Kamis, 30 Juni 2016

Insiden Berdarah


Semenjak menjadi ibu, saya baru tahu kalau apapun yang terjadi pada anak kita, yang disalahkan pertama kali adalah ibu. Betul begitu? Ya, menjadi ibu itu tidak mudah. Berat. Tanggung jawabnya besar.

Awalnya dulu saya mutungan, ngambek tiap kali disalahkan kalau terjadi sesuatu pada Kak Ghifa. Tetapi, makin ke sini keadaan mengubah saya. Meskipun jengkel, saya sering diam saja.

Malam itu, seperti biasa Kak Ghifa merangkak ke sana-sini. Tiap kali ada yang manggil namanya, dia jadi gemas, lalu mendatangi orang tersebut dan memberikan hadiah berupa gigitan.


Entah sejak kapan, Kak Ghifa hobi banget gigit orang. Apapun digigit, sekenanya. Mulai dari hidung, pipi, mulut, sampai paha orang. Rasanya sakit tidak? Iya, karena giginya yang bawah sudah tumbuh 2. Yang atas pula.

Seperti biasa selepas berbuka puasa, saya, suami, Kak Ghifa, dan bapak ibuk bercanda-canda di depan TV. Kak Ghifa pun beraksi, guling sana-guling sini. Kalau pas nendang siapapun, orang tersebut akan dapat hadiah gigitan. Semakin orang tersebut mengaduh, maka Kak Ghifa akan semakin kencang tertawanya dan balik lagi mengigit.

Saat itu setelah nenen, Kak Ghifa langsung bangkit dan mengarah ke pipi saya sebagai sasaran gigitannya. Setelah puas, berganti ke mbah kakung kemudian ke mbah uti. Seperti yang saya utarakan di depan, semakin korbannya mengaduh kesakitan maka Kak Ghifa akan tertawa dan makin gemas. Pas, giliran mbah uti, Kak Ghifa sudah susah dikendalikan. Saat mbah uti berusaha menghindar, Kak Ghifa malah terjerembab, wajahnya terkena lantai.

“Jedug!”

Tak ada suara, tapi Kak Ghifa menangis. Lagi-lagi saya yang disalahkan. Saya hanya diam. Berusaha meraih Kak Ghifa untuk menyusuinya. Betapa kagetnya saya saat melihat ada darah di bibirnya. Spontan saya usap dengan baju Kak Ghifa, tak berhenti, semakin banyak. Ibu malah teriak piya-piye? Kak Ghifa semakin menangis mendengar suara ibu yang sangat keras.

Saya bawa Kak Ghifa keluar rumah, menjauh dari mbah uti. Menimang-nimangnya. Saya tawari Kak Ghifa untuk nenen. Mau, dan seketika tangisnya reda.

Semua terjadi begitu cepatnya. Setelah nenen saya tawari Kak Gifa untuk minum air putih. Ia tak mau. Dia kembali bermain dengan bibir bagian atas yang agak bengkak.

Dalam hati, saya hanya berdoa semoga tak ada luka yang serius dan Kak Ghifa nggak rewel. Saat hendak tidur, seperti biasa, guling sana guling sini, nenen, main lagi, sampai capek dan ketiduran. Nah, pas gigit balon, darah segar keluar lagi. Saya usap dengan tisu dan saya tawari nenen lagi sampai ia tertidur pulas. Alhamdulillah.

Kekhawatiran saya tak berhenti di situ. Bagaimana dengan makannya esok hari? Saya takut betul kalau insiden berdarah itu membuat Kak Ghifa jadi ogah makan. Saya juga takut kalau lukanya akan jadi sariawan. Saat ia sudah betul-betul tertidur, saya intip lukanya dengan senter di HP saya. Ada luka robek di antara bibir atas dan gusinya. Sambil membisikkan doa di telingannya, saya sounding pula, “Besok, luka Kakak sembuh kok. Maem yang banyak, ya?”

Paginya, apa yang terjadi? Alhamdulillah, Kak Ghifa makan dengan lahapnya. Malah porsinya lebih banyak dari biasanya. Bahagia hati saya. Lega.

Dari insiden berdarah ini saya semakin sadar betul bahwa malaikat kecil titipan Allah ini harus benar-benar saya jaga dengan baik. Rasanya sangat bersalah kalau selama ini saya lebih menomor dua-kannya dengan pekerjaan. Menemaninya bermain sambil main HP. Duh, Kak! Maafin Ummi, ya. Terima kasih Kakak sudah jadi anak yang strong untuk Ummi dan Abi. Semoga Ummi dan Abi bisa lebih lagi mencintaimu dan menyayangimu, sayang.

6 komentar:

  1. dulu mungkin kita blm merasa bagaimana menjadi orang tua
    sekarang mungkin ibu bisa bilang....kamu blm merasakan di posisi nenek
    tp yg jelas...semua berlimpah cinta dan kasih sayang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang saya juga iri kalau mbah uti lebih bisa nelateni Ghifa dibandingkan saya, yang ibunya.

      Hapus
  2. semakin bayi bisa bergerak ke sana kemari memang patut dijaga. Waktu aku kerja, aku selalu bilang sama pembantu jaga saja anak , gak usah ngurusin rumah. Setelah aku pulang kerja baru dia ngurusin rumah. Ya itu tadi janagn sampai anak tak terawasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mah. Ampun-ampunan deh. Nggak mau ngulang kesalahan ini lagi.

      Hapus
  3. T___T tak ada yang terbentur lain kan kak? selain berdarah di bibir....? wah saya belum merasakan tanggung jawaborang tua, sepertinya sulit...T___T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah tidak. Untungnya Ghifa tahan banting. Hihihi.
      Nanti akan tahu rasanya sebagai orang tua itu seperti apa pas waktunya.

      Hapus