Ika kangen.
Kangen yang tak mungkin terobati seperti ramadan yang lalu, lalu, dan lalu.
Begini, ya, rasanya setelah kehilangan ibuk?
Kalau saja bisa memilih, aku ingin bisa menangis sekeras dan selama mungkin saat ibuku meninggal.
Sayang, aku tak bisa.
Mungkin benar kata orang, aku tak bisa menangis karena aku terlalu berduka. Tangisku tertahan.
Imbasnya, kini, aku merasa ada yang aneh dengan diriku.
Aku lebih mudah marah.
Setiap kali ada bunyi yang agak keras atau orang berteriak, dadaku langsung tratapan (deg deg an nggak karuan), dan terakhir, aku terlalu khawatir banget banget banget kepada bapak.
Saat Wabah Corona Datang, Bapakku, Bapakku, Bagaimana dengan Bapak?
Kamu tahu sendiri, kan, kalau tidak semua orang bisa work from home selama pandemi ini? Dua orang terdekatku yang harus tetap keluar rumah, ya, bapak dan suamiku.
Terutama bapak. Pekerjaannya terlalu beresiko karena setiap hari harus bertemu banyak orang dan bolak-balik rumah-Semarang-Purwodadi. Setiap hari seperti itu.
Apalagi setelah meninggalnya ibuk, bapak seperti gila bekerja. Bahkan bapak kalau dari Semarang tidak pulang ke rumah lebih dahulu. Langsung cus ke Purwodadi. Pulangnya nanti selepas maghrib.
Seperti itu setiap hari. Hati anak mana yang tak khawatir? Aku nelangsa.
Setiap kali sendirian,
"Ya Allah, izinkan aku merawat bapakku lebih lama lagi. Izinkan aku membahagiakan bapak, Ya Allah. Lindungilah bapak."
Aku sempat mikir, kenapa harus ada wabah Corona ini? Apakah Allah ingin aku lebih berduka lagi setelah kepergian ibuk, 11 Februari 2020 lalu? Dukaku belum benar-benar berkurang, kini, malah Allah membuatku sangat cemas akan keselamatan bapak.
Berbagai berita tentang wabah virus corona ini kubaca. Kucari tahu, aku harus bagaimana agar bapak terhindar dari virus corona ini?
Hampir semua grup whatsapp yang kuikuti membahas virus corona. Pengertiannya, gejalanya, langkah-langkah mencegahnya, masalah kekurangan APD, harga masker yang melambung tinggi dan mulai langka, vitamin C yang semula harga 5000 jadi 20000 sampai korban jiwa yang makin hari makin bertambah.
Semua informasi bertubi-tubi masuk ke dalam relung otakku. Kulahap semua. Setiap kali ada status whatsapp teman kubaca demi tahu info terupdate dari virus corona ini.
Sayang, ada satu hal yang kulupakan sebelumnya. Yaitu, mentalku yang masih down setelah ditinggal ibuk. Pun fisikku yang masih sangat lelah dengan perubahan rutinitas di rumah, yang awalnya menyelesaikan berdua dengan ibuk, enam bulan terakhir ibuk benar-benar nggak bisa aktivitas, kemudian bolak-balik menemani ibuk di rumah sakit untuk kemo, aku oleng.
Lengkap sudah, fisik lelah, mental down, masuk semua informasi tentang virus corona. Sialnya informasi tersebut justru lebih sering yang bersifat negatif, menakutkan dan menghantuiku.
Satu minggu lebih aku tidak berangkat ke sekolah. Saat itu aku masih aktif ke sekolah, tapi anak-anak sudah diliburkan.
Aku ambruk.
Badanku sedikit demam, kepalaku pusing, dan batuk-batuk.
Aku kena virus corona????
Tapi, aku tidak ke mana-mana. Ya, hanya ke sekolah, belanja, pulang, sudah. Jangan-jangan bapak yang bawa virus corona?
Pikiranku nggak karuan. Tubuhku nggak enak banget. Mau ngapa-ngapain jadi malas.
Sampai akhirnya, aku ketemu sebuah artikel yang nyelip di antara berita virus corona. Yaitu, psikosomatik. Adalah aku mengalami gejala-gejala seperti virus corona. Hal ini hanya keluhan bukan sebuah penyakit. Apalagi kalau bukan karena gempuran informasi tentang viris corona yang membuatku stress dan cemas secara berlebihan.
Maklumkah dengan kondisiku yang baru saja ditinggal ibuk kemudian ada virus corona ini? Maklum, bukan?
"Sudah, Mbak, kalau ada yang share informasi tentang virus corona nggak usah dibaca." Begitu nasihat kepala sekolahku saat aku tak kunjung ke sekolah juga.
Ya Allah, nggak semudah itu. Info itu terus masuk ke grup whatsapp. Aku tidak buka, terpaksa membuka. Karena kupikir ada info yang penting. Sampai akhirnya, aku keluar dari beberapa grup whatsapp.
Ada yang memberi saran, "Puasa sosial media saja."
Ya, nggak semudah itu juga. Lha wong semua pekerjaan menulisku harus mengandalkan sosial media.
Akhirnya, aku bertekad. Kalau ini benar psikosomatik, aku pasti bisa sembuh. Aku yang harus bisa mengendalikan diriku sendiri. Bukan orang lain.
- Aku menerima kalau diriku memang sangat cemas.
- Pasrah dan selalu ikhtiar untuk keselamatan bapak dan suami.
- Tidak lagi sok menyibukkan diri agar lupa dengan kenyataan kalau aku mengalami psikosomatik.
- Istirahat sangat cukup.
- Selalu berdoa dan mendekatkan diri ke Allah.
- Membaca buku motivasi.
Persiapan Lebaranku Selow Banget
"Lebaran nanti dua yang nggak ada. Ibukmu sama bulekmu yang nggak bisa pulang karena virus corona."
khawatir & over thinking beda tipiss yaa
BalasHapus