Di tengah menanti nilai semester 6
ini keluar, masih ada ujian Toefl yang harus saya laksanakan sebagai syarat
wajib mengikuti ujian skripsi nantinya. Pukul 09.00 WIB, ujian itu akan
diadakan. Karena perjalanan dari rumah sampai kampus membutuhkan waktu 1 jam,
saya pun berangkat pukul 07.30 WIB. Sisa waktu yang ada bisa saya gunakan untuk
istirahat sebelum mengikuti ujian.
Meminta restu orangtua sebelum
berangkat tak lupa saya lakukan. Saya pun berangkat. Selip sana selip sini. Akhirnya
masuk juga di kota Kudus. Kota di mana selama 3 tahun ini saya menuntut ilmu. Semua
masih lancar, sampai ketika saya melewati Hotel Griptha.
Breemmm.....Brr....Brrr....
Ada yang aneh pada kuda besiku.
“Waduh, kenapa lagi ini?” batin
saya.
Saya pun berhenti sebelum lampu
merah dekat hotel tersebut. Saya priksa motor saya itu. Terlihat oli keluar dari
bawah mesin. Panik sudah saya. Tahu apa sih dengan hal per-mesinan. Yang bisa
saya lakukan saat itu hanya celingukan.
“Adakah bengkel terdekat dari sini?”
Aha!
Ada bengkel tambal ban tak jauh
dari tempat saya berdiri. Saya putar balik dan menuntun si merah. Tak jauhlah
hanya 10 meter-an saja. Setelah sampai, Alamak, tukang bengkelnya malah molor.
“Assalamualiakum Pak...Pak...”
Tidak ada sahutan hingga tiga kali
saya menyapanya. Dalam hati saya, ‘Jangan sampai bapak ini nolak saya karena
merasa istirahatnya telah saya ganggu.’
Ketika bapak itu membuka mata,
saya biarkan sebentar beliau mengumpulkan nyawanya.
“Pak, tiba-tiba motor saya macet,
bisa bantu memperbaiki Pak?” saya bicara sambil meraba-raba karakter bapak itu.
Serem juga, rambutnya kriting, gondrong sebahu, dan kumisnya nggak jauh lebat
seperti kumisnya Mas Adam-Mbak Inul.
Bapak itu tidak menjawab, tapi
langsung menghampiri motor saya.
“Itu Pak, tutup olinya kayaknya
hilang.”
“Kok bisa?”
Lha, pertanyaan bapak ini aneh
juga, kalau saya tahu, nggak perlu mampir dan ganggu tidur bapak.
“Nggak tahu Pak. Tahu-tahu sudah
mogok begitu saja. Tapi tadi malam olinya habis diganti.”
“Ooo, mungkin kurang rapat
masangnya.” jawab Bapak itu.
“Trus bagaimana, Pak?” tanya saya
bloon.
“Ya, harus beli tutup dan olinya.”
“Ya. Di mana Pak?” tanya saya
sambil menghitung uang di dompet saya. Waduh, tinggal Rp 40.000.
“Tapi uang saya tinggal Rp 40.000
Pak, cukup tidak ya Pak? Harus ambil di ATM dulu.” srobot saya sebelum Bapak
itu menjawab pertanyaantadi.
Bapak itu tampak berpikir.
“Ini nanti saya pukul 09.00 WIB
ada ujian Pak. Bisa cepat tidak ya Pak jadinya?” saya mensrobot lagi.
Bapak itu lagi-lagi berpikir
sambil memandangi motor saya.
“Sudah begini saja Mbak, saya
antarkan saja ke bengkel nanti Mbak yang beli butuh apa saja tadi.”
“Beneran Pak?” jawab saya
kegirangan. Batin saya, ‘Baik sekali Bapak ini.’
Saat itu juga saya diantar ke
bengkel yang letaknya kira-kira 300 meter-an dari bengkel Bapak baik hati. Di sana
saya membeli oli (Rp 27.000), tutup tempat oli (Rp 3.000) dan selotip (Rp 1.000).
Jadi, jumlahnya Rp 31.000. Ahh....masih ada uang sisa Rp 9.000 di dompet. Tapi mana
cukup buat bayar nanti?
Setelah membeli tetek bengek itu, kami kembali ke
bengkel Bapak baik hati tadi. Setibanya, Bapak baik hati itu langsung menggarap
motor saya. Tak langsung tenang, saya tetap saja panik, jam di HP saya
menunjukkan pukul 08.45 WIB, alamat telat ujian saya ini. Saya mencoba
menghubungi teman yang satu arah dengan saya, tapi ternyata dia baru saja
sampai di kampus. Saya SMS teman yang lain untuk memintakan ijin kepada dosen
yang menjaga ujian hari itu. Dan, OK. Tapi tetap saja, saya harus ujian hari
ini.
“Pak, mohon maaf, kalau seandainya
saya pinjam motornya bapak buat ke kampus bagaimana Pak? Nanti pukul 11.00 WIB
saya balik lagi Pak.” ide itu tiba-tiba muncul.
“Ini sebentar lagi juga bisa Mbak.”
jawab bapak baik hati tadi dengan santai.
“O, baik pak,”
Saya telepon ibu.
“Ibu, motornya mogok . . .” belum
juga selesai cerita aku malah nangis. Ho,
manjanya kumat deh. Sedikit pembelaan dari saya, memang si kuda besi ini jarang
banget rewel, baru kali ini. bisa dibilang ini shok terapi bagi saya.
Saya perhatikan lagi jam di HP. Astagfirullah...sudah
pukul 09.00 WIB. Sepertinya Bapak baik hati itu memerhatikan saya yang dari tadi
gusar.
“Mbak, pakai saja motor saya ini.”
kata Bapak baik hati itu meninggalkan motor saya dan segera mengeluarkan motornya
yang di parkir agak di dalam bengkelnya.
“Beneran Pak??” mata saya
berkaca-kaca. Ini orang baik banget. Padahal tidak kenal saya.
“Tapi sekalian STNK ya Pak?
Soalnya kalau keluar kampus harus nunjukkin STNK.” saya lihat raut muka Bapak
baik hati itu sedikit bingung.
“Ini STNK motor saya Pak sebagai
jaminan.” tambah saya untuk meyakinkan bapak baik hati itu.
“Tidak perlu Mbak, saya percaya.”
“Tidak apa-apa Pak. Ini sebagai
jaminan dari saya. Kalau Bapak tidak mau terima malah saya yang ewuh.”
Agak terpaksa bapak itu menerima
STNK yang saya berikan. Kemudian saya pun tancapa gas. Dari spion motor, saya
melihat Bapak baik hati tadi memandangi kepergian saya. Ah, jadi ingat bapak
ibu di rumah.
Sesampainya di kampus, saya
berlari. Menuju gedung tempat saya ujian. “Huh! Lantai 3.”
Pas tiba di lantai 3, “Mbak telat
ya? Balik saja nanti pukul 11.00 WIB untuk susulan atau berangkat besok pagi
lagi. Ini sudah listening jadi tidak
bisa masuk.”
“Astagfirullah......” langsung
balik kanan grak saya meninggalkan admin sekretariat bahasa itu.
Saya pun kembali ke bengkel. Ketika
saya mau menyebrang, Bapak baik hati itu melihat saya. Wajahnya yang sangar itu
menunjukkan semburat kebingungan melihat saya sudah nongol lagi.
“Tidak boleh masuk Pak, padahal
hanya telat 10 menit. Nanti pukul 11.00 WIB diminta datang lagi.”
Bapak baik hati itu tak
berkomentar. Beliau sedang memperbaiki ban serep truk yang parkir di sisi kiri
hotel mewah itu. Motor saya?
Selang 10 menit, bapak baik hati
itu menggarap lagi motor saya. Menarik sekuat tenaga, tapi masih los. Lagi dan
menyumpalnya dengan selotip. Mengganti dengan bahan yang lain, menambahkan
dengan selotip dan YA! Bisa!
Pak Baik hati ngintip motor saya |
Pak Baik hati sedang menambahkan selotip |
“Ini bisa nyala Mbak, bejo nggak
turun mesin.”
Hati saya sangat lega. Bapak baik
hati itu menjajal motor saya, lari sana balik lagi. Lari lagi, balik lagi.
“Sudah mbak.”
“Sampun, Pak?”
Saya pun membayar jasa bapak baik
hati itu. Dan segera saya berpamitan hendak balik ke kampus. Namun, sebelum saya
pergi, bapak baik hati yang mengaku namanya Ahmad Pardjan itu melontarkan
kalimat yang membuat saya terenyuh.
“Saya juga orang Demak Mbak, tapi
meskipun Mbak-nya bukan orang Demak, saya percaya kalau motor saya tidak akan
dibawa lari Mbak-nya. Kalaupun dibawa lari, itu juga karena ijin Allah Mbak. Sudah
jalan hidup saya seperti itu.”
Masyaallah, entahlah apakah saya terlalu
berlebihan, tapi saya langsung mewek dan mengucapkan terimakasih berkali-kali
kepada Bapak Ahmad. Di tengah kejamnya, kerasnya, acuhnya, sikut-menyikutnya
penghuni negeri ini, masih ada Pak Ahmad yang dengan tampangnya yang ‘nggak banget’ ini, saya mengenal
ketulusan, dan keikhlasan.
‘Masih ada orang baik di negeri
ini.’ batin saya meninggalkan Bapak Ahmad.
Di akhir tulisan ini, saya hanya
berdoa, semoga Anda semua yang selalu baik dengan orang sekitar bisa selalu
dirahmati Allah S.W.T. Apalagi yang sudah baca postingan ini, semoga kebaikan
Pak Ahmad ini menular kepada kita semua. Aamiin.
amiiiin... memang terkadang cover sebuah buku tidak lantas bisa menceritakan isi buku tersebut..
BalasHapusbetul, sangat setuju Mbak :)
BalasHapusTapi kebanyakan masyarakat masih memandang cover-nya Mbak.
Terimakasih kunjungannya.
Thank God, ketemu sama orang yang baik. :)
BalasHapusIya Alhamdulillah :)
BalasHapusBetul mbak Ikah..masih ada kok orang yang baik dan saya pernah merasakan seperti kejadian mbak itu tapi beda versi hehehe
BalasHapuspertolongan yang sering kita terima dari orang yang tidak dikenal biasanya buah dari bibit kebaikan yang sering kita semai sebelumnya (entah kepada siapa). Karenanya, rajin-rajinlah menyebar kebaikan di muka bumi ini karena kita tidak tahu kapan musibah datang pada kita, dan kapan peertolongan Allah datang melalui tangan orang-orang yang tidak kita sangka sebelumnya. Pastinya Mbak rajin berbuat kebaikan karena Allah memudahkan Mbak saat dalam kesulitan seperti itu.
BalasHapusAihhh, ceritanya menyentuh hati banget, btw ini mb Ika suka jeprat-jepret foto ya, sampe pak Tukang bengkelnya mau difoto narsis meski dari arah belakang :D
BalasHapusTitis: Versi apa nih Mbak? boleh diceritakan juga :)
BalasHapusRebellina: Semoga saya juga pernah melakukan kebaikan Mbak. Karena saya selalu merasa kurang beramal baik kepada yang lain. Semoga selalu dilindungi Allah S.W.T
semoga rejeki beliau dilancarkan karena kebaikan hatinya :)
BalasHapusAamiin ya Allah, terimakasih sampun mapir di blog saya.
BalasHapusChristanty: Hihihihihi....
BalasHapusIya mbak, suka jadi tukang foto temen2, bagaimana mau jadikan saya fotografer di hari ultahnya si kecil??