Minggu, 16 November 2014

Dua Perlakuan yang Berbeda

Kalau ada ungkapan, “Jangan menilai orang dari tampilannya”, maka saya akan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan berteriak, “Saya SETUJU”! Pasalnya, siang tadi, ketika saya survey harga matras spring bed di beberapa toko di kota saya, apa yang saya dapatkan?

Tujuan utama saya keluar rumah hari ini adalah belanja beberapa keperluan kosmetik. Berhubung di sebelah supermarket (tempat belanja) ada toko yang memajang spring bed saya pun mampir.

Sumber DI SINI

“Mbak, permisi. Mau lihat-lihat dulu matras spring bed-nya boleh.”
Orang yang saya ajak bicara hanya menatap saya, kemudian mempersilahkan saya untuk masuk dan melihat-lihat.

“Mbak, ini ukuran berapa ya?”

“160 x 160.” jawabnya agak ketus.

“Kalau ukuran 140 x 160 ada nggak, Mbak.”

“Ukuran berapa?” pegawai toko itu seperti memastikan kalau dia tidak salah dengar.

“Mana ada ukuran segitu, Mbak.  Itu harus pesan dulu. Pilih ini bisa tapi harus motong dulu, ada biayanya tambahan lagi!!” Nadanya sangat ketus. Duh duh. Saya mulai tidak nyaman. Serasa saya ini seperti orang yang ditagih hutang dan nggak bayar-bayar. Huh. Begini ya kalau mau tanya-tanya dulu. Mending kabur. Tanpa basa-basi lagi, “Oh...gitu ya, Mbak. Kalau begitu makasih ya, Mbak. Tak lihat-lihat yang lain dulu. Maaf merepotkan.”

“Ya.”

Istighfar berulang-ulang. Ampuni dia ya Allah, tak seharusnya dia sekasar itu, tidak malukah dia dengan jilbabnya? Saya berjalan cepat meninggalkan toko tesebut sambil berpikir, baru PMS kali ya. Tidakkah dia tahu sedang berbicara dengan konsumen, apalagi lebih tua darinya.

Tak jauh dari toko tersebut, saya melihat ada toko serupa. Saya pun memutuskan untuk memarkirkan motor saya. Terlihat ada perempuan muda berpakaian kaos bola, tim MU kalau tidak salah. Lekuk tubuhnya kentara sekali. Dia sedang menyiram halaman toko untuk meredam debu yang berterbangan.

“Mau cari apa, Mbak?” tanyanya ramah sekali.

“Mbak, mau lihat-lihat dulu boleh. Mau cari spring bed tapi yang matras.”

“Oh, sini Mbak.”

Dari kejauhan saya lihat ada perempuan paruh baya namun masih terlihat sangat enerjik. Saya memanggilnya Cici. Pemilik toko tersebut.

“Mau cari apa, Neng?”

“Ini Ci, mau lihat-lihat dulu sekalian tanya-tanya harga spring bed yang matras.” jawab saya pada Cici (sapaan untuk perempuan berdarah Cina).

“Oh ya ya, boleh. Sini-sini, mau ukuran yang berapa? 120, 140, 160, atau yang 2 meter. Mbak (manggil pegawainya yang menyapa saya tadi)... matrasnya di sebelah mana?” 

Dua perlakuan yang berbeda dari mereka yang berpenampilan berbeda pula. Jujur, saya yang berjilbab (juga) merasa tertampar atas perlakuan penjaga tokoh yang pertama tadi. Tapi inilah hidup. Apa yang kita temui, resapi. Mana yang harus dikonsumsi dan mana yang harus diinovasi.

Sekalipun saya jarang sekali melayani konsumen, tapi saya ini juga seorang guru. Banyak orang tua yang seringkali menemui saya bertanya ini dan itu. Apakah selama ini saya bersikap tidak mengenakan pula? Semoga Allah mengampuni kami.

Kejadian ini memberikan pelajaran yang berarti bagi saya. Kita hidup membutuhkan orang lain. Selama masih memiliki kesempatan untuk berbagi, jangan sampai kita menyakiti hati orang lain, baik itu dari tingkah polah kita,  apalagi ucapan. Aamiin.

Sabtu, 15 November 2014

(Jangan) Melewatkan Kesempatan

“Ah guru baru, GTT, bisa apa sih?”
“Nanti kalau saya tidak bisa bagaimana? Nanti kalau ini bagaimana?”
“Anak-anak bagaimana?”

***

Banyak alasan tidak akan maju. Sudahlah dicoba dulu. Bagaimana nanti urusan belakang. Itulah yang saya ucapkan pada diri saya sendiri setelah semua terjadi. Dan hanya penyesalan yang ada.

***

Yang guru pasti pada tahu ya kalau akhir-akhir ini banyak kegiatan lomba yang diadakan untuk memperingati HUT PGRI (beda tempat beda cerita juga sih ya). Nah, di tempat saya ada lomba voli tingkat kecamatan. Diharuskan masing-masing gugus mengeluarkan atlet guru Pa dan guru Pi.

Bagian bapak guru yang latihan voli
Alhasil, beberapa guru di sekolah saya pun mengikuti latihan voli yang nantinya akan dipilih tim inti, masing-masing 6 orang baik untuk Pa dan Pi. Jujur, selama latihan saya sedikit ogah-ogahan meskipun kata teman-teman saya ini bisa main voli dibandingkan yang lainnya. Entahlah, saya berat banget meninggalkan anak-anak. Ditambah lagi cuaca yang sangat tidak bersahabat. Apalagi setelah pulang sekolah saya harus nguli lagi. Lama tidak olah raga jadi rasanya tubuh cepat capek. Banyak alasan!

Setelah seminggu latihan, pas hari Kamis, ada latihan lagi. Sayang seribu sayang, bersamaan dengan puasa sunah (seharusnya nggak jadi alasan ya, hiks) saya pun tidak berangkat latihan. Dan apa yang terjadi? Hari itu dibentuklah tim inti.

“Wah, Bu...Bu... kenapa tidak berangkat? Harusnya kan kamu ikut tim inti. Coba tadi kamu bernagkat, Bu.”

Lesu.

Menyesal? Iya! Tapi apa guna? Kemarin sih malas-malasan. Ogah-ogahan. Padahal ini adalah pembuktian, kesempatan untuk menunjukkan siapa saya ini. Bukankah memang guru itu tugasnya tidak hanya mengajar di dalam kelas ya? Haduh! Catat!

Pernahkah Anda mengalami hal yang sama, melewatkan kesempatan yang berharga??

Kamis, 13 November 2014

Bermodal Speaker untuk Pelajaran SBK

Waktu itu, Kamis, setelah melewati tes wawancara dengan kepala sekolah dan beberapa guru di tempat saya mengajar (saat ini), saya pun dipersilahkan untuk mengisi kelas III. Tepat di jam terakhir, setelah perkenalan singkat dengan anak-anak, saya bertanya pada mereka, “Pelajaran selanjutnya apa, Anak-anak?”

“SBK, Buu...” mereka menjawab serempak. Saya masih clingukan mencari jadwal pelajaran yang tidak saya temukan di setiap sudut kelas.

Nggambar, Bu. nggambar, Buuu...” teriak seorang anak yang sekarang sering saya panggil dengan nama Tegar.

“Baiklah. Bu guru akan memberikan contoh di papan tulis ya, kalian buat di buku gambar.” Segera saya mengambil spidol dan menggambar kartun anak laki-laki dan perempuan dengan kombinasi bentuk bangun datar, seperti lingkaran dan persegi.

Kurang lebih seperti ini gambar yang saya buat di papan tulis.
Sumber DI SINI
"Untung saja, tadi malam saat menemani keponakan belajar, saya mendownload gambar dari Google", pikir saya saat itu.

Pada kesempatan lain tapi masih pada minggu yang sama, anak-anak ada pelajaran SBK. Lagi dan lagi, anak-anak merajuk pada saya, “Nggambar Buu...”

Duh, kalau setiap kali pelajaran SBK menggambar terus anak-anak tidak akan berkembang. Meskipun mereka senang. Tapi apakah cukup dengan rasa senang? Harus cari cara lain.

Sepulangnya anak-anak, saya mencoba ndudah almari peninggalan guru kelas yang dulu. Saya temukan beberapa buku pegangan untuk guru. Gerakan saya terhenti pada buku SBK. Saya perhatikan sub tema di dalamnya, ada kegiatan lain selain menggambar. Tidak harus menggambar. Mereka berhak mendapatkannya.

Bertemu Sumber Api
Namanya juga guru baru, di mana-mana jadi topik pembicaraan. Tak terkecuali bagi anak-anak kelas 6 yang saat itu jadi petugas upacara.

"Nyanyinya yang bagus ya?" sapa saya pada petugas paduan suara yang tiba-tiba diam saat saya melewatinya.

"Iya Buu.."

Upacara pun di mulai. Sebagai mantan siswa yang pernah menjadi bagian dari petugas upacara inti tingkat kecamatan (hehehehe...), saya penasaran dengan petugas upacara di sekolah saya ini. Terutama paduan suaranya.

Ternyata, kekhawatiran saya terjadi. Banyak nada-nada yang tidak pas, bahkan ada lirik yang kurang tepat. Apakah ini karena setiap pelajaran SBK mereka hanya menggambar? Iya, mayoritas seperti itu. Di kelas lain juga.

Usut punya usut dengan berlandaskan kearifan lokal sekolah, menggambar jadi fokus utama pelajaran SBK. Memang, setiap tahunnya sekolah kami selalu menyabet juara untuk lomba menggambar, utamanya kaligrafi. Tapi apakah anak-anak tidak boleh mengenyam kegiatan selain menggambar? Atau mungkin gurunya yang kurang 'gerak'? Menyebutkan berbagai alasan untuk meng-aku-kan kalau tugas guru itu banyak. 

Eksekusi
Pernah saya menulis status di facebook seperti ini,


Berani menulis berani membuktikan. Pun saya wujudkan kalimat tersebut. Pagi-pagi saya menemui guru kelas 6.

"Pak kemarin saya lihat panjenengan bawa speaker. Speaker sekolah?"

"Oh, punya saya sendiri. Pinjam? Itu di almari."

Segera setelah mendapatkan speaker tersebut, saya bawa menuju kelas saya. Baru juga meletakkan speaker di atas meja, ada anak yang membuat mata saya melotot, "Bu, nyetel lagu eh bu? Sakitnya Tuh Di Sini, Buu...apik."

"Bu guru punya lagu yang lebih bagus dari itu." sambil mengeluarkan netbook dan bergumam, 'lagu ini lebih pantas untukmu, Nak.'

Saya sedang menyiapkan netbook dan speaker
Namanya juga anak-anak, gagal fokus kalau difoto
Semakin banyak anak-anak yang mengerumuni saya. Mereka pasti penasaran melihat barang 'aneh' ini. Saya pun menggiring anak-anak untuk baris terlebih dahulu sebelum masuk kelas.

Anak-anak berebutan ingin melihat video lagu "Naik Delman" yang saya download dari youtube

"Bu, mau nyanyi ya, Bu?" tanya Fatta.

"Hhmmm..." jawab saya sambil senyum. Fatta langsung bisik-bisik dengan teman di belakangnya.

Setelah berbaris dan anak-anak masuk kelas saya menyampaikan tujuan belajar SBK hari itu.

"Mulai hari ini, setiap pelajaran SBK anak-anak akan belajar menyanyi. Jadi, kalau dalam satu minggu ada 3x pelajaran SBK, 2x untuk menggambar dan 1x untuk menyanyi. Bagaimana?"

"Iya Buuu..."

"Bu, nyanyi apa to, Bu?" tanya Tegar.

"Tegar duduk dulu, nanti bu guru beri tahu." Tegar berlari ke tempat duduknya.

"Siapa yang pernah makan bakso? Rasanya bagaimana? Nah, hari ini kita akan belajar menyanyi dengan lagu yang berjudul Tukang Bakso."

Kemudian saya menuliskan lirik lagu Tukang Bakso di papan tulis dan anak-anak menyalinnya di buku mereka. Sambil menunggu anak-anak menulis, saya menyiapkan senjata saya. Bermodal speaker pinjaman, saya yakin anak-anak akan tertarik dengan pelajaran SBK kali ini.

"Bu, sampun, ayooo, Bu!"

Saya pun memberikan contoh menyanyikan lagu tersebut. Kemudian anak-anak bernyanyi bersama saya.

"Bu pakai itu, Bu..." salah satu anak menunjuk meja saya.

Siap! Lagu Tukang Bakso pun saya putar. Anak-anak pun bernyanyi dengan sendirinya mengikuti irama tanpa saya beri komando. Meskipun kadang salah-salah.

Setelah lagu tersebut saya putar dua kali, anak-anak justru menantang saya. "Bu, maju satu-satu, Buu..maju Buu..."

"Begini saja, majunya satu kelompok. Ayooo coba, kelompok siapa yang berani maju pertama kali??" Tak disangka mereka berebut untuk maju. Saya pun tak menyia-nyiakan momen tersebut.


Inilah nikmatnya jadi guru, kita melakukan sesuatu dan kita pun bisa langsung merasakan perubahannya. Seperti anak yang ada dalam video tersebut, sebelah kanan. Munib, namanya. Dia adalah anak yang paling malu di kelas saya. Tapi apa? Setelah saya eksplor dengan modal lagu yang saya download dari Google dan netbook plus speaker pinjaman bisa mengubahnya sebagai anak yang percaya diri bahkan lupa kalau ibunya sedang menunggu di luar kelas.

Kepolosan mereka pun tampak, saat ada temannya yang salah lirik yang lainnya berusaha untuk men-diamkannya. Ini semua belum tentu akan kita temukan saat mereka menyanyikan lagu yang 'tak layak' dengan usia mereka.

Anak-anak menyanyikan lagu "Kereta Api" di lain kesempatan
Satu hal yang pasti, semenjak ada pelajaran SBK-menyanyi sampai sekarang (2 bulanan) jarang sekali saya mendengar anak-anak menyanyikan lagu yang 'tak layak' dengan usia mereka. Tukang Bakso, Naik Delman, Kereta Api, Ibu Pertiwi, Mengheningkan Cipta jadi favorit mereka.

Kearifan lokal masih jalan, kegiatan lain pun tetap ada. Inilah harapan saya. Anak-anak senang, mereka mendapatkan hak mereka, dan satu hal yang penting lagi adalah kepercayaan diri mereka pun meningkat.

Selamat belajar, Anak-anak.

Kamis, 06 November 2014

Guru: Digugu lan Ditiru

Benar saja ungkapan ini, gurunya kencing berdiri, murid kencing berlari. Duh..duh...duh...Gurunya tidak pakai sepatu, muridnya juga. Gurunya membuang sampah sembarangan siswanya apalagi. Hehehe...

Anak-anak zaman sekarang itu cerdas, bahkan kelewat cerdas. Sangat kritis. Meninggalkan apa faktor penyebabnya, sebagai guru saya harus bisa mensiasatinya dong ya. Jangan sampai gelagapan di depan anak-anak.

Guru itu pekerjaan yang paling mulia tur banyak yang memburu (saat ini). Terhitung, fakultas KIP tak pernah sepi apalagi kekurangan mahasiswa. Mungkin, diantara mereka ada yang memandang jadi guru itu enak, pulang cepat, gajinya sekarung. Hahaha. Jadinya pada ‘terpaksa’ masuk FKIP. Semoga saja hanya sebagian ya, yang lainnya niat banget jadi guru.

Seandainya saja mereka tahu. Guru itu...

Kata teman, tak hanya siswa yang belajar, guru juga seperti itu. Pun saya merasa seperti itu. Semenjak jadi guru banyak hal yang berubah dalam diri saya. Paling menonjol adalah dalam hal bersikap.

