Senin, 30 September 2019

Ternyata Nyaman Lho Pakai USB OTG SanDisk untuk Back Up Data yang Ada di HP!




Sumpah. Hari itu aku ingin mengutuki diriku sendiri.

'Apa kubilang? Pembelajaran yang sudah disiapkan matang-matang kayak gini saja masih ada yang miss. Apalagi kalau kamu ogah-ogahan?', batinku.

Tanganku masih sibuk mencabut, memasukkan, mencabut, memasukkan colokan speaker ke HPku. Kuputar volumenya, sudah mentok tapi nggak ada suaranya juga. Padahal colokan ke sumber listrik juga sudah kupasang. Entah setan apa yang nemplok di sana? HPku tiba-tiba ngambek, tak ada suara instrumen Indonesia Raya yang keluar.

Padahal di pojok kelasku sudah ada kepala sekolah yang siap dengan instrumen penilaian guru.

Iya, pagi itu aku sedang mendapat jatah dinilai saat mengajar oleh kepala sekolahku. Setiap hari, ya, mengajar. Tapi, kalau tiba-tiba ada yang nungguin kok, ya, gembrobyos alias keringat dingin bercucuran di mana-mana. Ditambah lagi speakernya so-ak.



Ya Allah, tamatlah riwayatku.

"Maaf, ya, Anak-anak, entah speaker atau HP Bu Ika yang error, kita nyanyi Indonesia Raya-nya manual saja, ya? Tidak usah pakai lagu instrumen seperti biasanya."

Anak-anak mengangguk. Hatiku lega, tak ada yang komplain. Tapi, kutahu, mereka kecewa. Raut wajahnya tidak bisa menipuku.

Okelah, beres.

Tunggu, tunggu, apa kabar dengan nilaiku nanti?



Aku Tidak Sendiri, Gaes!


Ahhhhhh...kalau ingat kejadian hari itu, hanya ada satu kata, MENYEBALKAN.

Terbiasa HP oke-oke saja, tanpa masalah, kemudian mengalami kejadian seperti di atas, tentu saja aku menyesal, "Kenapa kok nggak menyimpan lagu instrumen Indonesia Raya di flashdisk atau di laptop juga? Mentang-mentang biasanya baik-baik saja?!"


Biasanya memang tidak ada masalah. Aku sempat berpikir apa memang benar-benar karena memori HPku mulai full, ya? Soalnya, pagi itu, saat aku mencuci piring sambil mengunduh video Ust. Hanan Attaki di Youtube. Lumayan banyak, sih.

Apa karena hampir penuh itu, ya? Sempat ada peringatan, sih, kalau memori HPku sudah 90%  lebih terpakai.

Nyatanya, saat aku (terpaksa) menghapus beberapa video tausiah Ust. Hanan Attaki, kemudian HP kurestart, kok, ya, lagu instrumen Indonesia Raya itu bisa diputar. Nggemeske bianget

Apa memang seperti itu, ya, kalau memori HP terlalu penuh, jadi suka bermasalah?

Sebelum masalah yang kualami, sebenarnya aku sudah dapat keluhan dari abi, suamiku. HP jadulnya 'kan memori internalnya hanya 1 GB, nah, aplikasinya hanya WhatsApp saja, sering banget keluar notifikasi kalau memorinya penuh. SMS dan WA tidak bisa masuk. Padahal semua pesan di dalamnya sudah dihapus. Ditambah lagi foto-foto di galeri juga banyak yang (terpaksa) dihapus dan sebagian dikirimkan ke HPku.

Sekali, dua kali, setiap kali abi mengeluhkan hal yang serupa aku masih ladenin. Eh, ketiga kalinya, aku ikutan sebel.

"Lem biru sajalah, Bi. Rempong banget."

Abi hanya manyun terus menengadahkan tangannya memberikan kode, MANA UANGNYA?


Hahaha.

Hampir serupa dengan kasusku dan Abi, ada Mbak Erina, teman bloger yang memberikan job content placement kepadaku beberapa hari yang lalu. Dia mengeluhkan kalau HPnya sedang bikin sebel karena memorinya terlalu penuh. Padahal semua kerjaan dihandle via HP. Semua penting, masak iya, harus ada yang dibuang dulu?

Ulala.

Yaaah, sebelnya Mbak Erina ini sebelas dua belas lah, ya, sama seperti yang aku dan abi alami.

Hahaha.

Eits, kamu pernah juga mengalaminya? Santai, aku, abi, Mbak Erina dan tentunya kita semua pernah mengalami hal serupa. Temannya banyak kok.

Judul paling tepat untuk kasus kita, "Dibikin Sebel dengan Memori HP yang Penuh dan Terpaksa Merelakan Beberapa Data Dihapus."

Kenapa aku berani bilang kalau teman senasib kita banyak? Karena sudah ada survei yang membahas tentang "Indonesian Consumer Mobile Habit and Data Management Survey"  dan memberikan hasil yang menurutku cukup "emang bener nyatanya aku mengalaminya".

Survei oleh DEKA yang dikomisikan oleh Western Digital Corp tersebut dilakukan dengan melibatkan sebanyak 1.120 responden dari 6 kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, dan Makassar. Iya, sih, Semarang nggak masuk dalam kota sasaran di atas. Tapi, percayalah, hasilnya memang sangat mewakili kita yang tinggal di luar 6 kota tersebut.

Penasaran, ya, hasil surveinya seperti apa? Sabar. Aku rincikan sebagai berikut, ya.
  • 67% orang Indonesia pernah kehilangan data di smartphone mereka, yang berujung pada perasaaan kesal.
  • Lebih dari 80% responden survei telah menyadari pentingnya melakukan back-up data. Namun, hanya sepertiga dari mereka yang melakukan back-up secara teratur selama sebulan sekali.

Nah, apakah kamu termasuk dalam 67% tersebut? Kalau aku, sih, iya. Suamiku, iya. Mbak Erina juga. Bisa jadi saudara, tetangga, teman kantor, dan guru-guru kita pernah mengalami hal serupa. Akan tetapi, apakah mau jadi bagian dari 80% juga? Kalau aku sih ogah.


Berburu Diskon USB OTG SanDisk di Shopee


Aku tahu ini tidak kebetulan. Saat aku sedang mengalami kejadian harus merelakan nilai evaluasi diriku sebagai guru acakadut gara-gara HPku yang so-ak, di salah satu grup komunitas bloger yang aku ikuti sedang membahas tentang USB OTG SanDisk.

Aku menangkap inti dari obrolan mereka adalah USB OTG SanDisk ini flashdisk untuk HP. Flashdisk tapi colokannya seperti colokan charger HP. Tinggal colokkan, maka data yang ingin kita simpan akan berpindah ke HP. Jadi, insyaallah, memori HP nggak bakalan penuh lagi, urusan hapus -menghapus foto atau video #DibuangSayang dengan terpaksa juga tidak akan terjadi lagi, sekaligus kejadian kehilangan data juga akan terminimalisir.

Jelas, aku tergoda. Kok enak benar? Batinku saat itu.



Kubukalah aplikasi Shopee di HPku.

Sebagai orang yang tinggal di pinggiran kota sepertiku ini, ya, bisa dibilang sangat terbantu dengan adanya online shop seperti Shopee ini. Lha kalau mau ke toko komputer terdekat, nggak lengkap. Mau ke Gramedia, berat di ongkos perjalanan, belum lagi capek, macet di mana-mana. Hadeh. Yo wis, lariku ya ke online shop.

Sebenarnya kalau belanja di online shop kudu pinter juga memilihnya. Ongkirnya mahal, euy, kalau sampai sini. Dari Jakarta biayanya ke sini di atas 20 ribu. Kalau tak pandai memanfaatkan diskon ongkir, tekor juga.

Kalau tidak salah, tepat saat ada promo 19-9-2019, aku membeli #SanDiskAPAC Ultra Dual Drive USB Type-C yang 32 GB (USB 3.1) dengan harga 110 ribu sudah kena diskon potongan harga sekaligus gratis ongkos kirim. Harga segitu murah nggak, sih? Murah banget, kan?

Menunggu selama tiga hari, akhirnya #SanDiskAPAC ku datang. Ini yang kutunggu-tunggu nih. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk segera mencobanya. Akan kupindahkan semua foto dan video ke sana. Agar memori HPku jadi perawan kembali.

USB OTG SanDisk sudah di tangan

Jeng jeng jeng.

Saat kubuka, lho, kok, begini colokannya?

Hahahaha. Yes, aku salah beli tipenya, Gaes!

Harusnya, aku membeli USB Type-B, ini malah yang C. Ini pasti gara-gara aku tergiur dengan diskon. Gercep, tapi, malah. Hahahaha.

Apa yang terjadi kemudian? Apakah aku melakukan pengembalian barang?

Terbersit pikiran, ah, ini dikembaliin saja. Memang nggak rusak, kalaupun rusak juga ada garansinya selama 5 tahun. Ini murni karena kesalahanku.

Akhirnya, aku googling, dan bertemulah aku dengan konektor. Aha! Solusi, nih. Tapi, masak iya sih harus beli online lagi? Akhirnya, aku membuat story di WA dan bertanya adakah yang tahu di mana bisa membeli konektor OTG yang aku maksud.

Masuklah pesan dari guruku, Pak Budi namanya. Kata beliau di setiap konter hampir semua jual beli konektor seperti yang kucari. Obrolan kami pun berlanjut, sampai akhirnya beliau cerita kalau sudah pakai USB OTG SanDisk yang Type B sejak 2016 ((Ke mana saja selama ini diriku, 2016 lho, ini sudah 2019, hahaha)).

Menurut beliau sejauh ini, USB OTG SanDisk yang dipakai tidak pernah rewel, oke-oke saja. Dikomporin seperti itu, aku jadi makin penasaran deh, seperti apa sih performa dari USB yang satu ini.



Sepulang sekolah, aku langsung deh mampir ke konter terdekat dan ternyata memang ada konektor USB OTG yang kucari. Di konter itu, aku langsung coba konektor tersebut. Setelah cocok dan USBnya bekerja, kubayar konektor tersebut dengan harga 7 ribu. Murah sih, tapi lain kali kalau belanja online kudu teliti lagi. Hihihi.


USB OTG SanDisk untukku, Guru Bloger


Urusan konektor, kelar.

Langsung deh aku colokkan ke HPku. Aku sempat deg-deg-an sih, bisa nggak ya? Kan colokannya berbeda tipe. Eh, ternyata bisa, Gaes!

Senang? Bangetlah. Nggak rugi gitu lho sudah bedundukan beli konektor di siang bolong.

Sudah siap dipakai nih, Gaes!


Langsung deh kubaca panduan yang tertera setelah kucolokkan USB OTG SanDiskku. Kuinstal aplikasi SanDisk Memory Zone dan kupilih back up secara manual saja, bukan yang otomatis.

Setelah memakainya lebih dari seminggu, bagaimana kesanku?

Nyaman.

Beneran.

Sangat memudahkanku.

Sebagai seoroang guru bloger, aku sering dapat masukan dari pembaca  blogku untuk selalu menuliskan tetek bengek cerita keseharianku sebagai guru. Ya, pas, sih, ya. Karena brandingku memang sebagai guru blogger.

Baca beberapa cerita anak-anakku di sekolah berikut ini.



Terlebih lagi, sebagai guru aku juga memiliki tugas untuk semaksimal mungkin memberikan gambaran kegiatan setiap hari di kelas sebagai bentuk tanggung jawabku sebagai guru sekaligus kepada wali murid.

Setiapkegiatan, baik itu di dalam kelas, maupun di luar kelas, harus ada dokumentasinya. Agar wali murid paham betul, oh, anakku di sekolah sedang ini, berada di sini, belajar tentang ini, dan sebagainya.

Penampakan memori internal dan eksternalku dengan USB OTG SanDisk


Nah, bukankah kegiatanku itu tentu sangat membutuhkan memori yang besar di HPku, bukan? Memori perangkatku yang hanya 32 GB saja tentu tidak cukup. Makanya, saat kutaku obrolan di grup WA itu aku begitu antusias untuk segera membeli USB OTG SanDisk ini. Memang menguntungkan. 

Oh iya, aku ada cerita, saat aku mendokumentasikan kegiatan anak--anak saat lempar bola di halaman sekolah, kan, aku video tuh. Durasi videonya sampai 10:14 menit dengan memakan space 1,55 GB di HPku. Nggak tahu kenapa, mungkin karena memoriHPku yang sudah mulai penuh, video tersebut tidak bisa aku kirim ke grup WA wali murid. Akhirnya, aku pindahkan ke USB OTG SanDisk. Dalam waktu sekitar satu menit lebih sedikit, video tersebut sudah berpindah. Cepet banget, bukan?

Pantas deh, ya, kalau #SanDiskAPAC Ultra Dual Drive USB Type-C yang 32 GB (USB 3.1) ini punya kecepatan tinggi sampai 150MB/s.

Akhirnya, setelah terpindah ke USB, kucolokkan deh ke laptopku. Lanjut kukirim ke grup WA wali murid via laptop. Lah, ternyata kok bisa. Hihihi.

Terima kasih untuk SanDisk yang sudah memudahkan pekerjaanku. Walau harus pakai konektor segala, alhamdulillah, aku tetap merasa nyaman banget.

Kamu, nggak pengen punya USB OTG SanDisk juga? Nah, kalau kamu pengen beli juga, coba ikuti beberapa anjuranku berikut ini, ya.
  • USB OTG SanDisk ini bisa digunakan di HP, tablet, sekaligus di laptop juga
  • Saat hendak membeli USB OTG SanDisk ini pastikan apakah tipe HPmu mendukung pemakaiannya? Kamu bisa cek ke website SanDisk.
  • Saat sudah mengetahui kalau ternyataHPmu bisa pakai USB OTG tersebut, langsung deh cus ke online shop, atau toko aksesoris HP/komputer. Perhatikan betul tipe colokannya, ya. Jangan sampai salah pilih tipe sepertiku. Hihihi.
  • Gunakan USB OTG SanDisk untuk memback-up data kamu. Disarankan sebulan sekali. Kalau aku, misal kurasa data itu penting, langsung kuback-up. Lha wong, tinggal colok, crut, kelar, kok. Hihihi.
Bu guru saja punya USB OTG  SanDisk, kamu kapan beli?

Senin, 23 September 2019

Apakah Perempuan Harus Bisa Memasak Sejak Sebelum Menikah?


Ehm, kalau menurutku tidak.

Tapiiiiii, paling tidak, setidak-tidaknya lah, ya, jangan sampai babar blas alias sama sekali tidak tahu tetek bengek soal dapur.

Yah, punya modal pengetahuan eh ini kunyit, garam, gula pasir, ketumbar, kemiri, ini panci, kompor, hahahaha.


Bisa makan bersama dengan keluarga itu nyenengin banget. Apalagi kalau mereka suka dengan masakan yang kita buat.

Tulisan ini berawal dari komentar tetanggaku yang sama-sama punya anak tunggal dan perempuan pula. Posisinya kayak ibuku, sama-sama punya anak tunggal yang sudah berumah tangga tapi masih satu atap.

Beliau main ke rumah saat aku hendak memasak untuk makan siang.

Soto buatanku memang belum seenak buatan ibu.


"Kamu malah bisa masak." Begitu komentarnya saat melihatku membungkus ikan pindang untuk kubuat pepes kemangi.

"Hahahaha. Kalau nggak aku, siapa lagi, Dhe. Kasihan ibu, pulang, capek dari pasar harus masak." Jawabku.

"Iya. Nggak kayak Fatus (anaknya). Masak ora iso (nggak bisa)."

Aku tak menyahut. Mulutku terkunci dan tanganku asyik menusukkan lidi ke daun pisang.

Dalam hatiku, dulu aku sama sekali tidak bisa memasak.

Dari situlah aku punya anggapan, kalau sebelum menikah, perempuan tidak harus bisa memasak. Buktinya adalah aku.

Saat masih lajang, aku benar-benar tak bisa memasak. Semasa kuliah aku hanya bisa memasak mie instan. Karena jarang di rumah, sehari-hari harus berkutat di kampus dan TK (mengajar di TK), kemudian ibuku adalah seorang ibu rumah tangga, yang ada aku hanya jadi tukang makan doang.

Soal perbumbuan, aku kenal sejak SD. Karena suka main masak-masakan (suka ngambil bahan-bahan dapur ibu) dan aktif di pramuka (karena terpaksa tuntutan nilai). Sudah, karena itu aku tahu mana bedanya ketumbar dan merica, mana kunyit mana kencur.

Lulus kuliah, jeda dua bulan setelah wisuda aku langsung menikah. Mana ada acara kursus memasak. Hahaha. Aku justru heboh mempersiapkan pernikahanku yang serba 'aku' semua. Bikin undangan sendiri, ditambah siang malam berkutat dengan souvenir pernikahan.

Lebaran kemarin aku bikin nastar sendiri. Belajarnya, ya, dari internet.

Sumpah, nggak ada waktu untuk kursus memasak. Toh, tak ada dana untuk itu.

Kini, meskipun tak pandai-pandai banget, aku bisa memasak. Terkhusus makanan kesukaan suami.

Hahaha.

Santai, masakan kesukaan suamiku mudah banget kok buatnya, cukup didihkan air, kasih garam dan gula, kemudian masukkan mentimun. Itu namanya plonco.

Ditemani dengan ikan asin hangat dan sambal terasi, suami sudah hepi dan lahap makanannya.

Masak begitu doang, sudah diganjar pahala sama Allah, pun suami benar-benar merasa diperhatikan. Soalnya menu makanan itu tidak ada yang suka di keluargaku. Kalau bukan aku yang buatin, siapa lagi?

Sampai sini, aku percaya kalau keadaan akan 'memaksa' seseorang mau belajar memasak setelah menikah. Demi siapa? Suami dan nantinya akan ditambah dengan anak.

Masih tentang keadaan, semenjak ibuku jadi ibu pekerja alias ikut ke pasar bapakku, mau tidak mau kalau ibu tidak sempat memasak karena capek, ya, aku yang memasak.

Awalnya, bapakku komplain, jelas, rasa masakanku kalah enak dibandingkan masakan ibuku yang endol markendol. Tapi, mau bagaimana lagi, ibuku terlalu capek.

"Asin, Ka, sambalmu."

"Sayur beningmu kurang garam."

"Rasa gudegmu nggak ngalor nggak ngidul (nggak jelas)."

Dulu, pas awal-awal memasak, komentar-komentar seperti itu sering banget kuterima dari bapak dan ibu. Apakah aku sakit hati? Jelas. Sudah capek-capek masak, malah dipaido, siapa yang tahan?

Lagi-lagi karena keadaan. Kalau aku ngambek nggak mau masak, siapa lagi yang mau masak?

Biki sambal pecel yang puedeeeessss

Akhirnya aku banyak lihat resep-resep di Mbah Google, nonton video memasak di Youtube, dan nggak sungkan untuk tanya sama ibu walau sering diejek. Hahaha.

Alhamdulillah, kini, setelah terjun ke dapur selama 2 tahun lebih, yaaa, masakanku nggak separah dulu lah. Aku juga sudah bisa bikin kue ulang tahun Kak Ghifa awal bulan lalu. Komentar yang makan sih, sukses kue ulangtahunnya. Sampai-sampai lupa difoto karena ludes duluan.


Semua modalnya hanya satu, terdesak. Kalau sudah terdesak, kita akan mau belajar. Setelah belajar, kok nggak enak, mau belajar lagi. Namanya juga belajar, sekali dua kali memasak, kalau belum endol markendol, ya, wajarlah.

Kamu, bagaimana, sependapat nggak sama aku? Atau mungkin kamu ada cerita lain? Kapan kamu bisa memasak? Apakah sudah jago memasak sebelum menikah? Atau mungkin punya cerita unik serupa? Bisa tuh tulis juga di blog kamu, insyaallah aku akan berkunjung. Jadi, jangan lupa japri aku, ya!

Terakhir, yang ada rencana segera menikah, jangan sampai mundur karena perkara belum bisa memasak, ya. Learning by doing saja. Semua bisa diobrolin kok sama si dia. Ihiiirrr.

Minggu, 22 September 2019

Sabtu Ceria dengan Hadiah Sarapan yang Ulala




Rasanya kalau pagi tuh buru-buru banget. Untung saja, hari ini Kakak libur. Kehebohan pagi lumayan bisa terminimalisir.

Hari ini terakhir anak-anak PTS (Penilaian Tengah Semester 1) dan diisi dengan membuat mozaik (tapi anak-anak ngotot bilang ini kolase) buah anggur.

Sudah sejak hari Senin aku kowar-kowar tentang rencana kegiatan hari ini. Pas hari Jumat juga sudah kuingatkan lagi kalau Sabtu pagi anak-anak membawa kardus dengan ukuran yang sudah kuberi contoh dan juga gunting.

Apa daya? Namanya anak-anak, adaaaaa saja yang tidak bawa gunting. Ada David, Arfa, dan Gea. Ada juga yang ukuran kardusnya tidak sesuai permintaanku. Hadeh.

Gemes.
Gemes.
Gemes.

Baca juga: Pindah Sekolah

Khilmi dan Amel membuat kolase
Aku jadi ingat kebiasaanku di sekolah lama. Dulu, setiap anak mengumpulkan stopmap dengan isi lem, gunting, krayon/pensil warna, dan buku gambar. Jadi, kalau ada kegiatan gunting menggunting, atau mewarnai tuh nggak ada teriakan dari anak, "Bu, aku nggak bawa gunting." atau, "Bu, aku nggak bawa krayon."

Nyebelin.
Beneran.

Ujung-ujungnya, namanya juga anak-anak. Padahal hal sepele ini melatih tanggungjawab dan disiplin mereka. Poin itupun masuk dalam penilaian afektif.

Proses pembuatan kolase pun kumulai. Koreksi untuk diriku sendiri adalah, seharusnya aku sudah membuat satu yang sudah jadi. Kemudian buat lagi bersama anak-anak sebagai contoh nyata. Tapi, karena kesibukan Jumat lalu, mengantar ibu ke rumah sakit, sampai rumah aku sudah tepar. Tak sempat untuk membuat kolase di rumah. Hanya praktik di depan anak-anak saja.

Okelah, soal gunting akhirnya kuakalin. Kalau teman sebangkunya selesai menggunting, anak yang tak bawa gunting tadi kupersilakan untuk meminjamnya.

Sambil ikut membuat kolase yang kertasnya kutempel di papan tulis, sesekali anak-anak memanggilku, "Bu, lem-ku habis."

"OK, sini maju."

Oiya, untuk bahan-bahan kolase, seperti kertas marmer, kertas bergambar anggur, lem, tusuk gigi, dan cotton bud, semua ada di sekolah. Kami membelinya dengan uang kas anak-anak yang per Senin membayar Rp 1.000.

Lagi asyik membuat kolase, aku kok merasa ada yang aneh. Ada bau-bau tak sedap menohok hidungku. Wah, ada yang kentut nih. Tapi, kok anak-anak yang lain pada santai saja, ya.

"Eh, sepertinya ada yang kentut. Ada yang kentut beneran?"

'Anak spesial' yang duduk di sebelah papan tulis pun mengaku kalau dia kentut.

"Kalau kentut keluar, ya, Ipank. Bu Ika kan sudah bilang berkali-kali. Nggak sopan namanya." Kataku sambil membuka pintu kelas lebar-lebar berharap bau kentut Ipank segera terurai keluar.

Pas aku kembali ke depan papan tulis untuk melanjutkan kolaseku, kok, bau kentut tadi bukannya hilang malah semakin menohok hidungku.

Kemudian, mataku mengarah ke Ipank.

Blaik.

Ada sesuatu yang tercecer di bawah kursinya.

Memang jatahnya ngepel kalau hari Sabtu. Tapi, kali ini spesial.
Ya Allah, tadi pagi aku sarapan terburu-buru, hanya beberapa sendok, eh, ini nemu sarapan yang ulala punya.

Nikmatnya jadi guru kelas 1 SD, ya, begini.

Ya, Ipank pup di kelas. Pup nya encer pula.

"Ipank, perutmu sakit?"

Dia mengangguk.

Semua muridku pada heboh saat tahu Ipank pup di kelas. Bahkan ada yang marah-marah. Segera kuajak Ipank keluar. Kubawa tasnya.

Sebenarnya aku ingin mengajaknya ke kamar mandi untuk bersihin celananya yang kotor. Tapi, aku mikir lagi, nanti kalau basah mau pakai celana apa? Sekolah tak ada celana cadangan.

Ini jadi catatan penting untukku agar setelah ini menyediakan seperangkat baju ganti dan sabun mandi di kelas.

Akhirnya, Ipank pulang.

Tak tahu kenapa, perutku rasanya mual banget. Tapi, malu juga lah dilihat anak-anak. Jujur, baunya Ya Allah, aku pengen banget guling-guling.

Terakhir kali, di sekolah yang lama, ada juga muridku yang pup di kelas. Dia juga berkebutuhan khusus kayak Ipank. Tapi, nggak langsung di celana. Jadi, dia buka celananya seperti orang mau pup biasanya. Kemudian mojok di samping lemari kelas. Hahaha. Pas itu, orangtuanya langsung ke sekolah. Beliau membantuku dengan sigap. Lah, kasusnya Ipank ini, beda. Hahaha.

Setelah Ipank pulang, kukondisikan anak-anak yang lain. Alhamdulillah, mereka paham kesulitanku saat itu. Segera saja, kubersihkan pup Ipank dengan tisu. Baru kemudian ku-pel sampai bersih.

Selama lantai belum kering, aku duduk di dekat lokasi Ipank pup. Bahaya, Gaes, anak kelas 1 SD, kalau aku meleng dikit, bisa kepleset.

Inilah nikmatnya jadi guru kelas 1 SD. Hahaha.

Sepanjang hari ada-ada saja ceritanya. Pengen deh setiap hari bisa menuliskan cerita rupa-rupa di sekolah.

Aku butuh dukungan sih, kamu suka nggak baca tulisanku tentang sekolah seperti ini? Kalau suka, kasih komentar, ya.

Jumat, 20 September 2019

Kota Malang, Inilah yang Kuingat Tentangmu



Hari Selasa kemarin, saat sambil ngelonin Kak Ghifa tidur siang, kunikmati tayangan Tau Nggak Sih di Trans7.

Pas banget, di luar matahari terik banget, di TV malah lagi nayangin yang hangat binti segar khas Kota Malang. Apalagi kalau bukan bakso.

Duh, ngiler aku.

Kak Ghifa yang sudah tinggal 5 watt matanya saja sempat berujar, "Kakak mau bakso, Mi."

"Iya, babuk (tidur) dulu. Nanti sore beli bakso yang biasanya lewat." jawabku.

Tak lama kemudian Kak Ghifa telah tidur. Inginku juga segera bisa tidur menyusul Kak Ghifa. Maklum, setengah hari nguli di sekolah, capek juga ternyata. Tapi, apa daya? Pikiranku malah melayang ke masa-masa saat aku PPL bersama teman PGSD seangkatanku ke Kota Malang.

Tepatnya saat aku semester 6, sekitar pertengah November tahun 2013 lalu. Dengan biaya sekitar 800 ribu, kami melakukan beberapa kunjungan. Mulai dari kunjungan ke beberapa kampus di Malang, Selecta, BNS, sampai ke Bromo. Agar lebih terperinci, aku buat poin-poin saja, ya, ceritanya.

Kunjungan ke Kampus 


Hari pertama sampai di Malang, kami langsung berkunjung ke Universitas Negeri Surabaya. Di sana kami dikenalkan berbagai tetek bengek tentang jurusan PGSD. Mulai dari mata kuliah, kemudian ekstrakulikulernya apa saja, portofolio mahasiswa, masuk ke berbagai laboratorium yang dimiliki dan nguprek baca sekilas skripsi-skripsi alumni.

Rombongan kami saat berada di Universitas Negeri Malang

Di hari kedua, kami juga berkunjung ke kampus. Tepatnya di Universitas Negeri Malang. Di sana kami di kumpulkan di dalam aula. Kemudian anggota HIMA pada unjuk muka di depan. Ada narasumber yang hadir, HIMA dari kampus yang kami kunjungi, sedang memperkenalkan kampusnya sekaligus sharing mengenai PGSD versi mereka.

Nah, pas kegiatan ini, dosen-dosen kami ada acara sendiri dengan dosen pihak kampus yang kami kunjungi. Kampusku kan saat itu masih baru (aku angkatan kedua yang diwisuda), nah, ke kampus-kampus ini maksudnya menimba ilmu. Demi apa? Ya, memajukan PGSD di kampusku. Kalau ada yang baik, kan, dicontoh, diinovasi. Sekarang sih memang sudah beda banget. Makin keren pastinya. Hahaha. Pamer.


Menginap di Hotel Wonderland


Setelah kunjungan ke Universitas Negeri Surabaya, kami langsung menuju Hotel Wonderland. Di sana ada banyak sekali kamar. Aku mendapat kamar di lantai satu, dekat dengan kolam renangnya.

Kami berfoto di depan kamar, samping kiri kami ada kolam renang

Aku suka dengan hotel pilihan kampusku. Meskipun kami hanya semalam di sana, kasur yang empuk, kamar mandi yang bersih, bisa melihat kolam renang lewat pintu belakang, kemudian pemandangan pagi lengkap dengan gunung yang menjulang, rasanya lelah perjalanan di hari sebelumnya langsung terbayar lunas.

Dari dulu aku suka jadi tukang motret daripada dipotret

Aku jadi penasaran, apakah hotel yang kuinapi dulu itu masih ada? Kucoba cari hotel murah di Malang via aplikasi Traveloka. Eh, ternyata, Hotel Wonderland ada. Semoga nanti pas jalan-jalan ke Malang lagi, aku bisa ajak Kak Ghifa menginap di sini. Soalnya, pas aku lihatin foto kolam renangnya dengan patung dua gurita, mata Kak Ghifa sangat berbinar-binar. Semoga bisa ke sana beneran ya, Kak. Bareng sama abi. Aamiin.

Pagi-pagi lihatnya kayak gini, ulala nikmatnya.

Jalan-jalan ke Selecta, BNS, dan Mencicipi Dinginnya Gunung Bromo


Perjalanan kami saat itu disebut sebagai PPL nonkependidikan. Ya, kunjungan ke kampus, tapi banyak jalan-jalannya. Hihi.

Setelah makan siang di Hotel Wonderland, kami langsung check out dan cus jalan-jalan ke beberapa obyek wisata.

Baru masuk sudah disambut dengan ikan-ikan yang cantik

Halo!

Selecta, yang kuingat tentang tempat wisata ini adalah bunga-bunga yang cantik. Terletak di Batu, Malang, tempat ini cantik sekali. Banyak berbagai macam bunga ada di sini. Kalau sekarang, kulihat di berbagai situs jalan-jalan, tempat ini sudah dilengkapi dengan permainan.


Pokoknya kalau ke sini jangan lewatkan kesempatan untuk mengambil banyak foto-foto kece, ya. Siapin juga kaki yang tangguh, soalnya tempatnya luas banget.


Setelah ke Selecta, rombongan kampus kami meluncur ke BNS. Batu Night Spectacular (BNS) yang hanya buka mulai pukul 15.00 ini membuatku takjub. Banyak sekali permainan di sini. Ada rumah hantu, permain pemacu adrenalin, atau mau berfoto di antara lampion?



Lampion-lampion cantik ada di mana-mana. Bentuknya juga unik-unik. Selain itu bisa belanja oleh-oleh juga. Dulu, aku nggak banyak beli oleh-oleh. Padahal setelah dari sini sudah nggak mampir-mampir lagi ke tempat oleh-oleh. Nyeseeeeel banget nggak punya kenang-kenangan, walau hanya sekadar kaos tulisan I Love Malang.

Aku pernah kurus, Gaes.

Seingatku, dulu pulang dari BNS tuh sekitar pukul 22.00 WIB. Kemudian kami check in ke penginapan yang serba putih. Tempatnya lebih bagus dari Hotel Wonderland sih menurutku. Sayang, kami hanya makan malam, bersih-bersih, kemudian tidur. Aku sampai nggak ngeh menginap di mana. Foto-foto saja nggak sempat saking capeknya. Pukul 02.00 kami sudah langsung cus menuju Gunung Bromo.

Saat dini hari bangun, aku dan tiga teman sekamarku mengalami kejadian yang tak pernah kulupakan. Saat itu tiba-tiba pintu kamar kami digedor seseorang, kutahu belakangan itu adalah dosen kami yang membangunkan kami.

Saking kaget dan cuaca dingin Kota Malang, tiba-tiba temanku tadi mengerang kesakitan karena badannya sangat kaku dan dingin. Kami bertiga segera mencari cara untuk mengatasi kejadian tersebut. Ada yang menyelimuti, menggosok semua bagian tubuhnya dengan minyak kayu putih, sampai menenangkannya dengan beristighfar.

Sumpah, kejadian itu sangat menegangkan.

Menanti matahari terbit di kawasan GUnung Bromo


walau tertutup awan, tetap cantik


Hawanya memang, Ya Allah, dingiiiiiiiiiin banget. Padahal kami sudah tidur dengan mengenakan kaos kaki, jaket, kemudian pakai selimut lho. Ngeri. Sampai menusuk tulang.

Alhamdulillah, setelah 15 menitan, temanku bisa kembali baik-baik saja dan kami segera check out. Sampai di dalam bus, kejadian tersebut jadi bahan pembicaraan hangat menuju ke Gunung Bromo.

Lupakan tentang kejadian mengerikan tadi. Karena perjalanan  menuju kawasan Gunung Bromo lebih mengerikan lagi. Hahahaha. Setelah sampai di terminal pemberhentian bus, kami segera naik angkutan khusus.  Pas naik ini, Ya Allah, ngeriiiiii cuy. Jalannya kayak alas roban, naik turun tak terkendalikan. Karena dini hari, jujur, rasa kantuk tak bisa tertahankan. Tapi, mana bisa tidur kalau jalannya bikin deg-deg-an setiap saat. Entah, ya, kalau sekarang.

Bak di atas awan

Setelah naik angkutan, sekitar pukul 04.00 WIB, kami naik jeep menuju kawasan Gunung Bromo. Sampai sana, kami tak bisa berkata-kata. Kegiatan kami hanya berfoto-foto. Hahaha.

Saat itu, aku tidak naik ke puncak Gunung Bromo. Tidak tahu kenapa, rasanya malas saja. Kakiku sudah terasa capek setelah jalan keliling Selecta dan BNS. Nyesel juga sih, jauh-jauh tapi nggak naik ke puncak. Makanya, pengen balas dendam, kapan-kapan kudu ke sana lagi, bersama Kak Ghifa dan abi. Aamiin.


Nah, itu tadi ceritaku tentang Kota Malang yang masih melekat erat di ingatanku. Entah pukul berapa akhirnya aku tertidur. Saat aku terbangun sudah pukul 16.00 WIB. Hihihi.

Kalau kamu, sudah pernah ke Malang? 

Selasa, 17 September 2019

Ke Pekan Raya Gubug 2019 Hanya Bawa Uang Seratus Ribu, Dapat Apa?



Ternyata, jalan-jalan sekeluarga hanya membawa uang seratus ribu kok bisa berujung dengan hepi, ya. Nagih, deh.

Hari gini lho, ya. Seratus ribu? Dapat apa?

Dulu, aku tipe orang yang kalau mau piknik bersama keluarga tuh kudu punya perencanaan yang matang banget. Baik itu perkara perencanaan tempat tujuan sampai dananya.

Alhasil, banyak perencanaan yang muluk-muluk, dananya nggak ada, piknikpun nggak pernah terlaksana. Kata orang Jawa, ati karep bondho cupet. Semenjak itulah, mindset kalau piknik itu butuh dana yang gedhe pun terbentuk. Dilarang mimpi piknik deh kalau nggak punya uang melimpah.

Kini, beda lagi ceritanya. Tuntutan hidup makin mencekik. Kesibukan di sekolah dan di rumah tidak pernah ada habisnya.  Huh. Karena keseringan dihimpit dengan pilihan hidup inilah, ditambah dengan tuntutan nafsu yang tak terkendali, piknik ala orang misquin ala aku pun tercipta. Modal duit seuprit, sekeluarga bisa 'ajeb-ajeb' untuk buang stres yang menumpuk.

Salah satu piknik ala orang misquin yang baru-baru ini kami lakukan adalah ke Pekan Raya Gubug 2019, Sabtu kemarin. Mau tahu kami ngapain saja, terus dengan uang seratus ribu bisa makan dan beli apa?

Kami sedang menunggu sosis panggang pesanan Kak Ghifa. Pekan Raya Gubug 2019 tampak lengang.

Pekan Raya Gubug 2019 ini, kali pertama diselenggarakan di Gubug, letaknya hanya 10 menit dari rumahku kalau ditempuh dengan sepeda motor. Bertempat di lapangan PUK, dekat pasar Gubug, acara yang digawangi oleh Sirup Kartika buka sejak tanggal 13 - 14 September 2019.

Pekan Raya Gubug ini tuh ada apa saja? Banyak banget. Ada berbagai lomba, hiburan artis lokal sampai ibu kota, colour run, jalan santai, stand yang jual produk-produk unggulan Grobogan, serta yang ingin kucari adalah food court. Yes, tujuan utamaku ke sini, ya, mau kulineran.

Sebulan sebelum Pekan Raya Gubug ini dimulai, baliho dan informasi via facebook dan instagram tuh sudah ramai banget. Makanya, aku dan abi ingin sekali meluangkan waktu. Mumpung. Soalnya jarang banget ada acara beginian di dekat rumah. Sekalian golek howo, cari udara segar.

Sayang, pagi hari itu aku sempat kecewa karena bakalan gagal ke Pekan Raya Gubug karena Kak Ghifa demam. Tapi, setelah minum tempra, tak lama langsung turun panasnya, dan sorenya langsung cus deh.

Kami siap menjemput kebahagiaan.

Aku, abi, dan Kak Ghifa, niat banget berangkat ke Pekan Raya Gubug selepas maghrib. Tentu tanpa makan malam dulu. Kan mau kulineran.

Ternyata pilihan kami untuk berangkat di jam itu tepat. Parkiran masih sepi euy. Setelah membayar parkir Rp 3.000 (ada teman yang cerita bayar parkirnya Rp 5.000, beruntungnya kami dapat harga lebih murah), kami langsung mencari pintu masuk ke area Pekan Raya Gubug. Sama dengan suasana parkiran, lapangan PUK saat itu masih sepi. Jalanan di area food court juga masih lengang. Hasratku untuk kulineran pun makin tak tertahankan.

Tujuan pertama kami saat itu adalah sosis panggang (seporsi isi 3 Rp 10.000, biasanya kalau di rumah, sih, seporsi itu hanya Rp 6.000. Dasar emak-emak pengiritan). Iya, siapa lagi kalau bukan untuk Kak Ghifa. Dari rumah dia sudah merapalkan, "Nanti beli sosis, ya, Mi." Nah, agar nggak rewel karena kelaparan, maka perutnya harus segera diisi.

Foto dari Ig Dek Enggi

Sambil menunggu sosis dipanggang, kuamati, kebanyakan food court di sana jual berbagai macam sate-satean, kebab, burger, ayam krispi, dan ayam geprek. Kupikir, ah, kalau itu-itu sih sudah sering makan. Aku mencari makanan yang beda dari biasanya, apa, ya?

Tertariklah mataku kepada Mas penjaja yang sedang semangat mengaduk makanan di atas wajan berbentuk persegi panjang. Ternyata food court di depannya juga ada makanan serupa. Karena penasaran, kudekati. Kutengadahkan kepalaku dan memandangi banner yang ada di atasku, "Bayi Gurita".


Wew.

Bagaimana, ya, rasanya?

Mas yang sedang memasak itupun tahu kalau aku kepo akan rasa bayi gurita, "Boleh nyobain dulu, Mbak. Silakan."

Tanpa basa-basi lagi, kuambil tusuk kayu yang tersedia dan mencoba olahan bayi gurita itu. Hup. Eh, kesan pertama, amis banget rasanya. Setelah dikunyah, ehm, kenyal, enak sih, tapi lebih enakan udang kalau menurut lidahku. Hihihi.

Karena masih penasaran, pun belum pernah makan olahan bayi gurita, kami membeli seporsi dengan harga Rp 30.000. Yah, mahal dikit nggak papalah. Kan nggak tiap hari makan.

Sampai sini, uang kami tinggal Rp 57.000. Dapat apa lagi, ya?

Bayi gurita yang tampak menggoda

Kami lanjut jalan mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut kami. Muter sana-sini, ketemunya ya burger, kebab, burger, kebab. Maklum, abi berlidah ndeso, makan begituan ya bisa menye-menye alias ogah-ogahan.

Sampai akhirnya, kami nemu ibu penjual lontong pecel dan campur (seperti ketoprak). Kami pesan seporsi lontong pecel, segelas kopi, dan sebungkus rempeyek. Nggak nyesel sih sudah duduk di tempat penjual lontong pecel ini. Rasanya enak, sambalnya nendang abis. Rempeyek kacangnya juga enak, ludes sampai lupa nggak aku foto.

Lontong pecel habis, sosis Kak Ghifa juga habis, kami pun berpamitan dengan membayar Rp 12.000. Kalau bukan karena ada pembeli lain yang sudah antre, ogah deh pindah dari tempat duduk. Hahahaha. Soalnya seru juga, makan sambil nglihatin orang pada lalu-lalang.

Lontong pecel, seporsi Rp 6.000

Perburuan makanan kami belum selesai. Kak Ghifa tiba-tiba, "Ummi, tumbas (beli) itu."

Saat kutengok ke mana arah tangannya menunjuk, baru kutahu, dia ingin menyanta Pop Mie yang sudah diidamkan dari seminggu yang lalu. Baiklah, karena hari itu kami mau hepi-hepi, mie instan, hayuklah.

Kami membeli dua Pop Mie dengan harga Rp 16.000. Di bawah gawang sepak bola yang diletakkan di pinggir lapangan, kami habiskan dua Pop Mie untuk bertiga. Ngirit banget, sih? Nggak deh, Kak Ghifa se-cup habis, aku sama abi makan berdua, biar romantis.

Makan Pop Mie dulu biar waras, Gaes

Sampai sini, uang kami tinggal Rp 29.000.

Mau ngapain lagi, ya? Perut kami sudah mulai begah karena terisi lontong dan Pop Mie. Bayi gurita pun belum sampai habis dimakan.

Kami memutuskan untuk ke tengah lapangan yang mulai ramai dengan pengunjung. Di tengah lapangan ada dua panggung. Satu, panggung kecil untuk lomba anak SMA (saat itu). Dua, panggung utama, besar dan megah, untuk fashion show yang diiringi oleh DJ Glavisto. Malamnya ada dangdut Metro.

Foto dengan latar padatnya pengunjung

Suara dentuman musik saat itu benar-benar menandakan kalau, ya, ini malam minggu. Ramai, penuh banget, lapangan yang tadinya lengang, kutinggal makan Pop Mie sejenak langsung penuh dengan lautan manusia. Panitia acara Pekan Raya Gubug 2019 ini sukses menghibur warga sekitar.

Sayang, kalau aku masih gadis nih, ya, kujabanin deh untuk ikutan berdiri di tengah lapangan menikmati suasana malam minggu. Hahaha. Gaya banget, ya? Ntar pulang-pulang langsung masuk angin. Kerokan. Anak rumahan, kok. klayapan.

No, no, no.

Ini panggung kedua mulai dipenuhi pengunjung


Baru berdiri di tengah kerumunan selama 10 menit, Kak Ghifa mulai gelisah. Yes, kutahu dia tak akan nyaman di tempat yang terlalu ramai seperti itu. Kami pun memutuskan untuk melipir. Kutawari untuk main di istana balon, tak mau. Ngeri kali, ya, lihat banyak banget anak-anak di sana. Oke, pulang saja deh. Tapi, mau ke pintu keluar saja, duh, susahnya. Ramai. Padat.

Begini penampakan panggung utama

Sampai di pintu keluar, Kak Ghifa tertarik untuk membeli gelembung sabun. Mainan yang satu ini tidak pernah absen dibelinya.

"Sepuluh ribu, Mbak."

Beli gelembung sabun dulu, Gaes

Eh, kok murah? Biasanya Rp 15.000 lho. Asyik, emak hemat Rp 5.000. Saking seringnya beli sampai syok dapat harga yang murah banget.

Berarti uang seratus ribu masih sisa dong? Iya, sisa Rp 9.000. Untuk apa, ya? Kami pilih menggunakan uang sisa tersebut untuk membeli gorengan sebagai oleh-oleh orang rumah. Alhamdulillah, lengkap sudah.

Rp 9.000 dapat gorengan segambreng


Eits, tunggu dulu. Cerita malam itu belum selesai, Gaes.

Pas perjalanan pulang, Kak Ghifa merengek minta minum. Padahal tadi sudah habis dua botol minuman yang sengaja kami bawa dari rumah. Tapi, nggak papalah, tombok dikit, nambah dikit pengeluaran untuk membeli minuman di minimarket.

Ngemper di minimarket

Setelah puas minum di depan minimarket, kami pun melanjutkan perjalan pulang. Sampai rumah, Kak Ghifa sudah tak sabar untuk main dengan gelembung sabunnya. Alhamdulillah, dengan uang seratus ribu, sekeluarga hepi. Orang rumah juga ikutan bahagia dengan oleh-oleh gorengan yang tak seberapa. Eh, masih ada bayi gurita juga.

Nah, untuk kamu yang punya dana terbatas, piknik ala orang misquin seperti ceritaku ini bisa juga lho kamu coba. Aku ada beberapa tips nih biar pengeluaran benar-benar terkendali saat pergi piknik. Apa saja itu?

  • Perencanaan sebelum pergi harus jelas. Mau ngapain saja. Paling nggak kalau kulineran sepertiku di atas, tetapkan nanti maksimal beli makanan berapa macam. Pilih makanan yang memang benar-benar belum pernah/jarang/pengen banget dimakan. 
  • Kalau pergi dengan anak kecil, usahakan bawa tetek bengeknya dari rumah. Misal tisu, telon, lotion anti nyamuk dan minuman mineral.
  • Kenakan baju yang paling nyaman. Kemarin aku sempat salah kostum. Kupikir kan dingin, tempatnya terbuka pula, aku pakai baju tunik kaos tebal. Eh, ternyata, panas banget di sana. Kak Ghifa malah pakai baju kostum karnaval. Hahaha. Dasar anak itu.
Untuk kamu yang berada di luar Grobogan, tahun depan ingin mengunjungi Pekan Raya Gubug? Bisa nih mulai ngintip-ngintip aplikasi booking hotel. Hahaha. Demi terwujudnya piknik keluarga yang berkesan, hari gini dana mepet mah bisa diakalin. Banyak juga kan promo yang ditawarkan setiap kesempatan.



Aku sering nengok-nengok situs Pegipegi.  Buat apalagi kalau bukan untuk berburu promo?

Paling senang kalau pas mantengin hotel di situs Pegipegi tuh banyak banget pilihannya. Hotel ternama, ada. Mau cari hotel dengan harga pas di kantongku juga banyak. Enaknya lagi, fiturnya memudahkan banget saat kita mau mencari hotel di daerah tertentu. Misalnya, aku mau menginap di hotel area Semarang Timur, bisa tuh tinggal klik dan pilih Semarang Timur, muncul deh beberapa hotel di area tersebut.

Balik lagi tentang Pekan Raya Gubug 2019. Menurutku, acara ini wajib banget untuk diulang pada tahun depan, 2020. Hanya saja, kalau bisa ditambah lagi stand dan food courtnya. Jenis kulinernya juga ditambah. Oiya, tempat sampahnya, euy, ngumpet di belakang. Diperbanyak lagi jumlah tong sampah agar area tidak penuh dengan sampah. Sukses selalu untuk semua yang sudah ada di balik layar Pekan Raya Gubug 2019 

Hari gini, mau piknik, kulineran tapi nunggu uang kumpul banyak dulu? Duh, duh, duh, nggak jadi berangkat! Wong modal seratus ribu juga bisa bikin hepi, kok. Aku sudah membuktikan. Kamu, kapan? 

Sabtu, 07 September 2019

Pindah Sekolah


Kabar pindahku ini banyak yang bilang mendadak. Aku juga merasa demikian. Tapi, mumpung ada kesempatan baik, kenapa tidak?

Sejak setahun yang lalu


Kepindahan ini sudah lama kuinginkan. Banyak faktor, diantaranya aku mulai bingung Kak Ghifa siapa yang momong?, tidak tega kalau dia ikut sekolah terus, kemudian keadaan sekolah yang menurutku sudah tidak sehat. Poin terakhir itu murni menurutku lho ya.

Awalnya, keinginan pindah itu hanya jadi wacana saja. Karena aku takut tidak dapat kelas (jadi guru gajulan, alias cadangan), membuatku mundur teratur. Apalagi ada kabar kalau SD yang dekat rumahku (incaranku) telah menerima guru wiyata baru. Ya sudah. Pupus sudah.

Akhirnya kabar CPNS datang, aku berpikir, mungkin rezekiku memang di SD yang selama ini jadi tempat mengabdiku. Makanya, saat SD ku ini dapat formasi atau jatah 1 CPNS, aku pun ambil formasi itu. Walau ternyata aku tidak lolos CPNS dan harus bertemu dengan pesaingku. Hahaha.

Aku tidak masalah. Bahkan aku sekuat itu menerima takdir yang ada.

Allah tahu betul yang terbaik untukku.

Kabar lowongan wiyata datang langsung dari kepala sekolah


Kamis, 13 Juni 2019, ibuku pulang dari bank dengan wajah sumringah.

"Kamu tahu, ibu ketemu sama siapa tadi?"

Jelas, aku menjawab tidak tahu. Ibuku lupa kalau aku ini bukan cenayang. Hahaha.

Ternyata ibuku bertemu dengan kepala SD dekat rumahku.

"Lho Mbak dengar-dengar larene (anak Anda) mau bantu saya di SD. Tak tunggu-tunggu sejak tahun lalu kok tidak ada datang." Begitu kata kepala SD itu yang direka ulang oleh ibuku.

Malam hari itu juga, aku langsung meluncur ke rumah kepala SD tersebut. Aku ingin memastikan, apakah benar kalau SDnya butuh guru kelas?

OK. Kabar gembira itu memang benar-benar datang kepadaku.

Bismillah, kuurus kepindahanku.

Perpisahan yang Menyakitkan


Pagi, Jumat, 14 Juni 2019, aku hendak menghadap kepada kepala sekolahku untuk mohon pamit terhitung mulai tahun ajaran baru. Tapi, kuurungkan, karena beliau sedang pusing dengan urusan salah satu guru.

Aku bertekad, pokoknya, setelah rapot kubagikan, aku harus segera pindah dari SDku ini.

Sabtu pagi, 15 Juni 2019, pagi-pagi, aku menghadap kepala sekolah dan mengutarakan maksudku. Beliau syok. Berat malah. Tak menyangka kalau akan ada kabar demikian. Tapi, aku tak mau goyah dengan keputusan awalku.

"Tolong jangan bilang dulu ke wali murid kalau kamu mau pindah. Nanti sini tidak dapat murid." pinta kepala sekolah.

Mendengar itu, aku kok campur aduk. Ini apa-apaan sih? Lucu sekali.

Sisa-sisa hari di sekolah, kuhabiskan untuk membereskan semua tetek bengek kelasku. Jumat depan pembagian rapot, Sabtu hari terakhir dan cus pergi.

Ternyata tak semudah itu, Kawan.

Kamis, sebelum pembagian rapot, kami semua menghadiri rapat dewan guru. Di kesempatan itu pulalah aku berpamitan secara resmi.

Aku nangis bombaaaaaaayyy, Kawan. Sumpah. Ingusku sampai ke mana-mana dan nggak ada yang ngasih aku tisu. Bwahahaha.

Sedih, iya, karena harus meninggalkan rumah keduaku setelah lima tahun di sana.  Tapi, lebih nyesek lagi saat aku tahu ada rumor yang beredar kalau aku pindah karena tidak terima atas kekalahanku dalam tes CPNS dan satu atap dengan CPNS yang lolos.

Alamak, sungguh, aku ingin salto. Betapa teganya orang yang mengatakan demikian. Tapi, kini aku sudah mengerti, pikiran orang tak akan pernah bisa aku kendalikan. Biarlah.

"Kalau ada kabar saya pindah karena tidak bisa terima kekalahan tes CPNS kemarin, tolong jangan diambil hati! Saya pindah karena alasan yang saya utarakan tadi." ucapku sok tegar dan kuakhiri dengan tangis yang pecah karena nggak nyangka pimpinanku sendiri punya pikiran seperti itu? *Ups

Aku sampai pernah berpikir, beginikah balasan pengabdianku selama 5 tahun di sini? *Nangis gulung-gulung*

Jumat, saat pembagian rapot, kuberanikan diri untuk pamit ke wali murid yang hadir di kelasku. Nangis? Nggak, kok. Kutahan dengan ndangak-ndangak (menengadahkan kepala ke atas). Wali muridku yang pada melow. Ada yang nangis juga, Mbak Dewi, ah, miss you.


Kini, hampir dua bulan, aku sudah di sekolahku yang baru, dekat dari rumah, bisa jalan kaki setiap kali berangkat dan pulang, sekolahnya di kecamatan, muridnya banyak, lingkungannya kukenal, dan alhamdulillah, insyaallah aku bisa membawa diri.

Memang, saat kita mau naik tingkat tuh ada saja rintangannya. Terpenting, insyaallah aku tidak menyesal telah mengambil keputusan ini.

Selamat tinggal gaji daerahku, selamat tinggal karier yang cemerlang, sampai jumpa Kawan-kawanku wiyata bakti, Kawan pejuang PPG dalam jabatan, Kawan tim pembuat soal PTS dan PAS.

Yah, semua memang harus kumulai dari nol lagi. Aku percaya, mutiara itu akan tetap berkilau di manapun dia berada. Semoga Allah memberikan kesempatan yang lebih baik lagi untukku. Bisa, kok, bisa! Tak ada yang harus dikhawatirkan. Allah ingin aku haus untuk belajar lagi. Tidak puas sudah jadi guru yang seperti ini. Terakhir, Allah tak suka aku berada di zona nyaman. Karena aku akan jadi orang yang sombong.