saya bekerja, tapi rasanya saya tak sanggup kalau harus menghabiskan masa kontrak kerja selama satu tahun di tempat kerja part time yang satu ini. Tempat kerja saya yang satu ini adalah salah satu bimbel terkenal berwarna biru tua. Sebenarnya pekerjaan ini jiwa saya, tapi orang di baliknya yang membuat saya tidak kuat kalau lama-lama bekerja di sana.

Berkali-kali saya menguatkan diri, “Ayolah, di manapun kamu bekerja kamu pasti akan menemukan orang yang sama.” Maaf, tapi saya melambaikan tangan. Sudah tak bisa lagi dikompromi.

Pernah, awal melamar di tempat tersebut saya mendapat nasihat dari guru saya, “Jangan sampai kamu diperalat mereka.” Dan ternyata, ya! Eits, ini tak berlaku di tempat lain dengan nama bimbel yang sama ya. Soalnya teman saya di tempat lain oke-oke saja adem ayem sejahtera.

Berbagai kasus yang saya alami, mulai dari keberadaan modul yang baru muncul pas tengah semester, pergantian jadwal yang dadakan-dan saya harus mau, front office yang sering miskomunikasi dan ujung-ujungnya saya harus nunggu nggak jelas, ijin sakit yang sulitnya mint ampun, sampai-sampai cuti nikah pun ditiadakan.

Dam!

Inilah hidup. Disaat orang lain memimpikan pekerjaan saya, nah saya? Muak! Benar-benar pilihan. Wang sinawang pula. Tak selamanya bisa kerja di tempat ini dan itu akan membuat orang bahagia. Tak selamanya kerja di tempat bergengsi bisa dobel WOW bahagianya. Tapi setidaknya malam ini saya sangat bahagia karena saya berani mengambil langkah untuk resign dari pekerjaan saya yang satu ini. Kuncinya satu, rezeki akan datang bagi mereka yang mau berusaha.

Minggu, 16 November 2014

Dua Perlakuan yang Berbeda

Kalau ada ungkapan, “Jangan menilai orang dari tampilannya”, maka saya akan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan berteriak, “Saya SETUJU”! Pasalnya, siang tadi, ketika saya survey harga matras spring bed di beberapa toko di kota saya, apa yang saya dapatkan?

Tujuan utama saya keluar rumah hari ini adalah belanja beberapa keperluan kosmetik. Berhubung di sebelah supermarket (tempat belanja) ada toko yang memajang spring bed saya pun mampir.

Sumber DI SINI

“Mbak, permisi. Mau lihat-lihat dulu matras spring bed-nya boleh.”
Orang yang saya ajak bicara hanya menatap saya, kemudian mempersilahkan saya untuk masuk dan melihat-lihat.

“Mbak, ini ukuran berapa ya?”

“160 x 160.” jawabnya agak ketus.

“Kalau ukuran 140 x 160 ada nggak, Mbak.”

“Ukuran berapa?” pegawai toko itu seperti memastikan kalau dia tidak salah dengar.

“Mana ada ukuran segitu, Mbak.  Itu harus pesan dulu. Pilih ini bisa tapi harus motong dulu, ada biayanya tambahan lagi!!” Nadanya sangat ketus. Duh duh. Saya mulai tidak nyaman. Serasa saya ini seperti orang yang ditagih hutang dan nggak bayar-bayar. Huh. Begini ya kalau mau tanya-tanya dulu. Mending kabur. Tanpa basa-basi lagi, “Oh...gitu ya, Mbak. Kalau begitu makasih ya, Mbak. Tak lihat-lihat yang lain dulu. Maaf merepotkan.”

“Ya.”

Istighfar berulang-ulang. Ampuni dia ya Allah, tak seharusnya dia sekasar itu, tidak malukah dia dengan jilbabnya? Saya berjalan cepat meninggalkan toko tesebut sambil berpikir, baru PMS kali ya. Tidakkah dia tahu sedang berbicara dengan konsumen, apalagi lebih tua darinya.

Tak jauh dari toko tersebut, saya melihat ada toko serupa. Saya pun memutuskan untuk memarkirkan motor saya. Terlihat ada perempuan muda berpakaian kaos bola, tim MU kalau tidak salah. Lekuk tubuhnya kentara sekali. Dia sedang menyiram halaman toko untuk meredam debu yang berterbangan.

“Mau cari apa, Mbak?” tanyanya ramah sekali.

“Mbak, mau lihat-lihat dulu boleh. Mau cari spring bed tapi yang matras.”

“Oh, sini Mbak.”

Dari kejauhan saya lihat ada perempuan paruh baya namun masih terlihat sangat enerjik. Saya memanggilnya Cici. Pemilik toko tersebut.

“Mau cari apa, Neng?”

“Ini Ci, mau lihat-lihat dulu sekalian tanya-tanya harga spring bed yang matras.” jawab saya pada Cici (sapaan untuk perempuan berdarah Cina).

“Oh ya ya, boleh. Sini-sini, mau ukuran yang berapa? 120, 140, 160, atau yang 2 meter. Mbak (manggil pegawainya yang menyapa saya tadi)... matrasnya di sebelah mana?” 

Dua perlakuan yang berbeda dari mereka yang berpenampilan berbeda pula. Jujur, saya yang berjilbab (juga) merasa tertampar atas perlakuan penjaga tokoh yang pertama tadi. Tapi inilah hidup. Apa yang kita temui, resapi. Mana yang harus dikonsumsi dan mana yang harus diinovasi.

Sekalipun saya jarang sekali melayani konsumen, tapi saya ini juga seorang guru. Banyak orang tua yang seringkali menemui saya bertanya ini dan itu. Apakah selama ini saya bersikap tidak mengenakan pula? Semoga Allah mengampuni kami.

Kejadian ini memberikan pelajaran yang berarti bagi saya. Kita hidup membutuhkan orang lain. Selama masih memiliki kesempatan untuk berbagi, jangan sampai kita menyakiti hati orang lain, baik itu dari tingkah polah kita,  apalagi ucapan. Aamiin.

Sabtu, 15 November 2014

(Jangan) Melewatkan Kesempatan

“Ah guru baru, GTT, bisa apa sih?”
“Nanti kalau saya tidak bisa bagaimana? Nanti kalau ini bagaimana?”
“Anak-anak bagaimana?”

***

Banyak alasan tidak akan maju. Sudahlah dicoba dulu. Bagaimana nanti urusan belakang. Itulah yang saya ucapkan pada diri saya sendiri setelah semua terjadi. Dan hanya penyesalan yang ada.

