Sabtu, 14 Oktober 2017

Kurikulum 2013, Kau Buatku Lelah



“Tapi, Pak, dengan gaji 300 ribu per bulan, bagaimana aku bisa membahagiakan bapak dan ibu?” sergahku.

“Bahagia bapak dan ibu itu kalau orang-orang ngajeni (menghargai) kamu sebagai guru. Bukan yang lainnya.”

Aku diam. Meresapi kata demi kata yang diucapkan oleh bapakku. Dalam hatiku, doakan aku, Pak. Semoga aku istiqomah.

Sumber foto: pixabay.com


***

“Cieee… cieeee….yang jadi guru beneran.” seloroh teman sejawatku.

Aku tersentak. Langkahku terhenti sejenak. Kemudian menyunggingkan senyuman dan berlalu ke kelas. Punggungku sudah tak kuat menahan tas ranselku yang berat. Makanya aku ingin buru-buru sampai di kelasku. Ditambah lagi tangan kananku membawa OHP dan di kiri membawa speaker.

Sebenarnya itu bukan kali pertama aku mendapatkan komentar demikian dari teman sejawatku di sekolah lho. Guyonankah? Tapi, apa ya wajar?

“Duh, ngajarnya semangat sekali. Seperti mau disurvey pengawas saja.”

“Yang semangat ya, Mbak. Aku sih malesan.”

“Terpenting kita berangkat, murid di dalam kelas, duduk manis, mendengarkan kita, sudah cukup. Masalah administrasi mah gampang. Pesan orang kan bisa.” komentar lainnya.

Menulis, mewarnai, gunting menggunting, kemudian menempel sambil mengurutkan angka 1-10 dan sebaliknya. Kelasku? Ramaaaaaiii banget. Awalnya anak-anak banyak komplen, "Capeeeekk, Bu." Tapi, alhamdulillah semua selesai. Ya, meskipun ada yang, "Bu, angka 6 ku hilang." kemudian, "Bu, bintangku hilang 1." Secara keseluruhan, mereka hepiiiiii 😍😘😘. Kalau mereka hepi, Bu guru makin hepii.. Yang ku suka saat baru masuk kelas pasti ada yang tanya, "Bu, hari ini kita mau ngapain?" atau, "Bu, Udin (boneka tangan yang ku gunakan untuk mendongeng) kok nggak dibawa lagi?", "Ayo, Bu, kita baris. Aku mau cepet-cepet main." Ah, senangnya! Terima kasih Pak Presiden, Pak Menteri karena sudah menghadirkan KK13 untuk pendidikan di negeri ini. Hai @bundadirgaraya tempat pensil #UntukTemanDirga ketangkep kamera juga. Hihihi... #ceritabuguru #kurtilas #kurikulum2013 #teacher #school2017
A post shared by Ika Hardiyan Aksari (@diya_nika) on

“Dana untuk membuat media pembelajaran saja seret, bagaimana mau maju murid-muridnya?”

“Cuma gaji 300 ribu kok mau ngoyo, kalau dipikir sampai mana coba? Apalagi Kurikulum 2013 ini. Ngajak gelut.”

Kita memang tak pernah bisa memilih siapa partner kita dalam bekerja. Tapi, setidaknya kalau kita punya visi dan misi yang sama, semua akan lebih mudah untuk mewujudkan suatu tujuan. Kalau tidak, “Kuat sampai kapan?”

Di sisi lain, aku sering sekali berdialog dengan diriku sendiri. Ini pasti sudah rencanaNya. Bisa jadi ini ujian untuk menaikkanku ke tingkat yang lebih baik lagi apabila aku bisa melewatinya. Kuatkan ikat pinggang agar tak ikut terbawa arus. Karena bertahan di tengah perbedaan itu luar biasa rasanya.



Kabar Tak Enak tentang Kurikulum 2013

“Ganti menteri ganti kurikulum. Guru dan murid dijadikan kelinci percobaan. Sekali-sekali coba saja jadi kami. Kuat nggak? Bisa nggak?”

“Kurikulum 2013 ini membuat muridku bodoh.”

“Penilaiannya bikin pusing.”

“Ngajar tinggal setahun malah neko-neko.”

Berbagai macam komentar miring tentang Kurikulum 2013 sering kudapati saat bertemu ataupun ngobrol santai dengan sesama guru. Makin santer terdengar lagi saat musim BIMTEK Implementasi Kurikulum 2013 berjalan. Muncul keluhan di mana-mana. Didukung lagi momen BIMTEK ini dilaksanakan saat bulan puasa kemarin, lengkap sudah. Betapa malangnya kamu, Kurikulum 2013.

Aku yang notabene guru baru dan belum pernah mengikuti BIMTEK, malah penasaran. Sebenarnya apa yang ingin dicapai pemerintah dengan menggalakkan Kurikulum 2013 lagi setelah di tahun 2014 hanya berjalan satu semester itu

Ini kelompokku saat BIMTEK Kurikulum 2013

Seminggu mengikuti BIMTEK dari LPMP Jawa Tengah, aku hanya bisa melongo. Bukankah Kurikulum 2013 ini semakin bagus dari kurikulum yang sebelumnya? Kenapa nggak dicoba? Kenapa banyak yang mengeluh? Kurikulum 2013 inipun sangat kuat penanaman pendidikan karakter dan literasinya. Jiwa cinta tanah air dan budaya lokalnya pun ditonjolkan. Di mana letak salah dan jeleknya kurikulum ini?

Setiap kali pulang dari BIMTEK rasanya aku tak sabar ingin segera mengimplementasikan apa yang ku dapat. Banyak sekali yang ingin ku evaluasi. Banyak juga yang ingin ku rencanakan. Jujur saja, banyak sekali yang kuterima. Misalnya, aku yang tak paham membuat prosem, prota, menghitung hari efektif, jadi paham betul setelah ikut BIMTEK itu. Tapi, setelah hampir tiga bulan mengimplementasikan Kurikulum 2013 di kelas, apa yang terjadi? Apa yang kualami?

Kurikulum 2013, Ternyata memang Melelahkan

“Ku bilang juga apa? Gaji hanya 300 ribu tapi ngajarnya ala kerja rodi.” sindir temanku saat aku mengeluh suaraku belum juga kembali seperti semula sejak hari pertama mengajar di kelas satu tahun ini.

Ya, aku mengakui kalau Kurikulum 2013 ini membuatku sangat lelah.

Setiap hari, tak ada kata berleha-leha. Selesai mengajar segera berkutat kembali dengan materi yang harus disampaikan esok hari. Mulai dari mencari tambahan sumber belajar di internet, membuat media pembelajaran, menciptakan ice breaking yang baru. Belum lagi urusan administrasi kelasnya. Tak dipungkiri, pulang paling akhir dan berangkat lebih pagi memang harus ku jalani setiap hari. Ini sangat melelahkan.

Menjadi ibu itu ternyata tidak mudah ya πŸ˜‚πŸ˜‚ Aku sering sekali khilaf. Tak sabaran saat Kak Ghifa rewel. Kadang mementingkan pekerjaan dibandingkan dirinya. Keseringan intip WA saat main bersamanya. Padahal, waktuku bersamanya tak banyak. Aku pernah cemburu saat Kak Ghifa lebih memilih ibuku (mengasuhnya selama aku bekerja). Dia menangis saat neneknya pergi sedangkan saat aku berangkat bekerja dia malah semangat mencium tanganku dan melambaikan tangannya. Dasar bodoh ya, aku ini. Bukankah itu berarti Kak Ghifa memang sudah paham kalau aku pergi bekerja? Sampai akhirnya aku sadar betul akan salahnya rasa cemburu itu. Di waktu yang lalu, saat Kak Ghifa sakit diare dan muntah selama seminggu, dia hanya mau bersamaku. Tak ada yang lain πŸ˜…πŸ˜… Tak mandi seharian ya aku jabanin. Terpenting Kak Ghifa nggak rewel. "Kakak, Maafkan Ummi belum bisa menjadi ibu yang baik untukmu." Cerita diare dan muntah Kak Ghifa bisa kamu baca di sini ya>> http://www.diyanika.com/2017/04/anak-diare-muntah.html #newblogpost #blogger #lifestyle #ceritaKakGhifa #healthy
A post shared by Ika Hardiyan Aksari (@diya_nika) on


Di lain sisi, aku adalah seorang istri dan juga ibu bagi balitaku yang berusia 25 bulan. Seringkali aku berpikir untuk resign saja jadi guru. Tapi, ingat pesan bapak, aku jadi berpikir ulang. Bakal ada yang kecewa saat aku mengambil keputusan tersebut. Pun, bagaimana nasib murid-muridku? Kemudian saat ingat anak dan suami yang sering jadi korban kesibukanku, sedih rasanya. Ditambah lagi, kalau ada yang berkomentar, meninggalkan anak demi materi yang tak seberapa. Rasanya rontok hatiku.

Apa kabar dengan pekerjaan sampinganku? Jujur, untuk membantu ekonomi keluarga kecilku, aku juga berprofesi sebagai blogger. Aku menerima tawaran pekerjaan menulis, ikut lomba sana-sini, dan Alhamdulillah, hasilnya lumayan. Bahkan, lebih besar dari gajiku mengajar. Tapi, semenjak mengimplementasikan Kurikulum 2013 ini, aku banyak menolak tawaran pekerjaan menulis karena merasa tidak sanggup lagi membagi waktu. Aku juga jarang sekali meng-update blogku. Rasanya jiwa ragaku begitu lelah. Padahal, menulis adalah hobiku. Tak bisa menuangkan isi di hati dan pikiranku sehari saja, itu membuatku semakin stres. Seperti ada tumpukan benda berat di punggungku tapi itu tak tampak.

Hah, bukankah ini wajar? Namanya juga manusia, ada kalanya aku merasa jenuh.

Berantakan!
Sumber foto: pixabay.com

Pernah suatu hari aku sengaja tidak melakukan ritualku. Masuk kelas ala kadarnya. Tak ada media pembelajaran, tak ada kegiatan menyanyi, tak ada kuis, tak ada permainan, yang ada hanya kegiatan muridku yang duduk manis dan menulis. Apa yang terjadi? Lima belas menit pertama, aman. Tapi, selanjutnya? Kelasku bagaikan pasar yang kebakaran. Semua tak dapat ku kendalikan. Muridku banyak yang bertengkar, menangis, naik meja, menendang temannya, menjatuhkan kursi, buang sampah sembarangan, main pesawat-pesawatan, ah, amburadul.

Aku naik pitam.

“Semuanya diam!” aku berteriak sekuat tenaga. Seketika mata-mata tak berdosa itu memandangku. Saat itu juga ingin rasanya aku menangis di depan mereka. Tapi, itu tak mungkin. Aku hanya marah dengan diriku sendiri. Ini bukan aku. Aku bukan seperti itu. Bukan seperti ini tujuanku menjadi guru.

Sampai suatu malam (26 Agustus 2017), ada WhatsApp dari salah satu wali murid,
Akiiiiihh tenan iki Tengkyu ne, aku merasa buwanyak perubahan n kemajuan tenan pokoke..(Banyak-banyak terima kasih, aku merasa banyak perubahan dan kemajuan dalam diri N’vidia).”

Screenshot pesan WA dari Mama N'vidia

Membaca isi pesan dari Mama N’Vidia aku merinding. Tak percaya, apa sampai segitunya? Apakah ini hasil dari pendidikan karakter di Kurikulum  2013?
“Makane Mbak…Aku ma Yahe krasa banget perubahan deknen. Jauuuuhhh perubahane dari TK ke SD Mbak..(Makanya Mbak, aku dan ayahnya terasa banget perubahan dalam diri N’vidia. Jauh perubahannya dari TK ke SD, Mbak).”

Kalau diingat-ingat, awal masuk kelas satu, N’Vidia itu memang paling susah dilayani. Maunya menang sendiri, baris dan duduk harus di depan, teman sebangkunya ya itu-itu saja, tak mau diganti. Diganggu temannya, nangis sampai waktu pulang sekolah tiba. Nggak dapat giliran maju presentasi, nangis lagi. Lupa nggak bawa krayon, nangis lagi. Setelah praktik, alat-alatnya ditinggal begitu saja. Diminta merapikan, malah nangis juga. Pokoknya jurus utama dia adalah menangis.

Sekarang? N’Vidia memang sudah berubah. Dia nggak semanja dulu. Baris saat masuk kelas, dia tak harus urutan pertama. Kalau tidak membawa pensil, dia berani maju dan mengadu kepadaku. Bahkan, dia kini berani gelendotan di bahuku sambil memperhatikanku menulis administrasi saat jam istirahat. Ah, iya ya, dia memang sudah berubah?

Bu Ika dan N'vidia

Sebagai guru, mendapat umpan balik dari wali murid seperti itu rasanya, mak nyes. Bagai menemukan oase di tengah gurun pasir yang sudah bertahun-tahun tak diguyur hujan. Ibarat lelah, rasa pesimis, keraguan yang menggunung dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013 ini sirna, sirna secepat kecepatan cahaya.

Kurikulum 2013 ini sejujurnya tak hanya mengubah murid-muridku. Tapi, juga aku, sebagai guru mereka. Jatuh-bangun selama tiga bulan ini membuatku sadar bahwa menjadi guru yang sebenarnya memang tidak mudah, sangat melelahkan. Butuh kerelaan hati, pikiran, dan tenaga untuk mengabdi demi kecerdasan anak bangsa ini.

Biarlah suaraku tak kunjung kembali seperti semula. Biarlah lingkungan sekitar tak mendukungku dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013 ini. Biarlah lelah ini menggelayuti sepanjang hari. Terpenting, aku punya mereka, penanti kehadiranku setiap pagi, muridku, penerus negeri ini.

31 komentar:

  1. Kalau memang merasa ndak nyaman dengan gaji wiyata yg sedikit n beban kerja berat, cari kerja lain ja mbak. Masih muda, langkah ijeh jembar... Ini sekedar saran mbak... Hehehe

    BalasHapus
  2. Guru yang begini ini yang dibutuhkan anak-anak kita. Berdedikasi, bukan cuma sekedar menjalankan tugas. Semangat, Mbak. Semoga istiqomah. Gajinya mungkin kecil, tapi yakin, pahalanya besar.

    BalasHapus
  3. Wah salut aku ama mbak ika masih bertahan, aku gak sabaran udah resign pastinya, i feel you mbak aku oernah ikutan diklat guru prakarya dan kimia K13, bulak demak ama nusa putera gempor, tiap hari bawa ransel heuheu

    BalasHapus
  4. Guru honor memang gajinya kecil, tapi banyak berkah didalamnya karena menyampaikan ilmu dan membuat anak-anak Indonesia lebih cerdas. Salam hormat untuk semua guru.

    BalasHapus
  5. Barakallah Dek. Insyaallah perjuanganmu tidak sia sia.

    BalasHapus
  6. Masyaallah, beruntungnya punya ortu pengertian dan tidak menuntut materi ya. Tinggal yg menjalani aja yg butuh ekstra sabar. Bamun memang selalu ada ya oase2 menyegarkan seperti isi WA itu. Baarakallahu utk semua dedikasinya selama ini sbg guru :)

    BalasHapus
  7. Jadi guru itu memang enggak mudah ya, Mbak. Kebetulan kedua orangtua suamiku adalah pensiunan guru. Adik iparku pun menuruni jejak mereka memilih profesi guru daripada jadi apoteker.
    Kadang aku suka kasian kalau mendengar cerita mereka, gaji enggak seberapa, tapi lelahnya luar biasa. Apalagi bapak dan ibu mengajar di desa. Tapi setiap kenaikan kelas atau lebaran, aku suka terharu ketika para wali murid sampai berkunjung ke rumah mengucapkan terima kasihnya.
    Semoga Mbak pun selalu diberi kesehatan dan semangat untuk mengajar ya. aamiin

    BalasHapus
  8. Kata temenku, guru wiyata juga. Dia bilang bahwa mengajar itu passion, kalau rejeki Allah sudah nyiapin pintu lain. Semoga jadi amal jariyah mb Ika. Perjuangan mb Ika mencerdaskan murid-murid takkan sia sia

    BalasHapus
  9. Ibuku guru SD mbak, dan saya bangga sekali dengan beliau. Apalagi ketika mantan muridnya yg sudah seumuran sama saya masih memgingat ibu.. Barakallah mba ika

    BalasHapus
  10. Wah.. bimtek di lpmp. Aku lom pernah sampe kesana😊 jadi guru tantangannya byk y mba.. setuju kalau k13 melelahkan tp bikin anak2 senang di kelas. Skgpun kl jamku anak2 lgsg ke kantor. Nanya mau dibawain bu? Sambil liat persiapan perangku di kelas mereka. Hahaha..salut buat bu guru ika... tetap semangat yaaa

    BalasHapus
  11. Kurtilas ini yang capek enggak cuma guru, tapi murid juga. Kurikulum juga beda sama ktsp, belajar lagi... Hehehe

    Kerja di dunia pendidikan non pns emang gaji dikit ya mbak, tapi kalo ikhlas Insya Allah berkah. Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau soal capek apa tidak muridku, aku kurang paham betul, Mbak. Tapi, sejauh ini,.selama 3 bulan aku mengajar, mereka selalu hepi. Pun, banyak juga walimurid yang cerita anak mereka yang mengalami perubahan. Dulu, yang gak pernah sarapan sekarang selalu sarapan, yang masih ngedot sekarang sudah nggak. Dan jarang sekali yg absen ke sekolah.

      Hapus
  12. Yang kasihan yg masih honorer. Di tempat saya honor per bulan gak sampai 300.000 tapi pekerjaan melebihi guru PNS. Yg PNS malah santai2 nyuruh2 ke honorer...
    Udah gitu honor juga gak tepat waktu.banyak yg milih berdagang jadinya

    Ini saya lihat dan dialami banyak teman honorer di Cianjur Selatan ya...
    Entah kalau di kota

    BalasHapus
  13. Jaman sy dulu 175rb mb..
    Memang perjuangan WB masyaAllah luar biasa. Tp trus sy stop ketika menikah krn disuruh jaga rumah aja..hehe

    BalasHapus
  14. Semangat Bu Guru..
    Amal jariyahnya sudah dobel2 nih.
    Mengajar di kelas, 'mengajar' juga via blog.

    Peluk yang banyak dari Lombok ^^

    BalasHapus
  15. Salaman dulu mba sebagai sesama guru Blogger hihihi. Salut saya sama mba, percaya aja mba ga ada yang sia-sia kalau kita ikhlas mengerjakan segala sesuatunya. *Hug

    BalasHapus
  16. Profesi guru itu pahlawan bagiku, di kota udah enak2 gajinya, kerjaannya sante. TApi miris kalo didaerah ataupun yg honorer ya hiks.

    Semangat Bu Guru, insyaallah niat tulus bakalan ada balasannya.

    BalasHapus
  17. Tetap semangat mbak.. Temen-temenku banyak yg seperti Mbak Ika cuma bedanya mereka bekerjanya setelah anak-anak dirasa sudah cukup besar.

    BalasHapus
  18. Jadi guru..emang mati kreatif ya mba..
    Tapi kalo masih bisa milih cari kerja lain aja..., Guru honor di tempat ku hitungan per jam.. kadang malah di bawah 300..

    BalasHapus
  19. AKu kok terharu ya baca tulisan ini. Guru emang bener2 pahlawan tanpa tanda jasa ya mbak? InsyaAllah keikhlasan mbak sbg guru akan diberi "bayaran" yang lain. Kadang yg tak ternilai ya kyk yg mbak alami, murid mbk bisa jd anak yg lbh berani dll.
    Kalau soal materi, insyaAllah Allah gak akan pernah lupa kasi rezeki buat hamba-Nya ya mbk TFS ceritanya
    Inspiring :D

    BalasHapus
  20. Semangat terus mengajar dan menginspirasi ya mbak. Salut banget smaa guru SD yg sabar dan dedicated kek mbak ika. Jd guru jd dosen emang bukan pekerjaan yg menghasilkan aku pahan bgt itu tp insyaallah jd tabungqn pahala

    BalasHapus
  21. semangat ya mbak, memang banyak yg gak menghargai guru terutama yg honor, bahkan yg honor suak dikerjain yg sdh tetap dg banyak pekerjaan, memang menyebalkan ya, tp mudah2an akan menjadi brekah saat kita ikhlas dan memang mau memajukan pendidikan anak2, krn aku suka kesel juga sama guru yg malas2an dan cuek sama murid

    BalasHapus
  22. Tepat seperti apa yang saya obrolkan sama adikku beberapa waktu lalu. Betapa guru honorer upahnya kecil banget tapi tanggung jawabnya segambreng, apalagi dengan K13 yang kompleks dan tentu melelahkan. Malah ada tetangga saya cuma dibayar 100ribu per bulan, mungkin lantaran tak ada pilihan lain. Saya doakan Mbak Ika istiqomah dan dapat rezeki dari tempat lain.

    BalasHapus
  23. Banyak yang protes soal kurikulum 2013 ini. Ktanya makin pusing, rumit jd bnyak guru yang nggak mengerti.

    BalasHapus
  24. semangat bu Guruu... bapakku juga guru mbak.. tapi aku ga berani jadi guru. Karena aku merasa ga sesabar bapakku, gak sesabar njenengan... Semoga lelahnya mbak Dian jadi tabungan pahala buat mbak Dian, dan insyaallah akan ada "bayarannya"...

    BalasHapus
  25. Semangat ya bu guruu. Thifa sekarang juga banyak kegiatan yg ga sebatas teori, melukis, buat prakarya, dll. Melelahkan bagi bu guru insyaAlloh berbuah surga yaa 😘😘

    BalasHapus
  26. Nikmatnya jadi guru itu terasa saat ada perubahan perilaku pada anak didiknya. Akan terasa lagi saat si anak sudah lulus dan masih mengingat kita. Menyalami dan mencium tangan ketika bertemu disuatu tempat dan suatu masa, sementara kita mungkin mengernyitkan dahi sambil mengingat-ingat siapakh dia.

    BalasHapus
  27. Hehe. Kurikulum 2013 emang bikin ngelu guru, murid maupun ortunya. Semangat ya, mb ika. Insya Allah rezeki datang dari pintu yang lainnya.

    BalasHapus
  28. jangankan guru, ortunya juga mblunder, hiks.... semangat terus ya, para pahlawan tanpa tanda jasa ^^

    BalasHapus
  29. Mb, anakku yang pertama itu kan selama SD pindah 4 sekolah. Karena emang ikut pindah tugas orangtua

    Nah yang di sekolah terakhir ini. Kebetulan kami milihnya MI swasta. Alasannya emang karena dekat rumah. Sebelumnya dia selalu di SD negeri terus

    Di MI ini aku sampai terpesona loh mb, sama semangat guru-gurunya. Masya Allah. Dengan gaji yang secara hitungan manusia mungkin gak bakal cukup. Tapi semangat mereka mengajar itu loh. Gak cuman di kelas Mb. Saat ada kegiatan di luar juga, guru-gurunya semangat banget. Satu lagi yang aku kagum, mereka tahu karakter satu-satu muridnya. Apa kelebihannya apa kekurangannya

    Dan anakku yang pertama, Alhamdulillah bisa dapat medali perak Kompetisi Sains Madrasah Nasional buat pelajaran Matematika. Ya karena gurunya saat itu tau dia punya bakat. Jadi diajukannya mulai dari tingkat rayon sampai bisa maju ke nasional. Padahal waktu itu masih murid baru pindahan 7 bulan

    BalasHapus
  30. sedih banget euy baca cerita, mbak. gajinya benar-benar nggak sesuai sama dedikasinya :(

    BalasHapus