Pernahkah mendengar atau membaca kalimat tersebut?
Pertama kali aku mendengar kalimat tersebut saat aku masih duduk di bangku kuliah, tepatnya sehari setelah proposalku untuk ikut program mengajar di pedalaman ditolak oleh ibu.
"Tidak perlu jauh-jauh meninggalkan bapak dan ibu. Kalau mau mengabdi, di lingkungan kita juga banyak yang butuh guru." kurang lebih begitu kata ibuku.
Yaah, tahu sendiri lah, jiwa idealisme anak kuliahan kayak apa, menggebu-gebu. Ditolak mentah-mentah sama ibu, kemudian pas di kampus mendapat siraman kalbu bak air es di tengah gurun sahara, hooo~ langsung deh ya, nggak jadi nglokro semangatku.
Akhirnya, sejak saat itu aku berjanji, setelah lulus kuliah akan menjadi guru SD yang sebenar-benarnya. Nggak mau kalau hanya jadi guru yang biasa-biasa saja. Ya, di mana saja aku bisa mengabdikan diriku. Pokoke kudu maksimal.
Bukan kebetulan, Allah mengirimku menjadi guru honorer ke SD negeri di desa kecil yang jauh dari kecamatan. Waktu tempuh dari rumahku sekitar 30 menit, itupun motorku harus melaju dengan kecepatan 60 km/jam.
Bagaimanakah perjalananku menjadi guru honorer? Apakah aku tetap bertahan? Mudahkah aku melewati segala babak kehidupanku? Batu besar apa saja yang menyandung kaki njeberku? Dipertemukan dengan siapa saja aku selama mengabdi menjadi guru?
Bismillah, kumulai cerita perjuanganku untuk menjadi guru PNS. Semoga ada secuil hikmah yang bisa kamu ambil dari apa yang kulalui.
Aku ingin menjadi Sang Bintang-guru PNS, bukan hanya mutiara-guru honorer- yang terpendam di bawah lautan sana.
Bismillah, kumulai cerita perjuanganku untuk menjadi guru PNS. Semoga ada secuil hikmah yang bisa kamu ambil dari apa yang kulalui.
Aku ingin menjadi Sang Bintang-guru PNS, bukan hanya mutiara-guru honorer- yang terpendam di bawah lautan sana.
Lima tahun berjuang di SD negeri pelosok, akhirnya aku memilih pindah. Berat, rasanya berat banget. Tapi, kapan lagi ada tawaran yang lebih baik dan lebih dekat dengan rumahku?
Sudah saatnya aku juga memikirkan kebahagiaan anakku. Dia sudah mulai masuk sekolah. Kalau setiap hari ikut aku, kasihan. Ini semua terlalu melelahkan.
Entah kenapa, aku merasa akan ada sesuatu yang terjadi pada ibuku, yang saat itu sedang berjuang terapi di Semarang. Nanti akan aku ceritakan di postingan ini juga apa yang terjadi pada ibuku.
Jujur, ya.
Sebenarnya, aku sudah nyaman, bahkan sangat nyaman dengan lingkungan sekolah dan warga sekitar.
Padahal kepala sekolah sangat mempercayaiku untuk memegang beberapa program akademik.
Sekali lagi aku ingin bilang, ini berat. Sangat berat.
Tahukah kamu keputusanku untuk pindah banyak sekali membawa luka?
Banyak hal yang harus kutinggalkan.
Oh, ternyata begini, ya, rasanya, melipir saat karier sedang bagus-bagusnya.
Aku harus kehilangan karierku yang sudah kubangun selama lima tahun.
Aku harus berpisah dengan anak didikku.
Aku harus kehilangan honor daerahku.
Aku harus kehilangan kesempatan menjadi tim pembuat soal tingkat kabupaten.
Aku harus melewatkan kesempatan mendapat NUPTK.
Aku harus mengikhlaskan berkas pengajuan PPGku ditangguhkan oleh dinas karena pindah ke kabupaten lain.
Sedihnya lagi, kabar kepindahanku dibarengi dengan rumor kalau aku out karena kalah saing dengan guru CPNS baru di sekolahku.
Ya Allah. Sedihku makin bertumpuk-tumpuk. Aku seperti seorang tertuduh. Aku berpamitan dengan membawa duka, bukan suka cita. Aku masih ingat betul, kuterisak-isak saat pamit di rapat dinas sekolah.
Terlebih lagi, setiap kali ada teman yang bertanya kabarku di sekolah baru, kemudian berujar, "Kok sayang banget sih, Mbak, malah pindah."
Duh, rasanya ingin kubanting HPku. Aku merasa dunia ini tak berpihak kepadaku.
Apalagi saat ibu petugas bagian kepegawaian tiba-tiba menelepon di bulan Agustus tahun lalu, "Nok, kamu kalau mau pindah lagi ke SD yang lama, kami masih menerima lho. Sayang banget, kariermu lagi bagus-bagusnya. Sini juga merasa kehilangan kamu."
Aku hanya bisa menahan tangisku di depan kelas.
Belum berakhir di situ saja. Aku pindah ke sekolah baru ini malah dapat amukan dari kepala UPTD. Katanya aku tidak tahu bersyukur bisa lolos PPG malah dilepas. Kemudian data dapodikku tidak bisa dilanjutkan ke SD yang sekarang.
Ya Allah, begini banget jalan hidupku. Kelunta-lunta, itu yang kurasa.
Nggak, lah. Nggak. Aku harus kuat. Seperti pesan ibuku.
Pesan WA dari ibuku |
Ya, aku harus siap menghadapi segala konsekuensi yang ada. Aku mantab harus pindah, walau terasa sangat berat.
Aku yakin lambat laun karierku di sini juga bersinar. Butuh waktu. Tapi, kembali lagi, bukankah aku menjadi guru agar hidupku lebih bermanfaat? Kenapa aku kini justru gila pengakuan dari orang lain?
Kukemanakan Allah? Harusnya aku tak takut karierku akan meredup jika aku bekerja karena Allah. Bukan karena orang lain, bukan?
Selamat datang sekolah baru. Sekolah di pusat kecamatan. Sekolah dengan jumlah murid bejibun plus karakter yang beragam.
Letaknya hanya 10 menit dari rumahku dengan jalan kaki. Dekat sekali. Inilah impian ibuku.
"Bapak Ibu biar ikut senang dan bangga tahu prestasimu di sini." Kata ibuku saat kami berbincang-bincang menjelang pengambilan keputusanku untuk pindah.
Orangtua mana yang tak ingin melihat anaknya bahagia? Tapi, anak mana yang tak ingin membahagiakan kedua orangtuanya? Apalagi aku ini anak tunggal.
Kuyakin, bapak ibuku bangga dan sangat bahagia aku pindah di sekolah baru ini.
Aku menghadirkan Kak Slam, pendongeng dari Semarang untuk mengisi kegiatan di sekolahku. Kegiatan ini bekerjasama dengan PAUD dan TK se-lingkunganku. |
"Itu lho Bu Ika, anaknya Pak Supar, pinter, buat acara ini itu di sekolah, bla bla bla...."
"Anaknya, Mbak Har, pindah di SD sini. Kemarin pas acara agustusan re ngem-si barang. Sekolah ramai banget."
Di sekolah lama bagian MC, di sekolah baru jangan mau kalah dong. |
Kalimat-kalimat itu kan simpel. Tapi, binar-binar kebahagiaan bapak dan ibu tampak begitu nyata. Kalau aku di sekolah lama, bisa sampai mengirim anak-anak ke kabupaten, kemudian juara, mana ada tetangga yang komentar demikian? Biasanya aku hanya cerita seadanya saja.
Beda. Kebahagiaan bapak ibuku kala aku pindah sangat berbeda.
Kenapa tak dari dulu, Ya Allah?
Meskipun aku harus kehilangan banyak hal dan kesempatan, tapi melihat bapak dan ibu lebih bahagia kok terasa sangat impas, terbayar semua dan tak ternilai harganya.
Terima kasih untuk keluarga besar SDku yang sekarang, karena telah menerimaku.
Satu prinsip besar dari ibu yang selalu kubawa di manapun aku berada adalah kebermanfaatan. Hidupku harus bermanfaat. Okelah, urusan adaptasi dengan guru dan karyawan sekolah baruku bisa ku-handle. Lah, anak-anak?
Satu hal yang kutakutkan saat aku pindah sekolah adalah mendapatkan cinta dari anak didikku yang baru. Akankah aku mendapatkan porsi cinta yang sama seperti yang kudapatkan dari anak didikku di sekolah lama?
Brandingku di sekolah lama sebagai guru muda, cerdas, energik, dan wangi akan selalu kubawa ke manapun. Termasuk di sekolah baruku ini.
Apa yang bisa kulakukan? Seperti biasa, berusaha untuk bekerja secara profesional, totalitas, dan mengajar dengan hati.
Eits, tunggu dulu, ternyata tidak bisa begitu saja. Di sekolah ini tantangannya jauh luar biasa. Sangat melelahkan.
Di awal-awal, aku sempat berkeluh kesah dengan ibu,
"Ya Allah, Buk, anak-anak sini ternyata pada bandel-bandel. Susah sekali diatur. Karena faktor keluarga juga kali, ya. Orangtuanya kan banyak yang kerja pabrik. Pengawasannya beda. Masak sih sama guru berani, malah nggak sopan. Aku ngajar kelas 1A muridnya 24 tapi berasa 40 anak. Padahal dulu di sekolah yang lama, aku terbiasa ngajar 35an anak, ya, santai-santai saja."
Ibuku hanya menjawab, "Masak kayak gitu saja nyerah?"
Kalau sudah keluar kalimat tersebut dari ibu, wah, aku bak ditantang nih. Aku harus bisa menaklukkan anak didikku yang sekarang.
Dan taraaaaa...
Dengan jurus balabala mereka kini terklepek-klepek denganku. Sehari saja aku izin, mereka akan ada yang ngambek, bahkan mogok tak mau sekolah.
Mereka yang selalu ingin dekat denganku |
Terima kasih kesayangan Bu Ika, kalian sudah mencintai Bu Ika, tak jauh beda dengan anak didik Bu Ika yang dulu.
Oiya, di sekolah baruku ini aku diamanahi ngajar di kelas 1A nih. Lagi-lagi kelas satu. Hihi. Senangnya ngajar di kelas satu tuh kayak ngajar anakku sendiri. Mereka kan masih polos dan lucu-lucunya.
Aku sering lho dapat komentar yang unik-unik.
"Bu Ika kalau marah tuh jelek." Kata Agung.
"Bu Ika kalau nggak pakai kacamata kayak nggak pantas. Nggak cantik lagi." Kata Aisyah.
"Bu Ika minyak wanginya apa sih? Kok wangi terus sampai pulang." Tanya Mas Azka sambil mencium kerudungku saat antre berbaris.
Berbeda lagi saat aku harus berkumpul dengan anak-anak kelas enam. Jadi, karena beberapa kali menjadi pengawas try out, mereka berinisiatif ingin diajar olehku. Mereka minta les setiap kali pulang sekolah.
Foto bareng anak-anak kelas 6 |
Oh, ya, kenapa tidak? Selama ilmuku bisa bermanfaat, hajaaaar!
Tantanganku saat mengajar di kelas enam tentu berbeda dengan di kelas satu. Aku harus bisa jadi guru rasa teman bagi mereka. Dekat dengan mereka agar bisa lebih paham bagaimana menyelami masing-masing karakter anak. Ternyata memang benar, mereka merasa lebih dihargai saat didengarkan apa yang mereka sampaikan.
Berhubung aku ngajar les anak-anak kelas enam ini siang hari, tepatnya setelah murid-muridku kelas satu pulang, kemudian aku beres-beres kelas, jelas tinggal keringat doang kan?
Kalau pas cium tangan gini tanganku bau terasi kan aneh juga, ya. |
Alhamdulillah, aku tertolong banget dengan produk dari Vitalis. Sehari-hari, aku menggunakan dua macam produk Vitalis, yaitu parfum dan sabun mandi cairnya.
Tiga varian vitalis body wash |
Untuk sabun mandi, ada tiga varian rasa. Yaitu:
- White Glow (Skin brightening) dengan kandungan Licorice dan Susu membantu mencerahkan kulit. Kemasannya warna pink. Ini wanginya paling lembut.
- Fresh Dazzle (Skin refreshing) dengan kandungan Jeruk Yuzu dan Teh Hijau memberikan kesegaran saat mandi dan membuat mood lebih baik. Kemasan warna hijau ini aromanya segar. Cocok untukku yang energik.
- Soft Beauty (Skin nourishing) dengan kandungan Alpukat dan Vitamin E membantu menutrisi kulit dan menjadikannya lembap. Kemasannya ungu dengan wanginya yang elegan.
Alhamdulillah, aku sudah pernah pakai semua varian. Dari ketiganya aku paling suka wanginya yang kemasan warna hijau. Menurutku aroma Jeruk Yuzu yang dicampur dengan Teh Hijau tuh unik. Aromanya awet pula di kulit.
Warna cairan dari kanan ke kiri; putih, hijau, dan ungu. Warnanya pastel gitu. Pas difoto malah kelihatan putih semua, ya. Untuk teksturnya gak encer-encer bangetlah, lumayan kental. |
Kalau Kak Ghifa, anakku, suka mandi dengan sabun cair ini karena baunya wangi, dan busanya banyak. Dia suka yang kemasan warna ungu.
Untuk yang pink, cocok banget untukmu yang kalem. Aromanya paling lembut dari ketiganya.
Menurutku, dari beberapa sabun mandi cair yang pernah kupakai, Vitalis Perfumed Moisturizing Body Wash ini kalau sudah dibilas tidak meninggalkan kesan berminyak. Terasa nyaman dan nggak keset-keset banget.
Setelah pemakaian secara teratur pun, kulit terasa lebih lembut dan halus. Ini karena di vitalis body wash ini mengandung skin moisturizer.
Soal kemasan, kesukaan emak-emak dengan balita super lincah dan aktif nih, tutupnya model yang ditekan/press. Jadi, jangan khawatir kalau bakalan dibuka sama si kecil, eh, tahu-tahu sudah habis karena buat mainan. Model botol kemasan vitalis body wash ini nyaman saat dipegang, pun tidak akan mengeluarkan cairan sabunnya kalau tidak dipencet. Alhamdulillah, aman jaya pokoknya.
Nah, agar setiap hari bisa mandi parfum dari vitalis body wash ini, aku biasa banget beli di toko serba ada dekat rumah. Kalau pas lagi berburu diskonan di Alfamart juga bisa banget, tersedia kok. Malah sekarang ini lagi ada diskonan tuh di Alfacart.com untuk kemasan isi ulang.
Harga vitalis body wash kemasan refill di Alfacart.com |
Kemasan yang hijau, favorit aku, lagi diskon banyak. Kemasan 450 ml hanya dibandrol 12.500, Ya Allah, mau mau. Murah banget ini. Harga normalnya mah bisa dua kali lipatnya. Yuk, diborong!
Agar makin lengkap perawatanku, dari zaman dulu, aku selalu memakai parfum Vitalis Body Scent yang Bizzare, kemasan warna ungu. Wis pokoknya, kalau ke sekolah sudah modal mandi parfum Vitalis body wash dan disemprot pakai parfum Vitalis juga, aman jaya deh. Dijamin wangi selama bersama anak-anak. Aku nyaman, bisa tampil prima, tentu anak-anak akan semakin hepi belajar di sekolah.
Parfum andalan Bu Ika dari zaman dulu sampai now |
Ternyata benar, sesuai firasatku, sejak September lalu kesehatan ibuku mulai tidak stabil. Enam bulan pertamaku di sekolah baru kuisi dengan penuh perjuangan.
Setiap kali anak-anak istirahat, aku pulang memandikan ibuku. Anak-anak pulang, setelah bersih-bersih kelas, aku izin pulang lebih dulu dibandingkan teman sejawat lainnya. Seminggu tiga kali aku harus mengantar ibuku terapi di rumah sakit, naik turun bus berdua dengan ibu.
Bolehkah aku bilang kalau ini sangat melelahkan? Tapi, aku harus banyak bersyukur. Kalau saja aku masih di sekolah lama, aku nggak bakalan bisa merawat ibuku.
Terima kasih, ya, Allah.
Ingin menangis, tapi air mataku tak bisa keluar.
Kuberusaha semaksimal mungkin bisa profesional. Bahkan saat aku dipercaya kembali melatih anak-anak lomba, saat aku tak bisa lama-lama di sekolah, anak didikku mau latihan di rumahku.
Terima kasih, Anak-anak.
Tepatnya Sabtu, 8 Februari 2020, ibuku jatuh di depan kamar mandi. Keadaannya makin ngedrop setelah kemo 1. Senin, saat aku hendak mandi, ibuku memohon kepadaku.
Aku langsung meletakkan handukku dan menemani ibuku. Malam harinya, tepat pukul 23.00 WIB, ibu kularikan ke IGD. Wajahnya tampak pucat. Kupikir karena efek diarenya, kalau dapat infus akan dapat cairan.
Sampai di IGD, tiga kali tusukan, infus tak mau masuk. Akhirnya, setelah minum teh hangat, infus bisa masuk dan ibu bisa masuk ruang rawat inap.
Sepanjang malam itu ibu mengeluh tidak bisa tidur. Gelisah ke sana-sini.
Begitu terus. Entah berapa kali ibu bilang seperti itu, tak terhitung.
Bapakku saat itu masih di pasar karena sudah telanjur belanja sayur banyak sekali.
Tepat pukul 10.00, setelah mungkin puluhan kali aku bolak-balik ke pintu depan sampai ruangan ibu untuk lihat mobil bapak sudah datang apa belum, ibu pulang dengan paksa. Aku sampai diharuskan membuat surat pernyataan.
Di rumah, ya, seperti biasa. Ngobrol ke sana ke mari dengan tetangga yang pada jenguk.
Entah apa yang terjadi, pukul 14.00 saat hujan turun begitu lebatnya, ibuku mengalami sesak napas. Segera ibuku dilarikan ke IGD lagi, tapi di rumah sakit yang lebih besar.
Sepanjang perjalanan, ibuku memegang erat tanganku. Sangat erat. Ibu masih sadar, tapi hanya diam menatapku.
Terus kutuntun untuk membaca ayat Alquran sebisa mungkin. Menyebut asma Allah, terus, dan terus. Beristighfar selalu.
Bapakku sudah kesetanan. Di luar sana hujannya begitu lebat. Sembari menyetir bapak mengelap kaca karena saking gelapnya di luar.
Setelah masuk IGD dan dipakaikan alat selang yang dihidung, kupamiti ibu untuk mengurus administrasi.
Saat semua beres, kukembali ke ruangan tapi ibuku sudah tak merespon. Kaki dan tangannya sudah seperti es.
Akhirnya, air mataku pecah juga. Setelah berbulan-bulan lamanya mengering.
Inikah pertanda ibuku akan kembali ke Allah? Benarkah? Aku akan kehilangan ibu? Sanggupkah aku? Tapi, kasihan ibu kalau harus berjuang dengan kanker payudaranya yang sudah 3C (Belakangan kutahu kalau dokter merahasiakan bahwa kanker ibu sudah menyebar ke punggung demi ibu semangat berobat).
Bismillah, aku menandatangani surat pernyataan penolakan pemasangan alat selang pipis dan rujukan ke rumah sakit di Semarang.
Aku pasrah, saat itu adalah masa-masa terakhir ibu. Sampai hari itu perjuangan ibu.
Sehari sebelumnya aku merasa aneh saat ibu pasrah-pasrah kepadaku.
Aku, bapak, abi, dan terakhir ibu ingin ketemu Kak Ghifa.
"Uuuuhhh." Begitu respon ibu saat kutanya ingin bertemu dengan siapa.
Ibuku menghembuskan nafas terakhir dengan tiga tarikan napas yang halus dan indah banget. Alhamdulillah lengkap mengucapkan syahadat, aku dan bapak mendampingi ibu sampai benar-benar tenang.
Aku keluar ruangan. Saudaraku sudah menunggu dan berkumpul di depan pintu.
Semua berteriak histeris. Nenekku jatuh pingsan, bulek gulung-gulung di depan pintu, keponakanku gembor-gembor nggak karuan.
Entahlah, harusnya aku yang paling sedih. Tapi, justru aku yang menenangkan keluargaku.
Alhamdulillah, maghrib ibuku sudah di jalan. Proses kepulangan ibu dipermudah Allah.
Di dalam mobil ambulans aku berujar dengan Pak Didik, sopir mobil ambulans, "Saya tidak pernah membayangkan bakal membawa pulang ibu saya dengan mobil jenazah, Pak."
Pak Didik hanya menjawab, "Sabar. Njenengan beruntung, semua keluarga pasti sudah ikhlas. Terutama ibu. Karena biasanya mobil mau dinyalakan ada-ada saja. Ini tadi langsung nyala. Nggak kepalang kereta juga. Insyaallah husnul khotimah, Mbak, ibu."
Mataku menghangat.
Ibu.
Kau pergi dengan sangat indah, Buk. Cantik, putih bersih, alismu begitu manis. Ibu seperti sedang tidur dan tersenyum kepada setiap orang yang hadir mendoakan ibu.
Bahkan, saat jenazah dimasukkan liang lahat, mereka yang mengantarkanmu begitu terkagum-kagum, Buk. Ibu sudah menginap semalam, tapi jenazah ibu masih seperti orang hidup. Tidak kaku sama sekali.
Insyaallah husnul khotimah, Buk.
Buk, di malam keempat ibu meninggal, kutemukan tulisan ini di aplikasi Notepad HP.
Aamiin, aamiin, semoga Allah mengabulkan, ya, Buk. Ika takut selama merawat ibuk, Ika tidak maksimal. Maafin Ika, Buk.
Buk, Kamis, 13 Februari 2020, ada pelangi yang indah banget di langit atas rumah kita, Buk. Semoga ini pertanda bahwa ibu benar-benar sudah tenang di sisi terbaik Allah, ya, Buk.
Buk, sampai sekarang, bunga di atas makam ibuk tak pernah absen. Banyak orang yang sayang sama ibuk sampai-sampai sering meluangkan waktu untuk menengok ibuk.
Ika, bapak, abi, Kak Ghifa, dan semua orang yang sayang ibuk akan selalu mendoakan ibuk. Tunggu kami di surga Allah, ya, Buk. Tunggu kami.
Setidaknya itulah pesan-pesan dari ibu selama aku merawat beliau. Awalnya aku tidak pernah mengira kalau itu seperti nasihat terakhir darinya. Karena memang kalimat-kalimat itu diucapkan saat kami mengobrol di sela-sela aku menyuapi ibu atau pas aku bermain dengan Kak Ghifa di kamar ibu.
Sebenarnya aku sudah merasa curiga, kok beda, lebih tepatnya yang kalimat terakhir tentang pesan ibu saat aku tes CPNS.
Aku tahu betul ibu. Beliau sosok yang cerdas dan ambisius. Apalagi kalau berhubungan tentang aku.
Dahulu, beliau selalu bilang, "Kamu kudu bisa ranking 1. Kamu kudu ini, ini, ini....(seperti yang pernah kutulis di blogku ini dengan judul Bu, Remehkan Saja Aku!)." Lha kok ini tiba-tiba ambisius ibu hilang dalam sekejap. Saat itu aku hanya diam saja, heran, mengangguk jadi pilihanku untuk meng-iyakan permintaan ibu.
Ibuku meninggal tanggal 11 Februari 2020. Aku kembali ke sekolah hari Selasa, 18 Februari 2020. Saat itu yang kupikirkan adalah Allah itu baik, selesai 7 hari meninggalnya, ibuk, aku masih diberikan waktu untuk belajar materi SKD CPNS. Menurutku ini bukanlah suatu kebetulan. Ini adalah rencana Allah yang begitu indah dan rapi untukku.
Kubulatkan tekad, aku harus semangat, aku kudu bangkit. Setiap kali anak-anak sudah pulang, aku langsung bersih-bersih kelas, setelah itu belajar dari buku yang diberi oleh temanku yang sudah lolos CPNS tahun lalu.
Sampai di rumah, aku tidak bisa maksimal belajar karena harus mengurus semua anggota keluargaku; bapak, abi, dan Kak Ghifa. Waktuku belajar terbatas, paling saat menjelang subuh baru bisa pegang buku. Selebihnya aku bermodalkan youtube untuk belajar. Saat mencuci piring, cuci baju, bahkan saat memasak, youtube selalu menyala bak radio. Kudengar dan kadang-kadang melihat pembahasan soal yang disajikan.
Begitu pesan teman SMP-ku via DM Instagram sebelum dia menutup obrolan kami yang membahas tentang gambaran soal-soal SKD kepadaku. Aku hanya bisa meng-aamiin-kan. Di pelupuk mataku hanya ada ibu, ibu yang tersenyum kepadaku.
Hari H pun akhirnya tiba. Selasa Legi (hari weton ibuku), 25 Februari 2020, Bapak, abi, Kak Ghifa, ditambah nenek dan bulek mengantarkanku berangkat tes.
Terima kasih, terima kasih kepada semua orang yang telah mencintaiku. Ini tak lain karena semasa hidup ibu, beliau selalu mencurahkan cintanya kepada saudara dan sesamanya. Kini tinggal aku yang memetik dan meneruskan perjuangan ibu.
Saat itu aku mendapat jadwal ujian sesi 1, pukul 07.00 harus sudah mulai registrasi. Aku bangun pukul 03.00 kemudian menyiapkan bekal apa saja yang mau dibawa.
Semua makanan tinggal kuhangatkan, karena sudah kusiapkan malam harinya. Pukul 04.00 aku mandi. Tak lupa kugunakan sabun cair dari Vitalis yang Fresh Dazzle, warna hijau. Kunikmati aromanya, yang diperkaya dengan ekstrak Jeruk Yuzu dan Teh Hijau sebagai terapi menghilangkan rasa gugupku.
Tepat pukul 04.45, kami berangkat. Sampai di lokasi ujian sekitar pukul 06.00. Alhamdulillah, di perjalanan aku masih bisa tidur. Sambil menunggu pukul 07.00, aku langsung sarapan. Karena kupikir nggak bakalan deh sarapan banyak, sebelumnya aku makan buah pir sebutir, baru deh makan nasi 3 sendok. Kelar minum aku langsung mencari toilet.
Kurang 15 menit dari pukul 07.00, aku sudah bersiap menuju tempat registrasi. Semua yang mengantar kupamiti. Terutama bapak dan abi. Kupeluk erat, kuciumi tangan dan pipinya, "Doakan aku, ya, Pak, Abi."
Aku melangkah meninggalkan mereka diiringi tangisan Kak Ghifa yang tak mau kutinggal. Saat itu dia masih syok dan berduka ditinggal pergi Mbah Uti-ibuku. Tapi, aku harus tetap pergi. Aku tak menoleh sedikitpun. Bismillah.
Registrasi lancar, saat menunggu waktu ujian, pukul 08.00, aku sempatkan untuk pipis lagi. Rasanya hatiku sudah campur aduk. Aku ingat pesan guruku, Pak Budi, untuk memperbanyak bacaan ayat kursi dan alfatihah. Kupatuhi itu sembari membaca bacaan Alquran sebisaku.
Deg deg an bangeeeeettt. Wis pokoke campur aduk. Sesekali kuusap-usapkan tangan kananku di dekat hidungku, ini kebiasaanku kalau gugup, tercium aroma Vitalis Perfumed Moisturizing Body Wash yang kugunakan tadi pagi. Menenangkan baunya.
Saatnya masuk ruangan. Mengingat cerita teman yang sudah ujian lebih dulu, tentang posisi duduk, kupilih yang agak jauh dari AC. Kududuk di sebelah peserta dari formasi guru bahasa inggris. Kami mengobrol sejenak untuk mencairkan suasana hatiku yang tak karuan. Kulantunkan ayat kursi dan al-fatihah terus menerus.
Mengerjakan 100 soal dalam waktu 90 menit. Kalimat soalnya panjang-panjang pula. Beberapa kali pikiranku ambyar, kayak orang ngalamun tapi masih mantengin layar PC, nggak fokus lah, sesering itu pula aku istighfar, nyebut sebisaku, mulutku komat-kamit, "Izinkan aku, Ya Allah, izinkan aku membahagiakan ibu dan keluargaku."
Kurang 10 menit, soal yang belum kukerjakan ada 3 soal hitung-hitungan. Pokoknya kukebut. Sampai akhirnya, sebelahku sudah keluar nilainya.
Aku makin deg-deg-an karena tinggal beberapa detik lagi waktuku juga akan habis.
Pasrah, pasrah, aku merasa bisa mengerjakan soal-soal tadi. Meskipun ada juga yang kurang yakin, Ya Allah.
Mendengar teriakan kagetku, tiba-tiba ibu pengawas dari BKN mendekatiku.
Perempuan paruh baya itu malah memeluk erat seakan memberikan isyarat, sabar, sabar. Setelah mengucapkan terima kasih, aku ingin segera keluar ruangan.
Sayang, 399 peserta lain juga sedang mengantre untuk keluar. Aku mencoba mencari celah saat turun dari tangga lantai 2. Saat sampai di bawah, keluarga peserta tes sudah pada menanti.
Ah, nggak mungkin kalau bapak dan abi menunggu di sini. Mereka pasti masih di parkiran, nggak papa lah.
Kemudian aku berusaha mencari tahu terlebih dahulu peringkat nilaiku di layar yang dipajang panitia. Melihat layar menunjukkan nilai 300an, ah, kalau lihat di sini nanti kelamaan. Bapak kan harus pergi ke pasar juga. Akhirnya, aku memutuskan untuk balik saja ke parkiran untuk menemui keluargaku.
Aku harus jalan sekitar 100 meter-an untuk sampai di parkiran. Rasanya aku sudah tak sabar untuk segera bertemu dengan bapak dan abi.
Sepatu hak tinggiku, aaaah, hanya memperlambat langkahku saja. Ingin rasanya kupentalkan kemudian berlari secepat mungkin. Tapi, ya, urat maluku masih nempel. Terpaksa aku harus bersabar dan terus mempercepat langkahku.
Aku langsung membelokkan langkahku menuju mobil bapak. Ternyata bapak menyadari kedatanganku. Langsung kupeluk, tangisku pecah.
Bapakku menengadahkan kedua tangannya. Kulihat bapak menangis. Kantung matanya terlihat bergerak-gerak, entah itu berkedut atau apa. Mungkin itu memang luapan kebahagiaannya.
Kurasakan Mbah dan bulek ikut nimbrung memelukku.
Abi tak ada di tempat, pasti sedang mengajak Kak Ghifa main agar tidak rewel. Setelah berganti memakai sandal, minum sejenak, kemudian aku pergi ke masjid. Allahu Akbar, Allahu Akbar, mulutku masih komat-kamit. Airmataku masih meleleh.
Baru setelah selesai salat, aku bisa mengendalikan diriku. Tak sengaja aku bertemu abi dan Kak Ghifa di persimpangan jalan. Sudah seperti film-film saja, aku langsung lari menghambur ke arah mereka. Kupeluk erat Kakak dan abi bingung. Sembari kubisikkan, alhamdulillah, alhamdulillah, abi ikut menyambut ucapanku dan kami malah berpelukan di jalan. Hahaha. Dilihatin orang-orang.
Yo wis ben.
Akhirnya, kami pun kembali ke parkiran. Kami langsung pulang dengan rasa syukur dan bahagia yang tak terkira. Sorot mata bapak tampak berbinar. Alhamdulillah, Ya Allah.
Pas masih di jalan, aku malah dapat kabar dari teman, kalau nilaiku masuk peringkat kedua dalam satu sesi.
Wah, alhamdulillah. Akan tetapi, aku tetap harus banyak berdoa. Karena aku tidak tahu nilai dari sainganku. Paling tidak, aku sudah agak ayem, karena kulihat yang dapat nilai di atas 400 hanya beberapa orang saja.
Kusampaikan kabar gembiraku itu ke beberapa grup keluargaku dan guru-guruku, yang selama ini tak lelah memberikan semangat dan memotivasiku baik aku dalam keadaan suka apalagi saat ditinggal ibu.
Begitulah guru-guruku mendoakanku. Terima kasih.
Sampai hari ini, saat aku menulis postingan ini, rasa-rasanya aku masih seperti mimpi. Terlebih tentang kepergian ibu. Aku ingin sekali bisa jadi PNS, ini impian ibu. Tapi, saat sedikit lagi aku meraih semua ini, Allah punya rencana lain untukku dan ibu.
Ya, Allah-lah Sang Pemilik rencana ini.
Alhamdulillah, akhirnya hasil ujian SKD telah keluar. Aku berada di peringkat pertama dan harus bersaing dengan dua peserta lainnya untuk memperebutkan 1 formasi guru kelas.
Perjuanganku belum usai. Masih ada ujian tahap kedua, yaitu SKB, yang sampai saat ini jadwalnya belum keluar karena ada bencana virus Corona.
Bersama kesulitan ada kemudahan. Aku bisa menggunakan waktu ini untuk terus belajar. Aku tidak ingin lengah. Melihat selisih nilai yang banyak, pesaingku pasti tidak mau kalah semangat belajar.
Aku akan jauh lebih semangat dari pesaingku. Harus. Kudu semangat.
Akankah aku benar-benar akan menjadi bintang seperti yang kuinginkan?
Kata guruku, "Ketika kamu sudah kuat & siap, pasti Allah akan memberikan, Ka ☺🤲🏻."
Kini, kubalik, apakah aku sudah siap menjadi bintang? Menurutmu, apakah aku sudah kuat dan siap untuk jadi bintang?
TERAKHIR.
Untuk semua yang ada di sampingku, terima kasih. Meskipun aku anak tunggal, tapi aku tidak sendiri. Aku memiliki banyak bapak, ibu, dan saudara di mana saja aku berada.
Terima kasih juga untuk Vitalis yang telah hadir melengkapi hari-hariku. Nggak ada kamu, apalagi varian terbaru Vitalis Perfumed Moisturizing Body Wash, hidupku seperti ada yang kurang.
Setiap kali anak-anak istirahat, aku pulang memandikan ibuku. Anak-anak pulang, setelah bersih-bersih kelas, aku izin pulang lebih dulu dibandingkan teman sejawat lainnya. Seminggu tiga kali aku harus mengantar ibuku terapi di rumah sakit, naik turun bus berdua dengan ibu.
Bapak saat menunggu ibu di depan ruang operasi |
Bolehkah aku bilang kalau ini sangat melelahkan? Tapi, aku harus banyak bersyukur. Kalau saja aku masih di sekolah lama, aku nggak bakalan bisa merawat ibuku.
Terima kasih, ya, Allah.
Ingin menangis, tapi air mataku tak bisa keluar.
19 Februari aku mengantar muridku lomba tingkat Kabupaten |
Kuberusaha semaksimal mungkin bisa profesional. Bahkan saat aku dipercaya kembali melatih anak-anak lomba, saat aku tak bisa lama-lama di sekolah, anak didikku mau latihan di rumahku.
Terima kasih, Anak-anak.
Tepatnya Sabtu, 8 Februari 2020, ibuku jatuh di depan kamar mandi. Keadaannya makin ngedrop setelah kemo 1. Senin, saat aku hendak mandi, ibuku memohon kepadaku.
"Kamu nggak usah sekolah, Nok. Ibu di rumah sama siapa?" Pintanya dengan raut muka memelas. Tatapannya kosong.
Aku langsung meletakkan handukku dan menemani ibuku. Malam harinya, tepat pukul 23.00 WIB, ibu kularikan ke IGD. Wajahnya tampak pucat. Kupikir karena efek diarenya, kalau dapat infus akan dapat cairan.
Sampai di IGD, tiga kali tusukan, infus tak mau masuk. Akhirnya, setelah minum teh hangat, infus bisa masuk dan ibu bisa masuk ruang rawat inap.
Ini saat kami berada di RS Tugurejo Semarang, menunggu kamar menjelang kemo 1 ibu |
Sepanjang malam itu ibu mengeluh tidak bisa tidur. Gelisah ke sana-sini.
"Bapak telepon, Nok. Ibu pengen pulang. Ibu nyaman di rumah. Ibu pulang saja."
Begitu terus. Entah berapa kali ibu bilang seperti itu, tak terhitung.
Bapakku saat itu masih di pasar karena sudah telanjur belanja sayur banyak sekali.
Tepat pukul 10.00, setelah mungkin puluhan kali aku bolak-balik ke pintu depan sampai ruangan ibu untuk lihat mobil bapak sudah datang apa belum, ibu pulang dengan paksa. Aku sampai diharuskan membuat surat pernyataan.
Di rumah, ya, seperti biasa. Ngobrol ke sana ke mari dengan tetangga yang pada jenguk.
Entah apa yang terjadi, pukul 14.00 saat hujan turun begitu lebatnya, ibuku mengalami sesak napas. Segera ibuku dilarikan ke IGD lagi, tapi di rumah sakit yang lebih besar.
Sepanjang perjalanan, ibuku memegang erat tanganku. Sangat erat. Ibu masih sadar, tapi hanya diam menatapku.
Terus kutuntun untuk membaca ayat Alquran sebisa mungkin. Menyebut asma Allah, terus, dan terus. Beristighfar selalu.
Bapakku sudah kesetanan. Di luar sana hujannya begitu lebat. Sembari menyetir bapak mengelap kaca karena saking gelapnya di luar.
Setelah masuk IGD dan dipakaikan alat selang yang dihidung, kupamiti ibu untuk mengurus administrasi.
Saat semua beres, kukembali ke ruangan tapi ibuku sudah tak merespon. Kaki dan tangannya sudah seperti es.
"Ibu, Ibu, Ika di sini, Buk. Buk, tolong Buk, buka matanya. Bu, Ika belum bisa bahagiain ibu, ibu jangan gini, Buk. Bangun, Buk."
Akhirnya, air mataku pecah juga. Setelah berbulan-bulan lamanya mengering.
Inikah pertanda ibuku akan kembali ke Allah? Benarkah? Aku akan kehilangan ibu? Sanggupkah aku? Tapi, kasihan ibu kalau harus berjuang dengan kanker payudaranya yang sudah 3C (Belakangan kutahu kalau dokter merahasiakan bahwa kanker ibu sudah menyebar ke punggung demi ibu semangat berobat).
Bismillah, aku menandatangani surat pernyataan penolakan pemasangan alat selang pipis dan rujukan ke rumah sakit di Semarang.
Aku pasrah, saat itu adalah masa-masa terakhir ibu. Sampai hari itu perjuangan ibu.
Sehari sebelumnya aku merasa aneh saat ibu pasrah-pasrah kepadaku.
Aku, bapak, abi, dan terakhir ibu ingin ketemu Kak Ghifa.
"Uuuuhhh." Begitu respon ibu saat kutanya ingin bertemu dengan siapa.
"Ibu, kalau ibu mau pergi, insyaallah kami ikhlas, Buk. Ibu nggak usah khawatir, Ika bakal jaga bapak. Ibu kan tahu aku pinter cari uang, Buk. Aku bisa nulis terus kalau memang belum rezeki jadi PNS, Buk. Ibu yang tenang, ya. Nanti semua kumpul di rumah, ikhlas, Buk. Si Mbah Pati, Pak lek sudah perjalanan, Buk. Kita kumpul dan ketemu di rumah, ya."
Ibuku menghembuskan nafas terakhir dengan tiga tarikan napas yang halus dan indah banget. Alhamdulillah lengkap mengucapkan syahadat, aku dan bapak mendampingi ibu sampai benar-benar tenang.
Aku keluar ruangan. Saudaraku sudah menunggu dan berkumpul di depan pintu.
"Ibu sudah nggak ada."
Semua berteriak histeris. Nenekku jatuh pingsan, bulek gulung-gulung di depan pintu, keponakanku gembor-gembor nggak karuan.
Entahlah, harusnya aku yang paling sedih. Tapi, justru aku yang menenangkan keluargaku.
Alhamdulillah, maghrib ibuku sudah di jalan. Proses kepulangan ibu dipermudah Allah.
Di dalam mobil ambulans aku berujar dengan Pak Didik, sopir mobil ambulans, "Saya tidak pernah membayangkan bakal membawa pulang ibu saya dengan mobil jenazah, Pak."
Pak Didik hanya menjawab, "Sabar. Njenengan beruntung, semua keluarga pasti sudah ikhlas. Terutama ibu. Karena biasanya mobil mau dinyalakan ada-ada saja. Ini tadi langsung nyala. Nggak kepalang kereta juga. Insyaallah husnul khotimah, Mbak, ibu."
Mataku menghangat.
Ibu.
Kau pergi dengan sangat indah, Buk. Cantik, putih bersih, alismu begitu manis. Ibu seperti sedang tidur dan tersenyum kepada setiap orang yang hadir mendoakan ibu.
Bahkan, saat jenazah dimasukkan liang lahat, mereka yang mengantarkanmu begitu terkagum-kagum, Buk. Ibu sudah menginap semalam, tapi jenazah ibu masih seperti orang hidup. Tidak kaku sama sekali.
Insyaallah husnul khotimah, Buk.
Buk, di malam keempat ibu meninggal, kutemukan tulisan ini di aplikasi Notepad HP.
Aamiin, aamiin, semoga Allah mengabulkan, ya, Buk. Ika takut selama merawat ibuk, Ika tidak maksimal. Maafin Ika, Buk.
Buk, Kamis, 13 Februari 2020, ada pelangi yang indah banget di langit atas rumah kita, Buk. Semoga ini pertanda bahwa ibu benar-benar sudah tenang di sisi terbaik Allah, ya, Buk.
Buk, sampai sekarang, bunga di atas makam ibuk tak pernah absen. Banyak orang yang sayang sama ibuk sampai-sampai sering meluangkan waktu untuk menengok ibuk.
Ika, bapak, abi, Kak Ghifa, dan semua orang yang sayang ibuk akan selalu mendoakan ibuk. Tunggu kami di surga Allah, ya, Buk. Tunggu kami.
"Misal kamu keterima CPNS kan bisa bantu-bantu, Bapak. Lak yo ngunu to (Bukankah begitu)?"
"Kak Ghifa nanti ngaji di tempat Pak Mansyur, ya, Kak. Biar pinter ngaji."
"Nanti kalau pas tes, nggak usah ngoyo, kudu, kudu. Sing iso digarap, sing ora yo wis. Pasrah maring Gusti Allah, ya, Nduk. (Yang bisa dikerjakan, yang tidak bisa ya sudah. Pasrah kepada Allah)."
Setidaknya itulah pesan-pesan dari ibu selama aku merawat beliau. Awalnya aku tidak pernah mengira kalau itu seperti nasihat terakhir darinya. Karena memang kalimat-kalimat itu diucapkan saat kami mengobrol di sela-sela aku menyuapi ibu atau pas aku bermain dengan Kak Ghifa di kamar ibu.
Sebenarnya aku sudah merasa curiga, kok beda, lebih tepatnya yang kalimat terakhir tentang pesan ibu saat aku tes CPNS.
Aku tahu betul ibu. Beliau sosok yang cerdas dan ambisius. Apalagi kalau berhubungan tentang aku.
Dahulu, beliau selalu bilang, "Kamu kudu bisa ranking 1. Kamu kudu ini, ini, ini....(seperti yang pernah kutulis di blogku ini dengan judul Bu, Remehkan Saja Aku!)." Lha kok ini tiba-tiba ambisius ibu hilang dalam sekejap. Saat itu aku hanya diam saja, heran, mengangguk jadi pilihanku untuk meng-iyakan permintaan ibu.
Ibuku yang cantik. Ika kangen ibuk. |
Ibuku meninggal tanggal 11 Februari 2020. Aku kembali ke sekolah hari Selasa, 18 Februari 2020. Saat itu yang kupikirkan adalah Allah itu baik, selesai 7 hari meninggalnya, ibuk, aku masih diberikan waktu untuk belajar materi SKD CPNS. Menurutku ini bukanlah suatu kebetulan. Ini adalah rencana Allah yang begitu indah dan rapi untukku.
Kubulatkan tekad, aku harus semangat, aku kudu bangkit. Setiap kali anak-anak sudah pulang, aku langsung bersih-bersih kelas, setelah itu belajar dari buku yang diberi oleh temanku yang sudah lolos CPNS tahun lalu.
Sampai di rumah, aku tidak bisa maksimal belajar karena harus mengurus semua anggota keluargaku; bapak, abi, dan Kak Ghifa. Waktuku belajar terbatas, paling saat menjelang subuh baru bisa pegang buku. Selebihnya aku bermodalkan youtube untuk belajar. Saat mencuci piring, cuci baju, bahkan saat memasak, youtube selalu menyala bak radio. Kudengar dan kadang-kadang melihat pembahasan soal yang disajikan.
"Insyaallah, aku yakin kamu bisa, Ka, untuk mencetak TOP SCORE. Bismillah. Ibuk mendampingi dengan cara-Nya. Kamu kudu semangat. Niatkan ini sebagai hadiah untuk ibuk."
Begitu pesan teman SMP-ku via DM Instagram sebelum dia menutup obrolan kami yang membahas tentang gambaran soal-soal SKD kepadaku. Aku hanya bisa meng-aamiin-kan. Di pelupuk mataku hanya ada ibu, ibu yang tersenyum kepadaku.
Hari H pun akhirnya tiba. Selasa Legi (hari weton ibuku), 25 Februari 2020, Bapak, abi, Kak Ghifa, ditambah nenek dan bulek mengantarkanku berangkat tes.
"Mbahe tak melu yo, ben atimu ayem ning kono. (Nenek ikut, ya, agar hatimu damai, nyaman, di sana)."
Terima kasih, terima kasih kepada semua orang yang telah mencintaiku. Ini tak lain karena semasa hidup ibu, beliau selalu mencurahkan cintanya kepada saudara dan sesamanya. Kini tinggal aku yang memetik dan meneruskan perjuangan ibu.
Saat itu aku mendapat jadwal ujian sesi 1, pukul 07.00 harus sudah mulai registrasi. Aku bangun pukul 03.00 kemudian menyiapkan bekal apa saja yang mau dibawa.
Semua makanan tinggal kuhangatkan, karena sudah kusiapkan malam harinya. Pukul 04.00 aku mandi. Tak lupa kugunakan sabun cair dari Vitalis yang Fresh Dazzle, warna hijau. Kunikmati aromanya, yang diperkaya dengan ekstrak Jeruk Yuzu dan Teh Hijau sebagai terapi menghilangkan rasa gugupku.
Tepat pukul 04.45, kami berangkat. Sampai di lokasi ujian sekitar pukul 06.00. Alhamdulillah, di perjalanan aku masih bisa tidur. Sambil menunggu pukul 07.00, aku langsung sarapan. Karena kupikir nggak bakalan deh sarapan banyak, sebelumnya aku makan buah pir sebutir, baru deh makan nasi 3 sendok. Kelar minum aku langsung mencari toilet.
Kurang 15 menit dari pukul 07.00, aku sudah bersiap menuju tempat registrasi. Semua yang mengantar kupamiti. Terutama bapak dan abi. Kupeluk erat, kuciumi tangan dan pipinya, "Doakan aku, ya, Pak, Abi."
Sumber foto dari facebook BKPP Demak |
Aku melangkah meninggalkan mereka diiringi tangisan Kak Ghifa yang tak mau kutinggal. Saat itu dia masih syok dan berduka ditinggal pergi Mbah Uti-ibuku. Tapi, aku harus tetap pergi. Aku tak menoleh sedikitpun. Bismillah.
Registrasi lancar, saat menunggu waktu ujian, pukul 08.00, aku sempatkan untuk pipis lagi. Rasanya hatiku sudah campur aduk. Aku ingat pesan guruku, Pak Budi, untuk memperbanyak bacaan ayat kursi dan alfatihah. Kupatuhi itu sembari membaca bacaan Alquran sebisaku.
Deg deg an bangeeeeettt. Wis pokoke campur aduk. Sesekali kuusap-usapkan tangan kananku di dekat hidungku, ini kebiasaanku kalau gugup, tercium aroma Vitalis Perfumed Moisturizing Body Wash yang kugunakan tadi pagi. Menenangkan baunya.
Saatnya masuk ruangan. Mengingat cerita teman yang sudah ujian lebih dulu, tentang posisi duduk, kupilih yang agak jauh dari AC. Kududuk di sebelah peserta dari formasi guru bahasa inggris. Kami mengobrol sejenak untuk mencairkan suasana hatiku yang tak karuan. Kulantunkan ayat kursi dan al-fatihah terus menerus.
Mengerjakan 100 soal dalam waktu 90 menit. Kalimat soalnya panjang-panjang pula. Beberapa kali pikiranku ambyar, kayak orang ngalamun tapi masih mantengin layar PC, nggak fokus lah, sesering itu pula aku istighfar, nyebut sebisaku, mulutku komat-kamit, "Izinkan aku, Ya Allah, izinkan aku membahagiakan ibu dan keluargaku."
Kurang 10 menit, soal yang belum kukerjakan ada 3 soal hitung-hitungan. Pokoknya kukebut. Sampai akhirnya, sebelahku sudah keluar nilainya.
Aku makin deg-deg-an karena tinggal beberapa detik lagi waktuku juga akan habis.
Pasrah, pasrah, aku merasa bisa mengerjakan soal-soal tadi. Meskipun ada juga yang kurang yakin, Ya Allah.
"Lā haula wa lā quwwata illā billāhil 'aliyyil azhīmi."
Selesai.
"Allahu Akbar. Subhanallah."
Gemetar. Tubuhku seperti mau roboh.
"Allah, Allah, ibu."
Mendengar teriakan kagetku, tiba-tiba ibu pengawas dari BKN mendekatiku.
"Kenapa, Mbak?" Tanyanya seraya melihat layar PC di depanku.
"Ya Allah, selamat, Mbak, bagus nilainya. Semoga masuk SKB, ya." Ucapnya, kemudian memelukku. Aku malah terisak. Aku kangen pelukan ibuku dan kini aku dipeluk oleh ibu lain.
"Aku baru saja kehilangan ibuk saya, Buk."
Perempuan paruh baya itu malah memeluk erat seakan memberikan isyarat, sabar, sabar. Setelah mengucapkan terima kasih, aku ingin segera keluar ruangan.
Sayang, 399 peserta lain juga sedang mengantre untuk keluar. Aku mencoba mencari celah saat turun dari tangga lantai 2. Saat sampai di bawah, keluarga peserta tes sudah pada menanti.
Potret sebagian peserta SKD |
Ah, nggak mungkin kalau bapak dan abi menunggu di sini. Mereka pasti masih di parkiran, nggak papa lah.
Kemudian aku berusaha mencari tahu terlebih dahulu peringkat nilaiku di layar yang dipajang panitia. Melihat layar menunjukkan nilai 300an, ah, kalau lihat di sini nanti kelamaan. Bapak kan harus pergi ke pasar juga. Akhirnya, aku memutuskan untuk balik saja ke parkiran untuk menemui keluargaku.
Aku harus jalan sekitar 100 meter-an untuk sampai di parkiran. Rasanya aku sudah tak sabar untuk segera bertemu dengan bapak dan abi.
Sepatu hak tinggiku, aaaah, hanya memperlambat langkahku saja. Ingin rasanya kupentalkan kemudian berlari secepat mungkin. Tapi, ya, urat maluku masih nempel. Terpaksa aku harus bersabar dan terus mempercepat langkahku.
"Mbah, bapak, bapak, mana?" Tanyaku ke nenekku.
"Lha piye? Bapak ning mobil." (Bagaimana? Bapak di mobil)
Aku langsung membelokkan langkahku menuju mobil bapak. Ternyata bapak menyadari kedatanganku. Langsung kupeluk, tangisku pecah.
"Alhamdulillah, Pak. Alhamdulillah, alhamdulillah Ya Allah. Bijiku apik (nilaiku bagus) banget, Pak."
"Alhamdulillah, Nduk."
Bapakku menengadahkan kedua tangannya. Kulihat bapak menangis. Kantung matanya terlihat bergerak-gerak, entah itu berkedut atau apa. Mungkin itu memang luapan kebahagiaannya.
"Ya Allah, terima kasih Kau izinkan aku memberikan kabar bahagia untuk bapak setelah beliau kehilangan belahan jiwanya."
Kurasakan Mbah dan bulek ikut nimbrung memelukku.
Abi tak ada di tempat, pasti sedang mengajak Kak Ghifa main agar tidak rewel. Setelah berganti memakai sandal, minum sejenak, kemudian aku pergi ke masjid. Allahu Akbar, Allahu Akbar, mulutku masih komat-kamit. Airmataku masih meleleh.
Baru setelah selesai salat, aku bisa mengendalikan diriku. Tak sengaja aku bertemu abi dan Kak Ghifa di persimpangan jalan. Sudah seperti film-film saja, aku langsung lari menghambur ke arah mereka. Kupeluk erat Kakak dan abi bingung. Sembari kubisikkan, alhamdulillah, alhamdulillah, abi ikut menyambut ucapanku dan kami malah berpelukan di jalan. Hahaha. Dilihatin orang-orang.
Yo wis ben.
Akhirnya, kami pun kembali ke parkiran. Kami langsung pulang dengan rasa syukur dan bahagia yang tak terkira. Sorot mata bapak tampak berbinar. Alhamdulillah, Ya Allah.
Pas masih di jalan, aku malah dapat kabar dari teman, kalau nilaiku masuk peringkat kedua dalam satu sesi.
Wah, alhamdulillah. Akan tetapi, aku tetap harus banyak berdoa. Karena aku tidak tahu nilai dari sainganku. Paling tidak, aku sudah agak ayem, karena kulihat yang dapat nilai di atas 400 hanya beberapa orang saja.
Hasil SKD sesiku |
Kusampaikan kabar gembiraku itu ke beberapa grup keluargaku dan guru-guruku, yang selama ini tak lelah memberikan semangat dan memotivasiku baik aku dalam keadaan suka apalagi saat ditinggal ibu.
"Belajar lebih, berdoa lebih, minta maaf pada orangtua lebih, minta ampun lebih, sedekah lebih (tidak harus uang), & tawadhu' lebihhhhhh....
Semoga doa & harapan ibu diijabah Allah aamiin ya Robbal'aalamiin 🤲🏻🤲🏻🤲🏻🤲🏻🤲🏻"
Begitulah guru-guruku mendoakanku. Terima kasih.
Sampai hari ini, saat aku menulis postingan ini, rasa-rasanya aku masih seperti mimpi. Terlebih tentang kepergian ibu. Aku ingin sekali bisa jadi PNS, ini impian ibu. Tapi, saat sedikit lagi aku meraih semua ini, Allah punya rencana lain untukku dan ibu.
Alhamdulillah, akhirnya hasil ujian SKD telah keluar. Aku berada di peringkat pertama dan harus bersaing dengan dua peserta lainnya untuk memperebutkan 1 formasi guru kelas.
Perjuanganku belum usai. Masih ada ujian tahap kedua, yaitu SKB, yang sampai saat ini jadwalnya belum keluar karena ada bencana virus Corona.
Bersama kesulitan ada kemudahan. Aku bisa menggunakan waktu ini untuk terus belajar. Aku tidak ingin lengah. Melihat selisih nilai yang banyak, pesaingku pasti tidak mau kalah semangat belajar.
Aku akan jauh lebih semangat dari pesaingku. Harus. Kudu semangat.
Akankah aku benar-benar akan menjadi bintang seperti yang kuinginkan?
Kata guruku, "Ketika kamu sudah kuat & siap, pasti Allah akan memberikan, Ka ☺🤲🏻."
Kini, kubalik, apakah aku sudah siap menjadi bintang? Menurutmu, apakah aku sudah kuat dan siap untuk jadi bintang?
TERAKHIR.
Untuk semua yang ada di sampingku, terima kasih. Meskipun aku anak tunggal, tapi aku tidak sendiri. Aku memiliki banyak bapak, ibu, dan saudara di mana saja aku berada.
Terima kasih juga untuk Vitalis yang telah hadir melengkapi hari-hariku. Nggak ada kamu, apalagi varian terbaru Vitalis Perfumed Moisturizing Body Wash, hidupku seperti ada yang kurang.