Sabtu, 15 Februari 2014

Aini

Mata sipit, kulit sawo matang, tinggi badan sama-lah denganku, satu hal yang selalu aku ingat darinya adalah kesetia-an menjaga diri dengan jilbabnya yang syar’i. Pertama aku tahu dia kapan ya? Saat semester 3 deh. Dia mengalihkan pandanganku karena jilbabnya yang syar’i.


“Subhanaallah, kapan aku bisa seperti dia?” itulah ekspresi pertamaku saat melihat dia. Maklum, kami memang satu angkatan. Tapi dia kelas A sedangkan aku kelas D. Jadwal kuliah kami sangat padat, jadwal pagi di gedung A, jadwal siang di gedung Z. Jadi ya hanya tahu saja dia itu anak kelas A, itu juga tahu dari seragam kelasnya.

Apakah kamu percaya dengan kekuatan pikiran? Ya, aku dulu pernah berpikir kapan ya aku bisa berkenalan dengan dia. Dan ternyata Allah mengabulkan. Aku bertemu dengannya di kelas keterampilan komputer. Semenjak hari pertama perkuliahan itu, aku tahu namanya. Panggil saja namanya Aini.

Seminggu sekali kita bertemu di kelas keterampilan komputer. Di kelas ini dari semua progam studi kumpul jadi satu. Mungkin karena dari program studi yang sama dan di kelas ini paling sedikit jumlahnya, dia sering duduk di kursi sebelahku. Kami mulai sedikit akrab. Ketika bertemu di luar kelas keterampilan komputer dia selalu menyapaku lebih dulu, “Assalamualaikum, Icha. Apa kabar?” sambil cipika-cipiki. Seperti itu terus.

Aini, lama tak pernah bertemu dengannya, aku dibuat shock dengan adanya kabar kalau dia baru pulang dari rumah sakit. Dia mengalami kecelakaan yang cukup parah. Ceritanya dia kecelakaan di samping kampus, tulang di bagian pahanya ada yang patah sehingga dia harus dioperasi. Karena kesibukan PPL di SD dan mengurus proposal skripsi tak ada pikiran untuk menjenguknya, ada sekelebat keinginan untuk SMS dia tapi aku takut kalau justru mengganggu. Jangan ditiru ya?

Aku tahu kabar dia selanjutnya dari teman PPLku dulu yang kebetulan teman sekelas Aini. Aini mengambil cuti untuk kuliah semester 7 kemarin. Aku masih tak berani SMS dia. Apalagi saat aku mendengar kabar kalau dia ngambek tidak mau berlatih berjalan karena ditinggal abah dan uminya mengantar jamaah yang pergi umroh.

“Kuatkah aku jika aku ada di posisi Aini?”

Suatu ketika HP ku berbunyi, ada nama Aini di sana. Masyaallah, dia yang justru menanyakan kabarku, selama ini aku kemana ya? Kenapa aku tak berani SMS dia dan menanyakan kabarnya, terlebih lagi kalau memberikan semangat kepadanya. Sayangnya, SMS-an kami tak lama. Dia tiba-tiba menghilang.

Hari ini rasanya Allah merangkulku. Tak pernah membayangkan sedikitpun kalau hari ini (14 Februari 2014) aku bisa bertemu Aini di kampus. Setelah hampir 2 semester aku tak melihatnya.

“Aini....” sapaku.
“Icha...” dia datang menghampiriku dengan tampilannya yang khas. Perempun yang selalu mengenakan pakaian syar’i.
“Assalamualaikum Icha... Apa kabar kamu?” kami bersalaman dan cipika-cipiku.
“Alhamduillah Aini... Kamu sudah sembuh Aini?” pertanyaan bodoh meluncur dari mulutku.
“Iya, Cha. Pas aku di rumah sakit, kamu kok nggak datang?” mak deg hatiku. Segitu pentingkah kehadiranku baginya? Ya Allah, aku ini bukan teman yang baik.
“Maaf Aini, aku baru tahu kabar kamu pas kamu sudah pulang.”
“Iya, nggak papa, Cha.”

Kami mengobrol sebentar. Tampak di sebelahku juga ada seornag perempuan, mungkin kakaknya. Aini ke kampus diantar oleh kakaknya. Ya, karena Aini masih sedikit kesulitan untuk berjalan. Di sela-sela obrolan kami, ku lihat Aini menahan rasa sedihnya. Tampak matanya berkaca-kaca. Sebelum air mata itu tumpah, Aini minta pamit padaku.

“Semangat ya! Aini kuat.” dia meninggalkanku bersama lenyapnya salam yang diucapkannya.

Aini, kamu pasti kuat. Ya, kamu kuat.

2 komentar: