Rabu, 24 September 2014

Mengenal Warna dengan Bernyanyi

Memiliki anak yang cerdas memang idaman setiap orang tua. Tapi yang perlu diingat, itu semua tidak bisa dipukul rata untuk setiap anak. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Seperti halnya keponakan saya, Rena.

Oktober nanti Rena berusia 5 tahun. Saat ini sudah masuk TK (tanpa masuk PAUD). Sudah bisa apa dia? Alhamdulillah, dia sudah bisa memegang pensil dengan benar dan pandai meniru. Meniru baik dalam hal menulis, menari, menyanyi, bahkan membuat sesuatu. Satu kekurangannya, dia belum bisa membedakan warna. Kalau hanya menirukan ucapan merah, kuning, hijau, dia handal, tapi kalau menghafalkan?

Rena mengantuk tapi masih ingin belajar

Ya, selama ini dia menyebutkan warna merah dengan warna stoberi, warna oranye dengan warna jeruk, warna hijau dengan warna daun, dll. Inilah PR penting bagi saya. Dia mewarnai OK, bahkan menggambar hooo~ jangan ditanya, dia sudah bisa menggambar “kakak laki-laki dengan mengenakan topi” lho.

Setiap ada kesempatan, setelah pulang mengaji, kira-kira pukul 19.00 WIB, Rena selalu datang ke rumah saya lengkap dengan tasnya. Mengambil meja dan kursi kemudian masuk kamar dan “Ayo De Ka, belajar!”

Kala itu saya berpikir dia harus belajar membedakan warna. Kapan lagi? Tahukah Anda cara apa yang saya gunakan?

Cara pertama, secara konvensional saya menggunakan krayon yang dia miliki sebagai media. Mengambil satu per satu krayon saya tunjukkan kemudian menyebutkan warnanya dan dia menirukan. Awalnya saya menyebutkan 6 warna, tak satupun dia hafal. GAGAL.

Cara kedua, dengan cara pertama saya modifikasi dengan hukuman. Apa hukumannya? Tenang, hukumannya dijamin aman. Bedak. Ya, jadi kalau Rena salah menyebutkan warna maka wajahnya akan saya coret. Sebaliknya, kalau dia benar maka wajah saya yang akan dicoret olehnya. Berhasilkah cara saya ini? Lumayan, tapi saat istirahat sebentar kemudian saya ulang, eh eh eh Rena lupa lagi. Ini anak memang cara belajarnya lemah pada mengahafal. GAGAL.

Wajah Rena yang cemong
Cara ketiga, Gara-gara meja belajarnya ada gambarnya, saya jadi mengaitkan warnya yang ada dengan warna krayon yang dia miliki. Pas saya menyebutkan warna merah, kuning, dan hijau, tahu-tahu Rena bilang, “Itu tho kayak werno pelangi, aku ngerti (Itu seperti warna pelangi, aku tahu)”. Terbesitlah, kenapa tidak dengan bernyanyi saja?

Tahu lah ya, lagu apa yang saya maksud. Yups! Pelangi-pelangi! Menyanyilah kami, saat sampai pada lirik “merah, kuning, hijau, di langit yang biru”, saya sambil menunjukkan krayon dengan warna tersebut. Apa yang terjadi? Cara ini BERHASIL lho. Ya sih hanya 4 warna, tapi yang penting sudah ada kemajuan lah ya.

Namanya juga anak-anak, otaknya akan lebih mudah menerima sesuatu yang konkret. Hehehe. Kenapa nggak kepikiran dari kemarin-kemarin ya? Tapi apa yang Rena alami bisa jadi terjadi juga pada anak atau saudara Anda, bisa jadi juga tidak. Selain itu, kita juga tidak bisa menyamakan cara berpikir kita kepada mereka. Jangan sering mengagungkan kata “kamu harus bisa”. Lebih baik pahami kelebihan apa yang mereka miliki, dan poles pelan-pelan kekurangan mereka. Ingat! Anak itu bukan robot yang baterainya bisa kita ganti setelah ngambek.

Sabtu, 20 September 2014

Ingat! Setiap Anak Itu Unik

Sudah hampir 2 bulan ini saya menjadi guru privat Cantik. Saya hanya bisa berkata, Cantik itu benar-benar beda dengan Nicho. Nicho kalem, pendiam, dan sangat cerdas itu mudah saya taklukkan, lah Cantik?

Cantik saat ini duduk di kelas 3 SD. Anaknya sangat aktif, baik secara tindakan maupun ucapan. Dan satu yang membuat saya surprise sekali, dia bercita-cita ingin menjadi artis. Sungguh sangat berbeda dengan Nicho yang bercita-cita ingin menjadi Romo.

Kalau dilihat dari tingkat kognitifnya, Nicho lebih dibandingkan adiknya ini. Tapi Cantik tak kalah memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh Nicho, yaitu kemampuan verbalnya sangat bagus. Cantik sangat kritis, Nicho? Mungkin kritis tapi tak pernah ditampakkan.

Tahukah Anda sampai sekarang Cantik sering bertanya kepada saya, “Mbak Ika, kenapa sih kok diberi nama kangkung? Kenapa diberi nama meja? Kenapa diberi nama pulpen?.......” masih banyak lagi pertanyaan dia yang awalnya membuat saya gelagapan untuk menjawabnya. Tapi sekarang sih saya sudah terbiasa. Bahkan kalau dia keseringan bertanya, saya jawab, “Wah Mbak Ika belum tahu jawabannya. Buat PR Mbak Ika ya?” Atau “Wah, kita tanya Tuhan, yuk!”

Saya tidak bisa menyalahkan keingintahuannya, karena itu adalah hal yang wajar bahkan menjadi suatu kelebihan yang dimilikinya. Hanya saja saya sering memutar otak, jawab apa ya biar ini anak nggak penasaran? Sampai suatu hari ketika saya mati kutu atas pertanyaan dia, dia malah cerita.

“Dulu pas kelas dua, aku pernah tanya sama bu guru.” kata Cantik.
“Tanya apa sayang?”
“Kan ...kan pas itu bu guru sedang nerangin tentang rumput. Terus aku tanya. Bu, kenapa kok diberi nama rumput?”
“Terus bu guru jawab apa?”
Cantik malah tertawa.
“Loh, kok malah ketawa?”
“Bu guru jawab gini, namanya ya rumput masak namanya Cantik???”
Kami berdua tertawa.
“Terus dek Cantik bagaimana?”
“Ya, aku diam saja. Habis itu nggak tanya-tanya lagi.”

Namanya juga anak-anak ya? Tingkah polahnya bermacam-macam. Tak bisa ditebak. Seperti sore tadi, Cantik agak males belajar. Saya menyadari betul karena tak seperti biasa. Ketika saya tanya, dia menjawab, “Lauknya nggak enak. Aku nggak suka.”

Oalah....anak-anak.  Mau diapakan itulah uniknya anak-anak. Satu sama lainnya berbeda. Kalau Nicho sangat bijak, kalem, dan diam-diam menghanyutkan, adiknya, Cantik, wow banget pokoknya. PR besar saya nih, bagaimana caranya menaklukkan nih anak.

Kamis, 04 September 2014

Perlukah PR untuk Siswa?

Sudah lama saya ingin mencicipi bakso yang ada di dekat sekolah tempat saya mengajar. Alhamdulillah, kesampaian juga. Sebenarnya ada modus lain sih, apalagi kalau bukan mengobrol dengan salah satu orang tua siswa di kelas saya. Penjualnya itu adalah orang tua salah satu siswa saya. Mau tahu lah bagaimana tanggapan orang ta atas kehadiran saya di skeolah tersebut. Guru baru bahkan masih hangat-hangat tai kucing. Hahahahaha.

Biasa ya kalau guru di desa itu harus SKSD (sok kenal sok dekat) plus ramah tamah dengan warga sekitar. Kalau tidak? Wah, gawat ini. Berikut bentuk SKSD saya pada salah satu orang tua siswa saya.

“Bu, mas X kalau di sekolah cukup cerdas, tapi mohon selalu diperhatikan lagi jam belajarnya. Eman-eman kalau sudah cerdas seperti itu tidak dikembangkan lagi.” kata saya.

“Oh, ya Bu. Matur suwun. X itu jarang belajar kalau tidak ada PR. Jadi, tiap hari mbok ya diberi PR, Bu. Biar setiap hari belajar.” Katanya sambil membungkus bakso pesenan saya.

***

Percakapan singkat tersebut membuat saya (guru baru) berpikir, benarkah dengan pemberian PR setiap hari membuat siswa rajin belajar? Memang, saya ketahui guru di kelas sebelumnya, setiap hari memberikan PR kepada siswa. Tapi, selama ini saya memiliki cara mengajar tersendiri, saya selalu berusaha memaksimalkan belajar siswa di kelas dengan cara diskusi, games dan berpendapat sampai dengan penilaian yang hampir setiap hari saya pantau. Pun saya berpikir, anak memiliki hak untuk bermain, kalau seandainya pulang sekolah, istirahat sebentar kemudian sekolah madrasah, kemudian malamnya mengaji, kapan waktu mereka istirahat dan bermain? Rasanya kok kasihan sekali masa kecil mereka.


Selain itu, saya juga berpikir, dengan pemberian PR, PR itu sendiri belum tentu juga hasil murni dari siswa. Bisa jadi karena campur tangan atau bahkan hasil kinerja dari orang lain. Saya kurang srek dengan hal tersebut. Maka dari itu, saya tidak pernah memasukkan nilai PR pada buku daftar nilai siswa. PR pun biasanya saya seminggu sekali itupun kalau materinya memang benar-benar butuh pendalaman dan waktunya di sekolah kurang untuk membahasnya. Kalau memang ternyata di sekolah sudah cukup, ya buat apa PR. Itu bagi saya.

Nah, kalau Anda sendiri, sebagai orang tua, kakak, saudara dari mereka yang masih sekolah, dalam hal ini siswa masih duduk di kelas rendah (kelas 3-kelas saya), perlukah PR untuk siswa? Mohon masukkannya. Terima kasih^^