Rabu, 19 Oktober 2016

Kisah Menyakitkan di Hari Pertama Mengajar


Belum juga diwisuda, aku sudah dapat tempat untuk wiyata. Tak ada salahnya kan kalau saat itu aku berbangga diri? Ehm...jangan dibayangin ya betapa sombongnya diriku kala itu. Padahal kalau dipikir-pikir, aku bisa dapat tempat wiyata karena bantuan (dulu-calon) kakak iparku yang kebetulan bekerja di kantin sekolah itu. Hihihi.

Aku masih ingat betul, hari itu hari Rabu. Dengan berpakaian rapi dan bersepatu pantofel, aku datang ke sekolah membawa lamaran kerja. Sayang, hari itu aku tidak mujur. Kepala sekolah baru saja keluar. Alhasil, aku pun pulang dengan tangan kosong.


Keesokan harinya dengan semangat yang menggebu, aku pergi ke sekolah lagi. Alhamdulillah, berjodohlah aku dengan kepala sekolah. Aku ditanya dengan pertanyaan ini dan itu sesuai dengan lamaran kerja yang ku tinggalkan kemarin. Selain aku dan kepala sekolah, ada juga dua guru sepuh yang ikutan nimbrung. Jangan dibayangkan seperti tes wawancara yang menegangkan ya, di sana kami hanya ngobrol-ngobrol ringan. Sampai pada pertanyaanku,

“Jadi, saya ngajar mulai kapan, Pak, Bu?”

“Mulai hari ini juga.” jawab Bu KS (Kepala Sekolah) dengan mantab.

Aku yang mendengar jawaban itu agak kaget. Duh, mati! Kalau aku menolak, nanti dikira aku nggak profesional. Tapi kalau aku iya-kan, aku  juga yang mati kutu. Ngajar itu kan butuh persiapan, mana tak tahu materinya apa saja di kelas 3.

“Anak-anak pasti pada senang, Mbak, karena sudah lama tidak ada gurunya.” Terang Bu KS lagi. Aku hanya tersenyum tipis.

Aku pun diantar menuju kelas 3. Sebelum masuk ke kelas 3, aku dikenalkan dengan guru-guru lain di ruang guru. Setelah selesai, aku pun membuntuti Bu KS masuk di kelas 3. Beliau pun basa-basi ini dan itu terlebih dahulu dan menyerahkan kelas kepadaku.

"Halo, perkenalkan, nama bu guru, Ika Hardiyan Aksari." aku memperkenalkan diri kepada anak-anak. Lalu gantian mereka. Kegiatan perkenalan itu berlangsung seru banget. Sampai-sampai siswa kelas 1 yang saat itu sudah istirahat nimbrung di depan pintu kelas 3.

Ada kalanya langkah ini terseok-seok
Sumber gambar di sini
Acara perkenalan pun usai. Pelajaran pun ku mulai dengan meraba-raba, "Apa ya yang akan aku sampaikan?" Dalam hatiku, aku bertekad paling tidak pertemuan pertama ini mereka harus jatuh cinta padaku. Hihihi.

Proses pembelajaran berlangsung dengan 'kegaduhan' kami yang begitu bermakna. Sampai-sampai murid kelas 1 betah banget ngejogrok di depan pintu. Malahan ada lho yang ikutan masuk.

"Bu, pintunya ditutup sajalah. Ganggu itu kelas 1." pinta salah satu muridku.

"Iya, Bu...Iya...." pinta yang lain.

Karena aku pun merasa sedikit terganggu dengan kehadiran murid kelas 1, akhirnya aku minta mereka keluar. "Ayo, keluar dulu. Bu guru tutup ya pintunya." Sambil menunggu semua keluar, aku pun hendak menutup pintu.

Tapi, apa yang terjadi kemudian?

Kok susah ya ditutup? Eh! Pintu agak seret. Eh! Ku dorong lagi lebih kuat. Dan....

"Huaaaaaaaaaa....."

Ada gadis kecil berjilbab yang menangis dari pojok luar pintuku sambil memegang tangannya yang satu.

"Aduh...aduh...."

Allahuakbar!

Jari gadis kecil itu terjepit pintu yang ku tutup tadi. Sekilat-kilatnya ku buka pintu itu dan ku ambil jarinya.

Allahuakbar!

Apa yang ku lakukan? Dua jarinya berubah warna, jadi ungu, kuku satunya hampir saja lepas. Ya Allah....aku ingin menangis melihatnya. Apa-apaan ini? Seketika di depan kelas itu ramai dengan anak-anak lainnya.

"Ada apa? Siapa yang menjepit?"

Semua melihatku dengan wajah menyelidik dan tidak suka. Aku tak peduli, ku angkat gadis kecil itu dan ku bawa lari ke kantor. Ku laporkan dengan sangat gugup kejadian ini kepada Bu KS dan guru lain.

"Kiamat, kamu, Ka!" batinku. Belum ada satu jam ngajar sudah bikin ulah. Songong sih!

Aku utarakan maksud untuk membawa gadis kecil itu ke Puskesmas. Tapi Bu KS melarangku. Aku harus tetap mengajar. Urusan itu diberikan ke tukang kebun sekolah.

Sepanjang mengajar hatiku gelisah. Apalagi kalau ada murid lain yang datang ke kelasku dengan sengaja bertanya dengan muridku,

"Eh, Amel tangannya dijepit bu guru tho?"

Mendengarnya, aku sebel banget. Woy...nggak sengaja! Nggak sengaja! Masak sih aku harus panggil wartawan buat konferensi pers?

Tak ada maksud sedikitpun. Mana ada guru yang ingin melukai muridnya? Eh, ada sih. Tapi kan oknum ya. Lihat noh di berita. Kalau aku, adakah tampang ke situ?

Sesampainya di rumah, aku cerita kepada ibu, kalimat yang pertama kali keluar adalah,

"Piye tho, Kamu?"

Aku makin terpuruk. Bersalah banget. Apa yang harus ku lakukan?

Aku stres!
Sejenak ku lupakan kejadian itu dan kuputuskan untuk mengambil air wudhu, sholat. Lalu aku tidur siang, susah, tapi ku paksa karena sore nanti aku akan kerja lagi.

Sore hari, selepas ngelesi, entah malaikat mana yang bisikin telingaku, "Aku harus menemui gadis kecil itu."

Ku parkirkan motorku di depan minimarket. Ku pilih beberapa makanan kecil untuk oleh-oleh. Setelah membayar di kasir, aku pun melajukan motorku menuju pelataran masjid yang letaknya tak terlalu jauh dari minimarket.

Sepanjang gerakan sholat air mataku jatuh. Sakit banget rasanya. Sesak dadaku. Rasa bersalah itu seakan memenuhi bulir-bulir darahku. Ya Allah....

Seperempat jam kemudian aku sudah sampai di depan rumah penjaga sekolahku.

"Ada apa, Mbak, kok malam-malam ke sini?"

"Tolong, antarkan saya ke rumah Amel."

Tukang kebun sekolahku paham apa yang aku inginkan. Diantarnya aku ke rumah gadis kecil itu. Agak jauh dari rumahnya. Gelap. Pelosok.

Setelah mengetuk pintu rumah berdinding kayu jati itu,

"Ibu, saya pribadi mohon maaf atas kejadian tadi siang. Saya benar-benar tidak sengaja. Saya pun berharap semoga Dik Amel tidak benci saya." suaraku terdengar bergetar. Aku menangis. Emosiku begitu meledak-ledak setelah tahu gadis kecil itu tak mau bersalaman denganku.

***

Hampir tiga tahun kejadian ini terjadi. Amel pun sekarang sudah duduk di kelas 3.

Butuh waktu tujuh hari, akhirnya Amel berangkat sekolah lagi setelah kejadian itu terjadi. Pikiranku masih sama, aku takut dia trauma kepadaku. Aku takut dia tak mau bertemu denganku bahkan histeris melihatku.

Waktu yang menjawab, saat guru kelasnya tak berangkat, aku menjadi guru pengganti di kelasnya. Apa yang terjadi?

Tak ada sorot mata dendam di matanya. Senyum manis dan sapaan lembut yang justru keluar dari mulut mungilnya, "Assalamualaikum, Bu Ika."

Ya Allah...
Betapa baiknya Engkau menciptakan gadis kecil tanpa dosa ini dengan sifat pemaaf yang begitu tulus. Tak ada dendam sedikit pun. Sungguh, aku merasa begitu kecil di mata-Mu.


Kejadian itu memang sudah lama terjadi. Tapi tak akan pernah terhapus dalam memoriku. Berarti, sungguh berkesan.

Setiap kali bertemu Amel, bukan lagi kejadian menyakitkan itu yang teringat di benakku. Justru, aku tersadar bahwa aku ini bukan siapa-siapa. Tapi aku adalah manusia beruntung yang bisa mendapatkan kesempatan berkumpul dengan malaikat-malaikat kecil pembuka pintu surgaku di kemudian hari.

Teruntuk Amel, kau malaikat kecil pembuka hati bu guru. Terima kasih, ya, Nak.

Tulisan ini diikutkan dalam Irawati Hamid First Giveaway “Momen yang Paling Berkesan & Tak Terlupakan”

*Hai Mbak, salam kenal ya dariku.
Ngomong-ngomong soal blog Mbak, ehm....sudah bagus. Nyatanya alexanya ramping banget. Hanya saja, aku bisa kasih saran soal header blognya bisa dipercantik lagi atau diberi warna. Soalnya dari header kemudian menu dan badan blog kan sama-sama putih ya, kesannya mblundus gitu, ah apa sih bahasanya yang pas. Nggak ada sekatnya gitu. Hihihi. Itu saja, Mbak, masukan dariku. Semoga makin berkah ya, blog Mbak Wati.

32 komentar:

  1. Alhamdulillah akhirnya berahir dg banyak hikmah yaa mba. Pengalamannya bener2 bikin sy ikutan panik mb, beneran...keren

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah mbak, terima kasih ya mbak. Semoga bisa ambil hikmahnya.

      Hapus
  2. Hehe nama saya Amel juga,, tetap semangat ya mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Mel, kamu sudah maafin bu guru kan? Hahahaha

      Hapus
  3. aku suka ceritanya, foto2nya, anakku ikut mbaca mbak...aku suka kata2 manusia beruntung yang bisa mendapatkan kesempatan berkumpul dengan malaikat-malaikat kecil pembuka pintu surgaku di kemudian hari.jadi terharu gud luck mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Mbak, terima kasih banyak ya Mbak.
      Salam buat anak mbak Ningrum.

      Hapus
  4. Ya Allah... Alhamdulillah ya Amel tidak marah sama mba Ika. Pasti selalu ada hikmahnya

    BalasHapus
  5. alhamdulillah... semangat ya mbak, aku terharu baca ceritanyaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buat nulis cerita ini aku butuh waktu lama untuk mempertimbangkannya, perlu dipublish apa nggak. Tapi bismillah, semoga ada manfaatnya.

      Hapus
  6. Merinding bacanya, penasaran juga akhirnya gimana. Alhamdulillah ya, anak-anak kalo dibesarkan dalam bimbingan yang baik, akan tetap seputih malaikat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak, ibunya juga baik banget Mbak. Tak heran kalau anaknya juga.

      Hapus
  7. wah memang jadi guru itu asyik ya mbak, banayk cerita yang bikin sedih, senang dan haru

    BalasHapus
  8. Ikutan brinding juga mbak, kalo pas pertama kali ngajar belum dpat sejam dapat sambutan gitu. Duh aku pernah gitu mbak. etapi aku yang dibikin nangis sambil nyeramahin anak2 di kelas. -_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi...ini pasti ngajar di sekolah tinggi ya?

      Hapus
  9. Aku kalo jadi mba juga bakalan sama kok stressnya :(
    Tapi memang anak kecil gampang kedistrek sama hal lain, cepet lupanya. Hehe.. Alhamdulillah bisa ambil hikmahnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perlu kita tiru nih Mbak biar gak jadi pendendam ya.

      Hapus
  10. Aku belum pernah ngajarin anak2 kecil yang dapat pengalaman seperti itu sih mba. Kasiahn anaknya tapi satu sisi takut juga diomelin ortunya. Hihii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku jga takutnya kalau berbuntut cerita lain Mbak. Alhamdulillah, Allah kasih cerita lain.

      Hapus
  11. mbakkk aku juga kalo jadi mbak udah nangis ga enak apalagi pas tau si amel ga mau salaman..padahal ga sengaja tapi tetep kayak merasa bersalah apalagi posisinya mbak guru yaa..tapi bersyukur masalahnya sudah selesai dan amel tidak mempersalahkan apa-apa lagi ya mbak :') #ikutanbaperbacanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah alhamdulillah alhamdulillah mbak.
      Semua berakhir indah.

      Hapus
  12. i feel u mba tapi anak kecil adalah guru juga y buat kita dari mereka kita belajar ketulusan :) nice share mba

    BalasHapus
  13. mbak, tak kira ngajar SMP ternyata SD y?

    uwh...ga mbayangin. rasa bersalahnya.

    suami saya juga dulu pernah ga sengaja njepit jari anak tetangga. sebelah persis. suami saya juga mbatin ini kok pintu seret? ternyata...

    mana itu anak balita lagi. bapaknya marah ga terima dan hubungan memburuk setelah itu. padahal ga sengaja.

    untung ga lama setelah itu kami pindah rumah.

    kalo ingat itu...waduh...sedih tapi ya sudahlah. dan entah bagaimana, agak lama setelah itu anak saya kejepit pintu di rumah eyangnya dan saya pelakunya! sampe kukunya copot

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak, anak SD.

      Tak semua orang bisa berbesar hati ya, Mbak. Alhamdulillah aku ketemu sama Amel dan keluarganya.

      Hapus
  14. Ya Allah saya deg-degan, kasiannya dia kejepit gitu. Kasian gurunya, guru baru masih muda. Saya suka kata-katanya mba Ika, 'manusia beruntung dengan malaikat kecil pembuka pintu surga' Iya bener banget, asal sabar dan ikhlas :)

    Sukses untuk GA ini ya mbak :)

    BalasHapus
  15. Anak2 memang jauh lebih pemaaf selama kita (gurunya) yg mencoba untuk minta maaf kalau memang kita yg bikin salah :D

    BalasHapus
  16. Huaaaa syukurlah anak2 paling polos untuk belajar banyak hal termasuk memaafkan ya mba
    tapi syukurlah :) ortunya juga untung kalem yo

    BalasHapus
  17. Mba Ikaaa, saya menangis loh baca cerita ini, soalnya saya pernah mengalami hal yang sama, bedanya yang saya jepit tangannya bukanlah murid tapi adik saya, bahkan dua kali loh kejadiannya. Membaca kisah ini seketika mengingatkan saya pada kejadian belasan tahun lalu. Dan adik saya pun sama, dia gak dendam pada saya bahkan kini kami sangat dekat :)

    terimakasih sudah berpartisipasi di GA saya yah :*

    BalasHapus