Kamis, 12 Juli 2012

IPK: Perang Dingin Antar Mahasiswa






Lulus tepat waktu, IPK tinggi dan diterima di tempat kerja idaman menjadi suatu keinginan mahasiswa dimanapun universitas yang selama ini mereka jadikan sebagai tempat untuk menuntut ilmu.
Listiyowati, et.al (2012: 10) IPK kadang menjadi penilaian dasar atau pintu masuk dalam memasuki jenjang pendidikan selanjutnya atau untuk memasuki dunia kerja. Oleh karena itu, keinginan mahasiswa untuk mendapatkan IPK yang tinggi cukup beralasan. Namun yang sampai saat ini masih diperdebatkan adalah berkaitan dengan keinginan mahasiswa untuk mendapatkan IPK tinggi dengan menghalalkan segala cara.
Setiap manusia pastinya memiliki keinginan. Tapi tergantung bagaimana manusia itu mengolah keinginannya. Di dalam keinginan ada dua unsur yaitu akal dan budi. Dan manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kelebihan diharapkan mampu menggunakan kedua unsur itu untuk mewujudkan keinginan tersebut. Dan ketika manusia hanya menggunakan akalnya saja maka akan cenderung bersifat curang, menghalalkan segala cara, dan merugikan orang lain. Sedangkan seseorang yang menyikapi keinginannya hanya mengandalkan budi akan cenderung bersifat lebih baik, tetapi orang itu terlihat lemah dan kurang berkembang.
Mengaitkan keinginan manusia dengan ambisi biasanya tidak bersifat positif, walaupun ada juga ambisi yang bersifat baik. Ambisi di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia memilki arti gairah; nafsu ingin mendapatkan pangkat, (kedudukan dsb). Sedangkan ambisius adalah berambisi; mempunyai ambisi. Sebagai contoh seorang mahasiswa yang berambisi untuk mendapatkan IPK tertinggi seangkatannya. Sejak ditumbuhi ambisi tersebut, ia sangat tekun belajar. Ia mengurangi waktu jalan – jalan dengan teman - temannya dan mengisi waktu luangnya untuk belajar. Hingga setelah pembagian KHS, tercapailah keinginannya itu. Lain halnya dengan contoh yang satu ini, seorang mahasiswa A melihat temannya mendapatkan IPK yang lebih tinggi darinya. Mengetahui hal itu mahasiswa A berambisi untuk mendapatkan IPK lebih tinggi dari temannya itu dan disadari ataupun tidak mahasiswa itu mewujudkan impiannya dengan cara “menjilat” dosen dan curang ketika ujian dilaksanakan.
Dari contoh yang kedua ini bisa terjadi karena tidak adanya keseimbangan antara akal dan budi dari mahasiswa tersebut. Biasanya mereka tidak mementingkan akibatnya nanti tapi lebih mengacu pada ketercapaian keinginannya.
Akal dan budi erat kaitannya dengan moral. Manusia yang bermoral pasti mampu mengendalikan dan menyeimbangkan akal dan budinya agar tindakan-tindakan yang diperbuat dapat diterima di dalam masyarakat.

Perspektif Tentang Mahasiswa Berprestasi
Pada umumnya seseorang memasuki dunia perkuliahan pada usia 18 tahun. Rahardjo (2009) mengemukakan bahwa masa remaja (adolescence) adalah periode peralihan perkembangan dari kanak – kanak ke masa dewasa awal, memasuki masa ini sekitar usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun memasuki masa dewasa. Itu artinya ketika seseorang memasuki bangku kuliah mengalami masa transisi dari remaja (masa pra dewasa) ke kehidupan dewasa. Pada usia ini juga seseorang memasuki bangku kuliah sebagai jalur penting menuju kedewasaan. Kondisi ini membawa seseorang pada transisi yang harus dijalankan dalam satu waktu yaitu dari remaja ke dewasa dan dari seorang senior di sekolah menengah atas menjadi mahasiswa baru di perguruan tinggi.
Mahasiswa dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, merupakan salah satu substansi yang perlu diperhatikan, karena mahasiswa merupakan penerjemah terhadap dinamika ilmu pengetahuan, dan melaksanakan tugas mendalami ilmu pengetahuan, dan melaksanakan tugas mendalami ilmu pengetahuan tersebut (Harahap, 2006). Mahasiswa secara umum merupakan subjek yang memiliki potensi untuk mengembangkan pola kehidupannya, dan sekaligus menjadi objek dalam keseluruhan bentuk aktifitas dan kreatifitasnya. Sehingga diharapkan mampu menunjukkan kualitas daya yang dimilikinya (Baharuddin & Makin, 2004).
Kualitas mahasiswa dapat dilihat dari prestasi akademik yang diraihnya. Prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu yang tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar. Sehingga dipandang sebagai bukti usaha yang diperoleh mahasiswa (Sobur, 2006).
Berkaitan dengan prestasi akademik dan tingkah laku mahasiswa, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya menurut  Soemanto (2006):
a.    Konsep Diri
Pikiran atau persepsi individu tentang dirinya sendiri, merupakan faktor yang penting mempengaruhi prestasi dan tingkah laku individu.
b.    Locus of Control
Dimana individu merasa melihat hubungan antara tingkah laku dan akibatnya, apakah dapat menerima tanggung jawab atau tidak atas tindakannya. Locus of control mempunyai dua dimensi, yakni dimensi eksternal dan internal. Dimensi eksternal akan menganggap bahwa tanggung jawab segala perbuatan berada diluar diri prlaku. Sedangkan dimensi internal melihar bahwa tanggung jawab segala perbuatan berada pada diri si pelaku. Individu yang memiliki locus of control eksternal memiliki kegelisahan, kecurigaan dan rasa permusuhan. Sedangkan individu yang memiliki locus of control internal suka bekerja sendiri dan efektif.
c.    Kecemasan yang Dialami
Kecemasan merupakan gambaran emosional yang berkaitan dengan ketakutan. Dimana dalam proses belajar mengajar, individu memiliki derajat dan jenis kegelisahan yang berbeda.
d.   Motivasi Hasil Belajar
Jika motivasi individu untuk berhasil lebih kuat dari pada motivasi untuk tidak gagal, maka individu akan segera merinci kesulitan- kesulitan yang dihadapinya. Sebaliknya, jika motivasi individu untuk tidak gagal lebih kuat, individu akan mencari soal yang lebih mudah atau lebih sukar.
Setiap individu yang telah terpenuhi kebutuhan pokoknya pastilah sedikit banyak memiliki keinginan berprestasi. Namun yang membedakan antara individu yang memiliki keiniginan berprestasi tinggi dan rendah adalah keiniginan dirinya untuk dapat menyelesaikan sesuatu dengan baik (Rola, 2006).
Sobur (2006) menyatakan bahwa ciri individu yang memiliki keinginan berprestasi lebih tinggi adalah, berprestasi dihubungkan dengan seperangkat standar. Seperangkat standar tersebut dihubungkan dengan prestasi orang lain, prestasi sendiri yang lampau, serta tugas yang harus dilakukan. Memiliki tanggung jawab pribadi terhadap kegiatan – kegiatan yang dilakukan. Adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaaan yang dilakukan sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil yang diperoleh dari kegiatannya, lebih baik atau lebih buruk. Menghindari tugas – tugas yang sulit atau terlalu mudah, akan tetapi memilih tugas yang tingkat kesulitannya sedang. Inovatif, yaitu dalam melakukan suatu pekerjaan dilakukan dengan cara yang berbeda, efisien dan lebih baik dari pada sebelumnya. Hal ini dilakukan agar individu mendapatkan cara yang lebih baik dan menguntungkan dalam pencapaian tujuan. Tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan orang lain, dan ingin merasakan kesuksesan atau kegagalan disebabkan oleh tindakan individu sendiri.
Untuk meraih prestasi akademik yang baik, banyak orang berpendapat perlunya memiliki intelegensia yang tinggi sebagai bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar, dan pada akhirnya mengahasilkan prestasi yang optimal (Kamaluddin, 2005). Dalam situasi belajar yang sifatnya kompleks dan menyeluruh serta melibatkan interaksi beberapa komponen, sering ditemukan mahasiswa yang tidak dapat meraih prestasi akademik yang setara dengan kemampuan intelegensianya. Karena apada dasarnya prestasi akademik merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor yang berbeda antara satu individu dengan individu lainnya (Baiquni, 2007).
Namun, pada kenyataannya di lapangan ada dua kelompok mahasiswa berprestasi, yaitu mahasiswa yang benar – benar berprestasi dan mahasiswa yang berprestasi dengan menghalalkan segala cara. Dan untuk kelompok yang kedua tidak kalah jumlahnya dengan mahasiswa yang berprestasi dan populer dengan sebutan penjilat.
Menjilat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengulurkan lidah untuk merasai. Kedua, mulai merembet tentang api. Yang kita maksud disini adalah arti yang ketiga, menjilat itu merupakan berbuat sesuatu supaya mendapat pujian dari orang lain alias mencari muka. Dikehidupan pendidikan kita di kampus banyak sekali terjadi yang seperti ini, dan akibatnya terjadi persaingan yang sengit antar mahasiswa. Bahkan persaingan ini terjadi secara sembunyi – sembunyi.
Keterkaitan Antara Konsep Diri, IQ dan EQ
Terjadinya sebuah persaingan di dalam kalangan mahasiswa merupakan sesuatu hal yang biasa karena sebuah persaingan merupakan salah satu akibat dari interaksi antara satu individu dengan individu lainnya.
Persaingan berasal dari kata saing, dengan imbuhan berupa awalan  per- dan akhiran –an. Dan di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, persaingan memiliki arti  perlawanan (konkurensi).
Persaingan bisa terjadi antar mahasiswa dapat terjadi bisa dikarenakan karena adanya ketidaksesuaian antara keinginan dan kenyataan dari mahasiswa itu sendiri. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan adanya hubungan konsep diri mahasiswa, serta keseimbangan antara IQ dan EQ.
Konsep diri merupakan semua ide, pikiran, keprcayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sudeen, 1998).
Konsep diri adalah semua perasaan, kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Tarwoto & Wartonah, 2003).
Menurut Potter (2005) konsep diri merupakan kerangka acuan yang mempengaruhi manajemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain. Ketidaksesuaian antara aspek tertentu dari kepribadian dan konsep diri dapat menjadi sumber stress atau konflik.
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk (Rini, 2002). Konsep diri memainkan peranan yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan hidup. Konsep diri ada yang sifatnya positif dan negatif. Individu dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika meyakini dan memandang dirinya lemah, tidak dapat berbuat, tidak kompeten, gagal, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Individu yang konsep dirinya negatif akan cenderung bersikap pesimistis terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Sebaliknya individu dengan konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal – hal positif yang dapat dilakukannya demi keberhasilan dan prestasinya (Wahyuni, 2007).
Dalam proses belajar mengajar dibutuhkan konsep diri yang positif untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, karena konsep diri berkolerasi dengan prestasi, motivasi dan tujuan pribadi. Hasil literatur yang dilakukan beberapa ahli menunjukkan bahwa dari berbagai karakteristik mahasiswa yang tidak mampu mencapai prestasi akademik yang tinggi erat hubungannya dengan masalah rendahnya konsep diri. Area yang paling konsisten sehubungan dengan rendahnya konsep diri dalam berprestasi adalah rendahnya self image, dan buruknya self esteem yang berpengaruh terhadap perilaku (Tarmidi, 2006). Kemudian Rola (2006) juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi individu, adalah konsep diri yang dimilikinya. Jika individu menganggap dirinya mampu melakukan sesuatu maka individu tersebut akan berusaha  untuk mencapai apa yang ia inginkannya, sehingga terdapat hubungan yang positif antara konsep diri terhadap prestasi akademik yang dimiliki mahasiswa.
Berbeda apabila membahas antara IQ dan EQ. Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.
Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang. Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.
Menurut Ashary, IQ (Intelligence Quotient) adalah istilah kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk menalar, perencanaan sesuatu, kemampuan memecahkan masalah, belajar, memahaman gagasan, berfikir, penggunaan bahasa dan lainnya. Anggapan awal bahwa IQ adalah kemampuan bawaan lahir yang mutlak dan tak dapat berubah adalah salah, karena penelitian modern membuktikan bahwa kemampuan IQ dapat meningkat dari proses belajar.
Kecerdasan ini pun tidaklah baku untuk satu hal saja, tetapi untuk banyak hal, contohnya ; seseorang dengan kemampuan mahir dalam bermusik, dan yang lainnya dalam hal olahraga. Jadi kecerdasan ini dari tiap - tiap orang tidaklah sama, tetapi berbeda satu sama lainnya.
Sedangkan EQ atau kecerdasan emosional tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu:
1.        empati (memahami orang lain secara mendalam)
2.        mengungkapkan dan memahami perasaan
3.        mengendalikan amarah
4.        kemandirian
5.        kemampuan menyesuaikan diri
6.        disukai
7.        kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan
8.        kesetiakawanan
9.        keramahan
10.    sikap hormat
Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Agar anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :
1.        membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis
2.        bekerja dalam kelompok secara harmonis
3.        berbicara dan mendengarkan secara efektif
4.        mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang ada (sportif)
5.        mengatasi masalah dengan teman yang nakal
6.        berempati pada sesama
7.        memecahkan masalah
8.        mengatasi konflik
9.        membangkitkan rasa humor
10.    memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
11.    menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri
12.    menjalin keakraban
Ashary mengartikan EQ atau kecerdasan emosional adalah kemampuan pengendalian diri sendiri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya.
Jika seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah yang baru. Sama halnya dengan mahasiswa yang sering menghalakan cara untuk mendapatkan IPK tinggi harus mulai membenahi atau mengintrospeksi diri bahwa ada cara lain yang lebih baik tanpa merugikan dirinya sendiri dan lingkungan.
Membangkitkan Potensi Diri Menuju Kesuksesan.
Mendapat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3.00 mungkin impian bagi setiap mahasiswa. Harapan saat lulus kuliah mendapat IPK tinggi dengan masa kuliah yang pendek sangat menjadi idaman. Itu dari sisi jika kita berada pada posisi sebagai mahasiswa. Apa yang terjadi jika impian itu kandas ditengah semester berjalan. Mahasiswa, dosen, juga manusia biasa. Ada batas dan kemampuan untuk bisa mencapai semua impian tersebut.
Dan menurut Rumijanti (2009) yang bisa dilakukan oleh mahasiswa dengan bantuan dosen/ dosen wali dalam meningktkan potensi yang dimilikinya adalah:
1.        Tingkat aspirasi mahasiswa harus dikembangkan. Mahasiswa artinya siswa dewasa, mereka memiliki aspirasi sendiri untuk bisa belajar dengan caranya sendiri. Dosen hanya mendukung saat mahasiswa sudah mulai keluar jalur. Membiarkan pola belajar dikembangkan oleh mahasiswa sendiri. Tidak sedikit juga dosen merasa dirinya lebih pintar kemudian menularkan pola belajarnya saat masih menjadi mahasiswa kepada mahasiswa bimbingannya. Kalau ilmu yang diturunkan tidak masalah, akan tetapi pola belajar biarkan mahasiswa yang menentukan. Tekankan pada mahasiswa untuk tanggung jawab terhadap kuliahnya sendiri dan mengembangkan potensi-potensi akademiknya. Artinya jika dia salah di semester awal, maka akan berakibat buruk di akhir semester bahkan akan berdampak mendapat gelar MA. (Mahasiswa Abadi).
2.        Hilangkan keraguan, kegelisahan atau keraguan mencerminkan pola perilaku dan persepsi yang terkait dengan ketidakstabilan emosional, kurangnya objektivitas dan meng-hiperbolik kesulitan tentang tes dan menjaga harga diri dalam kaitannya dengan prestasi akademis. Dosen wajib menekankan bahwa semua mata kuliah itu mudah dan bisa ditempuh dengan dengan baik. Mahasiswa harus pula berpikir sanggup menyelesaikan mata kuliah yang diambil dengan nilai baik. Intinya kesulitan bisa diatasi, mata kuliah susah buat jadi mudah, dosen “killer” tidak masalah lagipula dosen juga manusia biasa bukan dewa.
3.        Mengarahkan sesuai minat bidang kajian dan kepuasan diri, hal ini akan menunjukkan tingkat motivasi internal dalam diri mahasiswa, melibatkan cinta belajar demi dirinya sendiri, yang diperoleh oleh para mahasiswa melakukan pekerjaan akademik dan dalam mempelajari mata kuliah baru. Tidak sedikit mahasiswa merasa minder bahkan tidak percaya diri saat masuk dalam dunia kerja tidak bisa apa-apa. Hal ini disebabkan dosen kurang mengarahkan kemana minat mahasiswa dan mahasiswapun kurang mau mengembakan dirinya.
4.        Latih kepemimpinan dan inisiatif, hal ini akan tercermin ketika seorang mahasiswa menunjukkan penguasaan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan untuk membantu dan memberikan bimbingan kepada orang lain, dan bangga tanpa layar atau tameng kesombongan dalam kemampuan melakukan pekerjaan dengan cepat dan baik. Hal sederhana adalah arahkan mahasiswa untuk bertanggung jawab terhadap rencana studinya. Tanamkan bahwa jika dia gagal, maka tidak sedikit orang-orang yang dikecewakan jika dia tidak konsekuen menjalankan rencana studinya. Orang tua, adik, kakak, saudara, teman, atau mungkin saja kekasihnya akan kecewa jika dia gagal dalam studi.
5.        Alienasi, adalah sejauh mana mahasiswa merasa diterima oleh civitas akademik dan dihormati oleh para dosen serta rekan-rekan untuk pribadinya sendiri nilai dan integritas sebagai lawan dari perasaan terisolasi atau ditolak oleh lingkungan civitas akademik. Artinya pengakuan dari lingkungan sekitar kehidupan mahasiswa sehari-hari, maka bagi para dosen berusahalah bersikap adil. Jangan menganggap remeh kemampuan mahasiswa yang biasa-biasa prestasi akademiknya. Dibalik kekurangan prestasi akademik mahasiswa pasti masih memiliki potensi besar yang melekat dalam dirinya. Kalau mahasiswa pandai sudah pasti akan lebih mudah mendapat pengakuan dari para dosen dan teman-temannya. Kalau begitu bagaimana nasib MaSaKom? Mahasiswa Satu Koma (mahasiswa dengan IPK Satu Koma Alhamdulillah) apakah tidak punya potensi? belum tentu, kadang dosen harus bertindak ekstra untuk bisa membuat mahasiswa MaSaKom menjadi MaDu KomPas (Mahasiswa Dua Koma Pas untuk lulus) dan meningkatkan menjadi mahasiswa Tiga Koma.
Penutup
Manusia dilahirkan dan dikodratkan memiliki keinginan, namun tidak semua keinginan itu bisa tercapai karena semua tergantung dengan usaha apa yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.
Sama halnya dengan seorang mahasiswa yang menuntut ilmu bukan menuntut nilai di perguruan tinggi. Apabila seorang mahasiswa hanya berorientasi pada nilai maka yang ada mahasiswa itu akan cenderung bertindak ke arah negatif. Karena sesungguhnya apabila kita memiliki konsep diri, IQ dan EQ yang seimbang dan menuntut ilmu dengan niatan ilmu, maka nilai akan mengikuti kita.



Daftar Pustaka

Ashary, Fadhly. 2012. IQ, EQ, SQ dan ESQ. Dapat dibuka pada situs www.republika.co.id
Baharuddin & Makin, M. 2004. Pendidikan Humanistik. Jakarta: AR – RUZZ Media.
Baiquni. 2007. Intelegensia Bukan Satu – Satunya. Dapat dibuka pada situs http://www.e-psikologi.com/intelegensia/ma30/html.
Harahap, S. 2006. Penegakan Moral Akademik Didalam dan Luar Kampus. Jakarta: Raja Grafindo.
Kamaluddin, R. 2005. Intelegensia Berprestasi. Dapat dibuka pada situs http://www.e-psikologi.com/intelegensia/ma30/html.
Listiyowati, Dwi Anik, et.al. 2012. Analisa Minat Mahasiswa PGSD Universitas Muria Kudus Angkatan 2010 Untuk Melanjutkan Studi S2. Hasil Observasi. Tidak Dipublikasikan.
Poerwadarminta, W. J. S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Diolah kembali oleh: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Dan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta:  PT. Balai Pustaka.
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC.
Rahardjo, Susilo. 2009. Perkembangan Peserta Didik. Kudus: Universitas Muria Kudus.
Rumijati, Aniek. 2009. Dimensi Pengembangan Diri Bagi Mahasiswa. Dapat dibuka pada situs http://onlinebuku.com/2009/12/04/dimensi-pengembangan-diri-bagi-mahasiswa/#more-2473.
Tarwoto & Wartonah. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Rini, F. 2002. Konsep Diri Terhadap Prestasi. Dapat dibuka pada situs http://www.e-psikologi/team.com
Rola, F. 2006. Hubungan Konsep Diri Dengan Motivasi Berprestasi Pada Remaja. Dapat dibuka pada http://www.Digitizedlibrary.usu.ac.id/psikologi/html
Sobur, A. 2006. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Soemanto, W. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Stuart, W & Sundeen, J. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi 3. Jakarta: EGC.
Tarmidi. 2006. Konsep Diri Siswa Underachiever. Dapat dibuka pada situs http://www.ui.ac.id/f-psikologi/html.
Wahyuni, A. 2007. Kegiatan Belajar Terhadap Prestasi Yang Dicapai. Dapat dibuka pada situs http://www.achievement.com/90mn/mnh/98er/html.

*Artikel ini adalah tugas UAS semester 4 saya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar