Jumat, 10 Juli 2020

Berburu Iwak Manuk


Kok diburu? Memangnya di hutan?

Bukan. Ini di pasar. Apakah akhirnya kudapati iwak manuk yang selama ini sebagai ikonnya Mintreng, dukuh tempatku tinggal?

***

"Ayo, Mi, abi habis ini mau cari besi."

"Ya sudahlah, nggak usah saja. Sudah siang pula. Paling sudah habis." Antara jengkel karena abi dan Kakak pada lelet, malah main di kamar mulu.

"Dicoba dulu." Bujuk abi lagi.

Tepat pukul 09.30, aku, abi, dan Kak Ghifa pergi ke Pasar Wonopolo, Dempet. Santai, kami tetap memperhatikan protokol kesehatan kok.


Perjalanan sekitar 15 menit kami tempuh. Pasar sudah mulai lengang. Firasatku kalau nggak akan nemu iwak manuk (burung) pun mulai meningkat.

Seingatku, biasanya, di dekat parkiran ada yang jualan. Ini kok nggak ada.

Kak Ghifa dan abi menunggu di parkiran, aku segera meluncur ke lapak khusus lauk. Muter ke lapak sebelah Timur, nihil. Sebelah Barat? Semoga ada. Eh, ternyata nggak ada juga.

Saat melewati lapak buah, melihat buah naga kok aku jadi ingat pesan Kak Ghifa. Akhirnya, ke pasar hanya belanja buah naga, pir, dan apel pesanan Kak Ghifa.

Kami pulang tanpa membawa iwak manuk.

Kata tukang parkir, "Kawanen, Mbak. Kalau pagi ya banyak kok yang jual."

Iya, ya, mungkin kami datang kesiangan.


Iwak manuk, ini adalah satu-satunya makanan tradisional yang identik dengan daerah tempat tinggalku.

Saat pertama kali tugas di SD yang lama, saat ada pengawas yang tanya rumahku, dan kusebutkan kata Mintreng, beliau langsung tanya balik,

"Lha kalau sama warung makan iwak manuk, rumahmu sebelah mananya?"

Bahkan, kemarin pas ada akreditasi di sekolahku yang sekarang, oleh-oleh untuk peniliknya juga iwak manuk.

Iya, di pertigaan sana tuh ada warung makan yang sangat terkenal dengan oalahan iwak manuk. Sekarang warungnya masih ada. Tapi, nggak setenar saat dipegang oleh pemilik utamanya dulu (sudah almarhumah). Sekarang yang megang adalah anak perempuannya.

Sebenarnya, asal mula daerah tempat tinggalku dikenal dengan iwak manuk-nya tak lepas dari jasa warganya.

Kok bisa? Bukan karena memang banyak iwak manuk?

Begini, dulu, orang sini tuh banyak yang berprofesi sebagai tukang golek manuk, atau pencari burung. Mereka membawa sepeda lengkap dengan klaras (daun pisang yang kering sebagai perangkap) di boncengan, berkeliling dari satu sawah ke sawah yang lain. Dari satu desa ke desa yang lain. Setiap kali pulang membawa hasil tangkapannya, ya, warung makan itu yang membelinya.

Lama-kelamaan, burung makin berkurang jumlahnya, pencari burung pun mulai banyak yang beralih profesi. Hanya mereka yang bisa naik dan memiliki motor yang masih bertahan sebagai pencari burung. Kalau dulu dari desa ke desa untuk mencari burung, kini bisa dari kabupaten ke kabupaten.

Ya, semua karena memang alam yang berbicara. Populasi burung semakin berkurang dan manusia hobi menebang pohon.

Kini, iwak manuk mulai langka. Sayang sekali bukan, kuliner Indonesia liner Indonesia yang satu ini terancam punah.

Oiya, adakah yang penasaran jenis burung apa yang terkenal dan mendapat julukan iwak manuk paling endeus. Yaitu, manuk mbom-mbok. Burungnya besar, daging nggak alot, bau nggak apek, dan paruh warna putih. Kalau kata sesepuh, pas hamil kok bisa makan burung ini, nanti kalau anaknya lki-laki akan tampan, kalau perempuan bakalan cantik. Benarkah?

Buktinya, aku. Apakah anakku tampan? Hahaha. Karena dulu pas hamil Kak Ghifa, ibuk sengaja beliin iwak manuk mbom-mbok ini untukku. Bahkan sampai dua kali. Satunya bisa sampai 25 ribu.

Nah, terus, yang kuburu ke pasar itu burung apa? Apakah mbom-mbok ini?

BUKAN.

Sekarang mah sudah susah. Bahkan nyaris nggak ada. Sekarang ini yang dijual iwak manuk puyuh, yes, burung puyuh yang rasa dagingnya agak apek-apek gitu deh. Tapi, enak sih menurutku. Hahaha.

Cus kelanjutan ceritaku berburu iwak manuk.

Tadi pagi, selesai bikin sarapan, aku langsung ke pasar dekat rumahku. Biasanya memang ada yang jual iwak manuk.

Masih pukul 07.00, tapi penjual lauk sudah mulai penuh. Mataku jelalatan ke sana-sini.

NIHIL.

Tak ada satupun iwak manuk yang dijual. Terus bagaimana? Apa kabar dengan foto konten? Hahaha. Demi konten blog ini sampai berburu iwak manuk.

Akhirnya, tanpa pikir panjang, belum mandi, masih pakai celana kolor buat tidur, tapi, tetap pakai masker dong, aku meluncur ke Pasar Wonopolo, Dempet, pasar yang kuceritakan di atas.



Pikirku, "Kemarin kan kesiangan, siapa tahu ini ntar ada tuh iwak manuk. Wong masih pagi."

Kutarik gas motorku. Dingin euy. Nggak pakai jaket pula. Ah, peduli amat. Yang penting sampai dan dapat iwak manuk.

Setelah parkir, kok, penjual yang di sini juga nggak ada.

Masuk lebih dalam ke pasar, kok nggak ada juga.

"Kok kayaknya nggak ada iwak manuk ya, Mbak?" tanyaku ke penjual ikan asap.

"Memang lagi nggak musim puyuh, Mbak. Kalau pas musim, ya, banyak."

Oke, fix. Aku pulang dengan tangan kosong. Sampai jumpa di musim iwak manuk.

Di tempat kamu, ada juga nggak kuliner iwak manuk kayak gini?

3 komentar:

  1. Jujur sampai sekarang aku masih suka keheranan dan ketawa spontan setiap kali dengar pembicaraan menyebut daging dengan sebutan iwak 😁.

    Sebutan itu juga berlaku di daerahku tinggal.
    Lama merantau di luar kota, saat pulkam denger gitu aku sampai kerawa tanpa sadar 🤭

    BalasHapus
  2. Di Semarang ada, Ka. Di daerah Mangkang, dekat jembatan timbang.

    BalasHapus
  3. adaaaaa, dan ternyata lebih keset alias seret dari daging ayam ya. Tapi lebih gurih..yum

    BalasHapus