Rabu, 20 Mei 2020

Buk, Kumohon Jangan Marah Padaku, ya?


Rasanya susah sekali merampungkan tulisan ini.

Hari ini, 20 Mei 2020, hari ke 100 ibuku meninggalkanku dan bapak untuk selamanya. Sampai detik ini pula aku masih seperti mimpi.

Maafkan aku buk
Ibukku sudah tidak bisa kupeluk dan kusayang.
Aku kangen banget.

Loh, aku ini sudah nggak punya ibuk, to? Ah, masak sih? Kutengok kamar bapak, ibukku memang sudah nggak ada di sana. Kemudian aku tertawa sendiri. Apalagi kalau bukan menertawakan jalan cerita hidupku?

Masak sih aku ini sudah nggak punya ibuk? Sepertinya kemarin ibuk masih ngobrol denganku?

Aku baru sadar kalau aku sangat kehilangan ibuk. Bahkan aku sangat gila.

Setiap saat, perasaan dan pikiran seperti itu muncul. Pas ngapain saja. Masak, pegang HP, nyuapin Kakak, bahkan saat mandi. Ujung-ujungnya aku menertawakan diriku sendiri.

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, apa aku waras?

Di antara perasaan dan pikiran itu, ada satu hal yang paling aku sesali saat merawat ibuk. Aku sudah ceritakan ke abi.

Apa aku salah, Bi? Aku takut ibuk merasa tersiksa dengan langkah yang kuambil. Aku takut ibuk marah padaku.

Suamiku menjawab, tidak.

Tapi, aku masih merasa sangat bersalah. Sangat. Sampai ibuk menghembuskan napas terakhir, aku belum meminta maaf atas hal itu.

Tentang apa to?

Akan kuceritakan kepadamu, tolong jawab dengan jujur, ya, apakah aku salah? Janji, tolong jawab dengan jujur, jangan bohong kepadaku.

OK?

Itu semua keputusanku tentang mengajak ibuk menjalankan food combining.

Sejak akhir Desember lalu, aku mengajak ibuk untuk menjalani pola makan sehat itu. Karena setelah kupelajari, kanker itu akan cepat menyebar ke mana-mana kalau pola makan kita salah.

Kanker itu akan hidup bebas dan makin subur kalau diberi makan terutama seperti gula, daging, tepung-tepungan, susu dan olahannya. Upayakan penderita kanker itu makannya vegetarian.

Bukan bermaksud membenarkan atau melakukan pembelaan diri, semenjak ibuk melakukan terapi punggungnya itu (nggak tahu kalau ternyata itu efek kanker yang sudah menyebar), ibuk sudah mulai ogah-ogahan makan. Katanya malas ngunyah, padahal ibuk masih bisa aktivitas seperti biasa, jalan sendiri walau punggungnya terasa sakit. 

Ya Allah, sampai sini, rasanya aku begitu membenci diriku sendiri. Sangaaaaaatttt. Kenapa to kenapa ibuk harus meninggal?

Jeda nulis.

Jeda nulis lagi.

Ibuk kalau makan sedikit banget. Kupikir, kalau misalnya aku ajak menerapkan food combining kan malah lebih enak. Buah yang dimakan bisa dijus. Tinggal tenggak. Makan nasinya kan hanya dua kali, siang dan malam.

Makin lama ibuk makin kurus. Bapakku mulai marah. Semua pada nyalahin aku. Termasuk tetanggaku.

Kenapa ibuknya sakit malah diajak diet aneh-aneh? Sampai pagi sebelum ibuk meninggal sore harinya, aku diamuk bapak di depan perawat.

Aku memang goblok.

Kalau aku nggak menerapkan food combining ke ibuk, mungkin ibukku masih hidup.

Aku memang goblok.

Aku waras?

Tapi, aku merasakan sendiri kalau makan pola sehat itu di badan memang enteng. Toh, meskipun ibuk makin kurus, wajahnya tetap segar dan nggak sepucat sebelumnya. Aku masih membela diriku.

Tapi, aku goblok.

Aku benci diriku sendiri yang sok tahu.

Tapi, ibuk malah makannya lahap kok. Apalagi pas lama-kelamaan ibuk minta dibuatkan bubur saja. Katanya sudah nggak kuat kalau harus mengunyah nasi.

Pas itu tanteku marah-marah, katanya aku nggak boleh malas. Aku harus semangat merawat ibuk. Harus mau membuatkan bubur ibuk.

Ya Allah, rasanya dipaido merawat orang sakit padahal dia nggak tahu apa yang kulakukan selama ini itu rasanya sakiiiiiiitttt. Kudu nangis, nggembor, tapi, aku nggak bisa.

Jeda nulis lagi.

Aku seperti orang gila.

Mimpi ibuk.

Beliau malah minta maaf kepadaku, wajahnya tampak pucat.

Ibuk nggak salah. Aku yang salah, Buk. Apakah ibuk minta maaf karena sudah meninggalkanku? Iya, Buk, aku kehilangan ibuk. Sangat.

Aku nangis.

Aku ingat ibuk.

Jeda nulis lagi.

Aku tahu aku tidak akan pernah bisa bertanya kepada ibuk tentang semua ini. Buk, apakah ibuk marah kepadaku tentang food combining ini? Aku hanya ingin ibuk bertahan hidup lebih lama lagi. Ah, dulu pikirku aku ingin ibuk bisa mengalahkan kanker jahaaaaaaaaaaatttt itu, Buk. Bukan malah kayak gini.

Aku takut ibuk benar-benar marah padaku. Aku tersiksa dengan perasaan dan pikiran ini, Buk.

Pagi hari saat ibuk sarapan dan terakhir makan, ibuk minta minum Pocari habis 3 botol tanggung, makan sop yang ada baksonya, makan tempe goreng, makan Sari Roti (yang kata ibuk terasa susah sekali dikunyah), makan siomay yang kubeli depan Puskesmas.

Aku ingat betul sebelum makan ibuk bilang, "Ka, nanti ibuk boleh makan sembarang, ya."

Ya Allah...

Saat itu aku makin yakin kalau ibuku akan ...

"Iya, Buk, boleh makan apapun yang ibuk mau. Sing penting ibuk sehat, ya. Semangat." Aku lanjutin nyuapin bakso ke ibuk dengan potongan sangat kecil.

Ibuk makan dengan lahap. Makan apapun yang ada di depan ibuk.

Siangnya ibuk sesak napas.

Sore, ibuk meninggal.

Buk, apakah ibuk benar-benar merasa tersiksa dengan pola makan sehat itu? Sampai-sampai ibu izin ke aku pengen makan semua yang kularang sebagai bekal terakhir kali.

Aku menangis. Lagi. Lagi. Ingat ibuk saat terakhir kalinya dilarikan ke rumah sakit. Ibuk menggenggam tanganku dengan sangat erat.

Buk, jangan marah kepadaku. Ika takut ibuk marah kepadaku. Ika mohon, Buk. Aku mohoooooonnn.

Aku nangis lagi.

Jeda nulis lagi.

Kepalaku masih sakit banget karena terus-terusan menangis. Wajar, kah?

Aku tahu diriku ini sedang bermasalah. Ada sesuatu yang belum selesai sehingga setiap saat aku bisa seperti orang gila. Nangis nggak jelas. Tapi, setiap kali menangis, aku merasa sedang menyembuhkan luka dalam diriku.

Ya, menangis jadi salah satu pilihanku untuk melakukan self healing. Mungkin, kalau aku dihipnotis, aku akan lebih histeris lagi. Mungkin.

Apa sih yang bisa kulakukan? Aku serius bertanya kepadamu. Mungkin kamu pernah punya pengalaman yang sama denganku.

Saat ini yang bisa kulakukan untuk mengatasi perasaan dan pikiran bersalahku, ya, menangis dan istighfar berkali-kali. Baru itu.

Tulisan ini, rasanya berat sekali untuk kuselesaikan. Nangis berkali-kali saat ibuk seakan-akan muncul di hadapanku. Ingatanku saat merawat ibuk muncul sesuka hatinya.

Nangis lagi.

Aku berharap banget dengan menuliskan ini semua bisa jadi obat sembuhku juga.

Aku ingin melanjutkan tulisan kisah perjuangan ibuk melawan kankernya yang mandeg.

Saat ibuk terbujur kaku di depanku, bahkan saat aku membawa jenazahnya pulang dengan ambulan, aku tak bisa menangis. Tapi, makin ke sini, tangisku tak bisa kukendalikan.

Aku waras 'kan? Aku harus melanjutkan hidupku, bukan?

Ya Allah, sampaikan ke ibuku, tolong, jangan marah kepadaku. Aku hanya ingin ibuk ada di sisiku. Itu saja.

Buk, maafkan aku. Aku janji akan menjaga bapak, Buk. Ika kangen ibuk. Kangen pengen peluk ibuk.

Minggu, 10 Mei 2020

Bye Bye Khawatir

bye bye khawatir saat pandemiTak pernah sedikitpun terpikirkan olehku kalau suasana ramadan tahun 2020 ini harus kulalui tanpamu, Buk.

Ika kangen.

Kangen yang tak mungkin terobati seperti ramadan yang lalu, lalu, dan lalu.

Begini, ya, rasanya setelah kehilangan ibuk?

Kalau saja bisa memilih, aku ingin bisa menangis sekeras dan selama mungkin saat ibuku meninggal.

Sayang, aku tak bisa.

Mungkin benar kata orang, aku tak bisa menangis karena aku terlalu berduka. Tangisku tertahan.

Imbasnya, kini, aku merasa ada yang aneh dengan diriku.

Aku lebih mudah marah.

Setiap kali ada bunyi yang agak keras atau orang berteriak, dadaku langsung tratapan (deg deg an nggak karuan), dan terakhir, aku terlalu khawatir banget banget banget kepada bapak.

Saat Wabah Corona Datang, Bapakku, Bapakku, Bagaimana dengan Bapak?

Kamu tahu sendiri, kan, kalau tidak semua orang bisa work from home selama pandemi ini? Dua orang terdekatku yang harus tetap keluar rumah, ya, bapak dan suamiku.

Terutama bapak. Pekerjaannya terlalu beresiko karena setiap hari harus bertemu banyak orang dan bolak-balik rumah-Semarang-Purwodadi. Setiap hari seperti itu.

Apalagi setelah meninggalnya ibuk, bapak seperti gila bekerja. Bahkan bapak kalau dari Semarang tidak pulang ke rumah lebih dahulu. Langsung cus ke Purwodadi. Pulangnya nanti selepas maghrib.

Seperti itu setiap hari. Hati anak mana yang tak khawatir? Aku nelangsa.

Setiap kali sendirian,

"Ya Allah, izinkan aku merawat bapakku lebih lama lagi. Izinkan aku membahagiakan bapak, Ya Allah. Lindungilah bapak."

Aku sempat mikir, kenapa harus ada wabah Corona ini? Apakah Allah ingin aku lebih berduka lagi setelah kepergian ibuk, 11 Februari 2020 lalu? Dukaku belum benar-benar berkurang, kini, malah Allah membuatku sangat cemas akan keselamatan bapak.

Berbagai berita tentang wabah virus corona ini kubaca. Kucari tahu, aku harus bagaimana agar bapak terhindar dari virus corona ini?

Hampir semua grup whatsapp yang kuikuti membahas virus corona. Pengertiannya, gejalanya, langkah-langkah mencegahnya, masalah kekurangan APD, harga masker yang melambung tinggi dan mulai langka, vitamin C yang semula harga 5000 jadi 20000 sampai korban jiwa yang makin hari makin bertambah.

Semua informasi bertubi-tubi masuk ke dalam relung otakku. Kulahap semua. Setiap kali ada status whatsapp teman kubaca demi tahu info terupdate dari virus corona ini.

Sayang, ada satu hal yang kulupakan sebelumnya. Yaitu, mentalku yang masih down setelah ditinggal ibuk. Pun fisikku yang masih sangat lelah dengan perubahan rutinitas di rumah, yang awalnya menyelesaikan berdua dengan ibuk, enam bulan terakhir ibuk benar-benar nggak bisa aktivitas, kemudian bolak-balik menemani ibuk di rumah sakit untuk kemo, aku oleng.

Lengkap sudah, fisik lelah, mental down, masuk semua informasi tentang virus corona. Sialnya informasi tersebut justru lebih sering yang bersifat negatif, menakutkan dan menghantuiku.

Satu minggu lebih aku tidak berangkat ke sekolah. Saat itu aku masih aktif ke sekolah, tapi anak-anak sudah diliburkan.

Aku ambruk.

Badanku sedikit demam, kepalaku pusing, dan batuk-batuk.

Aku kena virus corona????

Tapi, aku tidak ke mana-mana. Ya, hanya ke sekolah, belanja, pulang, sudah. Jangan-jangan bapak yang bawa virus corona?

Pikiranku nggak karuan. Tubuhku nggak enak banget. Mau ngapa-ngapain jadi malas.

Sampai akhirnya, aku ketemu sebuah artikel yang nyelip di antara berita virus corona. Yaitu, psikosomatik. Adalah aku mengalami gejala-gejala seperti virus corona. Hal ini hanya keluhan bukan sebuah penyakit. Apalagi kalau bukan karena gempuran informasi tentang viris corona yang membuatku stress dan cemas secara berlebihan.

Maklumkah dengan kondisiku yang baru saja ditinggal ibuk kemudian ada virus corona ini? Maklum, bukan?

"Sudah, Mbak, kalau ada yang share informasi tentang virus corona nggak usah dibaca." Begitu nasihat kepala sekolahku saat aku tak kunjung ke sekolah juga.

