Selasa, 30 Juni 2020

Tertipu Belanja Online di Facebook


Semalam HP ku-charge di ruang TV. Pagi, setelah selesai masak, kunyalakan data selulernya. Ada dua panggilan dari bapak, dua panggilan dari saudara, beberapa WA dari grup, dan empat pesan WA dari teman.

Mataku melotot saat melihat pesan dari temanku.

"Mbak,

Aku lagi sedih

Aku ketipu online

Sepedanya miko itu."


Makdeg.

tertipu belanja online
Kutengok di Shopee, beginian malah hanya 600 ribuan


Sabtu lalu, sebelum libur sekolah, pas break rapat akhir tahun, temanku ini memang cerita kalau mau membelikan sepeda semi stroller buat anaknya. Nggak tahu kenapa saat itu kok aku komentar begini,
"Pengalamanku sama Kakak, beli gituan tuh sudah mahal, kepakainya pun cuma sebentar, Mbak. Sayang uangnya. Tapi, ya monggo."

Lah, kok malah strollernya bermasalah tenan.

Dia ketipu.

Berapa? Sejuta kurang dikit. Sejuta tuh ya banyak, kan? Apalagi di masa pandemi gini.

Demi menghiburnya, kubongkar rahasiaku.

"Ramadan tahun lalu, aku kayak kamu, Mbak. Ketipu tawaran kerjasama, 3 juta melayang. Padahal saat itu aku lagi butuh uang 10 juta. Yo wis, jadi butuh uang 13 juta. Hahaha."

Dia membalas dengan emotikon tertawa.

Cerita demi cerita, dia menyembunyikan kejadian ini dari orang rumah.

"Lah, sama dong. Ibuku meninggal kemarin tuh ya nggak tahu kalau aku pernah ketipu. Apalagi bapakku. Suamiku doang yang tahu. Sampai sekarang, eh, nambah kamu ndeng. 😃" (sama kamu, pembaca blogku)

Kupikir, semoga dia sedikit terhibur. Kutahu, rasanya kena tipu tuh nano-nano. Sedih iya, jengkel iya, tapi pengen ketawa.

Ketawa?

Iya, ketawa. Sampai sekarang pun aku kalau ingat kejadian itu pengen ketawa. Ya sudah, aku pasti ketawa. Kalau pas sendirian, sepi, ya malah ketawanya kenceng banget. Kalau sudah, lega.

Akun penipu di facebook
Hati-hati sama akun facebook ini


Aku juga mengakui kalau aku ini bodoh sekali karena bisa kena tipu. Terlepas itu kena hipnotis via telepon atau nggak ya.

Perlu kan sesekali ngetawain diri sendiri?

Ngobrol ngalor ngidul, akhirnya aku kok nemu titik temu.

Dulu, keadaanku tuh hampir sama dengan temanku, saat kena tipu.

Ceritanya, dia mau transfer via ATM, kok kebetulan uang di ATMnya pas banget dengan jumlah harga stroller tadi. Otomatis nggak bisa. Dia mau minta tolong sama teman lainnya, eh, dia pergi. Akhirnya panas siang bolong diterjang pergi ke pangkalan mobil BRILink.

(Sebenarnya ini kan sudah diingatkan sama Allah, tapi ngoyo, memaksakan keadaan)

Setelah itu, tiga hari nggak dapat resi, dihubungi deh si penjualnya. Katanya salah hitung, suruh nambah 200 ribu.

Percakapan aneh si penipu
Bahasanya alus, ya. 


Sampai sini, makin masuk akal nggak sih? Nggak kan. Katanya kok barang ditahan di JNE kota. Baru dikirim lagi kalau sudah mengirim bukti transfer 200 ribu tadi.

Bwahahahaha.

INI LELUCON.

Endingnya? Sampai sekarang, ya, nggak ada kabarnya. Wong ketipu. Facebook dan WA temanku sudah diblokir sama penipu itu.

😭😭

Terus, kesamaan dengan kasusku dulu, apa?

Kalau dulu aku itu ya, panas-panas kuterjang. Padahal saat itu aku lagi ngelesi muridku. Buru-buru dia kuminta pulang. Aku pulang pas adzan dzuhur berkumandang. Padahal jelas nggak bawa uang, malah pulang ambil uang di celengan. Ditanya ibuk, jawabku singkat doang. Mau berangkat tiba-tiba hujan deras banget. Habis hujan, masih gerimis pula, kok kuterjang. Aneh bukan? Bwahahaaha. Bukan, bukan itu saja.

Tepatnya, perasaan ingin membahagiakan orang lain tapi malah ZONK.

Dulu, aku tuh ya dengan bahagianya menyambut tawaran kerjasama teman dengan maksud pengen bantu suami. Dari maksud itu apapun ditempuh sampai-sampai nggak mikir panjang.

Mungkin juga saat itu aku memang kena hipnotis.

Rasanya tuh ayo cepat, harus segera, apalagi penipu itu selalu menghubungi dan meyakinkanku.

Sebentar, aku teringat kejadian itu. Aku pengen tertawa dulu.

Hahahaha.

Dari cerita temanku, dia juga merasakan hal yang sama. Pas diberi tahu nomor rekening, bayar sekian, buru-buru pengen transfer biar anaknya senang punya sepeda baru.

Ini tuh apaan, ya? Pengaruh hipnotis? Apes? Atau temannya kebo-plonga-plongo? Hahaha.

Dari kejadianku dan temanku yang ketipu online gini, bisa kutarik benang merah.

  1. Komunikasi, dengan suami atau orang rumah tentang apapun yang hendak kita lakukan, terutama yang berkaitan dengan belanja online atau transaksi online lainnya. Kalau memang kita kena hipnotis, biar diguyur pakai air dan sadar. Kalau masih nggak bisa diberi tahu, gampar saja. Hihihi. Maksudnya, apakan harga barang dan permintaan pelaku ini tuh masuk akal?
  2. Lakukan apapun dengan membaca basmalah terlebih dahulu. Iling (ingat) Gusti Allah, ya.
  3. Jangan grusa-grusu alias tergesa-gesa melakukan hal apapun, teliti ngati-ati.
  4. Kalau ingin belanja online, pilih saja toko teman yang kita kenal dan bisa COD. Pilihan lain, marketplace yang tepercaya. Banyak kan yang menjamin uang kita nggak bakal kabur apabila kita belum pencet menu MENERIMA PESANAN.
Teknologi yang semakin canggih memang memudahkan kita. Tidak perlu keluar rumah, sepeda sudah diantar oleh kurir. Tapi, kita harus cerdas pula sebagai pembeli. Terpenting, ingat selalu Allah. Kalau khilaf, ya, sesekali saja. Jangan keblabasan!😝

Kamu, hayo, pernah ketipu online? Atau jangan-jangan kamu rahasiakan juga? Kalau ingat malah ketawa sendiri. Oiya, kalau bisa, misal ada teman yang menulis cerita tentang kasus penipuan online tuh dibaca dengan saksama. Biar paham betul langkah-langkahnya harus gimana. Karena ternyata aku pernah mengabaikan cerita di blog teman tentang penipuan yang sama denganku jenisnya, modus kerjasama, hahaha. Berarti aku memang bodoh sekali 😝.

Apes pula.

Senin, 22 Juni 2020

New Normal di Sekitarku


Semua terasa biasa saja.

Wong pas ramai-ramai ada covid 19 pun, ya, biasa saja. Apalagi setelah tiga bulan berlalu.

Halo, saya Ika, seorang guru dan tinggal di Kebonagung, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Demak. Aku akan menceritakan kehidupan selama adanya pandemi di dukuh tempatku tinggal.

new normal
Antre saat hendak dites suhu tubuh dan disemprot

Khawatir nggak sih ada pandemi ini? Secara pribadi, iya pasti, sudah kuceritakan di Bye Bye Khawatir pula. Tapi, secara umum, orang-orang di sekitarku, tampak biasa-biasa saja. Seperti tak ada pandemi. Ke mana-mana, ya, nggak pakai masker. Bahkan pas ramadan lalu, saudaraku banyak yang pada jeng-jeng ke pasar Johar, Semarang, hanya untuk membeli baju lebaran.

Setelah pulang dari pasar, dengan santainya, tanpa mandi atau cuci tangan dulu, mereka berbaur dengan kami yang di rumah. Hadeh. Aku yang berusaha jaga jarak sendiri. Wajar kan?

Begitu juga dengan bapakku sendiri. Setiap kali kuingatkan untuk memakai masker, selalu menolak. Tapi, kalau pulang dari pasar (bapakku jualan di pasar krempyeng Pucang Gading Semarang) kemudian harus langsung mandi, bapak mau mendengarkan.

Ujung-ujungnya, karena setiap kali harus ambil barang di rumah warga, kebetulan desanya melakukan protokol kesehatan yang ketat dengan mewajibkan siapa saja yang berkunjung harus pakai masker, suhu tubuhnya dites, dan kudu disemprot, bapakku baru mulai mau memakai masker.

Apa kabar dengan salat tarawih? Masih melaksanakan seperti biasa. Saf salatnya memang berjarak. Tadarus juga masih selalu ada. Yang tidak ada hanya takbiran doang. Lebaran kemarin rasanya sungguh berbeda. Sepi. Sesepi hari-hariku setelah kepergian ibuk. Tapi, aku merasa Allah sayang kepadaku. Karena temannya banyak.

Ya, seperti itulah kehidupan di sekitarku sini.

Ke mana-mana masih banyak yang nggak mau pakai masker sebagai rutinitas. Alasannya pengap, bibirnya gatal, nggak ada masker di rumah.

Padahal, selama pandemi ini, kami dapat jatah masker kain (agak memprihatinkan sih bahannya) dari pemerintah desa, per rumah dapat jatah dua biji. Selain itu, di pertigaan jalan sana pernah ada yang bagi-bagi masker gratis, setahuku dua kali ada kegiatan ini. Di toko aksesoris atau bahkan konter-konter, tetangga yang bisa jahit, di pasar, banyak yang jual masker dengan kisaran harga paling murah sepuluh ribu dapat tiga.

Tapi, ya, begitulah.
Uangnya banyak yang dipakai buat beli barang-barang keperluan lebaran. Untuk beli masker nomor sekian.

Eh, apa kabar dengan tempat cuci tangan depan rumah? Tidak ada. Krik krik krik krik 😝😜 depan rumah warga semua bersih dari tempat cuci tangan.

Jujur nih, soal perekonomian apa ngefek juga di dukuhku? Banget sih. Banyak yang mengeluh. Bapakku yang jualan bahan pokok, biasanya kalau pulang bawa uang 2 juta, jadi turun sekitar 1,5 jutaan. Penjual es tebu dan siomay yang di depan makam sana tuh juga ngeluh, sepi banget. Pelanggannya kan anak sekolah. Anak sekolah pada libur, ya, wassalam. Wis pokoke sepi semua karena Corona.

Sudah tahu seperti itu efeknya, masih banyak yang bandel dan bilang, "Ini kan kerjaannya orang 'gedhe' yang ada di atas sana."

Ada lagi yang komentar begini, "Kalau nggak ada pendatang baru dari luar kota berzona merah, sini ya, aman-aman saja."

