Selasa, 21 Agustus 2018

Ayo Dukung Merokok Bukan Sebagai Lifestyle dan Kelompok Rentan Lebih Sehat dengan #RokokHarusMahal




Membaca kalimat di atas, tentu sangat mengerikan. Iya, bagi kita yang tidak merokok. Kalau yang sudah terbiasa merokok, ya, beda lagi. Tak peduli. Begitu kesan yang mereka tunjukkan.

Ada juga yang tidak merokok, perempuan, berpendidikan tinggi pula, tapi, kalau lihat campaign #RokokHarusMahal meragukan keberhasilannya. Ini terbukti dan kualami sendiri saat aku men-share link tulisanku tentang #rokok50ribu dalam rangka mendukung program radio Ruang Publik KBR beberapa bulan lalu di facebook (setelah kucek lagi komentarnya ternyata sudah dihapus)

Merokok Bukan Sebuah Lifestyle


Aku cukup kaget dengan tanggapan perempuan itu kalau rokok sudah jadi lifestyle. Dari segi mana? Kalau ngumpul nggak lengkap tanpa merokok? Apakah karena nggak merokok jiwa laki-laki dalam diri jadi sirna? Atau anggapan kalau sudah merokok tergolong orang berkelas? 

Lifestyle (gaya hidup) sendiri memiliki arti bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah bergantung zaman atau keinginan seseorang untuk mengubah gaya hidupnya (Sumber: Wikipedia). Misalnya, cara berpakaian, kebiasaan, pola makan dan istirahat, berbicara dengan sopan santun, dll.

Kalau merokok, apakah termasuk kebutuhan? Dikatakan kebutuhan kalau itu tidak bisa tergantikan. Harus mengkonsumsinya. Nyatanya banyak orang yang tidak merokok juga tetap hidup sejahtera dan bahagia, bukan?

Dari kiri, Mbak Nina Samidi, dr. Fauziah M.Kes, dan Mbak Arin Swandari
Sumber foto: Facebook Kantor Berita Radio-KBR

Kemudian saat ada talkshow #RokokHarusMahal episode 1 dengan tema "Perempuan Dukung Rokok Harus Mahal", 11 Mei 2018 lalu, ada salah satu penanya yang mengungkapkan bahwa rokok kretek itu sudah jadi identitas Indonesia di mata dunia. Mencium bau kretek yang khas, itulah bau Indonesia.

Lantas Mbak Nina Samidi, Communication Manager Komisi Nasional Pengendalian Tembakau segera menyangkal dengan persamaan keadaan di Spanyol yang erat kaitannya dengan budaya matador. Kalau memang rokok dianggap sebagai identitas dan budaya Indonesia, bukankah rokok sangat berbahaya? Sama halnya dengan matador, Spanyol bisa menghilangkan budaya membahayakan tersebut, kenapa Indonesia tidak bisa mengurangi secara signifikan penggunaan rokok yang memang jelas-jelas berbahaya dengan #RokokHarusMahal?

Dari kiri Kak Don Brady, Dr. Arum Atmawikarta, MPH., dan Dr. Abdillah Ahsan.
Sumber foto dari @kbr.id

Bantahan itu terulang lagi di talkshow #RokokHarusMahal episode 8 dengan tema “Jauhkan Kelompok Rentan dari Rokok” pada Selasa 14 Agustus 2018 lalu, oleh Dr. Abdillah Ahsan, Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI. Bantahan tersebut tak tergeserkan lagi karena kenyataan membuktikan bahwa tembakau itu sendiri sejarahnya tidak berawal dari Indonesia, melainkan Amerika. Apakah kita masih tetap bangga rokok jadi budaya Indonesia, padahal cikal bakalnya saja tidak dari negeri tercinta ini?

Sejarah Rokok dan Proses Masuknya di Indonesia




Jelas disebutkan bahwa tembakau tumbuh secara alami di bumi Amerika, tepatnya Amerika Selatan sekitar 6000 SM. Kok bisa sampai Indonesia? Merujuk sebuah buku dengan judul Petani Tembakau di Indonesia Sebuah Paradoks*, tembakau diperkenalkan ke Hindia Belanda saat datangnya penjajah Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman di Pantai Banten pada 1596.

Kemudian diceritakan kalau Raja Mataram Amangkurat I (1646—1677) menjadikan kegiatan mengisap tembakau sebagai suatu kebiasaan. Saat itu, banyak anggapan bahwa dengan memiliki kebiasaan mengisap tembakau, maka posisinya setara dengan orang-orang Belanda. Bisa jadi dari sinilah muncul anggapan kalau dengan merokok, maka kita akan tampak berkelas.

Anggapan kebiasan merokok menjadi berkelas itu mewabah di segala penjuru dunia.  Harga jual daun tembakau meroket. Sehingga Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830), Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menjadikan tembakau sebagai salah satu komoditas tanam paksa atau yang dikenal dengan kulturstelsel, di masa itu. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia telah mengenal tembakau sejak dahulu kala. Akan tetapi, jelas, bahwa cikal bakal tembakau bukanlah dari Indonesia.

Ibu, Engkaulah Kunci untuk Mendukung #RokokHarusMahal


  1. dr. Fauziah M.Kes yang dengan tegas menolak duduk di sebelah pak camat yang sedang merokok aktif saat kegiatan di masyarakat.
  2. Mbak Nina Samidi yang aktif mendukung seseorang yang ingin berhenti merokok dengan cara mengirim artikel atau video yang berisi bahaya rokok.
  3. Dita Sari Wootekh, seorang istri yang mendukung suaminya untuk berhenti merokok dengan membuat tabungan "Power of  20 ribu" dan setelah 1,5 tahun uang rokok suaminya itu bisa dipakai untuk membeli motor. **
  4. Seorang ibu yang tidak disebutkan namanya, pemilik beberapa ritel di Jawa Tengah dengan tegas memutuskan untuk tidak menjual rokok di ritelnya karena beban moral.
  5. Gerakan 1000 perempuan dukung #RokokHarusMahal yang diikuti juga oleh 50 tokoh perempuan Indonesia pada 21 April 2018 lalu di Kota Tua, Jakarta.
  6. Ibu Sumiati, salah satu dari tujuh penggerak Kampung Warna-warni Tanpa Rokok di bibir sungai Cipinang, Kampung Penas Tanggul, Jakarta Timur.

Sumber foto adalah IG Mbak Rahne @rahneputri
Masih banyak lagi ibu-ibu di luar sana yang dengan tegas menolak rokok. Mereka berbondong-bondong mengkampanyekan bahaya rokok bagi kesehatan. Bahkan baru-baru ini ada seorang perempuan, Rahne Putri, dengan bermodal niat dan keberaniaan yang luar biasa, dia memotret dirinya di sekeliling perokok baik yang ada di jalanan dan kendaraan umum dengan membawa tulisan #RokokHarusMahal.

Wajar kalau Mbak Rahne mengambil langkah seperti di atas. Sebagai seorang ibu, dia tak ingin anaknya menjadi perokok pasif karena terpapar udara di sekitar yang penuh dengan asap rokok. Ditambah lagi fakta-fakta yang mencengangkan berikut ini.


Kalau infografik di atas dibaca oleh perokok, tahu kan bagaimana ekspresinya? Mereka yang sudah kecanduan dengan rokok sulit diberitahu. Sulit diedukasi tentang bahaya rokok. Mereka itu sangat bebal. Setuju, kan? Kalau kita memberi satu fakta tentang bahaya rokok, dia akan memiliki seribu alasan untuk menyangkal.




Wajar saja kalau Dr. Abdillah Ahsan sampai mengeluarkan teori uang jajan untuk harga rokok per batang. Maksudnya bagaimana? Kita tahu lah ya kalau rokok di Indonesia itu secara bebas dijual ketengan atau eceran. Nah, Dr. Abdillah mencetuskan teori kalau harga rokok per batangnya mencapai sepuluh ribu. Kenapa? Karena uang jajan atau saku anak SD saat ini ya sepuluh ribu (lihat angka perokok anak). Bayangkan saja kalau saat ini rokok per batangnya seharga lima ratus rupiah, kemudian dekat sekolah ada yang jualan rokok. Betapa mudahnya mereka dapat menikmati rokok, bukan? Ini pekerjaan rumah pihak sekolah atau dinas pendidikan nih untuk lebih memperhatikan izin edar rokok di sekitar sekolah.

Sebenarnya, apa yang diungkapkan oleh Dr. Abdillah di atas tidaklah tanpa alasan. Menurut penelitian di berbagai negara, apabila cukai rokok dinaikkan sebesar 10% saja,  maka akan terjadi penurunan jumlah perokok di kalangan masyarakat miskin sebesar 16% sedangkan 6% untuk kalangan masyarakat kota. Selain itu, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) pada Selasa (17/7/2018) merilis survei “Dukungan Publik terhadap Harga Rokok”. Temuan terbaru dari survey ini adalah warga negara Indonesia akan berhenti merokok apabila harga rokok naik menjadi tujuh puluh ribu.

Yuk, ikut tandatangani petisi #RokokHarusMahal #Rokok50ribu

Tentu itu kabar yang baik ya? Publik pun sangat mendukung kampanye #rokok50ribu yang saat ini sudah berjalan dan mendapat dukungan sekitar sembilan belas ribu orang dengan target dua puluh lima ribu. Yuk, kamu yang belum menandatangani petisi ini, segera berkunjung ke sini! Karena satu suara sangat mempengaruhi dukungan #RokokHarusMahal. Buktikan kepada pemerintah di atas sana, kalau publik, khususnya kelompok rentan sangat butuh udara yang sehat dan segar.



Jelas, masyarakat sangat mendukung #RokokHarusMahal. Sekarang tinggal nunggu action dari pemerintah. Akan tetapi, sebagai seorang ibu, kita tidak bisa hanya menunggu dan berpangku tangan. Kita juga harus bergerak untuk keselamatan keluarga kita, terutama anak-anak.

Aku sendiri pernah mengalami hal yang tidak mengenakan tentang rokok. Anakku, Kak Ghifa (2 tahun 11 bulan), pernah suatu ketika asyik sekali bermain di depan rumah. Saat kutanya dan dia membalikkan badannya, dengan bangga dia memamerkan puntung rokok yang ditemukannya di depan rumah dan memperagakan bagaimana kakeknya saat merokok.

Refleks aku langsung memekik dan merebut puntung rokok itu. Dia menangis, mungkin karena kaget. Tapi, karena kejadian itu, aku dan abi melakukan banyak koreksi demi menjauhkan Kak Ghifa dari rokok. Apa yang kami lakukan selanjutnya?

  1. Membuat peraturan tidak boleh merokok di rumah. Peraturan ini bisa terlaksana karena abi memang jarang sekali merokok. Mau merokok, harus di luar dan tidak boleh terlihat dari Kak Ghifa. Jangan meletakkan rokok di tempat yang bisa dijangkau atau terlihat anak. Masalah baru datang, kakeknya susah sekali diberitahu. Ujung-ujungnya aku yang harus sigap membawa dengan sopan Kak Ghifa menjauh saat kakek atau orang lain (tamu) yang merokok sembarangan. 
  2. Memberikan teladan kepada Kak Ghifa. Tidak hanya melarang, akan tetapi orangtua juga harus memberikan contoh untuk tidak merokok. Lucu kan ya kalau melarang anaknya merokok tapi orangtuanya malah asyik mengisap benda berbentuk silinder ini?
  3. Mengedukasi Kak Ghifa secara perlahan dan berkesinambungan tentang bahaya rokok. Jangan pernah menganggap kalau anak balita tak tahu apa-apa. Nyatanya setiap kali mau tidur atau sedang bermain, kusisipi cerita tentang bahaya rokok. Dia paham lho. Pernah saat ikut bersih-bersih rumah, di meja tamu ada rokok kakeknya. Di bungkusnya kan ada gambar mengerikan itu kan ya. Ternyata Kak Ghifa berekspresi ketakutan dan nggak mau lihat. Berarti edukasiku berhasil,. Tak lupa setelah itu kuberi reward berupa pujian karena Kakak paham kalau rokok itu berbahaya dan nggak boleh pegang-pegang rokok.
  4. Saat di luar rumah menjauhkan Kak Ghifa dari orang atau lingkungan yang banyak asap rokok.

Itulah pengalamanku bersinggungan dengan rokok. Cukup sekali saja Kak Ghifa main sama rokok. Saat ini pun aku masih berperang dengan rokok karena bapakku seorang perokok berat.

Pokoknya aku tidak setuju kalau merokok itu adalah gaya hidupnya orang Indonesia. Selain bahaya karena mengandung lebih dari empat ribu bahan beracun, tembakau juga asli Amerika. Yuk, perempuan di luar sana, kita dukung #RokokHarusMahal #rokok50ribu dengan menandatangani petisi di atas! Jangan biarkan kelompok rentan, khususnya keluarga kita teracuni oleh rokok!


Sumber Bacaan:
*Markus, Sudibyo, dkk. 2015. Petani Tembakau di Indonesia : Sebuah Paradoks Kehidupan. Indonesian Institute for Social Development
**https://www.liputan6.com/citizen6/read/2997317/kumpulkan-uang-rokok-selama-15-tahun-dita-beli-motor-tunai
https://www.idntimes.com/news/indonesia/indianamalia/bps-rokok-jadi-penyumbang-angka-kemiskinan/full
https://www.idntimes.com/news/indonesia/indianamalia/gawat-39-juta-anak-mengonsumsi-rokok/full
https://www.merdeka.com/uang/kurangi-perokok-usia-sekolah-bappenas-harap-harga-rokok-rp-10000-per-batang.html
https://id.wikihow.com/Melindungi-Anak-dari-Asap-Rokok-Orang-Lain

5 komentar:

  1. Iya..suka gemes dgn para perokok ini..apalagi yg smp mengalahkan prioritas lain misal biaya sekolah anak / biaya hidup kelg 😔

    BalasHapus
  2. Tulisan yg bagus. Lanjut mbak..

    BalasHapus
  3. Semoga para perokok termasuk suamiku cepat insyaf huhu..gemes..

    BalasHapus
  4. Semakin banyak yang sadar bahwa rokok itu bahaya maka akan semakin baik pula kesehatan kita . . . kunjungi balik blogku ya

    BalasHapus
  5. Setuju kalau rokok mahal. Aku setres kalau ada yg ngrokok di dekatku. Gak tahan asapnya

    BalasHapus