Jumat, 28 Februari 2020

Kanker Payudara dan Spondylosis yang Diidap Ibuku : Bismillah Kumulai Dari Sini



Tulisan dengan topik Kanker Payudara dan Spondylosis yang Diidap Ibuku ini akan bersambung ke tulisan berikutnya. Karena kalau kutulis dalam satu postingan takutnya malah nggak selesai-selesai karena terlalu panjang ceritanya.

Ibu, aku, dan Kak Ghifa.
Foto ini kuambil saat kami hendak arisan di kampung. Tepatnya bulan Juli 2019

Tulisan ini juga sebagai healingku untuk proses mengikhlaskan segala hal, terutama kepergian ibuku. Pun sebagai langkah awalku untuk kembali menulis setelah berbulan-bulan absen di blog ini karena merawat ibuku tercinta.

Baiklah. Nggak usah bertele-tele. Cekidot.

Semua berawal dari bulan Juni atau Juli tahun 2019. Mau cari kertas rujukan ibu yang lama kok belum ketemu.

Ibuku pulang dengan mata berkaca-kaca.

"Aku nggak mau dioperasi pokoknya, Ka." ucap ibuku. Kalimat yang sama disampaikan ke bapak.

Rasanya saat itu aku ya bingung, bagaimana mau merespon kondisi ibu?

Ibu diharuskan ke dokter bedah oleh dokter keluarga karena ada dua benjolan di payudaranya.

Akhirnya ibu mau periksa ke dokter keluarga saja aku sudah hepi banget. Tapi, ternyata respon ibu demikian. Aku berusaha maklum. Tak heran memang, divonis punya benjolan di payudara kan memang menakutkan. Bayangan yang aneh-aneh muncul. Apalagi ibu termasuk orang yang jarang banget sakit.

Akhirnya, perkara benjolan itu dilupakan sejenak. Ibuku terus melanjutkan hari-harinya untuk membantu bapakku jualan di pasar.

Sesekali aku mengingatkan ibu tentang bagaimana rencana ke dokter bedah. Rasa takut dalam diri ibuku masih menggunung.

Kalau kupikir-pikir, sebenarnya banyak hal yang dipertimbangkan ibuku. Salah satunya adalah perkara merepotkan orang-orang di sekitarnya. Apalagi aku anak tunggal yang punya balita pula.

Oiya, ibuku juga berusaha menjalani terapi urut di Semarang. Kalau menurut cerita ibu, terapi urut ini hanya di titik-titik tertentu pada tubuh. Mungkin gunanya melancarkan peredaran darah yang tersumbat karena lemak darah ya.

Selama menjalani terapi pijat ini yang dirasakan ibuku adalah badan agak entengan. Perkara benjolan nggak ada pengaruhnya.

Ibuku menjalani terapi itu kurang lebih selama setahun. Karena tidak ada perubahan pada benjolan di payudaranya, ibu mulai memberanikan diri periksa ke dokter keluarga, seperti yang kuceritakan di atas.

Agar lebih jelas tentang kanker payudara yang diidap ibuku, begini.

Ibuku merasakan ada benjolan di payudaranya pertama kali saat anakku, Kak Ghifa berusia 8 bulan, sekitar pertengahan tahun 2016. Benjolan sebesar kelereng dan perkembangannya sangat lambat. Tidak merasakan sakit. Hanya terasa sengkring-sengkring saat menstruasi datang.

Baru deh sekitar dua tahun kemudian muncul lagi benjolan di payudara yang sama (payudara sebelah kiri) tapi di bagian atas. Kira-kira begini kalau kugambarkan secara sederhana.


Benjolan kedualah yang mengganas dan merenggut nyawa ibuku.

Sampai sini, pelajaran penting yang bisa kupetik adalah sekecil apapun benjolan yang ada di tubuh kita, ayo segera periksa ke dokter! Jangan takut! Cari dokter terbaik juga. Kalau perlu ketemu beberapa dokter. Jangan hanya satu dokter!

Perlu banget kita memiliki asuransi kesehatan. Yah, paling nggak BPJS. Ini akan sangat membantu pengobatan kita. Bahkan semua pengobatan ibu sampai akhir hayatnya semua ditanggung sama BPJS.

Muncul pertanyaan, lah itu terapi pijat juga? Nggak efektif? Kok masih ke dokter? Nanti di tulisan berikutnya akan aku bahas lebih lanjut.


Bersambung...

*ada yang tanya, benjolannya itu di dalam atau di luar?

Benjolan di dalam, kalau diraba terasa keberadaannya seperti kelereng. Awalnya bisa bergerak ke sana-sini, lama-lama seperti mencengkeram dan tidak bergerak.

Kamu menemukan benjolan di payudara juga? Jangan langsung takut apalagi menduga itu kanker. Langkah terbaik segera ke dokter keluarga. Jangan ditunda-tunda.

Kemudian, kalau ketemu dokter bedah kok kemudian langsung diharuskan melakukan pembedahan atau pengangkatan, coba deh cari opsi lain. Misalnya cari dokter kedua. Apa kata dokter tersebut. Akan lebih baik kalau langsung ketemu sama dokter onkologi.

Mohon maaf, maaf banget, ada lho oknum dokter yang main langsung bedah. Tapi, percayalah, sertakan Allah di setiap langkah kita, mohon dipertemukan dengan dokter terbaik untuk menangani masalah kesehatan kita.

Asal bedah bisa menyebabkan sel kanker malah makin mengganas. Pembedahan pada kanker itu ada prosedurya. Di postingan selanjutnya akan aku bahas.

Jangan takut! Karena setiap sakit akan ada obatnya. Bersama kesulitan ada kemudahan, ini prinsip yang selama ini kupegang.

15 komentar:

  1. Turut berdukacita ya Ika, semoga diberikan kesabaran dan ikhlas menerima musibah ini.

    Bener Ika, kalo nemu benjolan harus segera periksa ke dokter

    BalasHapus
  2. Kakakku yg tabah, mungkin itu sudah jalannya ibuk. ibuk bahagia disana. Tp ngomong2 soal dokter q yo takut kalo gak bener2 sakit parah gk mau berobat mbakk

    BalasHapus
  3. Al-Fatihah untuk Ibu kita yaaa
    Ibuku berpulang setelah bertarung lawan kanker paru.
    Semoga sakit yg dirasakan ibunda kita, bisa jadi jalan penggugur dosa beliau-beliau yaaaa

    BalasHapus
  4. Turut berduka cita ya mbak. Dua tanteku juga wafat setelah kena kanker payudara lalu selnya meluas ke jaringan vital lain

    BalasHapus
  5. Aku penyintas tumor ganas, nyaris kanker mba, rasanya sedih, takut dan segala macam.
    Turut berduka ya mba, insya Allah semua sudah yang terbaik

    BalasHapus
  6. Aku turut berduka ya, Mbak

    Jadi ingat tetanggaku yang kena kanker payudara juga. Tapi ditelateni banget buat berobat dan Alhamdulillah ini tinggal terapi. Dia pergi selalu sendiri karena suaminya punya istri lain. Gak ngurusi pokoknya. Kalau memang ada perubahan pada tubuh, kita kudu cek ke dokter

    BalasHapus
  7. Terima kasih sharing-nya, Mbak. Sebagai pengingat bagi kita perempuan.
    Turut berduka untuk ibu Mbak. Semoga husnul khotimah.

    BalasHapus
  8. Turut berduka ya mbak, terima kasih untuk sharingnya. Aku juga punya sepupu yang saat ini berjuang untuk sembuh dari kanker payudara. Semoga sebagai wanita kita juga lebih care dengan hal ini ya mbak.

    BalasHapus
  9. Turut berduka cita ya mbak, aku baru tau ibu udah gak ada, semoga diberikan kesabaran & keikhalasan sepeninggalan beliau. Dengan menulis begini setidaknya bisa menguangkapkan perasaan & berbagi sama orang lain untuk terus waspada ya & tidak mengabaikan benjolan sekecil apapun

    BalasHapus
  10. Ikut sedih ya mbak. Semoga ibunda Husnul khaatimah.

    Harus mewaspadai kanker satu ini memang ya. Karena banyak perempuan kurang aware. Jadinya diketahui ketika sudah parah. :'(

    Salam kenal ya, mbak

    BalasHapus
  11. Mertuaku meninggalkan karena kanker payudara juga, sedih kalau ingat itu. Memang kita perlu waspada ya tapi tidak perlu putus asa, semoga ke depan ada pengobatan yang lebih baik

    BalasHapus
  12. Alfatihah untuk ibu ya mbak...kadang saya pun juga takut kalau dengar kanker. Rasanya takut banget kalau harus ke dokter untuk konsultasi...tapi memang harus memberanikan diri ya mbak supaya kita yakin apa sebenarnya yang kita alami. Terimakasih sharingnya mbak.

    BalasHapus
  13. Turut berduka cita ya Mba Diyanika. Terima kasih sudha sharing pengalaman ibu ke para pembaca ya Mba. Ibu saya pun juga kalo misalnya lagi sakit tuh males banget ke dokter. Bilangnya cuma sakit ringan kok dll. Saya tahu sih maksud ibu saya kalo kebanyakan obat takut berpengaruh ke ginjalnya. Kadang suka geregetan juga sama beliau.

    BalasHapus
  14. Semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan kepada banyak perempuan yang kemungkinan mengalami permasalahan yang sama dengan ibumu ya Ika.

    BalasHapus
  15. Mbak aku turut berduka njih mbak. Innalillahi wainnailaihi roji'uun. Semoga kita semua semakin aware dg bahaya kanker.

    BalasHapus