Halo. Alhamdulillah posting
tulisan lagi nih. Kali ini aku akan mencomot tema tentang korupsi. Kalau
mendengar kata korupsi, biasanya apa sih yang ada dalam benak kamu? Apa?? *ada
yang bisik-bisik
“Gayus Tambunan?”
Kita dengerin lagu ini dulu
yukkk....
Hayo lagunya siapa? Pas Gayus lagi moncar-moncarnya, lagu ini juga ikutan moncar ya??
Udah ya, kita lanjutin lagi.
He. Apa lagi?
“Mantan Menpora!”
Ho, Andi Malarangeng.
“Yang kirim uang ke rekening 45
perempuan cantik-cantik.”
Oh..... AT ya? Ahmad Fatanah.
Cerdas semuanya! *yeee
Baiklah masuk di akal semua jawabannya.
Tapi tahu tidak apa sebenarnya arti dari kata korupsi? Korupsi kalau di buku Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
anak SD kelas V memiliki arti mengambil
uang negara untuk kepentingannya pribadi.
Sedangkan kalau menurut Kamus Bahasa Indonesia yang aku punya, korupsi memiliki
arti penyelewengan atau penyalahgunaan
uang negara (perusahaan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Jadi,
yang perlu digaris bawahi dari kata korupsi adalah kegiatan yang merugikan atau kalau mengajarkan pada anak-anak bahwa
korupsi itu adalah perbuatan tercela dan
tentunya tidak boleh dilakukan.
Korupsi itu adalah kegiatannya,
nah kalau pelakunya sering disebut dengan koruptor.
Koruptor adalah orang yang melakukan
korupsi atau orang yang menyelewengkan (menggelapkan) uang negara (perusahaan)
tempat kerjanya.
Dari contoh para koruptor di atas,
seakan-akan korupsi itu hanyalah yang besar-besar dan selalu berurusan dengan
negara. Tidak betul itu! Sebenarnya sadar atau tidak sadar, banyak kegiatan
yang mungkin kita atau orang lain lakukan, dan tergolong pada korupsi. Misalnya
adalah main facebook ketika kerja, atau ketika mengikuti perkuliahan di kelas.
Itu adalah contoh kegiatan korupsi waktu. Korupsi tetap korupsi. Entah itu yang
berbau uang ataupun seperti yang aku contohkan di atas.
Ketika di SPBU
Nah, karena di atas ngomongin
tentang korupsi, aku punya keluhan nih tentang tindak tanduk pegawai SPBU (nama
SPBU-nya aku sembunyiin aja ya? Kalau ada yang mau tahu bisa hubungi aku). Karena
berkaitan dengan kepuasaan konsumen, rasa-rasanya aku sebagai konsumen berhak
ya untuk komplain. Atau mungkin kejadian yang aku alami ini juga banyak yang
dialami oleh banyak orang? Boleh deh bagi-bagi.
Pagi tadi (29 Mei 2013), seperti
biasa setiap 2 hari sekali aku harus mengisi bensin si merah.
“Isi berapa mbak?” kata mbaknya
sambil melihatku dari bawah sampai atas. Aku jadi mikir, apa yang salah dengan
penampilanku? Aku jadi risih dilihatnya seperti itu.
“Full mbak.” Jawabku.
“Mulai dari nol ya mbak.”
Ku dengar suara mbaknya cukup
ramah, tapi sayang aku tidak bisa melihat namanya yang tertutup kerudungnya. Tangki
si merah pun mulai full. Aku perhatikan angka yang tertera di layar Rp 10.280. Uang
sepuluh ribuan dua ku sodorkan pada mbaknya. Sambil menunggu kembalian aku
mengogleng si merah.
Kemudian mbaknya menghampiriku.
Diberikannya kembalian sebesar Rp 9.000 dengan uang kertas lima ribuan satu,
dua ribuan satu, satu uang logam seribuan dan dua uang logam lima ratusan. Melihat
kembalian yang diberikan mbaknya, hatiku mulai meradang.
“Mbak, kok kembaliannya cuma
segini. Nggak ada lima ratusan satu lagi ya?”
Tampak perempuan yang umurnya di
bawahku ini agak terkejut. Mungkin tidak mengira kalau aku akan berkilah. Ku
lihat dia mengambil uang di dalam kotak uang dan memberikannya pada ku. Aku pun
meninggalkan SPBU itu dengan sedikit kesal. Aku tidak lagi memperdulikan orang
itu. Dalam benakku jadi mikir, ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali,
melainkan berkali-kali. Dan yang aku herankan, hampir semua pegawai SPBU itu
melakukan hal yang sama. Ya, meskipun ada yang tidak. Bisa disebut oknum nih
ya? Tapi kan banyak yang melakukan seperti itu. Tapi aku memang sudah
berkali-kali mengalaminya, hatiku merasa terusik. Aku memang harus menegurnya.
Bagaimana tidak? Apa yang mereka
lakukan itu sudah termasuk tindakan korupsi. Aku tidak mempermasalahkan besar
kecilnya uang, tapi tindakan mereka sudah merugikan banyak orang. Terlebih
telah melanggar hak konsumen. Bisa saja dilaporkan kepada YPKI. Memberikan uang
kembalian diganti dengan permen saja sudah melanggar peraturan, apalagi ini?
Lihat saja, seandainya mereka
setiap harinya kedatangan minimal 100 orang dan setiap orang mereka korupsi
uangnya sebesar Rp 5.00, berapa yang mereka dapatkan? Kemudian dikalikan 30
hari, berapa hasilnya? Dikalikan 365 hari? Bukankah mereka sudah mempunyai
gaji? Oh..Tidak!!!
Lagi-lagi aku tidak
mempermasalahkan besar-kecil uangnya. Tapi tidakkah kalau kita membiarkan
mereka terus-terusan seperti itu sama halnya kalau kita membiarkan terjadinya
korupsi yang jelas-jelas tampak di deapn mata? Kalau seandainya ada yang
menjawab, ‘Yah, hitung-hitung beramal’. Beramal? Tapi yang mereka lakukan itu
salah. Apakah kita harus membenarkan yang nyata-nyata salah? Semua kembali
kepada diri kita masing-masing. Paling tidak, inilah caraku. Aku hanya bisa
menegur. Selanjutnya, silahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar