Minggu, 26 Agustus 2012

Susahnya Melupakan Kekecewaan

Lelahnya hari ini setelah pulang mudik dari tempat nenek, Pati, belum usai begitu saja. Urusan rumah tangga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Seperti barusan keluar membeli obat nyamuk bakar. Dan ketika pulang bertemu dengan kawan lama, Rosa Lina Permata Nurani. Kawan ketika masih SD. Dia adalah teman sebangkuku dulu.
Setelah panjang lebar, ternyata dia hendak berkunjung ke tempat guru kami waktu SD. Seketika aku ingat kenangan masa lalu. Ketika dikecewakan oleh guru tersebut. Sedikit cerita tentang masa lalu.
Saat itu ketika hari perlombaan musik (aku dulu belajar pianika) tinggal seminggu, guru tersebut memintaku untuk mundur. Dan yang akan maju adalah temanku yang satunya. Karena dulu hanya aku dan temanku itu. Rasanya begitu kecewa sekali. Diberhentikan begitu saja. Terlebih dengan alasan aku adalah anak orang tidak punya. Sakit. Sampai sekarang, usiaku 20 tahun, aku tidak akan pernah lupa dengan hal itu.
Lagi – lagi, kekecewaan juga saya dapatkan ketika duduk di SMP. Waktu itu ada guru perempuan yang sering berangkat bersama saya, bertanya dengan saya, waktu ujian duduknya dekat siapa (mengisyaratkan kalau saya menyontek)? Aku jawab dengan santainya, kalau saya duduk di kursi paling depan dekat pengawas (batinku, demi Allah aku tidak menyontek!). Aku baru sadar pertanyaan guru itu ternyata berasal dari kenyataan kalau aku menjadi juara lulusan dengan nilai terbaik waktu lulusan SMP.
SMA. Kalau orang mengatakan masa SMA adalah masa – masa paling membahagiakan, tidak untukku. Sama halnya dengan masa SD dan SMP. Di SMA aku juga mendapatkan perlakuan yang sama. Yang lebih membuatku semakin kecewa adalah ketika akhirnya perlakuan itu menggiringku masuk di PTA bukan PTN.
Entahlah samapi kapan aku akan hidup dalam trauma seperti ini. Aku hanya berharap akau bisa mengolah rasa ini menjadi cambuk keberhasilanku hari ini dan kedepan. Agar aku bisa membahagiakan Bapak dan Ibu terlebih orang yang ada di sekitarku. Ya, aku punya mimpi. Aku ingin menjadi seorang penulis. Agar nantinya aku bisa berkata dengan orang yang selama ini meremehkanku, HAI! AKU BISA!!!

Aku Tidak ingin Meninggal Hari Ini


Bapak sakit. Keangkuhanku, keegoisanku mulai muncul. Kalau saja bapak sampai meninggal. Siapa yang akan membiayai kuliahku? Keangkuhanku begitu besar ketika sampai pada pertanyaan tersebut.
Bapakku adalah tipe orang yang suka sekali mengkonsumsi obat – obatan, bukan narkoba. Tapi obat sakit kepala samapi obat sakit gigi. Dan bapak ku juga gemar sekali minum jamu tradisional seperti seseorang yang hobi makan makanan favoritnya. Obat adalah makanan favoritnya, begitu pikirku. Kalau yang tradisioal aku tak pernah berpikir tentang efek sampingnya, meskipun setiap yang kita minum pasti memberikan efek samping pada tubuh. Tapi ini obat – obat yang mengandung zat kimia. Sampai – sampai aku pernah berteriak keras pada bapak untuk jangan minum obat sehari sampai 5 butir. Ya Allah.. jagalah ginjal bapak. Terlebih bapak kadang juga susah sekali minum air putih. Hatiku semakin ciut.
Sudah empat hari ini bapak mengeluh giginya sakit. Tiap malam tidak pernah bisa tidur. Dan kami pun, Ibu dan aku, tertular penyakitnya, tak bisa tidur. Dan ritual yang sering bapak lakukan ketika tengah malam adalah keluar pergi ke warung untuk membeli obat lagi sekiranya sakit gigi segera pergi dari mulutnya.
Semakin ke sini, aku sadari bahwa ketakutanku seandainya bapak pergi bukanlah sebatas siapa nantinya yang akan membiayai kuliahku, tapi aku belum siap untuk ditinggal pergi bapak kembali kepada-Nya. Ya, aku begitu takut sekali. Aku takut semua akan berubah begitu cepat.
Hingga malam ini, aku bermimpi ada dua keranda mayat yang melintasiku bahkan ada salah satu keranda yang melewati bahkan meloncati motorku. Aku teringat beberapa tahun yang lalu, ketika aku bermimpi hal yang sama dan ternyata itu pertanda meninggalnya kakekku. Tapi mimpi itu dan hari meninggalnya kakekku agak lama. Tapi entahlah, aku serahkan kembali kepada-Nya. Tapi aku benar – benar takut.
Telat sahur. Aku bangun ketika waktu sahur tinggal 7 menit. Aku makan seadanya dan sesempat – sempatnya bersama Ibu. Aku ceritakan apa yang aku mimpikan.dan ibu hanya terdiam. Tidak tahu apa yang ia pikirkan. Dan akhirnya aku dan Ibu pun pergi jamaah sholat subuh di masjid.
Udara hari ini begitu menusuk tulang. Mukena sudah ku kenakan dari rumah, tapi rasanya tetap bbrrrrr.... dingin sekali. Aku pun berusaha menggelayut pada ibu, karena biasanya juga seperti itu. Tak diduga. Ibu sedikit marah seakan risih aku menggelayut padanya. Sampai aku berkata pada Ibu, “Nanti kalau tidak ada yang menggelayuti lagi, kangen.....”.
Aku tidak tahu kenapa tiba – tiba aku bicara seperti itu. Dan ibu tetap pergi meninggalkanku dan aku mengekor di belakang ibu. “Bu, jangan pernah tinggalkan aku sendirian” batinku. Rasanya hatiku hancur. Lebih hancur dari perasaan ketika diabaikan dengan pacar. Rasanya airmataku ingin jatuh. Tak tertahan. Di lain sisi aku berpikir, apakah perkataanku tadi menyakiti ibu? Entahlah aku sibuk dengan apa yang ku rasakan. Dan kembali memandangi punggung Ibu. “Ayo....!” Ku dengar ajakan ibu, tapi entahlah rasanya kaki ini enggan mendekat.
Kata – kataku dengan ibu tadi. Rasa ini muncul kembali. Aku takut hari ini aku akan meninggal. Aku takut hari ini adalah hari terakhirku bersama bapak dan ibu. Teringat masa – masa yang sudah terlewati. Aku belum bisa membahagiakan mereka. Terlebih, terakhir kali aku tidak bisa mempersembahkan IPK terbaikku. Hal yang selalu mereka harapkan dan mendengar bahwa IPKku naik bahkan tertinggi di kelas. Ya Allah.......Rasanya aku tidak ingin meninggal hari ini. Aku belum pernah memberikan kebahagiaan bagi mereka. Ya Allah, urungkanlah niatmu untuk menyabut nyawaku hari ini. Berikanlah kesempatan padaku. Aku ingin membahagiakan mereka. Seperti niat tulus semua anak kepada kedua orangtuanya. Aamiin.

Kata Satria Nova, “Ternyata Menulis Itu Mudah dan Menghasilkan Uang” (Tidak Ada Laptop, Tidak Berhenti Menulis)


Senin, 13 Agustus 2012.

Setengah buku dari Satria Nova telah ku baca. Ada sedikit dorongan untuk lebih rajin kembali menulis. Walaupun hanya untuk mengisi blog ini (ichaituika.blogspot.com) ) yang sepi komentar. Blog yang berisi curahan hati ku dan beberapa tugas kuliah. Ada juga tulisanku yang pernah ku kirim ke beberapa media sosial dan tidak pernah dimuat. Tapi ada satu, tulisanku yang dimuat di buletin kampus. Lupa judulnya apa. Karena terlalu banyak yang ditolak.
Ini niat atau keinginan atau juga bisa disebut sebagai sebuah mimpi. Bahwa saya ingin menjadi seorang penulis. Penulis yang bisa menginspirasi orang banyak, dan melakukan perubahan sekecil apapun untuk lingkunganku. Dari tulisannya (S. Nova), saya tahu bahwa keterbatasan fasilitas bukanlah sebuah halangan. Dan saya membenarkan. Dulu saya selalu mempermasalahkan tidak adanya laptop atau netbook menjadi salah satu penghalang untuk menulis. Dan sekarang setelah memiliki netbook sendiri, semua sama. Semua tergantung dengan niat kita dan bagaimana kita menguasai diri kita untuk tetap menulis, menulis dan selalu belajar menulis.
Tidak ada yang salah untuk memulai belajar menulis dengan cara ku saat ini, ya menulis di blog. Walaupun kesannya sedikit menghibur diri. Aku juga akan memposting tulisanku ini pada note facebookku. Satu hal yang pasti harus aku terapkan saat ini dan kedepannya, jangan mengharapkan banyak jempol atau banyak komentar dari teman yang membacanya. Yang terpenting adalah belajar menulis, menulis, dan menulis.
Dari bukunya (S. Nova), aku juga belajar bahwa untuk menjadi seorang penulis bestseller tidak harus mereka yang karyanya dimuat dalam media massa, apalagi mereka yang selalu menang dalam berbagai lomba penulisan. Karena pada intinya untuk menjadi penulis kita harus belajar terus menerus, selaras dengan kegemaran membaca, mampu menguasai diri dan tak perlu harus memiliki bakat menulis.

Selasa, 07 Agustus 2012

Aku Ingin Menjadi Penulis



Kemarin ketika aku iseng – iseng baca Koran Jawa Pos di perpustakaan pusat kampusku, Universitas Muria Kudus, aku mendapatkan sedikit pencerahan. Aku lupa tepatnya koran itu terbit kapan, dan lupa juga itu di rubrik apa, tapi aku ingat betul namanya, Unun Triwidana, dia adalah seorang penulis. Lima buku antalogi telah lahir dari tangannya.

“Aku tidak akan pernah mampu menulis jika tidak membaca buku.”
Ya, satu kalimat yang begitu menggodaku untuk mengikuti jejaknya. Apalagi dia, adalah salah satu orang yang pada awalnya tidak suka membaca buku tapi akhirnya bisa menulis. Sedangakan akau dari kecil sudah suka membaca dan suka menulis. Walau hanya menulis di buku Diary. Kenapa tidak?
Yang perlu aku tiru juga adalah kebiasaan ia untuk menabung dan uang itu diharuskan untuk digunakan membeli buku. Paling tidak satu bulan satu buku. Ya, mulai hari ini aku akan menabung. Aku akan membeli buku. Dan aku ingin menjadi seorang penulis. Orang yang bisa menginspirasi orang banyak. Aamiin.