Minggu, 22 September 2019

Sabtu Ceria dengan Hadiah Sarapan yang Ulala




Rasanya kalau pagi tuh buru-buru banget. Untung saja, hari ini Kakak libur. Kehebohan pagi lumayan bisa terminimalisir.

Hari ini terakhir anak-anak PTS (Penilaian Tengah Semester 1) dan diisi dengan membuat mozaik (tapi anak-anak ngotot bilang ini kolase) buah anggur.

Sudah sejak hari Senin aku kowar-kowar tentang rencana kegiatan hari ini. Pas hari Jumat juga sudah kuingatkan lagi kalau Sabtu pagi anak-anak membawa kardus dengan ukuran yang sudah kuberi contoh dan juga gunting.

Apa daya? Namanya anak-anak, adaaaaa saja yang tidak bawa gunting. Ada David, Arfa, dan Gea. Ada juga yang ukuran kardusnya tidak sesuai permintaanku. Hadeh.

Gemes.
Gemes.
Gemes.

Baca juga: Pindah Sekolah

Khilmi dan Amel membuat kolase
Aku jadi ingat kebiasaanku di sekolah lama. Dulu, setiap anak mengumpulkan stopmap dengan isi lem, gunting, krayon/pensil warna, dan buku gambar. Jadi, kalau ada kegiatan gunting menggunting, atau mewarnai tuh nggak ada teriakan dari anak, "Bu, aku nggak bawa gunting." atau, "Bu, aku nggak bawa krayon."

Nyebelin.
Beneran.

Ujung-ujungnya, namanya juga anak-anak. Padahal hal sepele ini melatih tanggungjawab dan disiplin mereka. Poin itupun masuk dalam penilaian afektif.

Proses pembuatan kolase pun kumulai. Koreksi untuk diriku sendiri adalah, seharusnya aku sudah membuat satu yang sudah jadi. Kemudian buat lagi bersama anak-anak sebagai contoh nyata. Tapi, karena kesibukan Jumat lalu, mengantar ibu ke rumah sakit, sampai rumah aku sudah tepar. Tak sempat untuk membuat kolase di rumah. Hanya praktik di depan anak-anak saja.

Okelah, soal gunting akhirnya kuakalin. Kalau teman sebangkunya selesai menggunting, anak yang tak bawa gunting tadi kupersilakan untuk meminjamnya.

Sambil ikut membuat kolase yang kertasnya kutempel di papan tulis, sesekali anak-anak memanggilku, "Bu, lem-ku habis."

"OK, sini maju."

Oiya, untuk bahan-bahan kolase, seperti kertas marmer, kertas bergambar anggur, lem, tusuk gigi, dan cotton bud, semua ada di sekolah. Kami membelinya dengan uang kas anak-anak yang per Senin membayar Rp 1.000.

Lagi asyik membuat kolase, aku kok merasa ada yang aneh. Ada bau-bau tak sedap menohok hidungku. Wah, ada yang kentut nih. Tapi, kok anak-anak yang lain pada santai saja, ya.

"Eh, sepertinya ada yang kentut. Ada yang kentut beneran?"

'Anak spesial' yang duduk di sebelah papan tulis pun mengaku kalau dia kentut.

"Kalau kentut keluar, ya, Ipank. Bu Ika kan sudah bilang berkali-kali. Nggak sopan namanya." Kataku sambil membuka pintu kelas lebar-lebar berharap bau kentut Ipank segera terurai keluar.

Pas aku kembali ke depan papan tulis untuk melanjutkan kolaseku, kok, bau kentut tadi bukannya hilang malah semakin menohok hidungku.

Kemudian, mataku mengarah ke Ipank.

Blaik.

Ada sesuatu yang tercecer di bawah kursinya.

Memang jatahnya ngepel kalau hari Sabtu. Tapi, kali ini spesial.
Ya Allah, tadi pagi aku sarapan terburu-buru, hanya beberapa sendok, eh, ini nemu sarapan yang ulala punya.

Nikmatnya jadi guru kelas 1 SD, ya, begini.

Ya, Ipank pup di kelas. Pup nya encer pula.

"Ipank, perutmu sakit?"

Dia mengangguk.

Semua muridku pada heboh saat tahu Ipank pup di kelas. Bahkan ada yang marah-marah. Segera kuajak Ipank keluar. Kubawa tasnya.

Sebenarnya aku ingin mengajaknya ke kamar mandi untuk bersihin celananya yang kotor. Tapi, aku mikir lagi, nanti kalau basah mau pakai celana apa? Sekolah tak ada celana cadangan.

Ini jadi catatan penting untukku agar setelah ini menyediakan seperangkat baju ganti dan sabun mandi di kelas.

Akhirnya, Ipank pulang.

Tak tahu kenapa, perutku rasanya mual banget. Tapi, malu juga lah dilihat anak-anak. Jujur, baunya Ya Allah, aku pengen banget guling-guling.

Terakhir kali, di sekolah yang lama, ada juga muridku yang pup di kelas. Dia juga berkebutuhan khusus kayak Ipank. Tapi, nggak langsung di celana. Jadi, dia buka celananya seperti orang mau pup biasanya. Kemudian mojok di samping lemari kelas. Hahaha. Pas itu, orangtuanya langsung ke sekolah. Beliau membantuku dengan sigap. Lah, kasusnya Ipank ini, beda. Hahaha.

Setelah Ipank pulang, kukondisikan anak-anak yang lain. Alhamdulillah, mereka paham kesulitanku saat itu. Segera saja, kubersihkan pup Ipank dengan tisu. Baru kemudian ku-pel sampai bersih.

Selama lantai belum kering, aku duduk di dekat lokasi Ipank pup. Bahaya, Gaes, anak kelas 1 SD, kalau aku meleng dikit, bisa kepleset.

Inilah nikmatnya jadi guru kelas 1 SD. Hahaha.

Sepanjang hari ada-ada saja ceritanya. Pengen deh setiap hari bisa menuliskan cerita rupa-rupa di sekolah.

Aku butuh dukungan sih, kamu suka nggak baca tulisanku tentang sekolah seperti ini? Kalau suka, kasih komentar, ya.

10 komentar:

  1. Percayalah dek... Aku mengalaminya 😂🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣 ngajar kelas 2 pernah juga, kelas 3 juga pernah, kelas 4 juga anaknya sebelum keluar eeknya dah izin pulang, bahkan kelas 5 juga pernah 🤣🤣🤣🤣.

    Pengalaman sangat luar biasa 😍😍😍

    BalasHapus
  2. Saya...saya pernah mb. Sebelum menikah memang saya pernah ngajar anak TK lo mb, ya..ada persamaan dikit lah ya mb kalau ngajar anak SD kelas 1🤭, ekstra sabaaaaaaaar. Kulakan sabar diperbanyak ya mb😁

    BalasHapus
  3. Aku jd teringaat guru anakku yg kelas 1, bilang ke semua murid kalau bsk ada ulangan harian. Dan SEMUA murid cowok ga ada yg menyampaikaan ke ortunya termausk anakku. Wakkaak

    Paling heboh, hari itu juga, gurunya meminta walmur untuk mencari BATANG POHON yang sudah RAPI diserut dan dicat putih utk bahan prakarya besoknya. Dikasih tahu jaam 14 untuk jam 7 pagi. Aku? BEd rest hamil. Wakkaak Jadi akhirnya nunggu anakku balik jam 16 dan ddia harus jumpalitan motong dahan sendiri, ngecat sendiri.
    Epic banget itu. Ahahaha

    Dan soal pup pun ternyata nyaris semua kelas pernah, ya? Hix... Salut sama semua guru2 deh

    kalau sekolah anakku wajib ninggalin 1 set baju di sekolah, sih. Dibungkus plastik dan diberi nama demi menghindari kasus2 spt itu. Kesian both guru dan muridnya jg T_T

    Semangat ya Bun...

    BalasHapus
  4. Huuwwaaaa mbak aku terharu. Bapakku , diajuga guru selalu cerita kalo guru yang paling di ingat anak2 adalah guru kelas 1

    BalasHapus
  5. Masya Allah jadi guru SD memang nano-nano ya, Mbak. Adaaa aja dramanya. Dulu aku juga sering nyeboki anak-anak. Habis gimana, gak bisa dan gak bersih. Dulu aku kerja di TK, jadi dramanya kurang lebih sama. Malahan kadang lebih parah, wkwkwk.

    BTW kalau aku suka postingan kayak gini. Biar orang pada tahu bahwa menjadi guru itu banyak lika-likunya.

    BalasHapus
  6. Suka duka guru ya, Mbak. Jadi kebayang guru-guru yang mengajar anak-anakku terutama yang masih kelas 1 itu pasti luar biasa tantangannya. Sering-sering nulis cerita seperti ini ya, Mbak. Semangaaat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahh, semangat mbaaak.... Aku rasanya gak sanggup deh jadi guru TK atau SD kls rendah.

      Hapus
  7. Subhanallah... Saya mah suka takjub sama profesi guru. Luar biasa ya mbak tantangannya.

    BalasHapus
  8. Ya Allah, seru ya membersamai anak-anak.... Gemes dan nano-nano. Hebat bu guru sellu sabar dan lapang berbagi ilmu😍 salam kenal:)

    BalasHapus
  9. mbakkkk ikaaaaaa, aku tahu yang dimaksut disekolah lama wkkk anaknya sudah pindah di SD ku ya

    BalasHapus