Suka cita ramadhan mulai terasa. Contoh kecilnya
banyak sekali, adalah tweet atau postingan status Facebook teman-teman yang
membahas persiapan ramadhannya. Terang saja, tak ada yang saya siapkan secara spesial.
Entahlah, saya tidak pernah bisa merasakan uforia ramadhan seperti yang
lainnya. Hanya mukena yang bersih dan wangi serta hati yang mulai saya tata
kembali (memangnya selama ini kemana saja hatinya?) saja sudah sangat cukup.
Mengingat cerita ramadhan tahun lalu. Biasanya
seminggu sebelum ramadhan tiba, saya bersama ibu sudah ke rumah si mbah di
Pati, Jawa Tengah (2 jam dari rumah, Pati tempat kelahiran ibu). Biasanya juga
sama bapak untuk ziarah ke makam si mbah kakung sama mbah uyut. Tapi ramadhan
kali ini, rasa-rasanya memang ada cerita lain dari Allah SWT.
Sejak hari Jumat (5-7-2013), ibu
tiba-tiba kena muntaber. Tapi alhamdulillah hari ini sudah mulai fit. Saya tahu
rasa sesal karena tidak bisa pergi ke Pati begitu jelas terpampang dari mata
ibu. Mau bagaimana lagi? Jalan Allah lebih indah, meskipun tidak sekarang.
Kemarin ketika saya pegi ke kampus untuk
mengumpulkan tugas, saya melewati beberapa tempat pemakaman. Banyak sekali mobil
palt luar kota yang parkir sana. Harusnya saya dan keluarga saat ini ada di
Pati, batin saya.
Saya jadi teringat obrolan sore tadi
bersama ibu.
“Bu, kalau tidak bisa ke sana kan bisa
didoakan dari rumah.”
“Ya beda dik, ini kan satu tahun sekali. Nanti
yang lain pada dijenguk anak-anaknya, mbah kakungmu nggak.” terang ibu.
“Lah, kan masih ada tante sama om yang di
sana.” saya malah ngotot.
“Dik, kasih anak itu beda-beda.”
“Ya, tahu kalau ibu itu anak kasihannya
mbah kakung.”
Tidak ada sahutan dari ibu. Saya pun diam.
“Kata Pak Lim (guru ngaji ibu), ziarah
kubur pas mau ramadhan gini itu rasanya beda dik. Apalagi bagi anak yang dulu
durhaka pada orangtuanya yang sudah meninggal ini sebagai gantinya.” jelas ibu
dan saya hanya diam.
“Tapi kan ibu nggak durhaka sama mbah
kakung.”
“Ya kan jelek-jeleknya gitu lho
alasannya.” jelas ibu lagi dan saya hanya manggut-manggut.
Agak aneh juga mendengar kata-kata ibu. Kalau
ziarah kubur bisa jadi penebus durhaka pada orangtua, pasti banyak anak yang
milih durhaka pada orangtuanya. Oh TIDAK! Jelas tidak seperti itu pemahamannya
ya, He J.
Terlepas dari obrolan saya dengan ibu,
pastinya setiap insan menginginkan ramadhannya ini begitu bermakna. Dan doa
sepanjang malam yang ingin dipanjatkan adalah “Semoga bisa bertemu dengan ramadhan
tahun depan.” Ya begitu juga dengan saya dan kedua orangtua. Selalu berharap limpahkan
kebahagiaan serta kesehatan bagi keluarga. Dan secara personal, saya mengharapkan
kelancaran dan kebermaknaan kuliah saya. Aamiin. Dan semoga rejeki semakin
mudah mengalir untuk biaya menikah nanti. Hihihihi, aamiin.
Ini harapan saya dan keluarga, bagaimana
dengan Anda? Mari aamiin-kan bersama.
Selamat menunaikan ibadah Ramadan mak :)
BalasHapusSama-sama ya Mak :)
BalasHapusorang pada bingung pengen puasa kapan, kalo gue sih gak, hue puasa 1 ramadhan :3
BalasHapusWandiawan: Ya, ngikut pemerintah saja saya. Hidup di dalam negra kan memang seperti ini ya.
BalasHapus