Tadi pagi, Kamis, 4 Juni 2020, selesai ngecek kelas, kemudian keluar dari sekolah. Aku berniat berkunjung ke rumah beberapa muridku untuk membagikan soal ujian PAT (Penilaian Akhir Tahun). Bagaimana ceritaku? Kesan apa yang aku dapatkan? Ada cerita lanjutan seperti apa?
Keinginan bisa berkunjung ke rumah muridku ini sebenarnya sudah lama kuimpikan, terutama selama masa pandemi ini.
Lha pas lihat beberapa berita, baik di TV atau media online, tentang guru yang rela mendatangi murid-muridnya ke rumah, door to door, duh, rasanya aku benar-benar envy.
Mereka bisa seperti itu, kenapa aku tidak? Bukankah aku juga ingin seperti itu? Kenapa tidak aku lakukan juga? Mungkin sebelum mereka melakukannya, aku yang lebih dulu memiliki ide seperti itu. Tapi, namanya ide, kalau hanya ada di angan, ya, sama saja ZONK namanya. Nggak akan ada artinya.
Sumpah. Aku seperti membenci diriku sendiri. Sudah tahu aku harusnya melakukan hal tersebut, kenapa tidak kulakukan?
Bismillah,
Hari itu juga, ku-drop soal PAT ke beberapa titik. Kubuat grup anak-anak sesuai dengan letak rumah yang berdekatan. Ada yang sekali nge-drop tiga sampai lima anak. Kemudian aku pindah ke rumah yang lainnya.
Mengenai tugas, semua tetap mandiri. Dikerjakan sendiri. Hanya pengedropan soal saja yang aku kelompok.
Hanya seperti itu, respon wali muridku begitu luar biasa. Nggak nyangka. Welcome banget.
Kebanyakan dari mereka pada bertanya,
"Ini semua kelas dapat soal seperti ini, Bu?"
"Kelas 1B kok tidak dapat, Bu?"
Jawabku hanya singkat, "Setiap guru memiliki cara tersendiri untuk melakukan penilaian, nggih."
Sebenarnya aku sedih dengan sikon seperti itu. Awalnya aku berharap akan ada soal dari dinas kabupaten untuk anak-anak. Kalau nggak, pimpinan kami di sekolah mengkoordinasi agar kami serempak melakukan penilaian untuk kenaikan kelas seperti apa. Ternyata kok tidak ada.
Yo wis, akhirnya, aku berinisiatif sendiri, membuat soal, ehm, tepatnya mengadopsi soal-soal dari internet yang aku olah kembali sesuai dengan sikon anak didikku. Setelah siap, kuprint dengan kertas buram, dan kusebar ke anak-anak.
Alhamdulillah, Kamis kudrop, Sabtu sudah terkumpul semua di sekolah dan semua sudah beres kukoreksi.
Senin, 8 Juni 2020
Merasa, kok, kayaknya ada yang kurang, ya. Apalagi saat rapat di hari Sabtu, pimpinan menekankan kalau kelas satu dan dua bisa naik kelas asalkan bisa calistung dengan lancar.
Ide liarku muncul lagi. Iya, ini saatnya aku beraksi sesuai dengan apa yang aku inginkan. Aku harus door to door ke rumah anak-anak untuk melakukan tes calistung, meskipun hanya sederhana bentuknya. Paling tidak aku benar-benar tahu kemampuan mereka. Tiga bulan nggak tatap muka pasti ada perubahan pada diri murid-muridku. Entah perubahan yang ke arah baik atau sebaliknya. Aku berharap tetap ke arah yang baiklah, ya.
Awalnya, Senin itu aku langsung meluncur ke rumah murid-muridku. Sayang, karena laptopku rusak, aku tidak bisa membuat soal dan media untuk tes calistung di rumah. Mau pakai tablet Kakak, Ya Allah, ternyata cukup rempong pas membuat tabel. Baru kepikiran pas di akhir-akhir, kenapa tidak pakai excel saja? Hahaha.
Senin pagi itu, disrobot kepentingan lainnya juga, aku pakai komputer di ruang audio visual sekolah, set set set, setengah jam jadi. Print. Gunting sana-sini. Kelar sekitar pukul 11.00.
Duh, kalau mulai keliling sekarang kok sudah kesiangan. Ya sudahlah, besok paginya saja.
Paling tidak, hari itu aku belajar soal keterbatasan, lagi, dan lagi.
Biarlah, di rumah nggak ada laptop. Kalau aku mau usaha lebih, pakai komputer sekolah, aku tetap bisa melakukan sedikit lebih dari biasanya.
Doakan aku segera ada laptop baru biar lebih maksimal lagi saat mengabdikan diri untuk anak bangsa ini, ya 🙏
Oiya, tugasnya apa to saat tes calistung?
Mudah banget kok. Ada dua tugas, satu, mengerjakan soal tertulis. Terdiri dari lima soal, dengan muatan soal membaca, menulis, dan berhitung tentunya.
Kedua, aku lakukan tes secara lisan tapi pakai permainan kartu. Aku membuat kartu yang ada tulisan kata sampai kalimat. Kartu tersebut kukocok terlebih dahulu, kemudian kususun berjajar. Nanti anak kupersilakan untuk memilih 3 sampai 5 kertas. Jumlah tersebut kusesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Kalau yang bacanya lancar, ya, ada yang sampai dibuka semua, seperti cerita Mas Arfaa di bawah.
Ternyata, dengan cara seperti itu, muridku jadi antusias. Berasa nggak belajar, katanya.
Selasa dan Rabu, 9-10 Juni 2020
Saatnya meluncur.
Sekitar pukul 08.00 aku sudah keluar rumah. Saat kunyalakan motor, ternyata bahan bakarnya hampir habis. Kupikir, karena murid yang bakalan aku datangi pertama kali ini rumahnya yang paling jauh, tangki motorku harus penuh nih. Mampir deh ke SPBU terlebih dahulu.
Cus, ke rumah muridku, Mas Arfaa. Tentu nyasar terlebih dahulu, kemudian tanya-tanya orang. Hehe.
Sampai rumahnya, dia masih bobok, Gaes. Hahaha. Bu guru maklumlah.
Kutunggu dia sampai melek betul. Selesai minum susu, masih dengan beleknya yang nempel di mata, dia nggak mau cuci muka dulu, masih pakai celana kolornya, hahaha. Duduklah dia di depanku, dengan semangat empat lima.
Bahkan saat bagian tes membaca, dibukalah semua kartu yang kusediakan. Dibaca satu per satu. Yeay! Bau jigong sih, tapi semangatmu luar biasa, Mas. Padahal lagi ditinggal ibuknya. Di rumah hanya bersama bapak lho. Keren keren.
Nyenengke banget.
Oiya, kujeda cerita terlebih dahulu, ya, tentang tugas murid-muridku selama pandemi ini.
Jujur nih, ya, selama pandemi ini aku cukup ogah-ogahan memberikan tugas ke muridku. Apalagi kalau perkara memberi tugas secara text book alias mengerjakan LKS. Wali muridku makin ogah-ogahan banget deh, tingkat dewa malah. Aku malah kayak rentenir yang sedang nagih hutang. Hadeh.
Aku ini guru kelas 1. Bisa dibayangkan, bukan, kelas 1 seperti apa? Yang masuk di grup WA dan aktif hanya setengah dari jumlah seluruhnya 24 anak.
Mutar otak deh. Ini kasih tugas apa, ya, biar tidak ogah-ogahan? Biar semua pada ngumpulin?
Aha. Akhirnya aku putuskan untuk memberikan tugas yang lebih mengarah ke life skill. Seperti mencuci piring, melipat baju, sampai mengupas bawang dan menggoreng telur. Tugas dikirim dalam bentuk video.
Pokoknya tugas harus mudah dan nggak terlalu merepotkan wali murid. Jangan sampai juga wali murid jadi ngamuk sama anak-anaknya! Hadeh.
Terus yang tidak ada HP canggih bagaimana? Ada yang inisiatif nitip dengan tetangganya. Yang lainya, ada yang sama sekali nggak mengirim tugas. Ilmu maklum harus kuutamakan.
Tugas yang di TVRI itu, bagaimana? Hehehe. Hanya jalan di awal-awal saja.
"Kulo (saya) kerja, ya, Bu. Tidak ada yang ndampingi."
"Anaknya bangun kesiangan, Bu."
"TV saya nggak ada TVRI, Bu. Sudah dicari-cari tidak muncul."
Serta alasan yang lainnya. Hihihi.
Mau komentar apa coba kalau sudah seperti itu?
Jangan kerja, Buk, dampingi anaknya dong.
Begitu?
Terus, makan mereka, siapa yang jamin? Hahahaha. Lucu banget hidup ini.
Banyak Suka Dibandingkan Duka
Beruntung.
Itulah yang kurasakan. Lelah memang harus door to door ke rumah muridku. tapi, banyak hal yang kudapatkan.
Satu, ternyata, banyak juga lho muridku yang membacanya makin lancar dibandingkan sebelum pandemi. Tapi, ada juga yang mengalami kemunduran. Ya, apalagi, kalau bukan karena kebanyakan main dan main.
"Pagi, habis sarapan langsung main layang-layang, Bu. Pulang kalau sudah dzuhur. Begitu setiap hari.
Alhasil, pas aku tes, ya begitu deh, dapat predikat membacanya hanya mengeja tapi lancar.
Bisa kusebut ini tuh ya menguntungkan bagiku. Karena aku bisa memberikan penilaian yang memang sesuai dengan keadaan di lapangan. Bukan hanya ngaji (ngarang biji-mengarang nilai). Berat euy tanggungjawabku.
Di lain sisi juga bingung, ini adil nggak sih bagi mereka yang mengalami kemunduran? Tapi, kan aku sudah mewanti-wanti kalau selama di rumah, anak-anak harus tetap belajar. Kalau menurutmu, bagaimana, adil nggak sih?