***

Yang guru pasti pada tahu ya kalau akhir-akhir ini banyak kegiatan lomba yang diadakan untuk memperingati HUT PGRI (beda tempat beda cerita juga sih ya). Nah, di tempat saya ada lomba voli tingkat kecamatan. Diharuskan masing-masing gugus mengeluarkan atlet guru Pa dan guru Pi.

Bagian bapak guru yang latihan voli
Alhasil, beberapa guru di sekolah saya pun mengikuti latihan voli yang nantinya akan dipilih tim inti, masing-masing 6 orang baik untuk Pa dan Pi. Jujur, selama latihan saya sedikit ogah-ogahan meskipun kata teman-teman saya ini bisa main voli dibandingkan yang lainnya. Entahlah, saya berat banget meninggalkan anak-anak. Ditambah lagi cuaca yang sangat tidak bersahabat. Apalagi setelah pulang sekolah saya harus nguli lagi. Lama tidak olah raga jadi rasanya tubuh cepat capek. Banyak alasan!

Setelah seminggu latihan, pas hari Kamis, ada latihan lagi. Sayang seribu sayang, bersamaan dengan puasa sunah (seharusnya nggak jadi alasan ya, hiks) saya pun tidak berangkat latihan. Dan apa yang terjadi? Hari itu dibentuklah tim inti.

“Wah, Bu...Bu... kenapa tidak berangkat? Harusnya kan kamu ikut tim inti. Coba tadi kamu bernagkat, Bu.”

Lesu.

Menyesal? Iya! Tapi apa guna? Kemarin sih malas-malasan. Ogah-ogahan. Padahal ini adalah pembuktian, kesempatan untuk menunjukkan siapa saya ini. Bukankah memang guru itu tugasnya tidak hanya mengajar di dalam kelas ya? Haduh! Catat!

Pernahkah Anda mengalami hal yang sama, melewatkan kesempatan yang berharga??

Kamis, 13 November 2014

Bermodal Speaker untuk Pelajaran SBK

Waktu itu, Kamis, setelah melewati tes wawancara dengan kepala sekolah dan beberapa guru di tempat saya mengajar (saat ini), saya pun dipersilahkan untuk mengisi kelas III. Tepat di jam terakhir, setelah perkenalan singkat dengan anak-anak, saya bertanya pada mereka, “Pelajaran selanjutnya apa, Anak-anak?”

“SBK, Buu...” mereka menjawab serempak. Saya masih clingukan mencari jadwal pelajaran yang tidak saya temukan di setiap sudut kelas.

Nggambar, Bu. nggambar, Buuu...” teriak seorang anak yang sekarang sering saya panggil dengan nama Tegar.

“Baiklah. Bu guru akan memberikan contoh di papan tulis ya, kalian buat di buku gambar.” Segera saya mengambil spidol dan menggambar kartun anak laki-laki dan perempuan dengan kombinasi bentuk bangun datar, seperti lingkaran dan persegi.

Kurang lebih seperti ini gambar yang saya buat di papan tulis.
Sumber DI SINI
"Untung saja, tadi malam saat menemani keponakan belajar, saya mendownload gambar dari Google", pikir saya saat itu.

Pada kesempatan lain tapi masih pada minggu yang sama, anak-anak ada pelajaran SBK. Lagi dan lagi, anak-anak merajuk pada saya, “Nggambar Buu...”

Duh, kalau setiap kali pelajaran SBK menggambar terus anak-anak tidak akan berkembang. Meskipun mereka senang. Tapi apakah cukup dengan rasa senang? Harus cari cara lain.

Sepulangnya anak-anak, saya mencoba ndudah almari peninggalan guru kelas yang dulu. Saya temukan beberapa buku pegangan untuk guru. Gerakan saya terhenti pada buku SBK. Saya perhatikan sub tema di dalamnya, ada kegiatan lain selain menggambar. Tidak harus menggambar. Mereka berhak mendapatkannya.

Bertemu Sumber Api
Namanya juga guru baru, di mana-mana jadi topik pembicaraan. Tak terkecuali bagi anak-anak kelas 6 yang saat itu jadi petugas upacara.

"Nyanyinya yang bagus ya?" sapa saya pada petugas paduan suara yang tiba-tiba diam saat saya melewatinya.

"Iya Buu.."

Upacara pun di mulai. Sebagai mantan siswa yang pernah menjadi bagian dari petugas upacara inti tingkat kecamatan (hehehehe...), saya penasaran dengan petugas upacara di sekolah saya ini. Terutama paduan suaranya.

Ternyata, kekhawatiran saya terjadi. Banyak nada-nada yang tidak pas, bahkan ada lirik yang kurang tepat. Apakah ini karena setiap pelajaran SBK mereka hanya menggambar? Iya, mayoritas seperti itu. Di kelas lain juga.

Usut punya usut dengan berlandaskan kearifan lokal sekolah, menggambar jadi fokus utama pelajaran SBK. Memang, setiap tahunnya sekolah kami selalu menyabet juara untuk lomba menggambar, utamanya kaligrafi. Tapi apakah anak-anak tidak boleh mengenyam kegiatan selain menggambar? Atau mungkin gurunya yang kurang 'gerak'? Menyebutkan berbagai alasan untuk meng-aku-kan kalau tugas guru itu banyak. 

Eksekusi
Pernah saya menulis status di facebook seperti ini,


Berani menulis berani membuktikan. Pun saya wujudkan kalimat tersebut. Pagi-pagi saya menemui guru kelas 6.

"Pak kemarin saya lihat panjenengan bawa speaker. Speaker sekolah?"

"Oh, punya saya sendiri. Pinjam? Itu di almari."

Segera setelah mendapatkan speaker tersebut, saya bawa menuju kelas saya. Baru juga meletakkan speaker di atas meja, ada anak yang membuat mata saya melotot, "Bu, nyetel lagu eh bu? Sakitnya Tuh Di Sini, Buu...apik."

"Bu guru punya lagu yang lebih bagus dari itu." sambil mengeluarkan netbook dan bergumam, 'lagu ini lebih pantas untukmu, Nak.'

Saya sedang menyiapkan netbook dan speaker
Namanya juga anak-anak, gagal fokus kalau difoto
Semakin banyak anak-anak yang mengerumuni saya. Mereka pasti penasaran melihat barang 'aneh' ini. Saya pun menggiring anak-anak untuk baris terlebih dahulu sebelum masuk kelas.

Anak-anak berebutan ingin melihat video lagu "Naik Delman" yang saya download dari youtube

"Bu, mau nyanyi ya, Bu?" tanya Fatta.

"Hhmmm..." jawab saya sambil senyum. Fatta langsung bisik-bisik dengan teman di belakangnya.

Setelah berbaris dan anak-anak masuk kelas saya menyampaikan tujuan belajar SBK hari itu.

"Mulai hari ini, setiap pelajaran SBK anak-anak akan belajar menyanyi. Jadi, kalau dalam satu minggu ada 3x pelajaran SBK, 2x untuk menggambar dan 1x untuk menyanyi. Bagaimana?"

"Iya Buuu..."

"Bu, nyanyi apa to, Bu?" tanya Tegar.

"Tegar duduk dulu, nanti bu guru beri tahu." Tegar berlari ke tempat duduknya.

"Siapa yang pernah makan bakso? Rasanya bagaimana? Nah, hari ini kita akan belajar menyanyi dengan lagu yang berjudul Tukang Bakso."

Kemudian saya menuliskan lirik lagu Tukang Bakso di papan tulis dan anak-anak menyalinnya di buku mereka. Sambil menunggu anak-anak menulis, saya menyiapkan senjata saya. Bermodal speaker pinjaman, saya yakin anak-anak akan tertarik dengan pelajaran SBK kali ini.

"Bu, sampun, ayooo, Bu!"

Saya pun memberikan contoh menyanyikan lagu tersebut. Kemudian anak-anak bernyanyi bersama saya.

"Bu pakai itu, Bu..." salah satu anak menunjuk meja saya.

Siap! Lagu Tukang Bakso pun saya putar. Anak-anak pun bernyanyi dengan sendirinya mengikuti irama tanpa saya beri komando. Meskipun kadang salah-salah.

Setelah lagu tersebut saya putar dua kali, anak-anak justru menantang saya. "Bu, maju satu-satu, Buu..maju Buu..."

"Begini saja, majunya satu kelompok. Ayooo coba, kelompok siapa yang berani maju pertama kali??" Tak disangka mereka berebut untuk maju. Saya pun tak menyia-nyiakan momen tersebut.


Inilah nikmatnya jadi guru, kita melakukan sesuatu dan kita pun bisa langsung merasakan perubahannya. Seperti anak yang ada dalam video tersebut, sebelah kanan. Munib, namanya. Dia adalah anak yang paling malu di kelas saya. Tapi apa? Setelah saya eksplor dengan modal lagu yang saya download dari Google dan netbook plus speaker pinjaman bisa mengubahnya sebagai anak yang percaya diri bahkan lupa kalau ibunya sedang menunggu di luar kelas.

Kepolosan mereka pun tampak, saat ada temannya yang salah lirik yang lainnya berusaha untuk men-diamkannya. Ini semua belum tentu akan kita temukan saat mereka menyanyikan lagu yang 'tak layak' dengan usia mereka.

Anak-anak menyanyikan lagu "Kereta Api" di lain kesempatan
Satu hal yang pasti, semenjak ada pelajaran SBK-menyanyi sampai sekarang (2 bulanan) jarang sekali saya mendengar anak-anak menyanyikan lagu yang 'tak layak' dengan usia mereka. Tukang Bakso, Naik Delman, Kereta Api, Ibu Pertiwi, Mengheningkan Cipta jadi favorit mereka.

Kearifan lokal masih jalan, kegiatan lain pun tetap ada. Inilah harapan saya. Anak-anak senang, mereka mendapatkan hak mereka, dan satu hal yang penting lagi adalah kepercayaan diri mereka pun meningkat.

Selamat belajar, Anak-anak.

Kamis, 06 November 2014

Guru: Digugu lan Ditiru

Benar saja ungkapan ini, gurunya kencing berdiri, murid kencing berlari. Duh..duh...duh...Gurunya tidak pakai sepatu, muridnya juga. Gurunya membuang sampah sembarangan siswanya apalagi. Hehehe...

Anak-anak zaman sekarang itu cerdas, bahkan kelewat cerdas. Sangat kritis. Meninggalkan apa faktor penyebabnya, sebagai guru saya harus bisa mensiasatinya dong ya. Jangan sampai gelagapan di depan anak-anak.

Guru itu pekerjaan yang paling mulia tur banyak yang memburu (saat ini). Terhitung, fakultas KIP tak pernah sepi apalagi kekurangan mahasiswa. Mungkin, diantara mereka ada yang memandang jadi guru itu enak, pulang cepat, gajinya sekarung. Hahaha. Jadinya pada ‘terpaksa’ masuk FKIP. Semoga saja hanya sebagian ya, yang lainnya niat banget jadi guru.

Seandainya saja mereka tahu. Guru itu...

Kata teman, tak hanya siswa yang belajar, guru juga seperti itu. Pun saya merasa seperti itu. Semenjak jadi guru banyak hal yang berubah dalam diri saya. Paling menonjol adalah dalam hal bersikap.

Berbahasa, kini saya lebih terbiasa berbicara dengan menggunakan bahasa krama alus kalau terpaksa nggak tahu bahasa krama suatu kata saya menggunakan bahasa Indonesia. Hehehe. Ketahuan ya nilai bahasa Jawa saya dulu berapa.

Pernah, ketika saya marah kepada salah satu siswa menggunakan bahasa ngoko dengan menyebut kata “kowe” rasanya kok ya tidak pantas. Sakitnya lagi saat ada anak-anak yang berbicara dengan saya, “Bu, kowe....” sedih banget. Tapi kan saya mengajari mereka seperti itu. Memberi contoh mereka demikian. Semenjak kejadian tersebut saya lebih berhati-hati, menjaga lisan dan mengingat siapa saya, GURU.

Kuku, semenjak saya TK, selalu diajarkan oleh guru saya untuk menjaga kebersihan. Salah satunya kebersihan kuku. Setiap hari Senin pasti ada periksa kuku. Guru saya membawa senjata berupa penggaris jadi kalau ada anak yang kukunya belum dipotongi pasti kena ‘senggol’ penggaris bu guru. Karena terbiasa, sampai sekarang pun saya tak pernah memanjangkan kuku saya. Jijik kalau melihat kuku yang hitam-hitam.

Ilmu kuku tersebut saya tularkan kepada anak-anak. Tapi tanpa senjata penggaris lho ya. Nah, namanya juga manusia, kadang saya lupa periksa kuku anak-anak. Senin kemarin, saya hendak periksa kuku. Hati saya gelisah. Karena kuku saya sendiri belum saya potongi. Periksa kuku tetap saya laksanakan dengan catatan jangan sampai ada anak yang tahu kalau kuku saya agak panjang. Kegelisahan saya lewaaattt. Periksa kuku kelar. Banyak siswa yang kukunya hitam-hitam seperti macan. Hiks...harus selalu diingatkan.

Eittss, tunggu dulu. Waktu pulang sekolah tiba.
“Bu Guru curang, masak anak-anak nggak boleh kukunya panjang, tapi Bu Guru kukunya panjang.” teriak Fatta, siswa paling kritis di kelas saya.
Akhirnya, saya meminta maaf dan berjanji esok hari kuku saya akan bersih, begitu juga anak-anak. Ingat, saya ini GURU.

Satu lagi cerita konyol yang nendang saya sebagai GURU. Ini memang bukan cerita di kelas saya, akan tetapi rasanya kok ya gimana gitu.

Sekolah tempat saya mengajar ini lapangannya masih bentuk tanah, jadi kalau musim hujan bisa dibayangin lah ya? Lantai kelas yang berkeramik putih pasti akan ternoda. Alhasil sekolah membuatkan rak sepatu di depan kelas untuk meletakkan sepatu anak-anak. Itu kalau musim hujan. Kalau musim kemarau? Sepatu bisa masuk kelas kan?

“Pagi-pagi kok sudah nyeker (tak mengenakan sepatu), kenapa?” tanya saya pada segerombolan anak kelas sebelah. “Kalau kalian pernah lihat berita, banyak lho anak-anak yang tak seberuntung kalian. Sekolah nyeker karena tidak punya uang untuk membeli sepatu. Nah, kalian?”

Anak-anak nyeker
“Alaaah, Bu. Bu A kalau di kelas juga nyeker.” Langsung makjleb deh ya. No komen lagi. Benar saja, ketika jam istirahat saya melihat guru yang dimaksud riwa-riwi nyeker. Bahkan pimpinan sekolah mengenakan sandala kalau di sekolah. Tepok jidat.

Ah, saya tak bermaksud menghakimi. Tapi inilah kesinambungan antara siswa dan guru. Mereka butuh contoh, bukan perintah. Semua orang bisa nuntut, tapi sedikit yang bisa memberi contoh. Kalau sudah seperti ini, ingat saja siapa saya ini? Ya, GURU. Digugu lan ditiru.

Kalau kata ibu, "Iling tujuan, Nduk."

Rabu, 29 Oktober 2014

Jengkol

Pas semua anak sudah mengenakan tas masing-masing, tiba-tiba ada yang teriak.

“Bu Rizki kentuuuttt.” kompak anak-anak sekelompoknya menutup hidung.

“Uh...baunya, Bu. Nggak enak!!”

“Uh...sampai sini, Bu baunya!!” teriak anak yang duduk di sudut lain. Benar saja kipas angin di ruang kelas kami berputar sangat kencang. Bisa dibayangkan dong polusi udara yang diciptakan Rizki bergerak secepat kilat memenuhi ruangan. Sampai ke arah saya. Cadar dadakan pun terpasang.

Uhhh, hadiah yang ngangenin nih. Hahaha.

Berlarilah saya menuju pintu, membukanya leba-lebar. “Riski, tadi makan apa sayang? Kentutnya kok muantaabbb sekali.”

“Hehehhe, jengkol, Bu!!” jawabnya sangat percaya diri.

“Laahh???” saya dan siswa lainnya menjawab kompak. Kemudian hanya tawa yang terdengar.

“Sudah...sudah. Rizki, kemarin kita sudah belajar tentang norma ya? (Rizki manggut-manggut). Kalau kentut sebaiknya bagaimana, Rizki?”

“Ijin keluar dulu, Bu. Tapi kebelet, Buuuu.”

Anak-anak malah tertawa.

“Iya, iya, besok lagi kalau kentut ijin keluar dulu ya sayang, kasihan teman-teman yang lainnya.”

“Hehehehe...” Rizki garuk-garuk kepala. Anak yang lain malah tertawa, Rizki tak kalah ikut tertawa.

Senin, 27 Oktober 2014

Bentuk Lain Perhatian Orang Tua Siswa

Bentuk perhatian orang tua kepada anaknya tidak harus selalu setuju dengan apa yang saya lakukan, katakan, bahkan saya pikirkan. Jelas saja, selain saya mendapat dukungan dari orang tua siswa seperti yang saya ceritakan di Akibat Adanya Raport Bulanan, pun saya juga pernah lho di”LABRAK” oleh orang tua siswa.

Labrak di sini bukan berarti saya dimarah-marahi, dimaki, bahkan diancam untuk diminta tidak lagi mengajar anaknya. Akan tetapi adalah sebuah bentuk ketidak setujuan bahkan terkesan menyalahkan saya sebagai guru baru yang belum tahu bagaimana anaknya. Hal itu terlihat dari kata beliau, “Bu Guru yang dulu juga tidak pernah berkata kalau anak saya sering mengganggu temannya, mungkin Anda yang belum mengenal anak saya!” 

Saya bersama anak-anak
Saya menjawab sekenanya, “Mohon maaf, Bu. Saya hanya menuliskan apa yang saya temukan di kelas.”

“Tapi anak saya kalau di rumah juga tidak pernah aneh-aneh.” Ibu itu masih ngotot.

“Iya, Bu. Saya mohon maaf apabila ibu tidak berkenan.”

Selepas kepergiannya, saya tetap teguh dengan temuan saya. Hanya saja saya tidak perlu memaksakan pendapat saya. Inilah tugas seorang guru, tidak hanya bertugas memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran akan tetapi berperan sebagai seorang psikolog pula, apa yang salah? Segera menyelidikinya.

Inilah yang tidak saya dapatkan selama hampir 4 tahun kuliah. Dunia kerja itu amazing sekali. Satu masalah kelar masalah lain datang. Pun seorang guru meskipun banyak masalah harus tetap prima di depan anak-anak. Kalau secara teori namanya profesional gitu. Hehehe.

Tidak semua masalah harus diselesaikan saat itu juga. Bisa-bisa gila deh. Saya nikmati saja perjalan hidup saya bersama anak-anak. Terselip doa semoga diberikan jalan keluar atas masalah yang sedang saya hadapi.

Eh eh eh, alhamdulillah. Tak menunggu lama, Allah memberikan jawaban atas masalah di atas. Caranya tak terduga pula.

Begini ceritanya, saat itu ada seorang anak sedang mengintip kelas kami. Dia anak kelas 2. Saya bertanya padanya, “Cari siapa, Dik?” Kemudian salah satu siswa saya ada yang menjawab, “Itu adiknya A, Bu.”

“Oh, ini adik kamu A. Makanya kok mirip sekali. Saudara kamu ada berapa A?” kata saya tanpa menaruh curiga apapun. Karena malu anak yang di pintu tadi kemudian berlari meninggalkan kelas saya.

“Dua, Bu.” Jawab A senyum-senyum bahagia.

“Itu to Bu, A kalau di rumah sering dimarahin ibunya. Kan yang disayang adiknya tadi, Bu.” Ada siswa yang nyeletuk seperti itu. Tetangga rumahnya. Wah, seru nih, pikir saya.

“Wah, A di rumah nakal ya? Kok dimarahin ibu terus?”

A malah diam. Saya tak meneruskannya. Ketika istirahat, kebetulan A sering sekali berdiri di depan meja saya, memperhatikan apa yang saya lalukan. Dia juga sering mewawancarai saya, bahkan menggoda saya, “Bu Ika kok cantik sekali sih?” hehe dengan guyonan khas anak-anak, tapi saya tetap tersipu malu. “Terima kasih A.”

Dengan suasana santai, saya menggunakan kesempatan tersebut untuk mewawancarai A juga. Tentunya tentang marah-dimarahin ibunya tadi.

“A sering bantu ibu tidak kalau di rumah?”
“Bantu apa, Bu?”
“Ya, bantu nyuci piring, membersihkan tempat tidur, mungkin nyapu.”
“Ya, pernah, Bu.”
“Kalau pernah berarti jarang bantu ibu ya?? Hayooo...”
“Lha ibuku galak kok, Bu. Pasti adikku terus yang dibela. Aku dimarahin terus kok, Bu.”

Sampai sini saya sedikit ada gambaran. Inikah bentuk pelampiasan kurang perhatian anak di rumah sehingga di sekolah dengan caranya sendiri -mengganggu temannya- agar bisa saya perhatikan? Saya tak berhenti di sini. Tak kurang akal dong ya. Bertanyalah saya pada guru lainnya. Karena di desa, inilah keuntungannya, hampir semua guru kenal dengan orang tua siswa, kan tetanggaan. Dan ternyata, dugaan saya itu benar. Selama di rumah ibunya memang berat sebelah dalam hal memberikan perhatian kepada anak-anaknya.

Baiklah. Masalah ini saya anggap selesai. Saya tak harus ngotot menunjukkan kalau pendapat saya lah yang paling benar. Pelajaran baru nih untuk saya. Tugas saya selanjutnya adalah meluruskan A agar ia tak sering mengganggu teman lainnya. Karena saya memiliki catatan penting, A ini sebenarnya memiliki bakat bernyanyi yang OK, dia pun suka sekali dipuji, kalau dipuji dia pasti langsung minta ijin kepada saya untuk maju dan bernyanyi di depan kelas. Saya pun sesekali mempersilahkan, dan raut wajahnya akan berubah sangat lucu saat mendapat tepuk tangan dari temannya karena suaranya yang bagus.

Oh A.... semoga suatu hari cita-citamu dapat tercapai. Penyanyi profesional.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Akibat Adanya Raport Bulanan

Raport bulanan adalah salah satu strategi yang saya gunakan untuk menarik perhatian orang tua terhadap prestasi siswa di sekolah. Bukan hanya perkara prestasi secara akademik pun non akademik. Jadi, setiap satu bulan sekali saya akan membagikan lembaran kertas yang berisi nilai-nilai siswa satu kelas lengkap dengan urutannya. Tak lupa catatan penting berkaitan dengan prestasi non akademik untuk masing-masing siswa.

Raport Bulanan

***

Setelah saya posting foto di instagram, ada teman yang BBM saya.
“Bu, kok ada raport bulanan segala?”
“Iya, ortu siswa di tempatku agak kurang perhatian nih. Mau nyoba dulu bagaimana respon mereka.”
“Wah, kalau di tempatku orang tuanya malah hiperaktif, Bu. Apa-apa ditanyain. Saya pakai buku apa, ini dan itu. Bingung malah.”

Itulah isi BBM dari teman yang kebetulan ngajar di sekolah swasta yang terletak di kota pula.

***

Sebenarnya perhatian orang tua itu tidak tergantung sekolah itu swasta atau negeri, di kota atau di desa. Karena sebenarnya di desa juga ada orang tua yang sangat perhatian kepada anak-anaknya (dalam hal ini proses belajar di sekolahnya seperti apa). Apa mungkin karena di desa itu daya saing prestasinya tidak sekuat di kota? Kalau di kota (sebut saja di tingkat kecamatan), banyak siswa yang les ini dan itu di luar sekolah, beda kalau di daerah pinggiran kecamatan. Yang penting anak sekolah. Bahkan ada orang tua yang berangkat kerja pukul 05.00 pulang saat matahari terbenam. Jadi, tidak tahu apakah anaknya sekolah atau tidak.

Mensiasati keadaan tersebut, mencuatlah ide untuk membuat raport bulanan untuk siswa. Akhirnya setelah satu bulan tepat saya mengajar, raport bulanan pun saya bagikan tepat di hari Sabtu.

“Bu, masak raport hanya selembar, Bu.” tanya salah satu siswa yang sudah berdiri di tempat saya.
“Iya ini raport khusus dari bu guru. Kalau raport yang buku itu kan dari sekolah.”
Mereka manggut-manggut.
“Raportnya nanti diberikan kepada bapak atau ibu kalian, kemudian di tanda tangani. Besok Senin dikumpulkan lagi pada Bu Ika.”
“Iyaaaaa, Bu.” jawab mereka serentak.

Setelah beberapa hari pengumpulan raport bulanan, tepatnya saat kelas sudah sepi dan maahari sangat terik di luar sana, saya menemukan ada tulisan tangan di bawah CATATAN dari saya. Ternyata, saya mendapat surat balasan dari salah satu orang tua siswa. Senyum-senyum. YES! Saya mendapat dukungan dari orang tua siswa untuk melanjutkan program ini.

Respon Orang Tua Siswa

Tapi apakah semua orang tua siswa seperti itu? Saya akan ceritakan di postingan selanjutnya ya.

Hobiku

Motret itu tidak harus menggunakan kamera yang harganya mihil bingiiits kan? Bersenjatakan kamera HP Samsung Galaxy S3 Mini (gratisan lomba nulis) saya lampiaskan hobi tersebut.

Hobi itu kalau nggak ngelakuin satu hari saja pasti ada yang kurang. Betul? Hampir setiap hari saya motret. Apapun. Bunga, langit, tanah, bahkan anak-anak yang mandi di kali pun saya potret.

Saya tak pernah bermimpi jadi fotografer terkenal. Menghasilkan karya yang bagus bahkan melegenda. Yang penting saya motret. Membingkai apa yang saya lihat dalam bentuk gambar. Saya pun tak pernah perduli, di galeri foto-foto saya itu ada gambar diri saya atau tidak.

Malam Pertama Setelah Wisuda

Malam pertama setelah diwisuda itu tak seindah malam pertama pengantin baru lho (*calonpengantin). Menggelisahkan, tepatnya galau tingkat dewa. Itu bagi saya (tempat curhat-hahaha kelihatan nggak ikhlas *lempartoga), terutama lagi bagi beberapa teman saya yang menyanyikan lagu, “Mau di bawa ke mana ijazah saya??” secara bersamaan.

Hai Mirna, belum ada sebulan lho saya diwisuda :)

Malam itu, tepat di malam pertama setelah wisuda, 8 Oktober 2014. Hape saya bergetar. Ada SMS masuk.

“Chaa...”
“Dalem...ada apa sayang?” saya menjawab SMS dari teman saya, sambil membuat media pembelajaran untuk anak-anak, esok hari.
“Aku galau.”
“Loh? Kenapa? Baru diwisuda kok malah galau? Gembira dong. Bedaknya aja belum luntur kok.”
“Apaan???? Kamu enak sudah dapat kerja. Nah, aku?”
“Alhamdulillah. Lha kamu gimana? Sudah nyoba di mana?”
“Belum sama sekali.”
“Ya, malam ini buat surat lamaran. Besok nyoba aja disebar. Jangan nunggu umpan.”
“Aku bingung mau melamar ke mana, Cha?”
Duh duh duh. Diem.

***

Ini yang sering salah kaprah. Setelah ujian skripsi terlewati dengan lantang mengucapkan good bye pada dosen penguji dan mengibarkan bendera bertuliskan welcome prosesi wisuda. Plong katanya-setuju nih. Berbagai persiapan untuk menyambut hari wisuda justru melebihi persiapan saat ujian. Tetek bengeknya jangan sampai ketinggalan. Pokoknya harus OK saat wisuda nanti. Tak jarang orang tua ikut-ikutan rempong. Anak yang wisuda orang tuanya yang heboh. Mengalaminya? Jangan sampai ya?

Eh, yang penting malah terlewatkan.
“Ah, nanti sajalah cari kerjaan setelah terima ijazah.”
“Ah, nikmati saja waktu ini (sebelum wisuda), kan kemarin baru selesai ujian.”
“Ah, cari informasinya besok saja lah.”
“Tenang, teman-teman juga pada santai.”

***

Satu hal yang perlu diingat, menyambut wisuda itu tidak harus berlebihan yaa. Sewajarnya lah. Selanjutnya itu lho? Mau ke mana? Kerja di mana? Usaha atau jadi karyawan? Atau mau jadi salah satu kandidat sarjana menganggur? Nambah-nambahin angka saja! Galau. Belum lagi dengar tetangga pada bisik-bisik, “Sarjana kok nganggur?”. Tambah galau bingiitts?

***
Setelah lama menganggur.

“Ah, kamu kan enak sudah dapat kerja. Coba kalau kamu ada di posisiku.”

Banyak alasan! Terlalu santai! Kesimpulan yang sedikit jahat (mungkin) bagi beberapa orang yang mengalami hal yang sama seperti cerita di atas. Tapi bukankah memang itu salah satu penyebab angka sarjana menganggur di Indonesia semakin bertambah dari hari ke hari? Tak mau menjemput bola, maunya disuapin. Bangunlah anak muda!

Kita tak akan galau di malam pertama setelah wisuda apabila kita sudah memiliki rencana yang matang mau ke mana setelah ini. Bagus lagi apabila kita sudah mulai bergerak sebelum diwisuda. Jadi, setelah diwisuda kita tidak akan ling-lung mau menawarkan diri kita ke mana. 

Hey, ingatlah! Rayakan wisuda dengan sewajarnya, siapkan masa depan dengan mantap. Jangan bangga jadi beban orang tua. Jangan buat orang tua kita menutup muka saat bertemu dengan tetangga. Biarkan orang tua kita bangga saat melihat kita bisa berdikari.

Malam pertama setelah wisuda? No galau!

Rabu, 01 Oktober 2014

PR, lagi-lagi PR

Anak-anak itu tidak bisa ditebak ya? Semenit tertawa, semenit kemudian nangis, sepuluh menit kemudian ada yang ngambek. Olala. Kepala saya bisa-bisa pecah kalau tiap hari seperti ini. Eits, bukankah ini sudah jadi konsekuensi saya sebagai guru ya?

Anak-anak kelas 3 SD
***

Pagi itu, setelah kami mengingat materi pembelajaran sebelumnya dan diikuti menyanyikan lagu Sayang Semuanya anak-anak terlihat sangat antusias mengikuti pembelajaran. Lalu saya pun mengingatkan anak-anak tentang PR Matematika.

“Yuk, coba dikeluakan dulu PR Matematikanya.”

Anak-anak pun mengeluarkan bukunya dari dalam tas. “Ada yang tidak mengerjakan?” Tersebutlah 3 (yang ketahuan) anak tidak mengerjakan PR.

“Ayo yang belum mengerjakan PR maju ke depan!” kata saya sambil berkeliling menge-cek satu per satu di meja siswa. Setelah berkeliling, 3 anak yang tidak mengerjakan PR sudah berada di depan kelas untuk mengerjakan PR-nya. Tunggu! Tadinya kursi penuh, kenapa sekarang ada yang kosong selain anak yang maju ke depan.

Ternyata, setelah saya tanyakan ada si ganteng yang pulang ke rumah mengambil buku PR-nya yang ketinggalan tanpa izin dengan saya. Duh Gusti, segitu takutnya kah dia kepada saya sampai-sampai pulang ke rumah (maafkan-untung saja ini di desa jadi letak rumahnya tak terlalu jauh dari sekolah)? Padahal ada anak yang tidak membawa PR kemudian maju ke depan mengerjakan. Kenapa ini anak malah pulang? Kalau di jalan ada apa-apa bagaimana? Saya kecolongan.

Mau tidak mau saya pun melanjutkan pelajaran dengan mencocokkan PR yang sudah mereka kerjakan. Sampai di nomor 2, anak yang pulang tadi sudah sampai di kelas lagi sambil menunjukkan bukunya. Saking takutnya saya kalau terjadi apa-apa ke anak tersebut, nada bicaa saya agak tinggi, “Mas, tadi kan bu guru tidak menyuruh kamu pulang. Itu Mas A, B, dan C mengerjakan di depan. Kalau di jalan ada apa-apa bagaimana?”

Tanpa ba-bi-bu, dia menangis. Ya Allah, saya semakin bersalah. Bermaksud mendisiplinkan mereka tapi mereka tidak siap. Tak ada salahnya anak-anak lupa, tapi kalau terus-terusan apakah harus dibiarkan? Saya pun mendatangi anak tersebut, meminta maaf padanya dan memohon kepadanya agar izin apabila hendak keluar kelas.

Sudahkah sampai di sini? Tidak. Tiba-tiba salah satu anak yang mengerjakan PR di depan kelas ada yang menangis karena diejek temannya. Duh, duh, duh. Saya merasa semakin gagal mengatasi pembelajaran hari itu. Saya pun meminta mereka (yang tidak mengerjakan PR) untuk kembali di tempat duduknya.

“Anak-anak, apakah kalian tidak senang kalau diberi PR?”
Beberapa dari mereka diam. Ada selentingan ucapan “senanggg”.
“Kalau ada PR itu dikerjakan di sekolah atau di rumah?”
“Rumaaah..” jawab mereka serempak.
“Terus, kalau bu guru mau keluar kelas, apakah bu guru pernah tidak izin dengan kalian? (mereka geleng-geleng) Kalau bu guru tidak berangkat ngajar pernahkah bu guru tidak memberi kabar kepada kalian?”
Mereka geleng-geleng.

Semenjak kejadian itu saya sempat galau mau memberikan PR atau tidak ke mereka. Saya pernah ceritakan di Perlukah PR untuk Siswa. Di hari berikutnya, saya pun memutuskan untuk tetap memberikan PR, paling tidak 3 x seminggu. Akan tetapi tiap kali ada PR saya pun tidak lagi mengecek ke meja mereka satu per satu. Tapi apa yang terjadi?

Mereka justru menyepelekan saya. Mereka semakin tidak disiplin, tidak bertanggung jawab. Saya cukup geram. Sampai-sampai pernah suatu hari saat ada PR hanya ada ¼ dari jumlah siswa yang mengerjakan PR. Entah inisiatif dari mana lagi ini, saya meminta siswa yang tidak mengerjakan PR untuk keluar kelas (Duh, kejamnya). Mereka tidak boleh masuk kelas kalau PR-nya belum selesai dikerjakan. Jahatkah saya? Berhasilkah cara ini?

Tidak! Tetap saja ada anak yang tidak mengerjakan PR. Lebih dari 5 jumlahnya. Sampai-sampai saya menggunakan ‘ancaman’.

“Kalau sampai ada anak yang tidak mengerjakan PR sebanyak 3x, ibu akan mengirim surat kepada orang tua kalian.”

Ya Allah, jahat sekali saya ya? Tapi ini salah satu cara yang bisa saya lakukan agar mereka punya disiplin, tanggung jawab, dan mau belajar. Tak banyak PR yang saya berikan, cukup 5 kadang juga 4, 3. Itu semua juga sudah dipelajari di sekolah. PR pun tidak setiap hari. Sampai-sampai saya juga mengingatkan anak-anak, “Kertas yang ada PR-nya itu dilipat agar tidak lupa, Anak-anak!”

Sudah hampir dua minggu berlalu semenjak ‘ancaman’ itu saya layangkan. Alhamdulillah, tanggung jawab anak-anak semakin meningkat. Tidak ada lagi anak-anak yang tidak mengerjakan PR. Sayangnya, sampai sekarang hati saya masih bertanya-tanya, salahkah saya mengancam anak-anak seperti ini? Adakah cara lain? Bagaimana tanggapan Anda?

Rabu, 24 September 2014

Mengenal Warna dengan Bernyanyi

Memiliki anak yang cerdas memang idaman setiap orang tua. Tapi yang perlu diingat, itu semua tidak bisa dipukul rata untuk setiap anak. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Seperti halnya keponakan saya, Rena.

Oktober nanti Rena berusia 5 tahun. Saat ini sudah masuk TK (tanpa masuk PAUD). Sudah bisa apa dia? Alhamdulillah, dia sudah bisa memegang pensil dengan benar dan pandai meniru. Meniru baik dalam hal menulis, menari, menyanyi, bahkan membuat sesuatu. Satu kekurangannya, dia belum bisa membedakan warna. Kalau hanya menirukan ucapan merah, kuning, hijau, dia handal, tapi kalau menghafalkan?

Rena mengantuk tapi masih ingin belajar

Ya, selama ini dia menyebutkan warna merah dengan warna stoberi, warna oranye dengan warna jeruk, warna hijau dengan warna daun, dll. Inilah PR penting bagi saya. Dia mewarnai OK, bahkan menggambar hooo~ jangan ditanya, dia sudah bisa menggambar “kakak laki-laki dengan mengenakan topi” lho.

Setiap ada kesempatan, setelah pulang mengaji, kira-kira pukul 19.00 WIB, Rena selalu datang ke rumah saya lengkap dengan tasnya. Mengambil meja dan kursi kemudian masuk kamar dan “Ayo De Ka, belajar!”

Kala itu saya berpikir dia harus belajar membedakan warna. Kapan lagi? Tahukah Anda cara apa yang saya gunakan?

Cara pertama, secara konvensional saya menggunakan krayon yang dia miliki sebagai media. Mengambil satu per satu krayon saya tunjukkan kemudian menyebutkan warnanya dan dia menirukan. Awalnya saya menyebutkan 6 warna, tak satupun dia hafal. GAGAL.

Cara kedua, dengan cara pertama saya modifikasi dengan hukuman. Apa hukumannya? Tenang, hukumannya dijamin aman. Bedak. Ya, jadi kalau Rena salah menyebutkan warna maka wajahnya akan saya coret. Sebaliknya, kalau dia benar maka wajah saya yang akan dicoret olehnya. Berhasilkah cara saya ini? Lumayan, tapi saat istirahat sebentar kemudian saya ulang, eh eh eh Rena lupa lagi. Ini anak memang cara belajarnya lemah pada mengahafal. GAGAL.

Wajah Rena yang cemong
Cara ketiga, Gara-gara meja belajarnya ada gambarnya, saya jadi mengaitkan warnya yang ada dengan warna krayon yang dia miliki. Pas saya menyebutkan warna merah, kuning, dan hijau, tahu-tahu Rena bilang, “Itu tho kayak werno pelangi, aku ngerti (Itu seperti warna pelangi, aku tahu)”. Terbesitlah, kenapa tidak dengan bernyanyi saja?

Tahu lah ya, lagu apa yang saya maksud. Yups! Pelangi-pelangi! Menyanyilah kami, saat sampai pada lirik “merah, kuning, hijau, di langit yang biru”, saya sambil menunjukkan krayon dengan warna tersebut. Apa yang terjadi? Cara ini BERHASIL lho. Ya sih hanya 4 warna, tapi yang penting sudah ada kemajuan lah ya.

Namanya juga anak-anak, otaknya akan lebih mudah menerima sesuatu yang konkret. Hehehe. Kenapa nggak kepikiran dari kemarin-kemarin ya? Tapi apa yang Rena alami bisa jadi terjadi juga pada anak atau saudara Anda, bisa jadi juga tidak. Selain itu, kita juga tidak bisa menyamakan cara berpikir kita kepada mereka. Jangan sering mengagungkan kata “kamu harus bisa”. Lebih baik pahami kelebihan apa yang mereka miliki, dan poles pelan-pelan kekurangan mereka. Ingat! Anak itu bukan robot yang baterainya bisa kita ganti setelah ngambek.

Sabtu, 20 September 2014

Ingat! Setiap Anak Itu Unik

Sudah hampir 2 bulan ini saya menjadi guru privat Cantik. Saya hanya bisa berkata, Cantik itu benar-benar beda dengan Nicho. Nicho kalem, pendiam, dan sangat cerdas itu mudah saya taklukkan, lah Cantik?

Cantik saat ini duduk di kelas 3 SD. Anaknya sangat aktif, baik secara tindakan maupun ucapan. Dan satu yang membuat saya surprise sekali, dia bercita-cita ingin menjadi artis. Sungguh sangat berbeda dengan Nicho yang bercita-cita ingin menjadi Romo.

Kalau dilihat dari tingkat kognitifnya, Nicho lebih dibandingkan adiknya ini. Tapi Cantik tak kalah memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh Nicho, yaitu kemampuan verbalnya sangat bagus. Cantik sangat kritis, Nicho? Mungkin kritis tapi tak pernah ditampakkan.

Tahukah Anda sampai sekarang Cantik sering bertanya kepada saya, “Mbak Ika, kenapa sih kok diberi nama kangkung? Kenapa diberi nama meja? Kenapa diberi nama pulpen?.......” masih banyak lagi pertanyaan dia yang awalnya membuat saya gelagapan untuk menjawabnya. Tapi sekarang sih saya sudah terbiasa. Bahkan kalau dia keseringan bertanya, saya jawab, “Wah Mbak Ika belum tahu jawabannya. Buat PR Mbak Ika ya?” Atau “Wah, kita tanya Tuhan, yuk!”

Saya tidak bisa menyalahkan keingintahuannya, karena itu adalah hal yang wajar bahkan menjadi suatu kelebihan yang dimilikinya. Hanya saja saya sering memutar otak, jawab apa ya biar ini anak nggak penasaran? Sampai suatu hari ketika saya mati kutu atas pertanyaan dia, dia malah cerita.

“Dulu pas kelas dua, aku pernah tanya sama bu guru.” kata Cantik.
“Tanya apa sayang?”
“Kan ...kan pas itu bu guru sedang nerangin tentang rumput. Terus aku tanya. Bu, kenapa kok diberi nama rumput?”
“Terus bu guru jawab apa?”
Cantik malah tertawa.
“Loh, kok malah ketawa?”
“Bu guru jawab gini, namanya ya rumput masak namanya Cantik???”
Kami berdua tertawa.
“Terus dek Cantik bagaimana?”
“Ya, aku diam saja. Habis itu nggak tanya-tanya lagi.”

Namanya juga anak-anak ya? Tingkah polahnya bermacam-macam. Tak bisa ditebak. Seperti sore tadi, Cantik agak males belajar. Saya menyadari betul karena tak seperti biasa. Ketika saya tanya, dia menjawab, “Lauknya nggak enak. Aku nggak suka.”

Oalah....anak-anak.  Mau diapakan itulah uniknya anak-anak. Satu sama lainnya berbeda. Kalau Nicho sangat bijak, kalem, dan diam-diam menghanyutkan, adiknya, Cantik, wow banget pokoknya. PR besar saya nih, bagaimana caranya menaklukkan nih anak.

Kamis, 04 September 2014

Perlukah PR untuk Siswa?

Sudah lama saya ingin mencicipi bakso yang ada di dekat sekolah tempat saya mengajar. Alhamdulillah, kesampaian juga. Sebenarnya ada modus lain sih, apalagi kalau bukan mengobrol dengan salah satu orang tua siswa di kelas saya. Penjualnya itu adalah orang tua salah satu siswa saya. Mau tahu lah bagaimana tanggapan orang ta atas kehadiran saya di skeolah tersebut. Guru baru bahkan masih hangat-hangat tai kucing. Hahahahaha.

Biasa ya kalau guru di desa itu harus SKSD (sok kenal sok dekat) plus ramah tamah dengan warga sekitar. Kalau tidak? Wah, gawat ini. Berikut bentuk SKSD saya pada salah satu orang tua siswa saya.

“Bu, mas X kalau di sekolah cukup cerdas, tapi mohon selalu diperhatikan lagi jam belajarnya. Eman-eman kalau sudah cerdas seperti itu tidak dikembangkan lagi.” kata saya.

“Oh, ya Bu. Matur suwun. X itu jarang belajar kalau tidak ada PR. Jadi, tiap hari mbok ya diberi PR, Bu. Biar setiap hari belajar.” Katanya sambil membungkus bakso pesenan saya.

***

Percakapan singkat tersebut membuat saya (guru baru) berpikir, benarkah dengan pemberian PR setiap hari membuat siswa rajin belajar? Memang, saya ketahui guru di kelas sebelumnya, setiap hari memberikan PR kepada siswa. Tapi, selama ini saya memiliki cara mengajar tersendiri, saya selalu berusaha memaksimalkan belajar siswa di kelas dengan cara diskusi, games dan berpendapat sampai dengan penilaian yang hampir setiap hari saya pantau. Pun saya berpikir, anak memiliki hak untuk bermain, kalau seandainya pulang sekolah, istirahat sebentar kemudian sekolah madrasah, kemudian malamnya mengaji, kapan waktu mereka istirahat dan bermain? Rasanya kok kasihan sekali masa kecil mereka.


Selain itu, saya juga berpikir, dengan pemberian PR, PR itu sendiri belum tentu juga hasil murni dari siswa. Bisa jadi karena campur tangan atau bahkan hasil kinerja dari orang lain. Saya kurang srek dengan hal tersebut. Maka dari itu, saya tidak pernah memasukkan nilai PR pada buku daftar nilai siswa. PR pun biasanya saya seminggu sekali itupun kalau materinya memang benar-benar butuh pendalaman dan waktunya di sekolah kurang untuk membahasnya. Kalau memang ternyata di sekolah sudah cukup, ya buat apa PR. Itu bagi saya.

Nah, kalau Anda sendiri, sebagai orang tua, kakak, saudara dari mereka yang masih sekolah, dalam hal ini siswa masih duduk di kelas rendah (kelas 3-kelas saya), perlukah PR untuk siswa? Mohon masukkannya. Terima kasih^^