Tidak dilahirkan di Kudus, bukan berarti saya tidak cinta dengan Kota Kudus. Hampir dua tahun ini saya mulai mengenal Kudus sebagai kota yang miskin ruang terbuka. Namun, sebenarnya banyak ruang terbuka yang ada di Kudus, tapi sayang belum ada upaya untuk mengembangkannya.
Di tengah minimnya ketersediaan ruang terbuka di Kudus, Simpang Tujuh yang merupakan salah satu ruang terbuka yang telah berhasil dikembangkan serta merupakan realisasi dari rencana Bupati Kudus, H. Musthofa, tiga tahun lalu ini perlu diacungi jempol. Karena, dulunya simpang tujuh yang menurut beberapa referensi merupakan kawasan ’’suci’’ yang tidak boleh dijamah oleh sembarang orang. Kawasan yang lebih dikenal warga masyarakat dengan sebutan alun-alun itu hanya boleh digunakan untuk kegiatan eksklusif, seperti upacara peringatan hari bersejarah nasional, upacara pisah sambut pejabat dan sebagainya. Berbagai bentuk kegiatan lain dilarang diadakaan di situ. Pelarangan itu bahkan dikukuhkan secara tertulis dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Lain cerita dengan sekarang, Simpang Tujuh kini ibarat milik kita bersama. Karena siapapun, dan kapanpun warga bisa menggunakannya. Misalkan saja, jogging, hanya duduk santai menikmati matahari sore, bermain sepak bola, atau menikmati sajian jajan yang ditawarkan oleh PKL yang ada di sekitar area tersebut , hingga live music.
Layaknya icon – icon dari kota lain yang selalu menjadi sorotan, kebebasan penggunaan Simpang Tujuh bagi semua warga ini justru menimbulkan masalah baru mengenai kelestarian lingkungan hidup di area Simpang Tujuh. Semakin banyak orang beraktivitas di dalamnya, maka semakin besar kemungkinan lingkungan hidup di area tersebut akan rusak, contoh kecilnya adalah rumput.
Menurut pengakuan dari Bupati Kudus H. Musthofa Wardoyo, dalam kapasitas sebagai area terbuka publik nanti, Simpang Tujuh tidak hanya berkemungkinan dijadikan alternatif hiburan keluarga. Akan tetapi juga tidak tertutup kemungkinan dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima (PKL) untuk dijadikan tempat buruan oleh – oleh bagi para wisatawan.
Berdasarkan pengakuan di atas, maka apabila semua itu terealisasi maka kemungkinan kerusakan lingkungan hidup terutama tentang rusaknya rumput di area tersebut itu akan benar – benar terjadi. Adapun langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah yang berwenang memberikan ijin penggunaan Simpang Tujuh adalah dengan adanya moratorium atau pemberhentian penggunaan sementara sekaligus adanya program penanaman kembali secara berkala.
Namun akan lebih baik lagi apabila mereka yang berwenang memperhatikan tiga hal berikut:
1. Penyediaan tempat sampah di area Simpang Tujuh diperbanyak jumlahnya. Karena semakin banyak orang yang berada di area tersebut, maka kemungkinan menumpuknya sampah tidak bisa dipungkiri.
2.Adanya pembagian daerah di Simpang Tujuh, misalkan untuk area bermain anak – anak, area olahraga, area istirahat, area PKL, dan lain - lain. Jadi selain jelas penempatannya, Simpang Tujuh juga terlihat rapi.
3.Dan yang terakhir adalah adanya petugas keamanan yang memantau masing – masing area, karena melihat minimnya kesadaran masyarakat kita untuk menjaga apa yang kita miliki.
Semoga apabila rencana ini benar – benar terealisasi bisa berguna bagi semua pihak.
Tulisan ini saya gunakan untuk mengikuti tes seleksi Temu Mitra Lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar