"Kalau beli sawah garapan setahun 5 juta, eh, pas panen sekali hanya laku 4 juta. Rugi bandar. Belum pupuknya. Biaya kombi. Tenaga yang ngangkut. Wis tobat tenan."
Begitulah obrolan orang-orang sepuh di sekitarku saat musim panen padi tiba seperti sekarang ini. Ini bisa jadi salah satu faktor kenapa orang-orang pada malas garap sawah. Lebih memilih untuk menjual garapan (disewakan) kepada orang lain dibandingkan menanaminya sendiri.
Ironisnya, saat harga gabah (padi yang sudah dipanen) murah meriah, tapi di pasaran harga beras masih mahal. Kan lucu.
![]() |
Di sana tuh yang ada rumahnya, dulu, di sana itu, ya, sawah semua. |
Faktor lain adalah harga pupuk yang mahal terus dapetinnya juga susah. Lengkap sudah alasan untuk tidak jadi petani. Orang-orang di sekitarku memilih cari kerja serabutan di Semarang dari pada mencangkul di sawah yang hasilnya ora mbejaji (tidak menguntungkan).
Wajar juga kalau lama-lama banyak juga lahan persawahan yang dijual kaplingan. Banyak juga yang melepas lahan sawahnya dengan harga fantastis untuk pembangunan pabrik. Tapi, apa kabar dengan anak cucu nanti yang di tahun 2050 masih berjuang survive mengarungi kehidupan nan fana ini? Apakah mereka tak akan melihat lagi sawah-sawah nan hijau? Apakah mereka hanya akan melihat gedung-gedung yang mengeluarkan asap hitam perusak dinding semesta ini? Kelak, berapa harga beras yang harus dibayar anak cucu kita kalau orang-orang tak mau lagi berprofesi sebagai petani?
Kalau setiap hari anak didikku mendengar keluhan orangtuanya seperti di atas, bagaimana mungkin mereka mau jadi petani di kemudian hari? Mereka hanya tahu kalau jadi petani itu rekoso (tak sebanding hasilnya).
Kemudian, apa yang bisa kulakukan untuk mengajak anak didikku untuk mau meneruskan profesi nenek moyangnya sebagai petani?
Oh, Green Job itu...
#SelasaSharingISB, 9 Februari 2021 lalu, aku mengikuti zoom meeting yang digawangi oleh ISB dan Coaction Indonesia dengan mengangkat tema tentang "Green Jobs dan peluangnya di Indonesia."
Awalnya, aku yang saat ini berprofesi sebagai guru SD, dengar kata "Green Jobs" itu terasa asing. Apakah gerangan? Profesi yang seperti apakah itu? Dan kenapa tema ini diangkat?
Sungguh beruntung aku bisa mendapatkan kesempatan ini.
Ternyata eh ternyata...
Setelah mendengarkan Teh Ani, Mbak Koiromah, dan Kak Ve menyampaikan tentang Green Jobs, aku baru manggut-manggut. Paling tidak inilah yang bisa kuserap dan mengendap di dalam ingatanku dari apa yang beliau-beliau paparkan.
Semua berawal karena dunia ini memang sudah sepuh, tua. Perubahan iklim yang ekstrem sangat memprihatinkan. Sekarang saja kita sudah merasakan, bulan apa, eh musim apa. Banjir, longsor, gempa, dan angin ribut di mana-mana.
![]() |
Data dari BNPB, sepanjang bulan Januari 2021 ada 263 bencana. Per hari bisa 9 bencana terjadi. Ya Allah. |
Kalau kita sebagai manusia hanya begini saja, jalan seperti ini, sampah di mana-mana, pohon-pohon ditebangi, lahan sawah jadi pabrik semua, tanah ditambang terus menerus, jangan tanya 20-30 tahun ke depan dunia jadi apa. Bisa-bisa gulung tikar sebelum kiamat. Amit-amit.
Maka dari itu, nantinya, manusia itu akan mengalami yang namanya perubahan besar-besaran. Terutama soal profesinya. Di saat anak didikku tumbuh di usia produktif nanti, mereka diharapkan memiliki profesi yang tak hanya mengenyangkan perut, akan tetapi juga menciptakan rasa nyaman di lingkungannya.
Tentu, nggak enak kalau bisa makan mie rebus lengkap dengan telur dan cabe rawit tapi dalam keadaan dikepung air, kan?
Nah, profesi yang seperti apakah yang dibutuhkan kelak bahkan digadang-gadang bakal menggusur profesi konvensional saat ini?
Profesi inilah yang dikategorikan dalam green jobs, pekerjaan yang ramah lingkungan. Ada banyak macamnya, dan saat ini, anak muda mulai banyak merambahnya. Apa sajakah itu? Diantaranya ada; petani urban, perencana perkotaan, ilmuwan lingkungan, insinyur lingkungan, ilmuwan konservasi, ahli hidrologi, Geoscientists, pengacara lingkungan, Chief Sustainability Officer, dsb.
![]() |
Sembari mendengarkan Mbak Koir menjelaskan hasil penelitiannya. |
Ssstt...dengar-dengar, gaji dari macam green jobs di atas tuh sangat fantastis lho. Wow. Kantong penuh, lingkungan terjaga, siapa yang nolak, bukan?
Aku juga ngiler banget pas Kak Ve memaparkan cerita di atas. Jelas, aku sudah nggak bisa mengejar green jobs tersebut. Tapi, Mbak Koiromah juga mengingatkan, bahwa saat ini, profesi apapun yang kita jalani sekarang, kita masih bisa berkontribusi untuk lingkungan.
Iya, ya. Aku jadi mikir, apa ya yang selama ini sudah kulakukan untuk lingkungan? Dan apa yang bisa kulakukan lagi agar bisa lebih berkontribusi terhadap lingkungan?
Sembari Mbak Koir dan Teh Ani tektokan, aku jadi menelisik profesiku sebagai guru SD ini sudah berkontribusi apa untuk lingkungan? Ternyata...
- Sekarang administrasi kelas sudah meminimalisir penggunaan kertas. Kalau dulu RPP aja untuk satu pertemuan/hari bisa 12 lembar. Kalau sebulan bisa habis berapa lembar? Setahun? Itu baru satu guru, padahal di sekolahku ada 12 guru. Bayangkan berapa banyak pohon yang harus ditebang? Sekarang, kebijakan baru Mas Menteri, 1 RPP 1 lembar. Lumayan ngirit, kan?
- Pandemi ini membawa dampak ramah lingkungan juga. Kalau pas anak-anak tatap muka, otomatis setiap seminggu sekali akan ada ulangan harian. Nah, selama pandemi ini ulangan selalu kulakukan lewat google form. Bukankah ini juga termasuk langkah mendukung ramah lingkungan?
- Soal penggunaan listrik di kelas, saat ini kelas kosong dan hanya berisikan kursi terbalik. Tentu saja lampu dan kipas angin tak pernah nyala.
- Otomatis, karena anak-anak tak masuk sekolah, semua kegiatan guru terpusat di ruang guru. Nah, di sini nih colokan terpakai semua. Ada yang untuk kipas angin, printer, ngecharge laptop dan HP. Pas pulang, biasanya pada lupa tuh nyabut colokan, yah, nggak ada salahnya mulai dari diri sendiri, kucabut colokanku dan kalau masih ada teman yang kelupaan, ya, saling mengingatkan.
![]() |
Coba tengok, colokan di ruanganmu masih nyantol? |
Lahan Ada, Nenek Moyangnya Petani, Apa Iya Mau Alih Profesi?! Jangan!!
Salah satu contoh green jobs yang mencuri perhatianku adalah urban farmer/petani urban. Karena apa? Mereka yang tak ada lahan saja ada kemauan untuk menjadi petani. Nah, kondisi sebaliknya di sini, ada lahan, orangtua punya pengalaman, eh, kini hanya kakek nenek yang mau menjadi petani.
Sebenarnya ini sejalan dengan temuan artikel yang kubaca di Kompas.com bahwa hanya ada 1% anak muda yang mau jadi petani dibandingkan yang berusia tua. Ironis, bukan?
Ini tentu jadi masalah. Padahal peluang ke depan, kesempatan bekerja sebagai petani begitu menjanjikan.
Kalau diperhatikan lebih lanjut, teknologi yang memudahkan pekerjaan seorang petani pun mulai banyak bermunculan. Misalnya, dulu panen padi secara manual atau menggunakan tenaga manusia, kini panen padi sudah tak pakai tenaga manusia lagi. Tak laku karena sudah ada combine harvester, orang sini menyebutnya kombi.
![]() |
Kombi bak robot di tengah sawah dok: mongabay.co.id |
Kombi ini termasuk sangat efisien, dulu panen padi sehektar, dengan tenaga manusia, bisa memakan waktu seharian penuh baru bisa selesai. Tapi, dengan kombi, tinggal duduk manis sambil ngopi, tiga jam pun bisa selesai dan padi hasil panen bisa diangkut pulang ke rumah atau ke tengkulak. Hanya saja, memang, biaya penggunaan kombi di sini masih terhitung mahal. Ini bisa jadi karena belum banyak orang yang punya alat ini. Lama-kelamaan, masalah ini insyaallah pasti bisa diminimalisir.
Masih ada peralatan lain yang canggih dan bisa memudahkan pekerjaan petani, diantaranya ada;
- Tranplanter, alat untuk menanam bibit padi
- Mesin pemilah bibit unggul
- Alat pengering kedelai
- Instalasi pengolahan limbah
- Rayndra, usianya di bawah 30 tahun, dari Magelang, omsetnya per bulan 100 juta sampai 250 juta.
- Sandi Octa Susila, S2 IPB, penggerak 373 petani, mengelola total 120 hektare, omsetnya sampai milyaran.
- Roni Hartanto, 27 tahun, alumnus Teknologi Benih, Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, omsetnya sampai 240 juta per bulan.
Mengenalkan Dunia Petani Kepada Anak Didikku dengan Cara yang Mudah
Tidak hanya sekadar menanam kemudian selesai. Tugas ini akan berkelanjutan sampai kenaikan kelas. Jadi, nanti per minggu anak-anak wajib mengirimkan foto tanamannya, adakah perubahan yang terjadi? Atau jangan-jangan malah mati kering kerontang?
Nah, dari situ aku berharap akan ada kesan tersendiri, -oh, menanam tanaman itu nggak susah kok- di hati anak-anak selama bertanggung jawab merawat tanamannya. Dan rasa itu akan dibawa sampai kelak mereka dewasa.
Siapa tahu, ini siapa tahu, ya, akan muncul petani muda sukses di antara murid-muridku ini. Semoga. Aamiin.