Kamis, 06 November 2014

Guru: Digugu lan Ditiru

Benar saja ungkapan ini, gurunya kencing berdiri, murid kencing berlari. Duh..duh...duh...Gurunya tidak pakai sepatu, muridnya juga. Gurunya membuang sampah sembarangan siswanya apalagi. Hehehe...

Anak-anak zaman sekarang itu cerdas, bahkan kelewat cerdas. Sangat kritis. Meninggalkan apa faktor penyebabnya, sebagai guru saya harus bisa mensiasatinya dong ya. Jangan sampai gelagapan di depan anak-anak.

Guru itu pekerjaan yang paling mulia tur banyak yang memburu (saat ini). Terhitung, fakultas KIP tak pernah sepi apalagi kekurangan mahasiswa. Mungkin, diantara mereka ada yang memandang jadi guru itu enak, pulang cepat, gajinya sekarung. Hahaha. Jadinya pada ‘terpaksa’ masuk FKIP. Semoga saja hanya sebagian ya, yang lainnya niat banget jadi guru.

Seandainya saja mereka tahu. Guru itu...

Kata teman, tak hanya siswa yang belajar, guru juga seperti itu. Pun saya merasa seperti itu. Semenjak jadi guru banyak hal yang berubah dalam diri saya. Paling menonjol adalah dalam hal bersikap.

Berbahasa, kini saya lebih terbiasa berbicara dengan menggunakan bahasa krama alus kalau terpaksa nggak tahu bahasa krama suatu kata saya menggunakan bahasa Indonesia. Hehehe. Ketahuan ya nilai bahasa Jawa saya dulu berapa.

Pernah, ketika saya marah kepada salah satu siswa menggunakan bahasa ngoko dengan menyebut kata “kowe” rasanya kok ya tidak pantas. Sakitnya lagi saat ada anak-anak yang berbicara dengan saya, “Bu, kowe....” sedih banget. Tapi kan saya mengajari mereka seperti itu. Memberi contoh mereka demikian. Semenjak kejadian tersebut saya lebih berhati-hati, menjaga lisan dan mengingat siapa saya, GURU.

Kuku, semenjak saya TK, selalu diajarkan oleh guru saya untuk menjaga kebersihan. Salah satunya kebersihan kuku. Setiap hari Senin pasti ada periksa kuku. Guru saya membawa senjata berupa penggaris jadi kalau ada anak yang kukunya belum dipotongi pasti kena ‘senggol’ penggaris bu guru. Karena terbiasa, sampai sekarang pun saya tak pernah memanjangkan kuku saya. Jijik kalau melihat kuku yang hitam-hitam.

Ilmu kuku tersebut saya tularkan kepada anak-anak. Tapi tanpa senjata penggaris lho ya. Nah, namanya juga manusia, kadang saya lupa periksa kuku anak-anak. Senin kemarin, saya hendak periksa kuku. Hati saya gelisah. Karena kuku saya sendiri belum saya potongi. Periksa kuku tetap saya laksanakan dengan catatan jangan sampai ada anak yang tahu kalau kuku saya agak panjang. Kegelisahan saya lewaaattt. Periksa kuku kelar. Banyak siswa yang kukunya hitam-hitam seperti macan. Hiks...harus selalu diingatkan.

Eittss, tunggu dulu. Waktu pulang sekolah tiba.
“Bu Guru curang, masak anak-anak nggak boleh kukunya panjang, tapi Bu Guru kukunya panjang.” teriak Fatta, siswa paling kritis di kelas saya.
Akhirnya, saya meminta maaf dan berjanji esok hari kuku saya akan bersih, begitu juga anak-anak. Ingat, saya ini GURU.

Satu lagi cerita konyol yang nendang saya sebagai GURU. Ini memang bukan cerita di kelas saya, akan tetapi rasanya kok ya gimana gitu.

Sekolah tempat saya mengajar ini lapangannya masih bentuk tanah, jadi kalau musim hujan bisa dibayangin lah ya? Lantai kelas yang berkeramik putih pasti akan ternoda. Alhasil sekolah membuatkan rak sepatu di depan kelas untuk meletakkan sepatu anak-anak. Itu kalau musim hujan. Kalau musim kemarau? Sepatu bisa masuk kelas kan?

“Pagi-pagi kok sudah nyeker (tak mengenakan sepatu), kenapa?” tanya saya pada segerombolan anak kelas sebelah. “Kalau kalian pernah lihat berita, banyak lho anak-anak yang tak seberuntung kalian. Sekolah nyeker karena tidak punya uang untuk membeli sepatu. Nah, kalian?”

Anak-anak nyeker
“Alaaah, Bu. Bu A kalau di kelas juga nyeker.” Langsung makjleb deh ya. No komen lagi. Benar saja, ketika jam istirahat saya melihat guru yang dimaksud riwa-riwi nyeker. Bahkan pimpinan sekolah mengenakan sandala kalau di sekolah. Tepok jidat.

Ah, saya tak bermaksud menghakimi. Tapi inilah kesinambungan antara siswa dan guru. Mereka butuh contoh, bukan perintah. Semua orang bisa nuntut, tapi sedikit yang bisa memberi contoh. Kalau sudah seperti ini, ingat saja siapa saya ini? Ya, GURU. Digugu lan ditiru.

Kalau kata ibu, "Iling tujuan, Nduk."

13 komentar:

  1. salah satu alasan saya ga mau kuliah jurusan guru, karena inget dulu saya sering bikin kesel guru :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah looo ketahuan.
      Kalau misal jadi guru pasti tahu deh gimana rasanya kalau dibuat kesel muridnya. Hahahaha.

      Hapus
  2. Anak belajar dari apa yang dia lihat, dia dengar dan dia rasakan...dari mana? dari lingkungan, terutama orang tua dan guru

    BalasHapus
  3. guru adalah role model anak setelah orangtua, jadi berpengaruh banget, jadi ingat kutipan Malala di pidatonya, satu anak satu buku satu guru akan mengubah dunia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga kami bisa menjadi guru yang dapat mengubah dunia lewat anak-anak.

      Hapus
  4. Bener bgt guru memang untuk digugu dan ditiru, kalau gurunya saja tidak memberikan contoh yang baik bagaimana dengan muridnya? Jadi apa yang dilakukan guru di sekolah sangat berpengaruh terhadap kebiasaan murid2 di sekolah juga. Semoga tak ada guru yang berlaku masa bodoh yang tak merasa bahwa dia adalah figur di sekolah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Besar harapan orang tua terhadap guru di sekolah.

      Hapus
  5. Children see, children do.. begitulah adanya.. mereka memang melihat sosok.. dan harus pandai-pandai karena guru adalah sosok utama di sekolah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, guru itu memang sosk utama di sekolah. Doakan kami agar selalu bisa jadi panutan untuk anak-anak.

      Hapus
  6. jadi inget waktu ngajar. memang semua perbuatan guru itu diikuti anak2..jadi guru harus terus nambah ilmu biar ga kalah sama anak2 muridnya :D

    BalasHapus
  7. Great blog! Btw salam kenal ya mba, jangan lupa mampir ke blogku www.dianaurora.blogspot.com ^_^

    BalasHapus