Yo wis bar kalau semua beranggapan seperti itu.

New Normal, Memang Ada?


New normal life tuh nggak berlaku di sini. Karena memang dari awal sudah new normal. Hihi. Lha wong supermarket yang dekat sini juga masih buka seperti biasa. Bedanya cuma ada beberapa pengunjung yang sadar pakai masker. Soal jaga jarak? Nggak banyak yang berlaku. Asyik uyel-uyelan.

Pernah sekali aku keluar rumah, malam 13 di bulan ramadan, aku belanja keperluan untuk peringatan 100 hari ibuku, Ya Allah, orang pada uyel-uyelan di supermarket depan toko yang kutuju. Lha wong toko yang kudatangi pun ramainya minta ampun. Pada beli toples lebaran, Gaes. Hahahaha. Aku sampai senyum-senyum sendiri. Memang ada yang bakalan berkunjung? Ah, lucu banget pokoke.

Sekarang, saat new normal, bukan Dokter Reisa Broto Asmoro yang lagi hangat dibicarakan sebagai jubir Covid 19. Tidak sekecap pun ada yang bahas tentang pengaruh dokter cantik tersebut selama pandemi ini. Bahkan, menurutku mereka juga nggak update tentang jumlah korban yang meninggal setiap harinya. Pokoke wis embuh kunu. Penting iso mangan mbendinane.

Lah apa yang dihebohkan selama masa ini? Bantuan dari pemerintah, hahaha. Kudengar ada enam sumber yang turun ke desa, ada PKH, Basimda, Bansos, yang lainnya entah aku tak tahu.

Pokoknya ada yang dapat berupa uang. Ada juga yang berupa barang, seperti beras, mie, gula, sampai buah-buahan.

Soal beginian tuh riskan banget. Marai geger. Ternyata benar. Sudah ada kasus seorang perangkat desa didemo warga sekitar rumahnya karena nggak dapat bantuan dari pemerintah. Ini menggelikan. Lebih menggelikannya lagi, perangkat desa tersebut jalan menuju rumahnya (karena rumahnya memang lewat gang kecil antara rumah dengan rumah gitu) ditutup, Gaes. Nggak boleh lewat. Lah terus? Terbang gitu?

Ya Allah. Sumpah, ini menurutku lucu sekali. Yah, seperti kasus di sekolahku. Semua data anak kan dinaikkan ke pusat. Yang menentukan anak dapat PIP (bantuan untuk anak sekolah-Program Indonesia Pintar) kan pusat, ada wali murid yang datang-datang marah saat rapat. Malah ngancam mau diangkat ke media karena dia seorang wartawan. Sumpah, kejadian seperti ini tuh lucu banget menurutku. Oalah yo yo.

New Normal Untukku

Cukup kelimpungan. Karena awalnya stay di rumah terus. Hanya ke sekolah setiap hari Selasa, eh, ini harus berangkat setiap hari sejak lebaran ketiga. Cukup ngos-ngosan lagi sih untuk menyesuaikan jadwal harian.

Nggak jaga jarak 🙄

Setrikaanku numpuk banget.

Kupikir dari ke sekolah hanya duduk, ngobrol, ngerjain administrasi yang nggak seberapa, karena banyakan guyonan dengan teman sejawat, kan mending kerja dari rumah. Tapi, itu nggak mungkin. Pak Bupati sudah mengeluarkan edaran, di Kabupaten Demak tidak ada guru yang bekerja dari rumah. Semuanya masuk. Ehem, nggak kayak kabupaten sebelah. Envy.

Ya, sudah, ikuti saja alurnya.

Kalau di sekolah, setiap guru sih sadar betul sama protokol kesehatan. Apalagi kami di desa buat contoh. Tapi, ya, ada beberapa yang agak longgar. Tetap bersalaman dan duduknya nggak berjarak.

Di lain sisi, ada juga teman guru yang saklek sama protokol kesehatan. Tidak mau bersalaman, duduknya benar-benar dijaga jaraknya, setiap kali menerima uang disemprot atau malah dicuci, dan setelah megang apapun pakai hand sanitizer. Kami, ya, maklum.

Paling tidak, dengan setiap hari ke sekolah, nggak dikira makan gaji buta. Aku pun selama new normal ini keliling ke rumah murid-muridku. Kuceritakan di sini, kamu sudah baca?

Jadi, mau ada new normal life atau apa itulah, ya, memang sejak awal sudah seperti ini.

Segitu dulu, ya, aku cerita kehidupan plus kehebohan selama pandemi dan new normal di sekitarku. Di tempatmu pasti berbeda lagi, ya. Gimana? Gimana? Atau ada yang sama dengan tempatku kah?

Jumat, 12 Juni 2020

Wujudkan Masak ala Chef di Dapur Impian Bersama digibank KTA


Dapur adalah bagian yang penting dari sebuah rumah. Apalagi kalau kamu termasuk orang yang suka memasak, pastinya memiliki dapur yang luas lengkap dengan semua perlengkapan memasak penting banget artinya.


Sayangnya, mungkin saat ini dapur di rumahmu belum tertata dengan baik. Bisa jadi ukurannya belum cocok untuk dapat memenuhi kebutuhan memasak kamu, atau layout-nya yang masih harus diubah.

Bila kamu berniat untuk merenovasi dapur di rumah, ada beberapa hal yang bisa jadi pertimbangan untuk membuat dapur kamu menjadi nyaman dan semakin bikin betah memasak di sana.

Apa saja itu?

1. Memilih konsep dapur sesuai selera

Setiap orang pasti punya gaya dapur favorit. Misalnya saja, kamu yang berjiwa simple, mungkin lebih menyukai gaya dapur minimalis. Atau kalau kamu suka gaya dapur modern, mungkin kamu ingin memasukkan unsur-unsur yang terlihat elegan. Sah-sah saja kok. Yang penting, buat agar konsep itu sesuai dengan selera pribadi kamu ya!

2. Memilih countertop yang memiliki durabilitas tinggi

Walaupun terlihat sederhana, tetapi kegiatan di dapur yang dilakukan setiap hari membutuhkan countertop dengan kualitas tinggi, misalnya saja yang berbahan granit atau marmer.

3. Menggunakan konsep open kitchen

Konsep dapur terbuka atau open kitchen cocok untuk kamu pilih lho, karena konsep ini akan membuat dapur terasa luas dan tidak sesak. Pasti nyaman deh, masak di dapur dengan konsep open kitchen!

4. Memilih peralatan dan perlengkapan dapur berkualitas tinggi 

Satu hal yang nggak boleh sampai kamu lupakan adalah memilih peralatan dan perlengkapan memasak yang berkualitas tinggi, mulai dari stove, oven, mixer, food processor, kulkas, pisau, cookware, dll.

5. Memilih flooring yang tepat 
Berbeda dengan ruangan lainnya, ada hal-hal yang harus diperhatikan sebelum memilih lantai untuk dapur kamu. Pastikan lantai yang kamu pilih berwarna terang, tidak licin, dan mudah dibersihkan. Hal ini karena di dapur rentan basah karena tumpahan air saat memasak.

Nah, kalau kamu sudah mantap untuk melakukan kitchen remodelling, sekarang saatnya digibank KTA yang membantu kamu mewujudkan dapur impian.

Ada sedikit penjelasan nih, tentang digibank KTA. Jadi, Kredit Tanpa Agunan (KTA) adalah pinjaman yang tidak membutuhkan aset apapun untuk dijadikan jaminan atas pinjaman tersebut. Nah karena tidak diperlukannya jaminan, maka keputusan pemberian kredit semata adalah berdasarkan pada riwayat kredit kamu secara pribadi seperti kredit mobil, kredit online, kredit rumah atau KPR, atau dengan kata lain kemampuanmu melaksanakan kewajiban pembayaran kembali pinjaman.

Banyak lho, keunggulan digibank KTA yang bisa kamu dapatkan, misalnya saja:
  • Kamu bisa mengajukan pinjaman tanpa ribet #darirumahaja, karena aplikasi digibank by DBS memungkinkan kamu untuk bisa apply online di mana saja dan kapan saja. Kamu pun bisa mengajukannya melalui melalui website go.dbs.com/kta. 
  • Approval cepat dalam 60 detik. Jadi, kamu nggak perlu menunggu lama untuk mendapat kepastian kredit.
  • Dana langsung cair ke rekening digibank by DBS hingga Rp 80 juta.
  • Bunga kompetitif mulai dari 0.95%
  • Aman dan terpercaya sudah terdaftar di OJK

Semua kemudahan ini terjadi karena DBS Indonesia berkomitmen menghadirkan digibank sebagai digital banking terbaik. Untuk mendapatkan kredit cepat cair dari digibank by DBS, kamu tinggal apply sekarang juga. Syarat pengajuan digibank KTA adalah sebagai berikut:
  • Memiliki e-KTP dan NPWP
  • Berusia minimal 21 tahun dan maksimal 60 tahun pada saat pelunasan kredit
  • Berprofesi sebagai karyawan, professional atau wiraswasta
  • Berdomisili di Jabodetabek, Bandung, Semarang dan Surabaya
  • Penghasilan minimum Rp 3.000.000 per bulan dan memiliki kartu kredit bank lain

Nah, kalau semua syarat tadi sudah terpenuh, langkah selanjutnya adalah mengajukan pinjaman digibank KTA yang kamu butuhkan.

Berikut ini adalah 5 langkah proses pengajuan kredit digibank KTA bagi kamu yang belum menjadi nasabah:
  1. Apply di go.dbs.com/kta
  2. Persetujuan cepat dalam 60 detik
  3. Download Aplikasi digibank by DBS
  4. Verifikasi Biometrik dengan agen digibank
  5. Cair langsung ke rekening digibank hingga 80 juta
Sedangkan kalau kamu sudah menjadi nasabah, maka proses pengajuan kredit cepat digibank KTA yang sudah menjadi nasabah:
  1. Klik Personal Loan di menu utama Aplikasi digibank by DBS
  2. Lengkapi data diri
  3. Tunggu konfirmasi persetujuan kredit dalam 60 detik
  4. Pilih limit pinjaman dan tenor yang diinginkan
  5. Dana cair secara real-time hingga Rp 80 juta
Simple kan cara pengajuan digibank KTA? Kalau gitu, tunggu apa lagi? Yuk, segera ajukan kredit cepat di Aplikasi digibank by DBS, dan wujudkan dream kitchen yang akan membuat kamu semakin betah memasak ala chef profesional.


Sumber foto: https://pixabay.com/photos/kitchen-real-estate-interior-design-1940177/

Kamis, 11 Juni 2020

Berusaha Semaksimal yang Aku Bisa Itulah Bentuk Cinta Terhadap Diriku Sendiri


Tadi pagi, Kamis, 4 Juni 2020, selesai ngecek kelas, kemudian keluar dari sekolah. Aku berniat berkunjung ke rumah beberapa muridku untuk membagikan soal ujian PAT (Penilaian Akhir Tahun). Bagaimana ceritaku? Kesan apa yang aku dapatkan? Ada cerita lanjutan seperti apa?

berusaha semaksimal mungkin

Keinginan bisa berkunjung ke rumah muridku ini sebenarnya sudah lama kuimpikan, terutama selama masa pandemi ini.

Lha pas lihat beberapa berita, baik di TV atau media online, tentang guru yang rela mendatangi murid-muridnya ke rumah, door to door, duh, rasanya aku benar-benar envy.

Mereka bisa seperti itu, kenapa aku tidak? Bukankah aku juga ingin seperti itu? Kenapa tidak aku lakukan juga? Mungkin sebelum mereka melakukannya, aku yang lebih dulu memiliki ide seperti itu. Tapi, namanya ide, kalau hanya ada di angan, ya, sama saja ZONK namanya. Nggak akan ada artinya.

Sumpah. Aku seperti membenci diriku sendiri. Sudah tahu aku harusnya melakukan hal tersebut, kenapa tidak kulakukan?

Bismillah, 
Hari itu juga, ku-drop soal PAT ke beberapa titik. Kubuat grup anak-anak sesuai dengan letak rumah yang berdekatan. Ada yang sekali nge-drop tiga sampai lima anak. Kemudian aku pindah ke rumah yang lainnya.

Mengenai tugas, semua tetap mandiri. Dikerjakan sendiri. Hanya pengedropan soal saja yang aku kelompok.

Hanya seperti itu, respon wali muridku begitu luar biasa. Nggak nyangka. Welcome banget.

Kebanyakan dari mereka pada bertanya,

"Ini semua kelas dapat soal seperti ini, Bu?"

"Kelas 1B kok tidak dapat, Bu?"

Jawabku hanya singkat, "Setiap guru memiliki cara tersendiri untuk melakukan penilaian, nggih."

Sebenarnya aku sedih dengan sikon seperti itu. Awalnya aku berharap akan ada soal dari dinas kabupaten untuk anak-anak. Kalau nggak, pimpinan kami di sekolah mengkoordinasi agar kami serempak melakukan penilaian untuk kenaikan kelas seperti apa. Ternyata kok tidak ada.


Yo wis, akhirnya, aku berinisiatif sendiri, membuat soal, ehm, tepatnya mengadopsi soal-soal dari internet yang aku olah kembali sesuai dengan sikon anak didikku. Setelah siap, kuprint dengan kertas buram, dan kusebar ke anak-anak.

Alhamdulillah, Kamis kudrop, Sabtu sudah terkumpul semua di sekolah dan semua sudah beres kukoreksi.

Senin, 8 Juni 2020


Merasa, kok, kayaknya ada yang kurang, ya. Apalagi saat rapat di hari Sabtu, pimpinan menekankan kalau kelas satu dan dua bisa naik kelas asalkan bisa calistung dengan lancar.

Ide liarku muncul lagi. Iya, ini saatnya aku beraksi sesuai dengan apa yang aku inginkan. Aku harus door to door ke rumah anak-anak untuk melakukan tes calistung, meskipun hanya sederhana bentuknya. Paling tidak aku benar-benar tahu kemampuan mereka. Tiga bulan nggak tatap muka pasti ada perubahan pada diri murid-muridku. Entah perubahan yang ke arah baik atau sebaliknya. Aku berharap tetap ke arah yang baiklah, ya.

Awalnya, Senin itu aku langsung meluncur ke rumah murid-muridku. Sayang, karena laptopku rusak, aku tidak bisa membuat soal dan media untuk tes calistung di rumah.  Mau pakai tablet Kakak, Ya Allah, ternyata cukup rempong pas membuat tabel. Baru kepikiran pas di akhir-akhir, kenapa tidak pakai excel saja? Hahaha.

Senin pagi itu, disrobot kepentingan lainnya juga, aku pakai komputer di ruang audio visual sekolah, set set set, setengah jam jadi. Print. Gunting sana-sini. Kelar sekitar pukul 11.00.

Duh, kalau mulai keliling sekarang kok sudah kesiangan. Ya sudahlah, besok paginya saja.

Paling tidak, hari itu aku belajar soal keterbatasan, lagi, dan lagi.

Biarlah, di rumah nggak ada laptop. Kalau aku mau usaha lebih, pakai komputer sekolah, aku tetap bisa melakukan sedikit lebih dari biasanya.

Doakan aku segera ada laptop baru biar lebih maksimal lagi saat mengabdikan diri untuk anak bangsa ini, ya 🙏

Oiya, tugasnya apa to saat tes calistung?

Mudah banget kok. Ada dua tugas, satu, mengerjakan soal tertulis. Terdiri dari lima soal, dengan muatan soal membaca, menulis, dan berhitung tentunya.



Kedua, aku lakukan tes secara lisan tapi pakai permainan kartu. Aku membuat kartu yang ada tulisan kata sampai kalimat. Kartu tersebut kukocok terlebih dahulu, kemudian kususun berjajar. Nanti anak kupersilakan untuk memilih 3 sampai 5 kertas. Jumlah tersebut kusesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Kalau yang bacanya lancar, ya, ada yang sampai dibuka semua, seperti cerita Mas Arfaa di bawah.

Ternyata, dengan cara seperti itu, muridku jadi antusias. Berasa nggak belajar, katanya.

Selasa dan Rabu, 9-10 Juni 2020


Saatnya meluncur.

Sekitar pukul 08.00 aku sudah keluar rumah. Saat kunyalakan motor, ternyata bahan bakarnya hampir habis. Kupikir, karena murid yang bakalan aku datangi pertama kali ini rumahnya yang paling jauh, tangki motorku harus penuh nih. Mampir deh ke SPBU terlebih dahulu.

Cus, ke rumah muridku, Mas Arfaa. Tentu nyasar terlebih dahulu, kemudian tanya-tanya orang. Hehe.

Sampai rumahnya, dia masih bobok, Gaes. Hahaha. Bu guru maklumlah.

Kutunggu dia sampai melek betul. Selesai minum susu, masih dengan beleknya yang nempel di mata, dia nggak mau cuci muka dulu, masih pakai celana kolornya, hahaha. Duduklah dia di depanku, dengan semangat empat lima.


Bahkan saat bagian tes membaca, dibukalah semua kartu yang kusediakan. Dibaca satu per satu. Yeay! Bau jigong sih, tapi semangatmu luar biasa, Mas. Padahal lagi ditinggal ibuknya. Di rumah hanya bersama bapak lho. Keren keren.

Nyenengke banget.

Oiya, kujeda cerita terlebih dahulu, ya, tentang tugas murid-muridku selama pandemi ini.

Jujur nih, ya, selama pandemi ini aku cukup ogah-ogahan memberikan tugas ke muridku. Apalagi kalau perkara memberi tugas secara text book alias mengerjakan LKS. Wali muridku makin ogah-ogahan banget deh, tingkat dewa malah. Aku malah kayak rentenir yang sedang nagih hutang. Hadeh.

Aku ini guru kelas 1. Bisa dibayangkan, bukan, kelas 1 seperti apa? Yang masuk di grup WA dan aktif hanya setengah dari jumlah seluruhnya 24 anak.

Mutar otak deh. Ini kasih tugas apa,  ya, biar tidak ogah-ogahan? Biar semua pada ngumpulin?

Aha. Akhirnya aku putuskan untuk memberikan tugas yang lebih mengarah ke life skill. Seperti mencuci piring, melipat baju, sampai mengupas bawang dan menggoreng telur. Tugas dikirim dalam bentuk video.

Pokoknya tugas harus mudah dan nggak terlalu merepotkan wali murid. Jangan sampai juga wali murid jadi ngamuk sama anak-anaknya! Hadeh.

Terus yang tidak ada HP canggih bagaimana? Ada yang inisiatif nitip dengan tetangganya. Yang lainya, ada yang sama sekali nggak mengirim tugas. Ilmu maklum harus kuutamakan.

Tugas yang di TVRI itu, bagaimana? Hehehe. Hanya jalan di awal-awal saja.

"Kulo (saya) kerja, ya, Bu.  Tidak ada yang ndampingi."

"Anaknya bangun kesiangan, Bu."

"TV saya nggak ada TVRI, Bu. Sudah dicari-cari tidak muncul."

Serta alasan yang lainnya. Hihihi.

Mau komentar apa coba kalau sudah seperti itu?

Jangan kerja, Buk, dampingi anaknya dong.

Begitu?

Terus, makan mereka, siapa yang jamin? Hahahaha. Lucu banget hidup ini.

Banyak Suka Dibandingkan Duka


Beruntung.

Itulah yang kurasakan. Lelah memang harus door to door ke rumah muridku. tapi, banyak hal yang kudapatkan.

Satu, ternyata, banyak juga lho muridku yang membacanya makin lancar dibandingkan sebelum pandemi. Tapi, ada juga yang mengalami kemunduran. Ya, apalagi, kalau bukan karena kebanyakan main dan main.

"Pagi, habis sarapan langsung main layang-layang, Bu. Pulang kalau sudah dzuhur. Begitu setiap hari.

Alhasil, pas aku tes, ya begitu deh, dapat predikat membacanya hanya mengeja tapi lancar.

Bisa kusebut ini tuh ya menguntungkan bagiku. Karena aku bisa memberikan penilaian yang memang sesuai dengan keadaan di lapangan. Bukan hanya ngaji (ngarang biji-mengarang nilai). Berat euy tanggungjawabku.

Di lain sisi juga bingung, ini adil nggak sih bagi mereka yang mengalami kemunduran? Tapi, kan aku sudah mewanti-wanti kalau selama di rumah, anak-anak harus tetap belajar. Kalau  menurutmu, bagaimana, adil nggak sih?



Dua, banyak masukan yang kudapat dari wali murid. Baik itu untukku pribadi dan kemajuan sekolah secara umumnya. Kebanyakan dari mereka mengapresiasi apa yang sudah kulakukan. Mereka juga mengharapkan guru yang lain melakukan hal yang sama sepertiku.

Hal itu justru membuatku takut. Sampai-sampai aku agak lebay dan berpesan sama abi-suamiku,

"Bi, misal nanti Allah mengijabahi Ummi jadi PNS, terus kalau ummi nggak kerja seperti sekarang, tolong ingatkan Ummi, ya, kalau Ummi keliru."

Aku ngomong gitu sambil nangis dleweran, ingat sama ibuk. Batinku, Buk, ibuk bahagia kan melihatku seperti ini? Guru yang seperti ini kan yang ibu harapkan ada pada diriku?

Teman, doakan aku, agar aku bisa makin istiqomah, ya. Bisa bekerja semaksimal mungkin sebagai guru SD.

Tiga, bertemu satu per satu, berkunjung demi rumah ke rumah, aku merasa jadi guru yang goblog. Kenapa tak pernah bertanya, MENGAPA?

Apa maksudnya?

Aku pernah menemukan kasus salah satu muridku yang suka mengambil uang temannya. Saat itu sampai sebelum aku datang ke rumahnya, aku menghakiminya, dia yang salah, iya, dia. Tapi, aku tidak coba mencari tahu ada apa di rumahnya.

Ya Allah, ternyata keadaan keluarganya memang sangat memprihatinkan.

Aku merasa sangat bersalah.

Aku jadi berpikir, ini nanti kalau tahun ajaran kudu banget nih door to door di minggu awal masuk. Biar tahu dan kenal lebih dekat dengan keluarga muridku. Semoga, ya.

Empat, dapat pengalaman, cerita, dan ide bisnis dari wali murid. Jenenge wong ndeso, kalau bertamu mana bisa duduk sebentar, urusan kelar, pulang. Pasti kan ada ngobrol-ngobrolnya dulu. Rasanya kalau langsung cus pulang kok seperti nggak afdol dan tak sopan.

Nah, dari obrolan itulah, banyak hal yang kudapatkan. Mulai dari cara mendidik anak, keinginan-keinginan orangtua terhadap sekolah, sampai ide bisnis.

Kebetulan wali muridku ada yang punya usaha keripik tempe. Kudapat bocoran tuh proses pembuatannya dan rahasia kerenyahannya. Kebetulan, suamiku kan hendak membuka bisnis yang serupa tapi tak sama, alias yang berbau goreng-gorengan juga. Alhamdulillah deh dapat ilmu gratisan.

Benar, ya, kalua silaturahmi itu membuka pintu rezeki yang tak terduga.

Lima, banyak gembolan di motorku. Bahkan, Kak Ghifa dapat angpau yang lumayan. Bilangnya sih masih dalam rangka lebaran. Hahaha.

Setiap kali pulang keliling, motorku penuh dengan plastik. Ada yang isinya kacang hijau, gula pasir, jambu air, jeruk sunkist, es campur spesial, es krim, dan jajanan untuk Kak Ghifa.

"Bu, ini diterima, nggih. Tapi, ini yakin, yakiiiiiiin, bukan sogokan lho Bu biar anak saya naik kelas."

 Hahahaha.

Aku kalau ingat kalimat tersebut dari wali muridku tuh suka ngekek. Pekewuh. Mau nolak, malah sudah digantungin ke motorku.

Rezeki.

Enam, yang ini agak nggak enak. Namanya melayani orang banyak, ya, ada yang nggak sabar. Katanya aku kelamaan, nggak datang-datang, anaknya sudah nggak sabar, nengok ke gerbang rumah terus. Ada juga yang tutup pintu, nggak mau menerimaku, hihihi. Yah, yang begini-begini kuanggap biasalah. Nggak ambil pusing. Pun itu tidak menyurutkan semangatku untuk tetap jalan terus, pindah dari satu pintu ke pintu yang lain.


Sampai sini, aku ingin bilang, INILAH AKU.


Aku suka dengan diriku yang seperti ini. Bekerja semaksimal mungkin. Bekerja seperfect mungkin. Karena inilah caraku mencintai diriku sendiri, self love-ku. Lelah, tapi, aku hepi, bahagia banget. Aku sendiri berharap, aku bisa seperti ini, sampai kapanpun, di manapun, untuk hal apapun, dan untuk status apapun.

Alhamdulillah, selama ini selalu saja mendapat support system dari orang-orang terdekatku, termasuk wali muridku. Saat ditinggal ibuk, aku sempat takut, aku tak bisa bangkit lagi dalam hal ini. Karena dari dulu ibuk yang selalu 'meremehkanku'. Ternyata, cinta kasih Allah tidak berkurang sedikitpun untukku. Aku memang sudah kehilangan fisik ibuk, tapi cintanya, sama besarnya, datang dari orang yang tak terduga. Banyak yang gumati denganku. Maju terus!


Kamis, 04 Juni 2020

Mengajak Kak Ghifa Gemar Membaca Iqro


Orangtua mana sih yang tidak senang kalau anaknya yang masih berusia di bawah lima tahun tapi sudah hafal huruf hijaiyah? Atau malah sudah hafal surat-surat pendek?

membaca iqro

Aku ingin. Ingin sekali. Namun, aku sadar diri juga sih. Aku bukanlah ibu yang pandai mengaji. Cukup tahu bacaan tajwid saja aku sudah sangat bersyukur. Karena memang basic-ku bukanlah ibu jebolan dari pondok pesantren.

Tapi, bolehkan kalau aku bermimpi memiliki anak yang pandai mengaji?

Boleh banget, kan? Kalau orangtuanya hanya gini-gini doang, kan anaknya jangan gini-gini doang juga kan?

Jangan sampai anakku bernasib sama sepertiku, yang mengaji hanya sekadar mengaji. Tak ada istimewa-istimewanya sama sekali.

Sebelumnya aku ingin cerita, kenapa aku semangat banget ngajarin Kak Ghifa untuk gemar membaca iqro? Satu, gara-gara cerita Gus Miftah yang mengambil keputusan untuk anaknya agar tidak dimasukkan ke TK terlebih dahulu sebelum bisa mengaji. Kedua, isi ceramah ustadz Hanan Attaki yang menyampaikan bahwa Alquran lah yang akan menolong kita saat hari kiamat. Ketiga, almarhumah ibuku. Beliau memang tidak bisa membaca huruf arab apabila disambung, tapi semangat mengajinya yang luar biasa membuatku malu kalau sampai kalah semangat buat ngajarin Kak Ghifa belajar membaca iqro. Katakanlah dulu ibuk tidak beruntung karena dilahirkan di lingkungan yang jauh dengan agama. Lha aku? Anakku? Lingkungan lebih baik, masak iya, mau nyerah gitu saja?! Harus lebih baik. Terakhir, karena pesan terakhir ibuku yang mengingatkanku agar Kak Ghifa kelak pandai mengaji.

Jujur, aku pernah memiliki anggapan, ah, nanti kalau pas waktunya, kak Ghifa juga bisa membaca iqro sendiri. Apalagi di sekolah PAUDnya juga ada kegiatan membaca iqro setiap hari Kamis. Iya, hanya sekali dalam seminggu aku kok pernah bangga. Hiks.

