Rabu, 29 Oktober 2014

Jengkol

Pas semua anak sudah mengenakan tas masing-masing, tiba-tiba ada yang teriak.

“Bu Rizki kentuuuttt.” kompak anak-anak sekelompoknya menutup hidung.

“Uh...baunya, Bu. Nggak enak!!”

“Uh...sampai sini, Bu baunya!!” teriak anak yang duduk di sudut lain. Benar saja kipas angin di ruang kelas kami berputar sangat kencang. Bisa dibayangkan dong polusi udara yang diciptakan Rizki bergerak secepat kilat memenuhi ruangan. Sampai ke arah saya. Cadar dadakan pun terpasang.

Uhhh, hadiah yang ngangenin nih. Hahaha.

Berlarilah saya menuju pintu, membukanya leba-lebar. “Riski, tadi makan apa sayang? Kentutnya kok muantaabbb sekali.”

“Hehehhe, jengkol, Bu!!” jawabnya sangat percaya diri.

“Laahh???” saya dan siswa lainnya menjawab kompak. Kemudian hanya tawa yang terdengar.

“Sudah...sudah. Rizki, kemarin kita sudah belajar tentang norma ya? (Rizki manggut-manggut). Kalau kentut sebaiknya bagaimana, Rizki?”

“Ijin keluar dulu, Bu. Tapi kebelet, Buuuu.”

Anak-anak malah tertawa.

“Iya, iya, besok lagi kalau kentut ijin keluar dulu ya sayang, kasihan teman-teman yang lainnya.”

“Hehehehe...” Rizki garuk-garuk kepala. Anak yang lain malah tertawa, Rizki tak kalah ikut tertawa.

Senin, 27 Oktober 2014

Bentuk Lain Perhatian Orang Tua Siswa

Bentuk perhatian orang tua kepada anaknya tidak harus selalu setuju dengan apa yang saya lakukan, katakan, bahkan saya pikirkan. Jelas saja, selain saya mendapat dukungan dari orang tua siswa seperti yang saya ceritakan di Akibat Adanya Raport Bulanan, pun saya juga pernah lho di”LABRAK” oleh orang tua siswa.

Labrak di sini bukan berarti saya dimarah-marahi, dimaki, bahkan diancam untuk diminta tidak lagi mengajar anaknya. Akan tetapi adalah sebuah bentuk ketidak setujuan bahkan terkesan menyalahkan saya sebagai guru baru yang belum tahu bagaimana anaknya. Hal itu terlihat dari kata beliau, “Bu Guru yang dulu juga tidak pernah berkata kalau anak saya sering mengganggu temannya, mungkin Anda yang belum mengenal anak saya!” 

Saya bersama anak-anak
Saya menjawab sekenanya, “Mohon maaf, Bu. Saya hanya menuliskan apa yang saya temukan di kelas.”

“Tapi anak saya kalau di rumah juga tidak pernah aneh-aneh.” Ibu itu masih ngotot.

“Iya, Bu. Saya mohon maaf apabila ibu tidak berkenan.”

Selepas kepergiannya, saya tetap teguh dengan temuan saya. Hanya saja saya tidak perlu memaksakan pendapat saya. Inilah tugas seorang guru, tidak hanya bertugas memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran akan tetapi berperan sebagai seorang psikolog pula, apa yang salah? Segera menyelidikinya.

Inilah yang tidak saya dapatkan selama hampir 4 tahun kuliah. Dunia kerja itu amazing sekali. Satu masalah kelar masalah lain datang. Pun seorang guru meskipun banyak masalah harus tetap prima di depan anak-anak. Kalau secara teori namanya profesional gitu. Hehehe.

Tidak semua masalah harus diselesaikan saat itu juga. Bisa-bisa gila deh. Saya nikmati saja perjalan hidup saya bersama anak-anak. Terselip doa semoga diberikan jalan keluar atas masalah yang sedang saya hadapi.

Eh eh eh, alhamdulillah. Tak menunggu lama, Allah memberikan jawaban atas masalah di atas. Caranya tak terduga pula.

Begini ceritanya, saat itu ada seorang anak sedang mengintip kelas kami. Dia anak kelas 2. Saya bertanya padanya, “Cari siapa, Dik?” Kemudian salah satu siswa saya ada yang menjawab, “Itu adiknya A, Bu.”

“Oh, ini adik kamu A. Makanya kok mirip sekali. Saudara kamu ada berapa A?” kata saya tanpa menaruh curiga apapun. Karena malu anak yang di pintu tadi kemudian berlari meninggalkan kelas saya.

“Dua, Bu.” Jawab A senyum-senyum bahagia.

“Itu to Bu, A kalau di rumah sering dimarahin ibunya. Kan yang disayang adiknya tadi, Bu.” Ada siswa yang nyeletuk seperti itu. Tetangga rumahnya. Wah, seru nih, pikir saya.

“Wah, A di rumah nakal ya? Kok dimarahin ibu terus?”

A malah diam. Saya tak meneruskannya. Ketika istirahat, kebetulan A sering sekali berdiri di depan meja saya, memperhatikan apa yang saya lalukan. Dia juga sering mewawancarai saya, bahkan menggoda saya, “Bu Ika kok cantik sekali sih?” hehe dengan guyonan khas anak-anak, tapi saya tetap tersipu malu. “Terima kasih A.”

Dengan suasana santai, saya menggunakan kesempatan tersebut untuk mewawancarai A juga. Tentunya tentang marah-dimarahin ibunya tadi.

“A sering bantu ibu tidak kalau di rumah?”
“Bantu apa, Bu?”
“Ya, bantu nyuci piring, membersihkan tempat tidur, mungkin nyapu.”
“Ya, pernah, Bu.”
“Kalau pernah berarti jarang bantu ibu ya?? Hayooo...”
“Lha ibuku galak kok, Bu. Pasti adikku terus yang dibela. Aku dimarahin terus kok, Bu.”

Sampai sini saya sedikit ada gambaran. Inikah bentuk pelampiasan kurang perhatian anak di rumah sehingga di sekolah dengan caranya sendiri -mengganggu temannya- agar bisa saya perhatikan? Saya tak berhenti di sini. Tak kurang akal dong ya. Bertanyalah saya pada guru lainnya. Karena di desa, inilah keuntungannya, hampir semua guru kenal dengan orang tua siswa, kan tetanggaan. Dan ternyata, dugaan saya itu benar. Selama di rumah ibunya memang berat sebelah dalam hal memberikan perhatian kepada anak-anaknya.

Baiklah. Masalah ini saya anggap selesai. Saya tak harus ngotot menunjukkan kalau pendapat saya lah yang paling benar. Pelajaran baru nih untuk saya. Tugas saya selanjutnya adalah meluruskan A agar ia tak sering mengganggu teman lainnya. Karena saya memiliki catatan penting, A ini sebenarnya memiliki bakat bernyanyi yang OK, dia pun suka sekali dipuji, kalau dipuji dia pasti langsung minta ijin kepada saya untuk maju dan bernyanyi di depan kelas. Saya pun sesekali mempersilahkan, dan raut wajahnya akan berubah sangat lucu saat mendapat tepuk tangan dari temannya karena suaranya yang bagus.

Oh A.... semoga suatu hari cita-citamu dapat tercapai. Penyanyi profesional.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Akibat Adanya Raport Bulanan

Raport bulanan adalah salah satu strategi yang saya gunakan untuk menarik perhatian orang tua terhadap prestasi siswa di sekolah. Bukan hanya perkara prestasi secara akademik pun non akademik. Jadi, setiap satu bulan sekali saya akan membagikan lembaran kertas yang berisi nilai-nilai siswa satu kelas lengkap dengan urutannya. Tak lupa catatan penting berkaitan dengan prestasi non akademik untuk masing-masing siswa.

Raport Bulanan

***

Setelah saya posting foto di instagram, ada teman yang BBM saya.
“Bu, kok ada raport bulanan segala?”
“Iya, ortu siswa di tempatku agak kurang perhatian nih. Mau nyoba dulu bagaimana respon mereka.”
“Wah, kalau di tempatku orang tuanya malah hiperaktif, Bu. Apa-apa ditanyain. Saya pakai buku apa, ini dan itu. Bingung malah.”

Itulah isi BBM dari teman yang kebetulan ngajar di sekolah swasta yang terletak di kota pula.

***

Sebenarnya perhatian orang tua itu tidak tergantung sekolah itu swasta atau negeri, di kota atau di desa. Karena sebenarnya di desa juga ada orang tua yang sangat perhatian kepada anak-anaknya (dalam hal ini proses belajar di sekolahnya seperti apa). Apa mungkin karena di desa itu daya saing prestasinya tidak sekuat di kota? Kalau di kota (sebut saja di tingkat kecamatan), banyak siswa yang les ini dan itu di luar sekolah, beda kalau di daerah pinggiran kecamatan. Yang penting anak sekolah. Bahkan ada orang tua yang berangkat kerja pukul 05.00 pulang saat matahari terbenam. Jadi, tidak tahu apakah anaknya sekolah atau tidak.

Mensiasati keadaan tersebut, mencuatlah ide untuk membuat raport bulanan untuk siswa. Akhirnya setelah satu bulan tepat saya mengajar, raport bulanan pun saya bagikan tepat di hari Sabtu.

“Bu, masak raport hanya selembar, Bu.” tanya salah satu siswa yang sudah berdiri di tempat saya.
“Iya ini raport khusus dari bu guru. Kalau raport yang buku itu kan dari sekolah.”
Mereka manggut-manggut.
“Raportnya nanti diberikan kepada bapak atau ibu kalian, kemudian di tanda tangani. Besok Senin dikumpulkan lagi pada Bu Ika.”
“Iyaaaaa, Bu.” jawab mereka serentak.

Setelah beberapa hari pengumpulan raport bulanan, tepatnya saat kelas sudah sepi dan maahari sangat terik di luar sana, saya menemukan ada tulisan tangan di bawah CATATAN dari saya. Ternyata, saya mendapat surat balasan dari salah satu orang tua siswa. Senyum-senyum. YES! Saya mendapat dukungan dari orang tua siswa untuk melanjutkan program ini.

Respon Orang Tua Siswa

Tapi apakah semua orang tua siswa seperti itu? Saya akan ceritakan di postingan selanjutnya ya.

Hobiku

Motret itu tidak harus menggunakan kamera yang harganya mihil bingiiits kan? Bersenjatakan kamera HP Samsung Galaxy S3 Mini (gratisan lomba nulis) saya lampiaskan hobi tersebut.

Hobi itu kalau nggak ngelakuin satu hari saja pasti ada yang kurang. Betul? Hampir setiap hari saya motret. Apapun. Bunga, langit, tanah, bahkan anak-anak yang mandi di kali pun saya potret.

Saya tak pernah bermimpi jadi fotografer terkenal. Menghasilkan karya yang bagus bahkan melegenda. Yang penting saya motret. Membingkai apa yang saya lihat dalam bentuk gambar. Saya pun tak pernah perduli, di galeri foto-foto saya itu ada gambar diri saya atau tidak.

Malam Pertama Setelah Wisuda

Malam pertama setelah diwisuda itu tak seindah malam pertama pengantin baru lho (*calonpengantin). Menggelisahkan, tepatnya galau tingkat dewa. Itu bagi saya (tempat curhat-hahaha kelihatan nggak ikhlas *lempartoga), terutama lagi bagi beberapa teman saya yang menyanyikan lagu, “Mau di bawa ke mana ijazah saya??” secara bersamaan.

Hai Mirna, belum ada sebulan lho saya diwisuda :)

Malam itu, tepat di malam pertama setelah wisuda, 8 Oktober 2014. Hape saya bergetar. Ada SMS masuk.

“Chaa...”
“Dalem...ada apa sayang?” saya menjawab SMS dari teman saya, sambil membuat media pembelajaran untuk anak-anak, esok hari.
“Aku galau.”
“Loh? Kenapa? Baru diwisuda kok malah galau? Gembira dong. Bedaknya aja belum luntur kok.”
“Apaan???? Kamu enak sudah dapat kerja. Nah, aku?”
“Alhamdulillah. Lha kamu gimana? Sudah nyoba di mana?”
“Belum sama sekali.”
“Ya, malam ini buat surat lamaran. Besok nyoba aja disebar. Jangan nunggu umpan.”
“Aku bingung mau melamar ke mana, Cha?”
Duh duh duh. Diem.

***

Ini yang sering salah kaprah. Setelah ujian skripsi terlewati dengan lantang mengucapkan good bye pada dosen penguji dan mengibarkan bendera bertuliskan welcome prosesi wisuda. Plong katanya-setuju nih. Berbagai persiapan untuk menyambut hari wisuda justru melebihi persiapan saat ujian. Tetek bengeknya jangan sampai ketinggalan. Pokoknya harus OK saat wisuda nanti. Tak jarang orang tua ikut-ikutan rempong. Anak yang wisuda orang tuanya yang heboh. Mengalaminya? Jangan sampai ya?

Eh, yang penting malah terlewatkan.
“Ah, nanti sajalah cari kerjaan setelah terima ijazah.”
“Ah, nikmati saja waktu ini (sebelum wisuda), kan kemarin baru selesai ujian.”
“Ah, cari informasinya besok saja lah.”
“Tenang, teman-teman juga pada santai.”

***

Satu hal yang perlu diingat, menyambut wisuda itu tidak harus berlebihan yaa. Sewajarnya lah. Selanjutnya itu lho? Mau ke mana? Kerja di mana? Usaha atau jadi karyawan? Atau mau jadi salah satu kandidat sarjana menganggur? Nambah-nambahin angka saja! Galau. Belum lagi dengar tetangga pada bisik-bisik, “Sarjana kok nganggur?”. Tambah galau bingiitts?

***
Setelah lama menganggur.

“Ah, kamu kan enak sudah dapat kerja. Coba kalau kamu ada di posisiku.”

Banyak alasan! Terlalu santai! Kesimpulan yang sedikit jahat (mungkin) bagi beberapa orang yang mengalami hal yang sama seperti cerita di atas. Tapi bukankah memang itu salah satu penyebab angka sarjana menganggur di Indonesia semakin bertambah dari hari ke hari? Tak mau menjemput bola, maunya disuapin. Bangunlah anak muda!

Kita tak akan galau di malam pertama setelah wisuda apabila kita sudah memiliki rencana yang matang mau ke mana setelah ini. Bagus lagi apabila kita sudah mulai bergerak sebelum diwisuda. Jadi, setelah diwisuda kita tidak akan ling-lung mau menawarkan diri kita ke mana. 

Hey, ingatlah! Rayakan wisuda dengan sewajarnya, siapkan masa depan dengan mantap. Jangan bangga jadi beban orang tua. Jangan buat orang tua kita menutup muka saat bertemu dengan tetangga. Biarkan orang tua kita bangga saat melihat kita bisa berdikari.

Malam pertama setelah wisuda? No galau!

Rabu, 01 Oktober 2014

PR, lagi-lagi PR

Anak-anak itu tidak bisa ditebak ya? Semenit tertawa, semenit kemudian nangis, sepuluh menit kemudian ada yang ngambek. Olala. Kepala saya bisa-bisa pecah kalau tiap hari seperti ini. Eits, bukankah ini sudah jadi konsekuensi saya sebagai guru ya?

Anak-anak kelas 3 SD
***

Pagi itu, setelah kami mengingat materi pembelajaran sebelumnya dan diikuti menyanyikan lagu Sayang Semuanya anak-anak terlihat sangat antusias mengikuti pembelajaran. Lalu saya pun mengingatkan anak-anak tentang PR Matematika.

“Yuk, coba dikeluakan dulu PR Matematikanya.”

Anak-anak pun mengeluarkan bukunya dari dalam tas. “Ada yang tidak mengerjakan?” Tersebutlah 3 (yang ketahuan) anak tidak mengerjakan PR.

“Ayo yang belum mengerjakan PR maju ke depan!” kata saya sambil berkeliling menge-cek satu per satu di meja siswa. Setelah berkeliling, 3 anak yang tidak mengerjakan PR sudah berada di depan kelas untuk mengerjakan PR-nya. Tunggu! Tadinya kursi penuh, kenapa sekarang ada yang kosong selain anak yang maju ke depan.

Ternyata, setelah saya tanyakan ada si ganteng yang pulang ke rumah mengambil buku PR-nya yang ketinggalan tanpa izin dengan saya. Duh Gusti, segitu takutnya kah dia kepada saya sampai-sampai pulang ke rumah (maafkan-untung saja ini di desa jadi letak rumahnya tak terlalu jauh dari sekolah)? Padahal ada anak yang tidak membawa PR kemudian maju ke depan mengerjakan. Kenapa ini anak malah pulang? Kalau di jalan ada apa-apa bagaimana? Saya kecolongan.

Mau tidak mau saya pun melanjutkan pelajaran dengan mencocokkan PR yang sudah mereka kerjakan. Sampai di nomor 2, anak yang pulang tadi sudah sampai di kelas lagi sambil menunjukkan bukunya. Saking takutnya saya kalau terjadi apa-apa ke anak tersebut, nada bicaa saya agak tinggi, “Mas, tadi kan bu guru tidak menyuruh kamu pulang. Itu Mas A, B, dan C mengerjakan di depan. Kalau di jalan ada apa-apa bagaimana?”

Tanpa ba-bi-bu, dia menangis. Ya Allah, saya semakin bersalah. Bermaksud mendisiplinkan mereka tapi mereka tidak siap. Tak ada salahnya anak-anak lupa, tapi kalau terus-terusan apakah harus dibiarkan? Saya pun mendatangi anak tersebut, meminta maaf padanya dan memohon kepadanya agar izin apabila hendak keluar kelas.

Sudahkah sampai di sini? Tidak. Tiba-tiba salah satu anak yang mengerjakan PR di depan kelas ada yang menangis karena diejek temannya. Duh, duh, duh. Saya merasa semakin gagal mengatasi pembelajaran hari itu. Saya pun meminta mereka (yang tidak mengerjakan PR) untuk kembali di tempat duduknya.

“Anak-anak, apakah kalian tidak senang kalau diberi PR?”
Beberapa dari mereka diam. Ada selentingan ucapan “senanggg”.
“Kalau ada PR itu dikerjakan di sekolah atau di rumah?”
“Rumaaah..” jawab mereka serempak.
“Terus, kalau bu guru mau keluar kelas, apakah bu guru pernah tidak izin dengan kalian? (mereka geleng-geleng) Kalau bu guru tidak berangkat ngajar pernahkah bu guru tidak memberi kabar kepada kalian?”
Mereka geleng-geleng.

Semenjak kejadian itu saya sempat galau mau memberikan PR atau tidak ke mereka. Saya pernah ceritakan di Perlukah PR untuk Siswa. Di hari berikutnya, saya pun memutuskan untuk tetap memberikan PR, paling tidak 3 x seminggu. Akan tetapi tiap kali ada PR saya pun tidak lagi mengecek ke meja mereka satu per satu. Tapi apa yang terjadi?

Mereka justru menyepelekan saya. Mereka semakin tidak disiplin, tidak bertanggung jawab. Saya cukup geram. Sampai-sampai pernah suatu hari saat ada PR hanya ada ¼ dari jumlah siswa yang mengerjakan PR. Entah inisiatif dari mana lagi ini, saya meminta siswa yang tidak mengerjakan PR untuk keluar kelas (Duh, kejamnya). Mereka tidak boleh masuk kelas kalau PR-nya belum selesai dikerjakan. Jahatkah saya? Berhasilkah cara ini?

Tidak! Tetap saja ada anak yang tidak mengerjakan PR. Lebih dari 5 jumlahnya. Sampai-sampai saya menggunakan ‘ancaman’.

“Kalau sampai ada anak yang tidak mengerjakan PR sebanyak 3x, ibu akan mengirim surat kepada orang tua kalian.”

Ya Allah, jahat sekali saya ya? Tapi ini salah satu cara yang bisa saya lakukan agar mereka punya disiplin, tanggung jawab, dan mau belajar. Tak banyak PR yang saya berikan, cukup 5 kadang juga 4, 3. Itu semua juga sudah dipelajari di sekolah. PR pun tidak setiap hari. Sampai-sampai saya juga mengingatkan anak-anak, “Kertas yang ada PR-nya itu dilipat agar tidak lupa, Anak-anak!”

Sudah hampir dua minggu berlalu semenjak ‘ancaman’ itu saya layangkan. Alhamdulillah, tanggung jawab anak-anak semakin meningkat. Tidak ada lagi anak-anak yang tidak mengerjakan PR. Sayangnya, sampai sekarang hati saya masih bertanya-tanya, salahkah saya mengancam anak-anak seperti ini? Adakah cara lain? Bagaimana tanggapan Anda?