Berbahasa, kini saya lebih terbiasa berbicara dengan menggunakan bahasa krama alus kalau terpaksa nggak tahu bahasa krama suatu kata saya menggunakan bahasa Indonesia. Hehehe. Ketahuan ya nilai bahasa Jawa saya dulu berapa.

Pernah, ketika saya marah kepada salah satu siswa menggunakan bahasa ngoko dengan menyebut kata “kowe” rasanya kok ya tidak pantas. Sakitnya lagi saat ada anak-anak yang berbicara dengan saya, “Bu, kowe....” sedih banget. Tapi kan saya mengajari mereka seperti itu. Memberi contoh mereka demikian. Semenjak kejadian tersebut saya lebih berhati-hati, menjaga lisan dan mengingat siapa saya, GURU.

Kuku, semenjak saya TK, selalu diajarkan oleh guru saya untuk menjaga kebersihan. Salah satunya kebersihan kuku. Setiap hari Senin pasti ada periksa kuku. Guru saya membawa senjata berupa penggaris jadi kalau ada anak yang kukunya belum dipotongi pasti kena ‘senggol’ penggaris bu guru. Karena terbiasa, sampai sekarang pun saya tak pernah memanjangkan kuku saya. Jijik kalau melihat kuku yang hitam-hitam.

Ilmu kuku tersebut saya tularkan kepada anak-anak. Tapi tanpa senjata penggaris lho ya. Nah, namanya juga manusia, kadang saya lupa periksa kuku anak-anak. Senin kemarin, saya hendak periksa kuku. Hati saya gelisah. Karena kuku saya sendiri belum saya potongi. Periksa kuku tetap saya laksanakan dengan catatan jangan sampai ada anak yang tahu kalau kuku saya agak panjang. Kegelisahan saya lewaaattt. Periksa kuku kelar. Banyak siswa yang kukunya hitam-hitam seperti macan. Hiks...harus selalu diingatkan.

Eittss, tunggu dulu. Waktu pulang sekolah tiba.
“Bu Guru curang, masak anak-anak nggak boleh kukunya panjang, tapi Bu Guru kukunya panjang.” teriak Fatta, siswa paling kritis di kelas saya.
Akhirnya, saya meminta maaf dan berjanji esok hari kuku saya akan bersih, begitu juga anak-anak. Ingat, saya ini GURU.

Satu lagi cerita konyol yang nendang saya sebagai GURU. Ini memang bukan cerita di kelas saya, akan tetapi rasanya kok ya gimana gitu.

Sekolah tempat saya mengajar ini lapangannya masih bentuk tanah, jadi kalau musim hujan bisa dibayangin lah ya? Lantai kelas yang berkeramik putih pasti akan ternoda. Alhasil sekolah membuatkan rak sepatu di depan kelas untuk meletakkan sepatu anak-anak. Itu kalau musim hujan. Kalau musim kemarau? Sepatu bisa masuk kelas kan?

“Pagi-pagi kok sudah nyeker (tak mengenakan sepatu), kenapa?” tanya saya pada segerombolan anak kelas sebelah. “Kalau kalian pernah lihat berita, banyak lho anak-anak yang tak seberuntung kalian. Sekolah nyeker karena tidak punya uang untuk membeli sepatu. Nah, kalian?”

Anak-anak nyeker
“Alaaah, Bu. Bu A kalau di kelas juga nyeker.” Langsung makjleb deh ya. No komen lagi. Benar saja, ketika jam istirahat saya melihat guru yang dimaksud riwa-riwi nyeker. Bahkan pimpinan sekolah mengenakan sandala kalau di sekolah. Tepok jidat.

Ah, saya tak bermaksud menghakimi. Tapi inilah kesinambungan antara siswa dan guru. Mereka butuh contoh, bukan perintah. Semua orang bisa nuntut, tapi sedikit yang bisa memberi contoh. Kalau sudah seperti ini, ingat saja siapa saya ini? Ya, GURU. Digugu lan ditiru.

Kalau kata ibu, "Iling tujuan, Nduk."