Ya Allah, nggak semudah itu. Info itu terus masuk ke grup whatsapp. Aku tidak buka, terpaksa membuka. Karena kupikir ada info yang penting. Sampai akhirnya, aku keluar dari beberapa grup whatsapp.

Ada yang memberi saran, "Puasa sosial media saja."

Ya, nggak semudah itu juga. Lha wong semua pekerjaan menulisku harus mengandalkan sosial media.

Akhirnya, aku bertekad. Kalau ini benar psikosomatik, aku pasti bisa sembuh. Aku yang harus bisa mengendalikan diriku sendiri. Bukan orang lain.

Dengan keluhan batuk-batuk, kupaksakan diriku ke sekolah. Sampai sekolah, ya, semua baik-baik saja. Bahkan, aku merasa lebih baik daripada saat aku hanya di rumah saja.

Sejak saat itu aku merasa kalau aku memang benar-benar mengalami yang namanya psikosomatik. Aku harus bisa lepas dari penyakit aneh ini. Begitu pikirku.

Langkah yang kuambil untuk bisa lepas dari psikosomatik adalah sebagai berikut.
  • Aku menerima kalau diriku memang sangat cemas.
  • Pasrah dan selalu ikhtiar untuk keselamatan bapak dan suami.
  • Tidak lagi sok menyibukkan diri agar lupa dengan kenyataan kalau aku mengalami psikosomatik.
  • Istirahat sangat cukup.
  • Selalu berdoa dan mendekatkan diri ke Allah.
  • Membaca buku motivasi.
Apakah sekarang, setelah hampir dua bulan #dirumahaja, psikosomatikku hilang?

Kurasa belum sepenuhnya sembuh. Toh aku juga masih batuk sampai sekarang meskipun sudah nggak parah-parah banget seperti di awal datangnya virus corona. Kalau capek sedikit badanku masih nggak karuan rasanya. Seperti panas dingin. Semoga segera pergi deh tuh ya psikosomatik. Tapi, ya, balik lagi ke aku, bagaimana aku mengolah rasa dan pikiranku.

Persiapan Lebaranku Selow Banget


Iya, persiapan lebaran seloooowwwww banget.

Ya, mau ngapain?

Tahun lalu aku heboh banget bikin nastar, brownies dan kue cokelat. Tahun ini nggak lah. Karena nanti sebelum lebaran aku dan bapak akan melaksanakan kirim doa di 100 hari ibuk. Apalagi juga ada pandemi seperti ini, mending uangnya buat tabungan saja.

Terlebih lagi, alhamdulillah, aku sudah dapat jatah enam tabungan jajan lebaran ditambah satu punya ibuk. Kemudian bapak juga ikut tabungan jajan lebaran dan sembako di pasar, ya sudah, itu lebih dari sekadar cukup.

Bikin nastar dan kawan-kawannya itu juga sangat melelahkan, bukan? Padahal aku lagi fokus untuk lepas dari psikosomatik.

Soal mudik, ehm, tahun ini nggak bisa ke Pati dong yang hanya dua jam dari rumah? Masak sih? Apa kabar nenekku?

Terakhir telepon, beliau nangis-nangis, habis sakit pula.

"Lebaran nanti dua yang nggak ada. Ibukmu sama bulekmu yang nggak bisa pulang karena virus corona."

Bulekku yang sekarang bermukim di Penang, Malaysia, gagal pulang. Padahal kalau pulang dua tahun sekali.

Nah, kalau aku nggak bisa mudik juga, ngenes banget kan nenekku?

Ke mertua, bagaimana? Kan hanya 30 menit dari rumah. Sebenarnya beberapa kali suami jenguk mertua pas awal-awal adanya virus corona sih masih bisa. Tapi, sekarang kan makin banyak gang-gang yang pada ditutup. Kalau nggak gitu kudu bermasker, cuci tangan, kemudian disemprot dulu.

Entahlah, aku mah manut sama sopirnya. Kalau kudu stay di rumah, ya, nggak masalah. Karena aku nggak pernah bermasalah kalau harus ndekem di rumah saja. Hihi. Kelihatan banget kan introvertku 😃.

Kamu, lebaran nanti ke rumah mertua nggak? Atau di rumah saja ngabisin astor? Beneran nih nggak mudik?

Ya, apapun yang akan kita lakukan, pokok e dinikmati saja. Jangan terlalu cemas apalagi sangat khawatir. Karena kita punya Allah. Minta saja kepada-Nya. Nanti juga bakal dikabulkan.

Untukku, jangan khawatir lagi! Semangat! Ayo usir psikosomatik!