Senin, 24 Maret 2014

ABAH SANGAT MENYAYANGIMU...

Kisah Nyata
*Saya copas dari status facebook Mbak Icha, di SINI.
Seorang pemuda duduk di hadapan laptopnya. Login facebook. Pertama kali yang dia cek adalah inbox.

Hari ini terlihat sesuatu yang tidak dia perdulikan selama ini. Bagian ‘OTHER’ di inboxnya. Ada dua pesan. Pesan pertama, spam. Pesan kedua, dia membukanya. Ternyata pesan 3 bulan yang lalu.

Dia baca isinya:
“Salam. Ini kali pertama abah mencoba menggunakan facebook. Abah coba tambah kamu sebagai teman tapi tidak bisa. Abah juga tidak terlalu paham benda ini.

Abah coba kirim pesan ini kepada kamu. Maaf, abah tidak pandai mengetik. Ini pun kawan abah yang mengajarkan.

Ingatkah saat pertama kali kamu punya HP? Saat itu kamu kelas 4 MI. Abah kasian semua anak-anak sekarang punya HP. Jadi, abah hadiahkan pada kamu satu. Dengan harapan kamu akan telpon abah kalau kamu mau cerita tentang masalah asrama, sekolah atau apa-apa saja. Tapi, kamu hanya telpon abah seminggu sekali. Tanya tentang uang makan dan jajan. Abah berpikir juga, isi ulang pulsa 100 ribu tapi telpon abah tidak sampai 5 menit. Sudah habiskah pulsanya?

Saat kamu kecil dulu, abah masih ingat pertama kali kamu bisa ngomong. Kamu asyik panggil, ‘Abah, abah, abah’. Abah bahagia sekali anak lelaki abah panggil abah. Panggil Umi.

Abah senang bisa berbicara dengan kamu walaupun kamu mungkin tidak ingat dan tidak paham apa yang abah ucapkan di umur kamu 4 atau 5 tahun.

Tapi, percayalah. Abah dan Umi bicara dengan kamu banyak sekali. Kamulah penghibur kami di saat kami berduka. Walaupun hanya dengan gelak tawamu.

Saat kamu masuk MI. Abah ingat kamu selalu bercerita dengan abah ketika membonceng motor dengan abah setiap pergi dan pulang sekolah. Banyak yang kamu ceritakan pada abah. Tentang ibu guru, sekolah, teman-teman. Abah jadi makin bersemangat bekerja keras mencari uang untuk biaya kamu ke sekolah. Sebab kamu lucu sekali. Menyenangkan. Ayah mana yang tidak gembira kalau anaknya suka ke sekolah untuk belajar.

Ketika kamu masuk MTs. Kamu mulai punya kawan-kawan baru. Kamu pulang dari sekolah, kamu langsung masuk kamar. Kamu keluar pas waktu makan saja. Kamu keluar rumah dengan kawan-kawanmu. Kamu mulai jarang bercerita dengan abah.

Kamu pandai. Akhirnya masuk asrama di Aliyah. Di asrama, jarak antara kita makin jauh. Kamu mencari kami saat perlu. Kamu biarkan kami saat tidak perlu.

Abah tahu, naluri remaja. Abah pun pernah muda. Akhirnya, abah tahu kalau ternyata kamu menyukai seorang gadis. Ketika masuk kuliah, sikap kamu sama saja dengan ketika di Aliyah. Jarang hubungi kami. Sewaktu pulang liburan, kamu sibuk dengan HP kamu, dengan laptop kamu, dengan internet kamu, dengan dunia kamu.

Abah bertanya-tanya sendiri dalam hati. Adakah kawan istimewa itu lebih penting dari Abah dan Umi? Adakah Abah dan Umi cuma diperlukan saat kamu mau nikah saja sebagai pemberi restu? Adakah kami ibarat tabungan kamu saja?

Akhirnya, kamu jarang berbicara dengan abah lagi. Kalau pun bicara, dengan jari-jemari. Berjumpa tapi tak berkata-kata. Berbicara tapi seperti tak bersuara. Bertegur cuma waktu hari raya. Tanya sepatah kata, dijawab sepatah kata. Ditegur, kamu buang muka. Dimarahi, kamu tidak pulang liburan lagi.

Malam ini, abah sebenarnya rindu sekali pada kamu. Bukan mau marah atau mengungkit-ungkit masa lalu. Cuma abah sudah terlalu tua. Abah sudah di penghujung usia 60 an. Kekuatan abah tidak sekuat dulu lagi.

Abah tidak minta banyak… Kadang-kadang, abah cuma mau kamu berada di sisi abah. Berbicara tentang hidup kamu. Meluapkan apa saja yang terpendam dalam hati kamu. Menangis pada abah. Mengadu pada abah. Bercerita pada abah seperti saat kamu keci dulu. Apapun.

Maafkan abah atas curhat abah ini. Jagalah solat. Jagalah hati. Jagalah iman. Mungkin kamu tidak punya waktu berbicara dengan abah. Namun, jangan sampai kamu tidak punya waktu berbicara dengan Allah. 

Jangan letakkan cinta di hati pada seseorang melebihi cinta kepada Allah.

Mungkin kamu mengabaikan abah. Namun jangan kamu mengabaikan Allah.

Maafkan abah atas segalanya.”

Pemuda meneteskan air mata. Dalam hati perih tidak terkira. Bagaimana tidak, tulisan ayahandanya itu dibaca setelah 3 bulan beliau pergi untuk selama-lamanya. Di saat tidak mungkin lagi mampu memeluk tubuh tua ayahnya.

#Hargai orang tua kita selama dia masih hidup...kadang kala kita terlalu sibuk dengan kerja. Sampaikah kita lupa akan dia yang membesarkan kita... memberi pendidikan untuk kita bekerja.. mengajar kita berjalan untuk bekerja..
Jangan sampai anak kita nanti melupakan kita seperti kita melupakan kedua orangtua kita.

1 komentar: