Rabu, 19 Mei 2021

Terima Kasih Allah, Ini Rumah Tangga yang Kuidamkan


Hati-hati dengan apa yang kita pikirkan, apalagi kalau setiap hari mikirnya itu mulu. Karena apa? Nanti pasti Allah kabulkan. Tentu di waktu yang tepat menurut-Nya.

Aku buktinya. Di awal pernikahan, siapa yang tidak menginginkan bisa hidup mandiri terpisah dari orangtua atau mertua? Sekalipun akhirnya menerima kenyataan harus tinggal serumah dengan orangtua, apalagi aku ini anak tunggal, tapi, perasaan ingin hidup secara mandiri masih selalu ada.

Bukan sok-sok-an sudah berpengalaman dalam berumah tangga, akan tetapi, kamu yang bisa tinggal mandiri tentu tahu kan rasanya? Serumah berempat, dengan pola pikir, latar belakang pendidikan, bahkan kebiasaan yang berbeda tentunya kerikil-kerikil tajam akan selalu terinjak.

Sampai akhirnya, setelah hampir 5 tahun menikah dan tinggal dengan kedua orangtuaku, semua berubah.

Ibuku Meninggal Karena Kanker Payudara

Ada rasa syukur yang tak terkira sampai sekarang karena aku bisa tinggal serumah dengan kedua orangtuaku. Khususnya ibu. Dengan tinggal serumah, aku bisa merawat ibu, menemaninya berjuang melawan sakitnya yang begitu mendadak (hanya 3 bulan setelah ketahuan) sampai akhirnya ibu menutup mata, aku bisa ada di sampingnya. Aku nggak tahu kalau sampai tak ada di samping ibu sampai akhir hayatnya. Rasa sesal akan begitu menggunung pastinya karena ego-ku untuk hidup mandiri lebih kuutamakan dibandingkan berada dekat dengannya.

Hai, Bu apa kabar?

Di lain sisi, aku merasa kaget karena kehilangan ibu. Apalagi kalau bukan karena campur tangannya selama ini. Aku terlalu terlena karena semua dibantu oleh ibu, baik dari mulai keuangan sampai mengurus anakku, Kak Ghifa. Di sinilah muncul, “Seandainya kalau aku sudah terbiasa hidup mandiri sejak awal, pasti tidak seperti ini.”

Ah, namanya hidup. Pasti ada sisi satu dan sebaliknya. Balik lagi ke Allah. Dia pasti memiliki maksud dan tujuan yang kita tak pernah tahu di awal. Nanti deh ending-endingnya bakalan bilang, ‘Oh, jadi ini rencana-Mu?”

Bersama Bapak Sampai Akhirnya Beliau Menikah Lagi

Ternyata, lebih berat merawat bapak dibandingkan ibuku yang sedang sekarat. Karena jujur, susah sekali menuruti keinginan bapak. Banyak maunya tapi kurang pengertian balik ke anak dan menantunya. Bisa jadi karena beliau sudah terbiasa semua yang handle ibu. Sekarang, saat ibu sudah nggak ada, mau nggak mau, bisa nggak bisa, kami (aku dan suami) harus menjadi seperti ibu yang bisa menuruti semua keinginannya. Padahal, kami sama-sama bekerja, pun punya balita.

Bapak makin tak ada waktu di rumah, pulang hanya saat maghrib tiba. Itupun membawa pekerjaan segambreng ke rumah yang harus kami bantu untuk menyelesaikannya. Aku dan suami mengidamkan, karena seharian sudah bekerja, selepas maghrib bisa menemani anakku untuk belajar dan mengaji. Tapi, apa? Akhirnya harus dipendam dalam-dalam. Nggak mungkin.

Berani membantah perintah Bapak, ho, ngamuk. Kami hidup seperti dalam tekanan. Padahal dengan orangtua kami sendiri. Ya, apalagi kalau bukan karena maunya dimengerti saja tapi tidak mau saling mengerti satu sama lain.

Ending cerita, selepas idul fitri Bapak menikah lagi, saat hari kematian ibuku baru satu tahun berlalu. Itupun dengan penuh konflik juga.

Ya Allah, bahagiakan Bapak.

Semua yang Terjadi Membuatku Sadar Akan Kehadiran Suamiku

Jeleknya tinggal serumah dengan orangtua itu adalah peranku dan suami akan tetap jadi anak, bukan orangtua. Setuju? Hal itu ternyata membuatku tidak menyadari peran suamiku juga. Karena apalagi kalau bukan masih ada bapak dan ibu yang bisa kuandalkan. Seakan-akan suami itu ya sekadar status suami. Kalau ada apa-apa orangtua yang selalu kuutamakan. Mau diskusi hal apapun juga orangtua yang pertama kuajak bicara, bukan suami.

Dari kenyataan kalau ibuku meninggal sampai bapakku menikah lagi dan tidak lagi hidup serumah dengan kami, kehadiran suami yang selalu ada untukku begitu kusyukuri. Sumpah, kalau tak ada suami, aku pasti sudah oleng.

Aku tahu setiap orang memiliki kekurangan, tapi suami bisa menerima kekuranganku, kenapa aku tidak? Bahkan, kalau boleh jujur, suamiku itu orangnya terlalu ‘nrimo’.

Dan satu hal yang membuatku selalu terenyuh adalah suamiku sampai sekarang masih setia ziarah ke makam ibu setiap Kamis sore dan sepulang salat Jumat. Orang-orang banyak yang heran, “Suamimu itu anak menantu, tapi melebihi anak ibumu sendiri. Beruntungnya ibumu.”

Padahal, dulu, suamiku disangsikan oleh kedua orangtuaku, apakah bisa menghidupiku kalau tanpa mereka? Sekarang? Lebih dari itu. Huhuhu, aku jadi sedih kalau ingat. Maafkan aku, Suamiku.

Sekarang, alhamdulillah, kami serumah hanya bertiga, aku, suami, dan Kak Ghifa. Alhamdulillah, meski awal ditinggal ibu rasanya terseok-seok, kini kami bisa berdiri lebih berani menegakkan kepala, tak tertunduk lagi karena menangis pilu.

Bahagia kami itu sederhana, bisa menghabiskan waktu bersama

Terlebih, kegiatan harian kami juga lebih tertata. Ya, sesuai yang kami idamkan. Selepas maghrib, aku bisa mengaji, kemudian menemani Kak Ghifa untuk belajar dan mengaji. Kami bisa makan malam bersama sembari cerita kegiatan seharian tadi. Setelah itu dilanjutkan dengan menonton TV bersama atau hanya bercengkrama di kamar. Alhamdulillah, nikmatnya.

Kehadiran suami makin kusyukuri saat aku harus melewati kehamilan anak keduaku saat ini. Dulu, saat hamil Kak Ghifa, semua yang handle ibu. Mulai dari makan mah aku tinggal makan saja, pokoknya dimanja banget. Sekarang, karena hanya tinggal bertiga, kalau nggak gerak, ya, nggak makan. Hihihi.

Alhamdulillah, alhamdulillah, suami selalu cekatan. Dia tak pernah berpangku tangan dengan pekerjaan rumah, ya, nyuci, jemur baju, ngepel, nyuapin Kakak, bahkan gantian memasak pun dia bisa. Tapi, aku juga tidak seenak udelku sendiri. Selama tidak loyo banget, aku tetap mengerjakan kewajibanku. Kalau sekiranya capek, baru deh minta tolong kepada suami.

Wong ya suami seharian juga sudah kerja, kan kasihan kalau harus menghandle pekerjaan rumah juga. Tapi, yang pasti, sejak tinggal bertiga kami selalu membagi pekerjaan rumah untuk dikerjakan bersama. Oleh karena itu, aku juga sadar diri, kalau pas malam tiba, suami ingin me time ya kupersilakan.

Me time suami tak aneh-aneh sih, suami juga bukan tipe orang yang suka keluar malam atau sekadar njagong ke rumah tetangga. Suami lebih suka menghabiskan waktunya dengan keluarga atau hanya menonton bola lewat HP atau laptop.

Andalan suami kalau misalkan mau menonton pertandingan sepak bola serie a big match, dia sering memantau jadwalnya di UseeTV. UseeTV adalah layanan portal hiburan, informasi dan lifestyle, berupa berbagai macam konten streaming digital maupun aplikasi, seperti video film, video klip musik, Live TV, TV on Demand yang dapat diakses melalui berbagai media seperti laptop, smartphone (handphone), dan tablet. Jadi, modal laptop dan internet saja suami sudah anteng.

Itulah curhatanku tentang rumah tangga yang kuidamkan. Tentunya kamu juga memiliki kisah tersendiri, ya, bagaimana rasanya bisa hidup mandiri ataupun harus tinggal dengan mertua ataupun kedua orangtua? Terpenting, apapun yang saat ini kamu alami, do the best. Karena kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar