Rabu, 07 Mei 2014

Resensi Buku: Rantau 1 Muara

Judul: Rantau 1 Muara
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: Gramedia Utama Pustaka
Terbit: Mei 2013
Jumlah halaman: xii + 407 halaman
ISBN: 978-979-22-9473-6
Genre: Novel

Man jadda wajada.
Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.

Man shabara zhafira.
Siapa yang bersabar akan beruntung.

Man saara ala darbi washala.
Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan.

Masih muda, agamanya joss, jebolan pondok, cerdas, anak rantau, eh dapat beasiswa menjadi Duta Muda ke Kanada juga. Idih, siapa lagi kalau bukan Alif Fikri. Di buku ketiga dari trilogi Negeri 5 Menara ini merupakan lanjutan cerita perjalanan Alif Fikri setelah pulang dari Kanada. Bagaimana kisahnya?


....”Mana mungkin kamu mengurus KRS kalau sudah terlambat seperti ini. Sudah, kembali saja semester depan!”....(halaman 7)

Baru juga pulang dari Kanada, bukan Alif Fikri kalau nggak dapat masalah. Ia didamprat habis-habis-an oleh Pak Wangsa, petugas administrasi kampus. Dapatkah Alif Fikri mengatasinya? Penulis akan selalu memberikan jawaban-jawaban yang tak terbayangkan oleh pembaca, termasuk saya.

Satu urusan selesai, urusan yang lain siap antre. Tepatnya bukan urusan, melainkan masalah. Selama ini Alif membiayai hidupnya di rantau dengan menjadi penulis lepas di berbagai media massa. Lumayanlah, masih ada sisa untuk dikirimkan ke kampung. Sayangnya, krismon pada tahun 1998 membuat hidupnya seperti nyala lilin yang kena tiupan angin. Ketar-ketir.

Belum juga masalah keuangan teratasi, Alif yang telah diwisuda pun mengatasi masa-masa galau mencari pekerjaan. Bagian ini menyadarkan kepada saya, hanya orang yang benar-benar kuat-lah yang akhirnya berani berkata, “bye-bye pengangguran.”

Seperti petani menyebar jaring, puluhan lamaran kerja ia kirimkan. Tapi kenyataan berkata lain. Kerjaan tak datang, gigolo bin penagih hutang yang datang. Jalan satu-satunya yang dipilih Alif adalah minggat ke Jakarta. Apa yang terjadi pada Alif Fikri si anak rantau? Apa saja yang ia temui? Kerjaan? Jodoh? Atau Randai yang akhirnya melejitkan mimpi Alif untuk mendapatkan beasiswa lagi? Yuk, baca buku yang satu ini. Nggak bakal rugi deh, apalagi buat Anda yang sedang mencari pekerjaan, jodoh, dan keluarga impian. Buku ini bisa Anda jadikan buku penyumpal semangat untuk melanjutkan perjuangan.

***

Ah, kalau ngomongin tentang buku karya penulis yang satu ini saya angkat tangan deh. Suka. Banyak sekali pelajaran hidup yang tak pernah terpikirkan oleh anak zaman sekarang (saya zaman sekarang bukan ya?). Tak banyak anak muda sekarang yang bisa tahan banting seperti Alif Fikri. Ada-ada saja yang dia lakukan untuk mengatasi berbagai masalah. Miris saja kalau anak muda jaman sekarang harus mengalami apa yang Alif alami. Kemarin saja lihat berita ada anak yang tidak dibelikan rokok ibunya kemudian bunuh diri. Astagfirullah...

Kembali ke topik. Sebenarnya saat saya membeli buku ini, ada ekpektasi yang lebih di buku ini. Karena dari dua buku sebelumnya saya mendapatkan sesuatu yang sangat lebih. Buku ini tidak jelek, tapi seperti ada lompatan-lompatan cerita yang akhirnya ada bagian cerita yang tak tersampaikan. Seperti contohnya, cerita Alif yang dapat beasiswa di Singapura ini juga tidak disampaikan dengan jelas dan detail, seingat saya di buku yang kedua juga tidak disampaikan. Kemudian bisnis Uda Ramon juga tidak diterangkan secara gamblang dan cerita Uda Ramon juga menghilang begitu saja. Satu lagi yang membuat saya kecewa, itu Mas Garuda ke mana? Di ending-nya juga tidak disebutkan. Oh...Mas Garuda lenyap di manakah dirimu? 

Ada kelemahannya, ada juga pasti kelebihannya. Apalagi kalau bukan penggambaran atau pendeskripsian suatu tempat oleh penulis. Detail tapi tetap membiarkan pembaca secara liar untuk meng-imajinasikan bagaimana tempat tersebut. Untungnya lagi, di balik cover buku ini juga diberikan peta tempat terakhir Alif tinggal.

Sudahlah, ayo buruan beli buku yang satu ini. Kalau belum punya ketiganya, buruan ke toko buku ya? Selamat membaca.

11 komentar:

  1. Buku bagus ya, mba. AKu udah baca :D Tapi aku belum ngeresensi, hehe. Harus dibaca ulang nih :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo mbak dibaca ulang. Moga nggak pernah bosan :)

      Hapus
  2. kl baca ini jd inet bgttt itu mahfudzot yg pertama kli dhafalin wktu di pesantren...man jadda wajada..man saaro aladdarbi wasola... ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang pertama itu sangaat menggetarkan :)

      Hapus
  3. karena novel ini maka ungkapan Man jadda wajada menjadi populer di masyarakat

    BalasHapus
  4. Wahhhh pinjem dong Mbak. Hehe
    saya baru baca yang 5 Menara, emang keren banget, ngingetin masa2 di pondok dulu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wew anak pondok ya? Wah saya jadi penasaran jadi anak pondok tuh kayak apa sih. Cuma dapat gambarn dari membaca.

      Hapus
  5. buku yang ke duanya aja saya belum kelar baca :|

    BalasHapus