Senin, 29 Desember 2014

Langkanya Uang Kertas Seribuan


Alat pembayaran yang kita kenal adalah uang. Tapi pernahkah Anda memperhatikan ke-eksistensian suatu uang? Apakah semua uang akan selalu dicetak dan beredar di masyarakat?

Fenomena tidak-eksisnya lagi uang kertas seribuan saya temui saat saya belanja di pasar tradisional. Saat pergi ke pasar, tak banyak uang yang saya bawa, cukup 2 lembar uang Rp 10.000 dan selembar uang Rp 5000 untuk mengisi dompet. Jadi, Rp 25.000 ya. Rencananya saya mau masak sayur bayam dan sambal penyet ikan asap.


Untuk membuat sayur bayam, maka saya butuh seikat bayam (Rp 1500/ikat kalau 2 ikat hanya Rp 2500) dan pasangannya saya memilih jagung muda/acar/kuncung (satu plastik hanya Rp 500). Jadi, saya harus membayar Rp 2.000. Saya menyodorkan uang Rp 5000 pada penjual.

“Yang pas saja Mbak uangnya. Nggak ada uang seribuan. Dari kemarin sulit kok.” penjual sayur tadi mengembalikan uang saya.

“Ndak ada, Buk.”

Akhirnya saya menemukan dua uang logam Rp 500, saya berikan kepada penjualnya dan saya mendapat kembalian dua lembar uang Rp 2000. Berpindahlah saya ke penjual ikan asap. Lagi-lagi penjual mengeluhkan tidak adanya uang Rp 1000. Tampak isi tasnya dipenuhi dengan uang kertas Rp 2000-an. Karena habisnya hanya Rp 7000, penjual ikan tersebut memberikan tambahan ikan yang agak kecil sebagai pengganti uang kembalian Rp 1000.

Kejadian langkanya uang kertas seribuan saya temui lagi saat saya membeli jajanan pasar, seperti gethuk lindri, cetot, dan gethuk goreng.

“Mbak, kembaliannya kurang Rp 1000, pripun?”

Paringi gethuk malih, Bu (Beri gethuk lagi, Bu).”

Penasaran dengan langkanya uang kertas seribuan, saya iseng update status di facebook. Ternyata ada beberapa daerah yang juga mengalami kelangkaan uang kertas seribuan ini, sedangkan di daerah Papua masih banyak uang keras seribuan tapi tidak ada uang logam yang seribuan. Ini berbanding terbalik dengan keadaan di tempat saya. Walaupun masih jarang kemunculannya tapi sesekali kalau pas belanja saya juga dapat uang kembalian uang logam yang seribuan.


Kembali mengenani langkanya uang kertas seribuan, berdasarkan info di wikipedia.org, pada tahun 2014 ini Bank Indonesia memang tidak lagi mencetak uang kertas seribuan. Bisa jadi hal inilah yang mengakibatkan kelangkaan uang kertas seribuan. Nah, bagi kolektor uang jadul bisa nih ya dari sekarang menyimpan uang kertas seribuan untuk menambah koleksinya nanti.

Apakah Anda masih sering menemui uang kertas seribuan? 

Sabtu, 27 Desember 2014

Perempuan Gendut yang Berburuk Sangka

Tempo hari, saya pergi ke pasar dengan suami. Tujuan kami membeli gelas keramik yang saat ini sudah cukup sulit ditemukan kecuali di supermarket besar yang letaknya di kota. Akan tetapi, jurus ‘siapa tahu ada’ saya gunakan saat itu.

Berkelilinglah saya dengan suami di pasar semi modern yang letaknya 15 menit dari rumah. Setelah memarkirkan motor di penitipan motor, kami datangi satu per satu lapak penjual aksesoris dan berbagai kado. Sudah 5 lapak kami datangi dan hasilnya nihil. Saya mulai putus asa.


“Bi, ke supermarket depan situ yuk. Nggak ada nih. Capek.”
“Ya, coba nanya sekali lagi di situ.” suami menunjuk lapak di pojok pasar.

Kami pun mendekati lapak tersebut. Tampak si penjual sedang mengobrol dengan perempuan gendut yang berambut keriting ikal.

“Mbak, punya gelas yang seperti ini?” tanya saya sambil menunjukkan gelas yang sedikit pecah di salah satu sudutnya.

“Nggak ada, Mbak.” kata penjual sambil tersenyum ramah.

“Ya, kalau nyari yang sama plek ya tidak ada!” sambar perempuan gendut.

“Tidak harus sama Mbak yang penting model keramik.” jelas saya mulai gemes.

“Ganti punya orang ya, Mbak?” tanya penjual tadi.

“Iya.”

“Punya tetangga pasti?!” sambar perempuan gendut itu lagi.

“Iya.”

“Masak sama tetangga suruh ganti!! Nemen banget!!” ucapan perempuan gendut itu membuat saya geram.

Tanpa ba-bi-bu, emosi saya tersulut, “Mbaak....tetangga saya tidak minta ganti! Hanya saja kami masih memiliki perasaan ‘tidak enak’! Jadi, kami berinisiatif untuk menggantinya! Tidak lebih.”

Tanpa menunggu jawaban dari perempuan gendut tadi saya mohon pamit kepada mereka, penjual dan perempuan gendut. Suami yang tahu saya sudah mulai emosi hanya berkata, “Istighfar...” sambil menggandeng tangan saya untuk berlalu.

Gemes banget. Kok ya ada orang seperti itu.

Saya samapai mikir, inikah manusia? Diberikan akal dan pikiran akan tetapi digunakan untuk yang tidak-tidak. Atau mungkin kurang bersyukur ya? Lebih tepatnya setiap orang hendaknya memanfaatkan apa yang dimiliki untuk kebaikan.

Tidak sekali dua kali saya bertemu dengan orang seperti perempuan gendut itu. Saya penasaran, hati mereka terbuat dari apa? Atau bahkan saya juga sering berburuk sangka sehingga dipertemukan dengan mereka yang sama?

Hidup ini akan terasa hampa jika kita senang sekali berburuk sangka. Apa sih yang didapat? Saya yakin apabila hati dan pikiran ini sudah terbiasa berburuk sangka, buruk sangka akan menjadi makanan rutin setiap hari bahkan setiap detik. Semoga kita tidak termasuk orang yang hobi berburuk sangka dan selalu dihindarkan dari yang namanya 'berburuk sangka'. Aamiin.

Selasa, 23 Desember 2014

Ah, Bu Guru ZONK

"Ah, Bu guru Zonk!”
Begitulah teriak Fatta, siswa saya yang terkenal kritis di kelas.
Saya terperanjat. Diam seketika kemudian tertawa lepas yang diikuti suara tawa semua anak di kelas.
Ah, Bu guru Zonk

Kejadian tersebut terjadi saat pelajaran Bahasa Jawa tentang tokoh Werkudara. Di saat saya bercerita tentang tokoh wayang tersebut, tiba-tiba Fatta melemparkan pertanyaan.

“Bu, kalau yang di Mahabharata itu..itu yang Drupadi istrinya siapa, Bu?”
Jleb! Karena saya tidak hobi nonton Mahabharata alhasil tak tahu lah jawabannya. Apalagi saya termasuk lemah kalau harus berkutat dengan materi sejarah.

“Bu guru tidak tahu Ta, nanti Bu Ika cari dulu ya?” dan jawaban dia?
“Ah, Bu guru Zonk!”

Hahahaha. Kalau ingat kejadian hari itu saya hanya cengengesan.

Tak ada sakit hati. Yang ada adalah rasa malu. Saya seorang guru, panutan mereka, yang dianggap mereka serba bisa, pertanyaan segampang itu saya tidak bisa.

Ah, Bu guru ZONK!

Karena Fatta, kini saya sering menonton acara Mahabharata. Kali-kali kalau ada anak yang tanya lagi jadinya tidak mengecewakan mereka lagi. Akan tetapi, kejadian tersebut memberikan pelajaran penting untuk saya. Lebih baik saya mengatakan tidak tahu dan kemudian mencarikan jawabannya di lain waktu dibandingkan saya harus mengarang jawaban dan ternyata jawaban itu tidak tepat. Pembodohan masal namanya. Dan parahnya ini semua akan diingat mereka sampai nanti dewasa.

Manusia. Ingin rasanya tidak ada lagi kata-kata, “Ah, Bu guru Zonk!” Jalan satu-satunya adalah saya juga harus selalu belajar. Update selalu. Jangan sampai saya hanya meminta anak-anak untuk rajin belajar sedangkan saya hanya berleha-leha. Kapan anak-anak jadi penerus bangsa yang berkualitas? 

Good bye Bu Guru Zonk!

Kamis, 11 Desember 2014

Pensiunnya Sandal Kesayangan

Seperti kebanyakan orang lain, saya juga memiliki barang atau benda kesayangan. Tapi kesayangan bagi saya bukan berarti harus mahal harganya, dibeli saat acara penting, atau bahkan branded ya.

Seperti sandal yang ingin saya ceritakan kali ini. Sandal ini termasuk kesayangan saya. Harganya sangat murah, Rp 18.000. Saya membelinya di pasar Bitingan, Kudus, kira-kira dua tahun yang lalu. Sebenarnya dulu saya membeli dua pasang, satunya saya berikan kepada adik. Jadi, sandal kita kembaran. 

Sekitar setahun yang lalu, sandal ini hampir saja saya pensiunkan karena sudah mengelupas bagian alasnya. Eman. Akhirnya saya bawa ke tempat sol sepatu dan sandal langganan. Dengan uang Rp 7.000 akhirnya sandal ini bisa saya gunakan lagi. Yeay!

Pensiunnya Sandal Kesayangan
Bahannya karet, ringan, warnanya pastel, dan mau dipadu-padankan dengan gaya pakaian saya cocok. Itulah yang saya suka dari sandal ini. Mau digunakan saat pergi nge-lesi, pergi jalan-jalan bersama teman-teman, atau mungkin menyambangi toko buku, sandal ini terasa nyaman di kaki.

Sayangnya, Minggu lalu, saat saya hendak pergi dan memakainya, talinya yang sebelah kanan tahu-tahu putus. Padahal hari sebelumnya sandalnya masih berjuang bersama saya mengantarkan undangan.

“Bawa saja ke tempat sol. Nanti juga bisa lagi.” Usul ibu.

Ah, nggak lah, sandal saya yang satu ini memang sudah saatnya untuk pensiun dan digantikan oleh sandal yang lainnya. Sudah cukup kesetiannya selama ini.

Kalau Anda apakah memiliki barang atau benda kesayangan? 

Rabu, 10 Desember 2014

Menata Ulang Isi Almari

Menata almari? Wah, ini bukan jadi prioritas utama kegiatan bagi perempuan khususnya bagi IRT (Ibu Rumah Tangga) setiap harinya. Bahkan ini sering terlewatkan. Atau jangan-jangan tidak pernah sama sekali? Ah, tak mungkin.
Almari yang berantakan
Paling tidak satu bulan sekali saya menata ulang isi almari saya. Biasanya karena isinya hampir habis atau sudah kelewat berantakannya. Nah, dalam rangka menyambut anggota keluarga baru, kemarin saya melakukan kegiatan yang satu itu, menata ulang isi almari. Tidak mungkin lah ya nanti kalau anggota baru dalam keluarga saya datang kemudian lihat almari dan almarinya berantakan. Parahnya lagi tidak ada tempat untuk bajunya. Gubrak!

Selain menata ulang, saya juga meng-eliminasi beberapa baju yang sudah jarang sekali saya kenakan. Menuh-menuhin almari, pikir saya. Setelah meng-eliminasi beberapa baju, saya pun menatanya kembali. Saya memiliki beberapa teknik dalam menyusun baju di almari.
  1. Memisahkan baju berdasarkan kegunaannya, baju seragam, baju untuk di rumah, dan baju untuk bepergian.
  2. Memisahkan antara atasan dan bawahan.
  3. Meletakkan baju yang sering saya gunakan diurutan teratas.
  4. Memisahkan letak pakaian dalam, seperti celana dalam, bra, dan daleman kerudung.
  5. Memisahkan kerudung dan jaket.
  6. Menggantung baju gamis.

Itulah teknik yang saya gunakan selama ini. Kegiatan menata ulang isi almari memang sepele, tapi cukup menguras tenaga. Apalagi kalau harus menyetrika ulang semuanya. Lempoh. Dan saya percaya tiap orang memiliki caranya tersendiri daam menata isi almarinya. Apakah Anda memiliki teknik lain? Seberapa sering Anda menata ulang isi almari Anda? 

Selasa, 09 Desember 2014

Jatuh Cinta pada 3 AON


Dulu, seringnya saya menggunakan paketan internet dari Telkomsel yang tengah malam. Bisa internet kalau di atas pukul 00.00 sampai 06.00. Harga 7000/minggu dengan kecepatan internet yang mak wusss. Lumayan banget kan ya? Kantong mahasiswa gitu lho. Awalnya ya menikmati, lama-kelamaan capek juga jadi kelelawar. Padahal dulu sering kuliah pagi. Akan tetapi untuk menyalurkan hasrat untuk nge-blog saya jabani.

Makin ke sini, saya nemu paketan internet dari Indosat. Sedikit mahal dibandingkan dengan Telkomsel akan tetapi bisa sampai pukul 17.00 WIB. Jadi, saya tidak harus bangun tengah malam untuk bisa berselancar. Mengenai kecepatan internetnya? Mak wussss juga, tapi ya kantongnya itu yang mak wuss langsung bolong. Iya, berat diongkos, 2 gb/bulan/30ribu.

Percaya atau tidak, karena kegalauan saya masalah paketan internet, saya memasukkan “Mampu Langganan Internet” dalam list mimpi di tahun 2014 lho. Hehehe. Dan Allah mengabulkan. Pun dengan cara-Nya yang tidak sengaja.


Bulan Oktober lalu, ada teman KKN datang ke rumah.
“Wah, HP baru nih. Lihaaatt!” kami pun membuka pembicaraan tentang HP tersebut.
“Eh, Buk, di sini sinyal 3 bagus ya? Di rumahku sinyalnya hanya 1 bar.”
“Loh? Apa iya?” saya mengecek sinyal bar di HP teman saya itu, ternyata memang full.
“Kalau kayak gini BBMan ya lancar, Buuukk...hahahaha.” katanya sambil membalas BBM dari temannya.

Dari kejadian itulah saya ingin mencoba menggunakan 3. Sebenarnya dulu semasa kuliah ada teman yang menyarankan menggunakan 3 karena lebih murah dan ada gratis akses facebook dan BBM setahun. Pas untuk kantong mahasiswa. Akan tetapi, adik saya pernah cerita kalau 3 sering eror dan pending tiap kali kirim SMS. Nggak berani mencoba deh, sampai akhirnya ada cerita teman saya di atas.

Sudah hampir dua bulan ini saya menggunakan 3 AON. Memang, untuk mendapatkan kartunya saya harus rela naik motor pulang pergi 30 menit. Tidak semua konter menjualnya. Tapi, pas lah dengan apa yang saya terima. Internetnya cukup, tidak terlalu mak wusss yang penting bisa digunakan selama 24 jam. Saya tak lagi jadi kelelawar atau bahkan menunda mandi sore karena jam menunjukkan pukul 17.00.

Pada bulan pertama, saya menggunakan 3 AON yang 1 GB dengan harga 25 ribu. Akan tetapi, karena keasyikan menggunakannya, baru 2 minggu sudah habis. Saya pun membeli lagi 3 AON yang 5 GB dengan harga 60 ribu aktif 12 bulan. Cara pengaktifannya juga mudah seperti yang lainnya karena tinggal mendaftar ke 4444. Setelah selesai tinggal pakai deh.

Terima kasih 3, semoga selalu murah tapi jangan murahan. Kalau Anda pilih paketan internet apa?

Senin, 08 Desember 2014

Judes Rezeki Kabur

Semakin banyak orang yang kita temui, maka semakin banyak pula berbagai karakter seseorang yang kita tahu. Kemarin, saat mengantar undangan ke rumah teman, kebetulan karena itu kali kedua kunjungan saya dan dengan rute yang berbeda alhasil saya takut nyasar, bertanyalah saya pada orang.

Tepat di depan suatu salon.
Sumber di SINI

"Mbak ndherek tangklet (ikut tanya). Gang ini apakah yang menuju SD tiiiittttt itu ya, Mbak?" tanya saya pada orang yang duduk agak jauh dari temannya yang sedang dilayani pemilik salon-saya kira- Belum sempat menjawab, pemilik salon tersebut yang langsung nerocos bagaikan mercon yang ujungnya tidak memberikan jawaban. Saya pun pamit.
Hmmm... Mungkin ogah ditanya-tanya. Pikir saya.

"Matursuwun... nggih. Monggo."

Adik saya yang nangkring di atas motor langsung ngedumel, persis dengan perkiraan saya, "Tanya kok malah dijudesin. Tahu gitu nggak usah tanya sini."

"Sudahlah. Ayo lanjut saja, lurus tidak usah masuk gang itu. SMS Mbak Eka aja suruh nunggu di gang." Perintah saya sambil menyalakan mesin motor.

Setelah bertemu dan sampai di rumah teman, saya nyeletuk, "Tadi kan bingung gang sebelah mana, nah tanya orang yang di sana tuh, eh malah dimarahin, judes."

"Loh, tanya alamat sini? Kamu tanya di mana?"

"Itu tuh yang salon dekat tiiittt...."

"Ohhh...ya ya. Emang gitu orangnya. Aku dulu juga pernah kena judesnya. Padahal aku mau tanya ada gas nggak di situ. Eh malah dislantap, kabur deh nggak mau ke situ lagi sampai sekarang."

***

Belajar dari pengalaman. Kesan kita terhadap orang bagi saya penting. Apalagi kita hidup bermasyarakat. Tak ingin rasanya dikenal sebagai sosok yang jelek. Namun bukan berarti kita jadi manusia bertopeng. Ya, sewajarnyalah. 

Apa yang kita berikan akan kembali lagi pada kita. Kita judes kepada orang ya nanti juga ada yang gantian judes kepada kita. Bukan mendoakan. Bukankah karma itu tak perlu menunggu sampai alam kubur. Idiiihh...jadi serem. Lagian buat apa sih ya judes, takut ah kalau rezekinya kabur.

Sabtu, 06 Desember 2014

Setelah Resign

Setelah saya memberikan surat pengunduran diri (seperti saya ceritakan di Bismillah, Saya Resign!), rasanya itu seperti keluar dari penjara. I’m free! Plooong banget. Tak ada beban.

Seandainya saya belum resign, siang tadi saya masih sibuk sendiri di kamar menyiapkan baju dan materi untuk ngajar. Setelah capek menyiapkan tetek bengek pasti langsung tidur 10 menit, bangun, mandi, sholat kemudian berangkat kerja sampai matahari menghilang dari peraduannya. Sesampainya di rumah saya langsung mandi, sholat, makan, dan tidur. Tak sempat ngobrol dengan bapak atau ibu karena ngantuk seharian nguli.

Selama ini seperti itu terus sampai-sampai saya merasa ada sesuatu yang hilang dari hidup saya. Terutama ada rasa bersalah pada ibu, dulu, saya masih sering ngobrol menghabiskan hari bersama ibu, setelah saya bekerja? Boro-boro deh.

Kata orang, “Wah, enak ya kerja di sana, di sini.”
Lupakan!

Siang tadi sepulang dari sekolah, sesuatu yang saya rindukan selama ini telah kembali. Saya bisa mengantar ibu belanja, beli lauk makan siang, bantu masak meskipun seragam ngajar masih nempel di badan. Tapi saya bahagia. Terlebih lagi bisa main bersama keponakan.

Semoga langkah saya ini memang benar. Melepaskan pekerjaan yang terlalu banyak menyita waktu saya. Tak ingin rasanya saya melewatkan masa-masa bersama orang-orang terkasih. Uang bisa dicari akan tetapi kebahagiaan sangat berharga bagi saya.

I love my family  

Jumat, 05 Desember 2014

Bismillah, Saya Resign!

Saya memposting tulisan ini sesaat setelah saya selesai membuat surat pengunduran diri yang selama ini saya idam-idamkan. Ya, akhirnya saya berani mengambil langkah ini. Yang awalnya saya piya piye, akhirnya saya pun berontak. Tak kuat.

Belum ada enam bulan saya bekerja, tapi rasanya saya tak sanggup kalau harus menghabiskan masa kontrak kerja selama satu tahun di tempat kerja part time yang satu ini. Tempat kerja saya yang satu ini adalah salah satu bimbel terkenal berwarna biru tua. Sebenarnya pekerjaan ini jiwa saya, tapi orang di baliknya yang membuat saya tidak kuat kalau lama-lama bekerja di sana.

Berkali-kali saya menguatkan diri, “Ayolah, di manapun kamu bekerja kamu pasti akan menemukan orang yang sama.” Maaf, tapi saya melambaikan tangan. Sudah tak bisa lagi dikompromi.

Pernah, awal melamar di tempat tersebut saya mendapat nasihat dari guru saya, “Jangan sampai kamu diperalat mereka.” Dan ternyata, ya! Eits, ini tak berlaku di tempat lain dengan nama bimbel yang sama ya. Soalnya teman saya di tempat lain oke-oke saja adem ayem sejahtera.

Berbagai kasus yang saya alami, mulai dari keberadaan modul yang baru muncul pas tengah semester, pergantian jadwal yang dadakan-dan saya harus mau, front office yang sering miskomunikasi dan ujung-ujungnya saya harus nunggu nggak jelas, ijin sakit yang sulitnya mint ampun, sampai-sampai cuti nikah pun ditiadakan.

Dam!

Inilah hidup. Disaat orang lain memimpikan pekerjaan saya, nah saya? Muak! Benar-benar pilihan. Wang sinawang pula. Tak selamanya bisa kerja di tempat ini dan itu akan membuat orang bahagia. Tak selamanya kerja di tempat bergengsi bisa dobel WOW bahagianya. Tapi setidaknya malam ini saya sangat bahagia karena saya berani mengambil langkah untuk resign dari pekerjaan saya yang satu ini. Kuncinya satu, rezeki akan datang bagi mereka yang mau berusaha.