Dua, banyak masukan yang kudapat dari wali murid. Baik itu untukku pribadi dan kemajuan sekolah secara umumnya. Kebanyakan dari mereka mengapresiasi apa yang sudah kulakukan. Mereka juga mengharapkan guru yang lain melakukan hal yang sama sepertiku.
Hal itu justru membuatku takut. Sampai-sampai aku agak lebay dan berpesan sama abi-suamiku,
"Bi, misal nanti Allah mengijabahi Ummi jadi PNS, terus kalau ummi nggak kerja seperti sekarang, tolong ingatkan Ummi, ya, kalau Ummi keliru."
Aku ngomong gitu sambil nangis dleweran, ingat sama ibuk. Batinku, Buk, ibuk bahagia kan melihatku seperti ini? Guru yang seperti ini kan yang ibu harapkan ada pada diriku?
Teman, doakan aku, agar aku bisa makin istiqomah, ya. Bisa bekerja semaksimal mungkin sebagai guru SD.
Tiga, bertemu satu per satu, berkunjung demi rumah ke rumah, aku merasa jadi guru yang goblog. Kenapa tak pernah bertanya, MENGAPA?
Apa maksudnya?
Aku pernah menemukan kasus salah satu muridku yang suka mengambil uang temannya. Saat itu sampai sebelum aku datang ke rumahnya, aku menghakiminya, dia yang salah, iya, dia. Tapi, aku tidak coba mencari tahu ada apa di rumahnya.
Ya Allah, ternyata keadaan keluarganya memang sangat memprihatinkan.
Aku merasa sangat bersalah.
Aku jadi berpikir, ini nanti kalau tahun ajaran kudu banget nih door to door di minggu awal masuk. Biar tahu dan kenal lebih dekat dengan keluarga muridku. Semoga, ya.
Empat, dapat pengalaman, cerita, dan ide bisnis dari wali murid. Jenenge wong ndeso, kalau bertamu mana bisa duduk sebentar, urusan kelar, pulang. Pasti kan ada ngobrol-ngobrolnya dulu. Rasanya kalau langsung cus pulang kok seperti nggak afdol dan tak sopan.
Nah, dari obrolan itulah, banyak hal yang kudapatkan. Mulai dari cara mendidik anak, keinginan-keinginan orangtua terhadap sekolah, sampai ide bisnis.
Kebetulan wali muridku ada yang punya usaha keripik tempe. Kudapat bocoran tuh proses pembuatannya dan rahasia kerenyahannya. Kebetulan, suamiku kan hendak membuka bisnis yang serupa tapi tak sama, alias yang berbau goreng-gorengan juga. Alhamdulillah deh dapat ilmu gratisan.
Benar, ya, kalua silaturahmi itu membuka pintu rezeki yang tak terduga.
Lima, banyak gembolan di motorku. Bahkan, Kak Ghifa dapat angpau yang lumayan. Bilangnya sih masih dalam rangka lebaran. Hahaha.
Setiap kali pulang keliling, motorku penuh dengan plastik. Ada yang isinya kacang hijau, gula pasir, jambu air, jeruk sunkist, es campur spesial, es krim, dan jajanan untuk Kak Ghifa.
"Bu, ini diterima, nggih. Tapi, ini yakin, yakiiiiiiin, bukan sogokan lho Bu biar anak saya naik kelas."
Hahahaha.
Aku kalau ingat kalimat tersebut dari wali muridku tuh suka ngekek. Pekewuh. Mau nolak, malah sudah digantungin ke motorku.
Rezeki.
Enam, yang ini agak nggak enak. Namanya melayani orang banyak, ya, ada yang nggak sabar. Katanya aku kelamaan, nggak datang-datang, anaknya sudah nggak sabar, nengok ke gerbang rumah terus. Ada juga yang tutup pintu, nggak mau menerimaku, hihihi. Yah, yang begini-begini kuanggap biasalah. Nggak ambil pusing. Pun itu tidak menyurutkan semangatku untuk tetap jalan terus, pindah dari satu pintu ke pintu yang lain.
Sampai sini, aku ingin bilang, INILAH AKU.
Aku suka dengan diriku yang seperti ini. Bekerja semaksimal mungkin. Bekerja se
perfect mungkin. Karena inilah caraku mencintai diriku sendiri,
self love-ku. Lelah, tapi, aku hepi, bahagia banget. Aku sendiri berharap, aku bisa seperti ini, sampai kapanpun, di manapun, untuk hal apapun, dan untuk status apapun.
Alhamdulillah, selama ini selalu saja mendapat
support system dari orang-orang terdekatku, termasuk wali muridku. Saat ditinggal ibuk, aku sempat takut, aku tak bisa bangkit lagi dalam hal ini. Karena dari dulu ibuk yang selalu '
meremehkanku'. Ternyata, cinta kasih Allah tidak berkurang sedikitpun untukku. Aku memang sudah kehilangan fisik ibuk, tapi cintanya, sama besarnya, datang dari orang yang tak terduga. Banyak yang
gumati denganku. Maju terus!