Sabtu, 25 April 2015

Ikut Seminar untuk Apa?

Assalamualaikum.

Ikut Seminar untuk Apa?

Jumat (17/4), diantarkan suami saya berangkat mengikuti seminar yang berhubungan dengan profesi saya saat ini, guru. Sedih, sepanjang pagi sampai siang cuaca tidak mendukung, bahkan saat saya pulang dari sekolah pun hujan mengiringi perjalanan saya. Eh, alhamdulillah pas selesai sholat Jumat tiba-tiba cuaca cerah. Matahari tersenyum.

Kalau sesuai jadwal acara seminar akan dimulai pukul 13.00 WIB. Saya berangkat jam berapa? 12.45. Hihi nunggu suami pulang jamaah. Padahal perjalanan sampai tujuan memakan waktu kurang lebih satu jam.

Ihhh, saya yang maunya disiplin waktu agak ngedumel di jalan. Suami sih enjoy saja. "Nanti pasti molor." kata suami. Saya hanya manyun.

Mungkin Allah marah kepada saya kali yaa. Sudah dianterin suami yang bela-belain libur kerja malah manyun, tiba-tiba gerimis turun di tengah jalan. Hiks. Padahal sebentar lagi sampai. Suami menawarkan untuk mengenakan jas hujan. Saya menolak. Pokoknya kudu cepat sampai di tempat acara.

Gerimis menjadi. Hati saya mulai tenang, motor kami sudah masuk kawasan tempat seminar. Lah kok sepi banget? Di sana hanya ada satu mobil dan seorang laki-laki berpakaian necis.

"Maaf, Ibu peserta seminar ya? Mohon maaf karena gedung ini mau digunakan untuk acara kabupaten jadi tempat seminarmya dipindahkan ke daerah kota." dengan tampak yang diimut-imutkan

Duh duh duh. darah saya langsung naik. "Kenapa pemberitahuannya tidak dari kemarin sih, Mas. Saya yang datang dari jauh kan tidak tahu persis tempat itu. Tempat ini saja saya sudah survey dari seminggu lalu. Ah, tidak profesional!"

Suami ikut-ikutan marah. Kami pergi meninggalkan laki-laki yang ku taksir usianya sepantaran saya. Sepanjang jalan saya tanya-tanya pada orang sekitar. Tanya alamat yang dimaksud. Cukup jauh. Butuh waktu 20 menit.

Masuklah kami ke parkiran tempat seminar yang baru. Ah, belum dimulai. Alhamdulillah. Padahal sudah pukul 14.00 WIB. Hihihi. Saya jadi bingung harus senang atau sedih. Setelah dibantu suami melepas helm, saya langsung mencium tangannya dan izin masuk.

Dari meja daftar hadir kelihatan penuh, eh ternyata depan masih melompong. Saya pilih kursi yang paling depan dong. Biar nanti kalau difoto untuk dokumentasi oleh penyelenggara saya kena *modus*.

Tak lama, acara pun dimulai. Seperti biasa, ada sambutan ini dan itu. Pihak panitia juga menyampaikan mohon maaf atas beberapa hal, diantaranya:

  1. Pindah tempatnya acara ini. Iya sih, kenapa juga tidak ada konfirmasi sebelumnya. Padahakan di formulir pendaftaran ada nomor HP kami, peserta seminar.
  2. Ini nih yang kedua yang bikin saya samsoyo esmosi, pembicara atau narasumbernya ganti. Yang semula Prof. dari universitas ternama, eh malah ganti kepala sekolah dari kabupaten seberang. Jujur saja, salah satu motivasi saya untuk ikut seminar ini ingin menimba ilmu lebih banyak dari beliau yang sudah Prof. *tanpa mengurangi rasa hormat ke narasumber yang mengganti*. Tapi rasanya seperti ditipu gitu sama penyelenggara. Mulai setengah hati deh ikut seminar ini.
  3. Pas narasumber eksen, nah kan benar, tak sesuai dengan apa yang saya bayangkan. Yang disampaikan kurang menarik. Sama seperti seminar-seminar yang sudah lalu. Tak dapat apa-apa? Tidak juga sih, ada beberapa pengetahuan baru yang saya dapatkan. 
Sepanjang seminar, telinga saya mendengarkan narasumber tapi tangan saya utak-atik SMS-an dengan suami yang menunggu di luar gedung. Cukup bosan. Bisa jadi karena materinya sudah familiar bagi saya dari sejak kuliah. Ditambah penyampainnya yang kurang menarik. Eh, peserta lain yang kebanyakan sudah sepuh-sepuh malah tambah heboh lagi, alias ngomong dewe. Narasumbernya sampai dicuekin. Ih, kasihan.

Akhirnya, sampai juga di sesi tanya jawab. Beberapa orang bertanya dan narasumber menjawab. Sampai giliran seorang laki-laki yang duduk di pojok seberang sana.

"......Apakah sertifikat dari seminar ini bisa digunakan untuk tambahan angka kredit nanti apabila ada kenaikan pangkat??"

Berawal dari pertanyaan itu, ruangan seminar menjadi panas. Terjadi perbincangan yang sengit antara panitia (narasumber tidak tahu masalah ini) dengan sang penanya.

Intinya panitia mengatakan sertifikat tersebut diakui dinas setempat akan tetapi tidak dapat digunakan untuk tambahan angka kredit bagi PNS yang mengajukan kenaikan pangkat. Sang penanya merasa ditipu karena merasa sudah membayar Rp 100.000 dan jauh-jauh kok tidak berguna. Dan meminta kepala dinas setempat ikut menandatangi sertifikat tersebut agar dapat digunakan untuk kenaikan pangkat.

Saya mulai takut ini akan berakhir dengan adu jotos. Karena satu sama lain berbicara sangat ngotot dan menggunakan mikrofon. Seakan ruangan jadi sesak seketika.

Suami SMS. "Mi, keluar saja."

Loh, suami kok tiba-tiba SMS seperti itu. Berarti sudah ramai di luar. Ternyata, yang duduk di bangku belakang sudah banyak yang kabur. Saya ikutan. Berlari mencari suami di luar. Saya lihat suami sedang berbincang dengan seorang laki-laki yang sedang menunggu istrinya pula.

".....Kalau seminar ini jelas lah sertifikatnya tidak bisa digunakan, lah niatnya ikut seminar untuk apa? Niatnya yang salah." saya mendengar obrolan suami dengan laki-laki tersebut.

Suami yang melihat saya langsung minta pamit. Kami berjalan menuju parkiran. "Umi niatnya apa ikut seminar ini? Menyesal?" tanya suami. "Ya, ilmu. Tapi agak nyesel juga sih. Pertama karena tempat, kedua, narasumbernya yang kurang menurut ummi. Tapi laki-laki yang ngotot tadi menurut ummi ya keterlaluan. Apa nggak malu sama seragam yang digunakan?" jelas saya.

Tak banyak kata. Kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah sakit meninggalkan gedung yang semakin panas dengan suara mikrofon semakin melengking. Menjenguk tetangga yang sakit.

2 komentar:

  1. Ternyata masih ada ya orang seperti itu, kalo ujung2nya cuma nyari sertifikat kenapa kokya ikutan seminar begituan. Apalagi kalo sertifikatnya ga fungsi buat naik pangkat. Hmm.....

    BalasHapus
  2. yaampun kebayang itu rusuhnya seperti apa ya mak. Mak ika gak lari kan yah pas rusuh itu? aku ngilu bayanginnya :D

    BalasHapus