Senin, 06 Juli 2015

Teliti, Berani, dan Peduli

Assalamualaikum.

Bukan perkara nilai nominalnya. Tapi kalau saya hanya diam, membiarkan mereka mengambil yang bukan hak mereka, saya takut dosa. Itu kan sama halnya saya mendukung apa yang mereka lakukan.


Roti oh Roti
Kejadian ini terjadi saat saya belanja roti di pasar tradisional untuk selametan hari ke-40 pernikahan saya dan suami. Saya hendak membeli 20 roti. Pas sampai di los penjual roti.

“Buk, roti yang ini berapa?” setelah tanya beberapa harga roti akhirnya saya membeli roti dengan harga Rp 900/bungkus. Jadi, total uang yang saya bayarkan adalah Rp 18.000. Karena tak punya uang pas, saya pun membayar dengan selembar uang dua puluhan.

“Mbak, Rp 20.000 saya beri 23 roti ya?” bujuk penjual sambil memasukkan roti. Saya sendiri kurang memperhatikan roti yang dimasukkan oleh penjual ke plastik saya. Karena saat itu tiba-tiba ada telepon dari nomor luar negeri, anak tetangga mau ngomong sama ibunya.

Pripun (bagaimana), Buk?” tanya saya lagi pada penjual roti tadi.

“Genap Rp 20.000 saya beri 23 roti.”

“Loh, nggak usah Bu. Pas saja 20 roti.”

Penjual itu mengambil plastik saya dan mengeluarkan 3 roti dengan muka masam. Agak heran, tapi saya segera pamit dan meninggalkan los penjual roti. 

Saat membeli keperluan lain, suami malah bertanya, “Loh Mi, tadi kok rotinya yang diambil beda ya sama yang dimasukkin?”

Saya kaget dong. Maksud suami apa nih? Segera saya cek kantong plastik isi roti tadi. Ternyata benar, 17 roti sesuai dengan permintaan saya, dan yang 3 bukan. Bahkan harganya lebih murah dari harga roti yang saya beli. Berarti yang diambil lagi sama penjual...???

Segera saya kembali ke los roti tadi. “Mohon maaf ya, Bu. Ini tadi kok roti saya ditukar dengan yang harganya lebih rendah. Saya minta tukar.”

Penjual roti itu berkilah ini dan itu untuk menutupi boroknya. Saya pamit, “Terima kasih, Bu. Moga jualannya laris. Tapi mbok jangan seperti itu, Bu. Dosa.”

Penjual tadi menggerutu. Saya berlalu.

Bayam Oh Bayam
Kemarin, suami request ingin buka dengan sayur bayam. Sepulang dari rumah mertua, langsung deh mampir ke pasar (beda dengan pasar cerita di atas).

“Ibu, bayamnya seikat berapa?”

“Rp 3.500, Mbak.”

“Rp 3000 saja lah, biasanya juga segitu.”

“Ya..ya..”

Saya mengambil uang Rp 5.000, dan bayam siap di tangan. Saya pun menerima uang kembalian berupa uang receh. Sambil meninggalkan los penjual sayuran saya pun memasukkan uang kembalian itu ke dalam dompet. Eits! Setelah saya cek, loh kok kembaliannya hanya segini. Saya balik lagi.

“Maaf, Bu. Kembaliannya kok segini, kurang Rp 500 ya?”

“Loh, iya to?” penjual segera mengambil uang kembalian saya yang Rp 500 dan menggantinya dengan selembar uang seribuan. “Maaf ya, Mbak. Namanya juga orang tua.” Saya pun pamit.

Bukan bermaksud buruk sangka, penjual yang ini bisa jadi jujur karena dia teledor. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, uang logam Rp 500 (perak) sama Rp 1.000 kan beda ya diameternya? Yang 1000 lebih kecil dibandingkan yang 500. Terus uangnya juga dimasukkan ke wadah yang bisa dengan jelas dilihat. Ah, sudahlah.

Cerita Dosen
Sama halnya dengan cerita dosen saya yang berkali-kali kena tipu-uang kembalian kurang- di salah satu mini market. Sekali beliau biarkan karena berpikir, ah jumlahnya tak seberapa. Eh, kejadian itu ternyata berulang lagi. Akhirnya beliau turun tangan.

Pertanyaannya adalah apakah hal itu dilakukan hanya pada satu orang saja atau justru dilakukan kepada seluruh konsumen?

Kejadian seperti di atas bisa disebut dengan kejahatan kan ya? Kalau kata Bang Napi kan, kejahatan itu terjadi karena ada kesempatan. Betul? Apakah Anda akan diam saja?

Teliti, Berani, dan Peduli. Itulah yang bisa saya sarankan. Tak pandang tempat, mau di pasar tradisional, di mini market yang tempatnya pakai AC, kejadian semacam di atas bisa terjadi. Kalau tahu itu salah, hendaknya kita berani bersuara. Takut dibilang mricik (perhitungan)? Ih, ya nggak papa lah, kita punya hak kan ya?

Jangan sampai kita membiarkan begitu saja. Membiarkan berarti meng-iyakan. Membiarkan berarti kita tak peduli. Punya anggapan, ah itu bukan urusan saya? Ah, yang dosa kan dia! Sampai kapan mau tutup mata?

19 komentar:

  1. iya kadang di pasar seperti itu tapi kan memang buat kejujuran kan yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kadang untuk menegakkan kejujuran itu memang susah. Tapi jalau diam saja ya apa bedanya???

      Hapus
    2. Seringnya orang tak perduli mbak soal kejujuran kayak gini. Kesannya malah membiarkan alias tak peduli.

      Hapus
  2. Kejujuran semakin langka ya mbak demi sebuah keuntungan -,-

    BalasHapus
  3. Aku pernah nulis soal beginian di blogku. Jadi pro dan kontra. Aku cuma gak suka uang kembalian gak ada dijadikan modus penghasilan tambahan. Big no no lah buat aku.
    Macem2 komentarnya. Yang dikatain aku pelitlah, kikirlah, meditlah, dsb. Dia gak tau kalo 100 perak 200 perak ya tetaplah duit. Jadi antisipasinya aku slalu bawa uang receh kemana2. Dan selalu teliti lagi uang kembalian kita. Biar dikata pelit atau perhitungan ya itu hak kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yes! Kita memamg harus perhitungan mbak apalagi itu hak kita.

      Hapus
  4. Pernah aku beli di pedagang kue ky yg pertama itu Mbak, habis itu males. Alhamdulillah ketemu sama yg jujur dan ramah. Bahkan kalo beli banyak selalu dikasi bonus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo ada yg jujur dan baik kenapa tidak untuk pindah ke lain toko ya mbak.

      Hapus
  5. Kalau di minimarket atau supermarket mah jangan di tanya lagi, sudah jadi kebiasaan malah.

    BalasHapus
  6. Aku kalo belanja di supermarket sering kejadian gitu, krn alasannya utk donasi. Tapi kadang kasir minta pd kita uang kecil agar bisa mengembalikan lembaran 5rb atau 10rb. Enggak mesti juga sih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaaa betul banget mbak. Seringnya mau bilang tidak gitu kok ewuh ya.

      Hapus
  7. Kadang tu ngelus dada, orang susah tapi kok masih nggak jujur. Kayak bunuh diri aja. Kalau di supermarket karena antrian cepat, jd kesempatan spt itu. Selalu sempatkan utk berhenti ngecek setelah selesai dr kasir, sebelum keluar supermarket. Waspadai juga permintaan kembalian jd sumbangan yg tidak dicantumkan di resi. Kalaupun dicantumkan harus ditanya, yayasan penerimanya apa, apakah sama dg keyakinan kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah nah yg yayasan itu mbak seringkali nggak ngeh.

      Hapus
  8. sejujurnya aku ga prnh ngitung2 bgt tiap blnja... kalo di supermarket2, carrefour ato sebangsanya aku biasa pake debit ato credit card. jd apa yg dibeli ya sapa persis nominalnya..kalo dipasar2, nah ini yg ga prnah tau ;p... soalnya aku mnta ART ku yg blanja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beda cerita kali ya mbak kalau pake debit atau kartu kredit. Hihihi tapi nggak tahu juga sih ya.

      Hapus
  9. yap memang teliti berani dan peduli tu sdh satu paket ya mbak..keren dengan ide mbak..

    BalasHapus