Selasa, 28 April 2015

#BeraniLebih Ala Bu Guru

Assalamualaikum.

#BeraniLebih Ala Bu Guru. Setiap hari bertemu dengan anak-anak, rasanya tak pernah ada kata bosan. Jengkel? Ho, kalau itu pasti ada. Eits! Tak hanya itu. Perasaan gemes, geregetan, sebal, ah...lengkap deh. Namanya juga anak-anak.

Tahukah Anda? Dari mereka saya baru tahu kalau di sekolah yang belajar tidak hanya mereka, saya juga. Bahkan saya merasa kalau saya lah yang belajar banyak dari mereka. Oleh karena itu, setiap kali hendak berangkat sekolah, saya selalu berdoa, semoga kami bahagia.

Saya bersama anak-anak
Hari, minggu, dan berbulan-bulan menjadi guru di kelas 3 SD, saya semakin menyadari bahwa tugas guru sangatlah kompleks. Tidak hanya menyiapkan RPP, media pembelajaran, melengkapi administrasi, bersosialisasi dengan guru dan masyarakat, menghadapi anak yang unik, melatih kedisiplinan anak-anak, ah masih banyak hal. Satu hal yang pasti, semenjak menjadi guru secara sadar saya #beranilebih sering berbohong kepada anak-anak.

Berbohong? Bukankah saya ini guru? Mau jadi apa anak-anak saya nanti kalau gurunya sering berbohong?

“Tidak akan pernah ada berbohong demi kebaikan.”

Suatu siang, saat saya bercerita tentang upacara adat ngaben yang ada di Bali terlihat mata mereka sangat berbinar-binar, antusias.

Salah satu bentuk antusiasme anak-anak
“Mayatnya itu akan dibungkus kain warna putih dan akan diletakkan di angkruk yang tingginya bisa melebihi pohon kelapa. Nanti apinya akan diletakkan di bawah angkruk, dan akan membakar angkruknya. Setelah terbakar.....hiii...kasihan mayatnya akan terjatuh kalau kayu penyangganya terbakar.”

“Hiiiiiiihiiii....” teriak anak-anak serempak.

Saat saya hendak melanjutkan cerita...

“Memangnya Bu Ika pernah ke Bali?” tanya Iwan, salah satu murid saya yang aktif bertanya.

“Pernah.” jawab saya.

“Pernah lihat langsung upacara adatnya, Bu?” timpal Tata.

“Belum sih....(menggantung).”

Tanpa komando, anak-anak membentuk paduan suara, “Laaahhh.......(kecewa).”

Wajah mereka tampak kecewa. Tak tertarik lagi pada saya. Sebagai guru, apakah saya sedih? Iya lah. Tapi tak cukup dengan sedih. Harus mencari solusinya.

Dari hari itu, entah berawal dari apa, saya justru #beranilebih berbohong. Demi! Agar anak-anak tertarik kepada saya, mau mendengarkan saya, mau tahu apa yang akan saya sampaikan. Terpenting bagi saya, apa yang saya sampaikan memang begitu adanya. Mereka menerima pengetahuan dengan utuh sekalipun gurunya harus berbohong.

#Beranilebih berbohong saya terulang lagi. Tapi kali ini berhasil atau gagal?

Terdengar suara pesawat di luar sana. Namanya anak-anak, ke-kepo-annya pasti muncul apabila menemukan sesuatu yang unik baginya.

“Bu, ada pesawat.” kata Tegar dengan polosnya.

“Naik pesawat itu bagaimana rasanya, Bu?” tanya Tata, si kreatif.

“Naik pesawat? Ehhmm...(saya mikir bagaimana menjelaskannya). Siapa yang pernah naik bus? (anak-anak mengacung) Nah, naik pesawat itu hampir sama dengan naik bus. Tapi tahukah, Kalian? (diam sejenak, biar anak-anak penasaran) Di langit itu kan ada awan, nah pesawat itu pasti sekali dua kali akan melewati awan. Tahu tidak apa yang akan kamu rasakan kalau pesawatnya melewati awan? (mereka diam semua, memperhatikan saya) Gludak-gludak-gludak, pesawatnya itu seperti bus yang melewati lubang di jalanan.”

Tahukah apa reaksi mereka? Mengangguk dengan pasti sambil berbisik-bisik kepada teman yang di sampingnya. Tahu tidak apa yang saya rasa dan pikirkan?

“Alhamdulillah, tidak ada yang tanya, Bu Guru pernah naik pesawat?” lega.

Yeay! Saya berhasil #beranilebih berbohong kepada anak-anak. Ah, bolehkah kali ini kalau berbohong itu tidak dosa demi kebaikan anak-anak?

5 komentar:

  1. memang kadang ada satu keadaan yang memaksa kiat untuk berbohong demi kebaikan anak-anak, sebagai ibu dua anak saya pun merasakan itu walaupun setelah berbohong galau heuheu

    BalasHapus
  2. hehehe berbohong demi kebaikan ya mbak

    BalasHapus