Kamis, 24 Oktober 2013

[Ada] MsMahadewi.com Mini Giveaway

Aku sadar aku ini perempuan. Aku juga sadar kalau aku tidak terlalu suka dandan. Namun, semenjak sering bertemu dengan orang baru dan tampilanku selalu yang ter-acakadul, rasa-rasanya aku ingin segera move on dari kebiasaan jelekku itu.

Mau dandan pasti harus mau juga mengeluarkan uang dong ya buat beli make up? Waduh! Aku kan masih menyandang status sebagai mahasiswa. Katanya guru? Iya, guru panggilan berapa sih gajinya (bukannya tidak bersyukur nih). Nah, untung saja aku nemuin GA dari Mbak Mahadewi yang hadiahnya bikin mataku berbinar-binar. Mau tahu hadiahnya apa? Langsung cek ki SINI ya? Tenang, GA masih berlangsung sampai 7 November 2013. Segera!

Memberi ala Guru TK

Jam istirahat tiba. Anak-anak berhambur keluar kelas untuk membeli jajan di kantin. Aku membereskan buku, majalah, stempel bintang, dan menghapus papan tulis yang masih penuh dengan corat-coret anak-anak. Setelahnya, aku duduk sejenak mengistirahatkan diri sebelum nanti melanjutkan pembelajaran lagi. Lelahnya, keluhku.

Dari arah pintu, ku lihat ada dua anak didikku yang sedang berjalan menuju mejanya. Panggil saja mereka Ninda dan Mitha.
"Kamu gigit yang sebelah sini, aku sini." kata Mitha pada Ninda. Ku lihat Ninda mengikuti perintah Mitha.
"Ini..." kata Mitha lagi menyodorkan es yang ada digenggamannya.

Berulang kali kegiatan itu dilakukan sambil bergantian. Aku yang penasaran segera menghampiri mereka.
"Ninda ndak bawa uang saku?" tanyaku.
"Bawa bu guru, tapi sudah habis buat beli pensil." jawab Ninda polos.
"Bu, Ninda tak kasih jambu sama es kok bu. Nggak papa ya? Kata bu guru kita nggak boleh pelit sama teman. Kan Ninda temanku, boleh kan, Bu?." Mitha menyahut dengan kepolosannya sebagai anak TK.
Aku manggut-manggut dan tersenyum semanis mungkin.

Mendengar kata Mitha ada rasa sejuk di hatiku.
"Ya Allah, bimbinglah anak-anakku ini agar menjadi pemberi yang tulus."

Secuil kebahagiaan bersama anak-anakku yang polos :)

***

Kisahku di atas adalah wujud nyata dari arti memberi bagiku. Memberi tak akan ada batasannya. Memberi itu polos, sepolos anak-anakku di TK Kartini 1. Kalau anak TK bisa memberi dengan penuh kepolosan dan ketulusannya, kenapa kita tidak?


Postingan ini aku ikutkan GA dari Mbak Mahadewi.


Senin, 07 Oktober 2013

Review: Landasan Hak Asasi Manusia

Judul                          : Landasan Hak Asasi Manusia
Penulis                       : Ahmad Samawi
Jumlah Halaman          : 36 halaman

Kurang lebih 69 kepala keluarga yang terdiri 233 jiwa anggota Syiah mengungsi. Rumah mereka dibakar secara paksa. Rata dengan tanah. Keselamatannya terancam karena masalah keluarga yang dikaitkan dengan masalah kepercayaan. Memprihatinkan memang. Hal yang sangat dasar, yaitu masalah kepercayaan namun masih saja diganggu gugat oleh manusia lain.

Terlalu teoritis. Memuakkan. Pun lebih berat dari buku karya Pramodya Ananta Toer, terlebih masalah Sampang di atas, tetapi Ahmad Samawi telah membuat saya berkali-kali membaca tulisannya agar memahami secara tepat. Namanya juga tulisan ilmiah, terkesan kaku. Akan tetapi, kalau bahasa yang digunakan di dalam modul lebih komunikatif, mungkin mahasiswa tidak merasa ‘terpaksa’ untuk membacanya. Termasuk saya di dalamnya.

Ahmad Samawi, mengusung judul “Landasan Hak Asasi Manusia” dalam 36 halaman ini bertujuan ingin menggambarkan pondasi-pondasi HAM yang patut diketahui oleh setiap orang. Kasus Sampang dapat dijadikan contoh bahwa benar adanya jika perbedaan itu ada di antara manusia. Sesuai dengan ungkapan Ahmad Samawi pada halaman 2-4, “Manusia memiliki sifat individu dan sosial. Sifat individu ditunjukkan manusia untuk selalu mementingkan diri sendiri dan sifat sosial ditunjukkan dengan kecenderungan untuk berkelompok. Di dalam kehidupan kelompok tersebut, setiap orang berinteraksi dengan orang lain demi tujuan bersama. Setiap orang merasa menjadi bagian dari kelompoknya dan karena itu ia memiliki loyalitas atau solidaritas (persatuan) kepada kelompoknya. Kehidupan berkelompok tersebut kemudian dijadikan bagian dari sistem nilai yang dijunjung tinggi yaitu persatuan.” Perbedaan itu nyata. Dengan perbedaan masalah kecil ataupun besar bermunculan. Bahkan Allah menjanjikan, ketika manusia bisa menyelesaikan masalah tersebut, maka Allah akan mengangkat derajat manusia itu.

“Bangsa Indonesia tidak memihak pada salah satu atau kedua ideologi kapitalisme dan komunisme. Bangsa Indonesia memiliki ideologi yang disepakati bersama.” (halaman 2-8)

Pernyataan di atas saat ini perlu dipertanyakan, masihkah berlaku? Kenyataan membuktikan bahwa justru masyarakat kini menggunakan ideologi komunisme untuk menyelesaikan setiap masalah. Mereka melupakan landasan filosofis yang mengaharapkan manusia untuk menggunakan pikirannya dalam melakukan segala sesuatu. Karena jelas adanya, ketika suatu pelanggaran terjadi maka bukan hanya aturan negara yang menghukum, bahkan agama dan masyarakat ikut serta untuk memberikan hukuman bagi si pelanggar.

Ahmad Samawi menyebutkan pula bahwa, “Berbeda halnya dengan masyarakat perkotaan. Masyarakat kota memiliki karakteristik interaksi sosial yang bersifat patembayan, sedangkan di dalam masyarakat pedesaan bersifat paguyuban. Artinya, hubungan antarindividu dilihat dari kepentingan masing-masing sehingga bersifat lebih individual.” (halaman 2-24)


Pernyataan itulah yang sering ditemukan akhir-akhir ini. Orang desa dengan orang kota itu berbeda. Kemudian apakah harus memunculkan permasalahan? Tidak. Kemudian bagaimana caranya? Perlu ditanamkan betul apa arti HAM yang sesungguhnya. Berinteraksi dengan masyarakat lain hukumnya adalah wajib, wajib menghormati kebebasan masing-masing, mematuhi peraturan yang ada yang sebelumnya telah disepakati bersama-sama.

Wujud nyata yang bisa dilakukan agar kasus Sampang tidak terulang adalah dengan memberikan pendidikan HAM sejak dini. Tak perlu  muluk-muluk berteori, seorang guru harus mampu memberikan contoh nyata bagaimana menempatkan HAM di dalam kehidupan.

Selasa, 01 Oktober 2013

Berkunjung Ke TMII


Liburan sekolah telah tiba, Rino dan adiknya yang bernama Tiara mengisi liburan dengan mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah atau TMII. TMII berada di DKI Jakarta yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka. Rino dan Tiara sangat gembira ketika sampai di TMII. Di sana  mereka dapat melihat berbagai macam budaya yang ada di Indonesia terdiri dari miniatur rumah adat, museum, pakaian adat, senjata tradisional, suku-suku yang ada di masing-masing provinsi di Indonesia, dan masih banyak lagi.
Ketika sampai di depan Anjungan Jawa Tengah, Rino ingin melihat rumah adat Jawa Tengah yang biasa dikenal dengan rumah adat  Joglo. Mereka berfoto-foto bersama. Rino dan Tiara sangat senang karena sewaktu masuk ke dalam rumah adat Jawa Tengah mereka teringat nenek dan kakeknya yang rumahnya Joglo seperti yang ada di TMII.
Setelah itu mereka menuju ke anjungan DKI Jakarta. Tiara berlari ke arah Ondel-ondel yang memang khas sekali pada suku Betawi ini. Beruntung sekali di sana tepat ada semacam pertunjukkan tarian khas Betawi. Tiara langsung mengambil posisi paling depan untuk menyaksikan perempuan Betawi yang melenggak-lenggok dengan indah.
Di sela menyaksikan tarian khas Betawi ayah berkata “Yuk, kita lihat anjungan yang lain!”. “Sebentar Yah, indah sekali tariannya.” jawab Tiara keheranan. “Benar sekali Ayah, tarian ondel-ondel ini memang sungguh indah.” tambah ibu mereka.
Setelah pertunjukkan selesai mereka bergegas menuju anjungan Bali yang disambut dengan megahnya “Bali Pavilion Gate”, di sana terasa sekali nuansa Balinya. Ketika mulai berjalan meninggalkan halaman “Pavilion Gate”, petugas memberitahu jika malam nanti akan ada pertunjukkan Tari Kecak Bali. Namun, ibu terlihat sudah capek. Jadi tidak mungkin kami di TMII sampai malam nanti.

Dari anjungan Bali, kami menuju ke anjungan Sumatera Barat. Benar sungguh indah rumah Gadang rumah adat masyarakat Minangkabau ini. “Tiara mengamati dari kejauhan, “Iya benar Kak Rino.”jawab Tiara.
Kemudian mereka menuju ke anjungan Jambi yang sepi pengunjung di sana. Ibu terlihat capek, maka kami pun sejenak istirahat di sana. Tiara dan Rino berkeliling melihat rumah adat Jambi yang pada umumnya menjadi tempat tinggal Suku Melayu di Jambi.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke anjungan Sulawesi Selatan yakni melihat Rumah Panggung (rumah adat Suku Toraja, Sulawesi selatan). Di Samping Suku Toraja, Suku Bugis juga menempati rumah panggung sebagi tempat tinggal keluarganya. 

Sejenak berkeliling mereka terakhir mengunjungi anjungan Papua yang disambut Rumah Honai sebagai rumah adat Papua yang sungguh indah. Di sana dilengkapi sejarah suku Asmat, suku Dani yang tinggal di Papua.
Pada kesempatan  terakhir di TMII ini, mereka berkunjung lama di Rumah Honai sambil bercerita dan menikmati nuansa papua bersama kak Rino, ayah dan ibu tentang keragaman suku dan budaya di Indonesia yang sungguh banyak sekali. Maka sebagai warga yang baik harus menjaga dan menghargainya serta melestarikan keragam suku dan budaya Indonesia ini. Setelah petang  mereka pun pulang kerumah.