Rabu, 01 Oktober 2014

PR, lagi-lagi PR

Anak-anak itu tidak bisa ditebak ya? Semenit tertawa, semenit kemudian nangis, sepuluh menit kemudian ada yang ngambek. Olala. Kepala saya bisa-bisa pecah kalau tiap hari seperti ini. Eits, bukankah ini sudah jadi konsekuensi saya sebagai guru ya?

Anak-anak kelas 3 SD
***

Pagi itu, setelah kami mengingat materi pembelajaran sebelumnya dan diikuti menyanyikan lagu Sayang Semuanya anak-anak terlihat sangat antusias mengikuti pembelajaran. Lalu saya pun mengingatkan anak-anak tentang PR Matematika.

“Yuk, coba dikeluakan dulu PR Matematikanya.”

Anak-anak pun mengeluarkan bukunya dari dalam tas. “Ada yang tidak mengerjakan?” Tersebutlah 3 (yang ketahuan) anak tidak mengerjakan PR.

“Ayo yang belum mengerjakan PR maju ke depan!” kata saya sambil berkeliling menge-cek satu per satu di meja siswa. Setelah berkeliling, 3 anak yang tidak mengerjakan PR sudah berada di depan kelas untuk mengerjakan PR-nya. Tunggu! Tadinya kursi penuh, kenapa sekarang ada yang kosong selain anak yang maju ke depan.

Ternyata, setelah saya tanyakan ada si ganteng yang pulang ke rumah mengambil buku PR-nya yang ketinggalan tanpa izin dengan saya. Duh Gusti, segitu takutnya kah dia kepada saya sampai-sampai pulang ke rumah (maafkan-untung saja ini di desa jadi letak rumahnya tak terlalu jauh dari sekolah)? Padahal ada anak yang tidak membawa PR kemudian maju ke depan mengerjakan. Kenapa ini anak malah pulang? Kalau di jalan ada apa-apa bagaimana? Saya kecolongan.

Mau tidak mau saya pun melanjutkan pelajaran dengan mencocokkan PR yang sudah mereka kerjakan. Sampai di nomor 2, anak yang pulang tadi sudah sampai di kelas lagi sambil menunjukkan bukunya. Saking takutnya saya kalau terjadi apa-apa ke anak tersebut, nada bicaa saya agak tinggi, “Mas, tadi kan bu guru tidak menyuruh kamu pulang. Itu Mas A, B, dan C mengerjakan di depan. Kalau di jalan ada apa-apa bagaimana?”

Tanpa ba-bi-bu, dia menangis. Ya Allah, saya semakin bersalah. Bermaksud mendisiplinkan mereka tapi mereka tidak siap. Tak ada salahnya anak-anak lupa, tapi kalau terus-terusan apakah harus dibiarkan? Saya pun mendatangi anak tersebut, meminta maaf padanya dan memohon kepadanya agar izin apabila hendak keluar kelas.

Sudahkah sampai di sini? Tidak. Tiba-tiba salah satu anak yang mengerjakan PR di depan kelas ada yang menangis karena diejek temannya. Duh, duh, duh. Saya merasa semakin gagal mengatasi pembelajaran hari itu. Saya pun meminta mereka (yang tidak mengerjakan PR) untuk kembali di tempat duduknya.

“Anak-anak, apakah kalian tidak senang kalau diberi PR?”
Beberapa dari mereka diam. Ada selentingan ucapan “senanggg”.
“Kalau ada PR itu dikerjakan di sekolah atau di rumah?”
“Rumaaah..” jawab mereka serempak.
“Terus, kalau bu guru mau keluar kelas, apakah bu guru pernah tidak izin dengan kalian? (mereka geleng-geleng) Kalau bu guru tidak berangkat ngajar pernahkah bu guru tidak memberi kabar kepada kalian?”
Mereka geleng-geleng.

Semenjak kejadian itu saya sempat galau mau memberikan PR atau tidak ke mereka. Saya pernah ceritakan di Perlukah PR untuk Siswa. Di hari berikutnya, saya pun memutuskan untuk tetap memberikan PR, paling tidak 3 x seminggu. Akan tetapi tiap kali ada PR saya pun tidak lagi mengecek ke meja mereka satu per satu. Tapi apa yang terjadi?

Mereka justru menyepelekan saya. Mereka semakin tidak disiplin, tidak bertanggung jawab. Saya cukup geram. Sampai-sampai pernah suatu hari saat ada PR hanya ada ¼ dari jumlah siswa yang mengerjakan PR. Entah inisiatif dari mana lagi ini, saya meminta siswa yang tidak mengerjakan PR untuk keluar kelas (Duh, kejamnya). Mereka tidak boleh masuk kelas kalau PR-nya belum selesai dikerjakan. Jahatkah saya? Berhasilkah cara ini?

Tidak! Tetap saja ada anak yang tidak mengerjakan PR. Lebih dari 5 jumlahnya. Sampai-sampai saya menggunakan ‘ancaman’.

“Kalau sampai ada anak yang tidak mengerjakan PR sebanyak 3x, ibu akan mengirim surat kepada orang tua kalian.”

Ya Allah, jahat sekali saya ya? Tapi ini salah satu cara yang bisa saya lakukan agar mereka punya disiplin, tanggung jawab, dan mau belajar. Tak banyak PR yang saya berikan, cukup 5 kadang juga 4, 3. Itu semua juga sudah dipelajari di sekolah. PR pun tidak setiap hari. Sampai-sampai saya juga mengingatkan anak-anak, “Kertas yang ada PR-nya itu dilipat agar tidak lupa, Anak-anak!”

Sudah hampir dua minggu berlalu semenjak ‘ancaman’ itu saya layangkan. Alhamdulillah, tanggung jawab anak-anak semakin meningkat. Tidak ada lagi anak-anak yang tidak mengerjakan PR. Sayangnya, sampai sekarang hati saya masih bertanya-tanya, salahkah saya mengancam anak-anak seperti ini? Adakah cara lain? Bagaimana tanggapan Anda?

28 komentar:

  1. Hihi lucu bacanya. Seru ya jadi guru Mak.
    Kalau dengan cara seperti itu ternyata berhasil, ya monggo dilanjutkan. Tapi tetap jangan sampe kelewat batas hingga membuat anak-anak tak nyaman hehe *komentar sok tahu dari seorang yang bukan guru -_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mak, nyaman itu tetap nomor satu. Kalau mereka dah nyaman, senang, pelajaran mudah masuk.

      Hapus
  2. Hahaha.... seru ya mbak ngajar anak2 kaya naik roller coaster. Eh jangankan anak2..aku ngajar mahasiswa aja selalu bermasalah dgn tugas n peer ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, iya mak. roller coaster yang WOW banget. Harus banyak belajar lagi.

      Hapus
  3. Rasa sayang kan ditunjukan tidak hanya dengan memuji, dengan memarahi yang belum bikin pr secara todak langsung ibu menunjukan kalau ibu sayang sama mereka. Mungkin dalam sehari hari coba menjelaskan kenapa mereka harus disiplin dengan cerita2..
    semoga berhasil mendidik calon penerus bangsa.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk dukungannya.
      Setiap kali selesai marah atau menegur siswa say asering memberinya contoh cerita.

      Hapus
  4. PR perlu kalau di negara kita, mba. Biar orang tua mau nemenin anaknya belajar. Bukan buat ngedidik anaknya doang sih, ngedidik orang tuanya juga kalau kata saya mah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Poin nge-didik orang tua inilah yang sering saya koar-koarkan. Habisnya di tempat saya ini perhatian orang tua sangat minim.

      Hapus
  5. Heuheuheu susah banget ya mak. Jadi guru ternyata harus punya banyak cadangan strategi. Sebagai ortu sih saya lebih senang anak2 dikasih PR supaya mau nggak mau dia mengulang pelajaran disekolah. Apalagi anakku sekolah di negeri yang siang sudah dirumah. Semoga mendapatkan cara2 terbaik mak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Catat!
      Ada dukungan dari orang tua nih kalau ternyata PR itu juga penting.
      Terima kasih untuk doanya ya Mak :)

      Hapus
  6. Emang jadi tantangan ya kalau jadi guru, ada enak dan enggaknya. Tapi kayaknya seru kalau anaknya lucu-lucu.Hehehee.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mereka itu memang unik Mbak, ada kalanya nakalnya minta ampun, tapi mereka sering banget lho jadi anak yang manis.

      Hapus
  7. senjata terakhir memang diadukan ke orangtua murid, saya sbg guru les kadang jg perlu sedikit "mengancam" biar jera.. memang namanya saja anak-anak masih labil emosi hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah kan, les saja selalu bermasalah dengan PR. Semangat pokoknya ya Mbak.

      Hapus
  8. Wah ada juga blogger yang profesinya guru, kalo saya sih guru yang profesinya blogger. Kok? Bingungkan? Saya juga bingung hehehe

    Salam kenal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal kembali. Waduh ini kok membingungkan ya^^

      Hapus
  9. ini blogger ke.2 yang blognya gw singgahi yang profesinya guru.
    kayaknya seru ya jadi guru, tiap hari pasti rame

    BalasHapus
  10. Salam Mbak Ika, wah Anak saya paling malas kalau pas
    Ngerjakan PR Mbak? tapi saya gak nyerah terus membimbingnya
    Agar Putra saya lebih semngat lagi dalam belajar :)

    BalasHapus
  11. Sebetulnya sama aja kayak orang tua, Mak. Kalau saya lagi marah sama anak rasanya kok kejam. Berasa jadi ibu tergalak di dunia. Jadi, suka sedih sendiri.

    Tapi, kalau dipikir2 lagi yang saya lakukan untuk kebaikan mereka. Ada kalanya harus lemah lembut, tapi ada kalanya harus tegas. Saya rasa memberi tahu orang tua murid kalau gak bikin PR selama berapa kali bukan sebuah ancaman. Apalagi sudah dikasih batas toleransinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sering buat ling-lung Mak kalau masalah begituan. Tapi untunglah saat ini lumayan kooperatif.

      Hapus
  12. Guru kan pengganti ortu di sekolah. Kalau dimanja terus anaknya malah jadi rusak moral mereka, jadi malas-tidak punya rasa tanggung jawab-tidak tahu benar salah. Hukuman tetap perlu kok. Dan PR itu biar mereka belajar di rumah. Krn kalo gak di rumah pelajaran gak permah diulang asyik nonton tv

    BalasHapus
  13. Jadi guru itu menyenangkan ya... orang tua saya juga guru semua... hehehe

    BalasHapus
  14. suka duka mengajar anak2 SD ya mak... seru,sedih, senang, jengkel menjadi satu :)

    BalasHapus
  15. seru banget menurutku,,,pengen jadi guru lagi jadinya,,,

    BalasHapus
  16. gak ada yang salah kok mbak.. masih dalam range yang wajar.. saya bukan guru, tapi pernah menjadi murid, dan sekarang menjadi bapak. mungkin ada baiknya sikap tegas (baca : marah-marah) bisa diselingi dengan nasehat atau cerita yang dapat memotivasi anak. sehingga, selain menjadi takut akan hukuman, anak juga bisa termotivasi karena harapan.. :) eh.. di sekolah anak saya ada semacam penghargaan bagi yang punya sikap baik, berupa piaggam, mungkin bisa juga diterapkan pemberian piagam bagi yang rajin mengerjakan PR.. :)

    BalasHapus
  17. ini sama halnya, jahat ga sih, kalo marah sama anak di rumah? apalagi anaku masih 5 taun. meskipun gak terlalu serius kalo ngajak belajar, tapi kadang si anak ini tingkahnya minta ampun.. belum nemu model belajar yg cocok :(

    BalasHapus