Kemudian diingatkan kembali oleh ibuk saat beliau sudah sakit, tapi belum sekarat. Iya, ya. Ini kan tugasku? Masak iya sih untuk mengenal huruf hijaiyah saja harus kuserahkan ke guru PAUD atau guru ngaji? Kalau ibunya bisa, kenapa harus orang lain? Bukankah di ilmu parenting pun seperti itu? 

Lengkap sudah kan alasannya?

Tapi, tidak semudah itu ternyata. Benar saja, ya, kalau ingin dapat ganjaran yang besar, tantangannya pun luar biasa.

Baiklah, akan kuceritakan beberapa tantangan yang kuhadapi selama mengajak Kak Ghifa gemar membaca iqro. Yang perlu digaris bawahi terlebih dahulu, Kak Ghifa saat ini usia 4 tahun 8 bulan dengan tipe belajar lebih condong ke kinestetik. Anakku ini aktif banget. Suka sekali main. Tapi, pemalu dan adaptasi dengan tempat plus orang baru cukup lama. Hahaha. Wis pokoke aku bangetlah.





Tantangan 1

Bantuin bapak untuk bungkus-bungkus dagangan. Bapakku seringkali pulang dari pasar waktu maghrib. Kalau sudah datang, selepas salat maghrib, rumah sudah penuh dengan orang. Otomatis aktivitas membaca iqro Kak Ghifa jadi terganggu. Malu lah dilihatin orang. bukan membaca iqro malah bikin aksi angkat kaki satu, atau malah nungging-nungging. Yo wis, mengajinya pending lagi.

Tantangan 2

Waktu memasakku. Namanya manusia kan sering banget berencana tapi Gusti Allah tetap yang menentukan, ya? Sudah mulai masak untuk makan malam sejak asar, tapi ada kegiatan dadakan. Misal ada rombongan menjenguk tetangga yang sakit, arisan yang ternyata aku lupa jadwalnya, ada tamu yang doyan banget ngobrol, dll.

Ujung-ujungnya belum selesai masak padahal waktu maghrib sudah tiba. Bapak juga bakalan pulang dan lapar. Misal mau beli lauk di luar, bapakku nggak doyan. Seringkali masak kulakukan setengah jalan, yang penting sudah ada yang dimakan untuk bapak. Aku, abi, dan Kak Ghifa mah nanti-nanti nggak papa. Terpenting Kakak bisa membaca iqro dulu.

Tantangan 3

Kak Ghiifa mengantuk. Halo mak, siapa yang pernah ngalamin, emaknya tidur, eh, anaknya malah kabur keluar rumah sendiri main ke rumah tetangga?

Ya Allah, akhirnya aku ngalamin, Mak. Hihi. Menurutku menggelikan. Lha wong pintu sudah kukunci lho. Ternyata Kak Ghifa bisa buka dengan cara naik ke kursi. Nah, kalau tidak tidur siang gitu, alhasil pas magrib dia rewel karena mengantuk atau kalau nggak katanya kepalanya pusing. Ujung-ujungnya nggak mau membaca iqra'. Hadeh.

Tantangan 4

Anak tetangga. Baru serius menemani Kak Ghifa membaca iqro, eh, tiba-tiba di depan pintu rumah, 

"Kakak...."

"Ghifaaaaaa....."

Ambyar. Nggak bisa konsentrasi lagi. Tapi, mau bagaimana lagi?

Inilah resiko yang harus aku tanggung karena hidup sederet dengan keluarga besar dari bapak. Kanan kiri rumahku ini semua adalah saudara. Namanya hidup bersama orang banyak, pola pikir dan prinsipnya berbeda-beda. Kalau sudah maghrib dan anaknya masih berkeliaran di rumah tetangga-saudara, ya, sini biasa.

Langkah yang seringkali aku ambil, ya, mengusir secara halus kalau ada anak saudara yang masih main saat maghrib datang. Kalau nggak gitu, ya, pintu rumah langsung kututup. Nanti kalau sudah selesai membaca iqro, Kak Ghifa juga langsung njrantal keluar, main lagi. Hahahaha.


Terpenting dari semua itu, contoh dariku dan abinya sangatlah penting.

Ya, paling tidak, itulah tantangan yang seringkali kualami. Banyak sih kerikil tantangan lainnya, seperti ada telepon, kak Ghifa minta jajan es krim dulu, dll. Nanti seiring bertambah usia Kak Ghifa pasti juga beragam lagi tantangannya.

Dari banyaknya tantangan itu kutemui kemudahan selama mengajak Kak Ghifa untuk membaca iqro. Apa itu? Alhamdulillah, selembar iqro itu kalau dibaca dua kali, Kakak langsung nyantol. Semoga saja kemudahan ini terus seperti itu. Biar aku yang ngajarin juga sedikit senang, eh, kok sedikit, senang sekali malah.

Aku juga berharap minat baca iqro Kak Ghifa semakin meningkat pula, tidak ogah-ogahan. Agar disaat waktu yang tepat, dia bisa mendoakan Mbah uti, ibuku yang sudah berpulang ke surga Allah. Syukur-syukur dia bisa menjadi jalan penerang kami sekeluarga di surga Allah.

Bismillah, pokoke jangan nglokro untuk mengajak anak untuk membaca iqro, ya. Percayalah selalu akan janji Allah bahwa bersama kesulitan, tantangan, akan ada kemudahan juga di sana. Bahkan kemudahan itu lebih dari kesulitan yang kita hadapi. Sekali lagi, mau dapat ganjaran yang gedhe itu cobaannya juga gedhe, bukankah begitu? Jangan mudah menyerah!