Senin, 23 September 2019

Apakah Perempuan Harus Bisa Memasak Sejak Sebelum Menikah?


Ehm, kalau menurutku tidak.

Tapiiiiii, paling tidak, setidak-tidaknya lah, ya, jangan sampai babar blas alias sama sekali tidak tahu tetek bengek soal dapur.

Yah, punya modal pengetahuan eh ini kunyit, garam, gula pasir, ketumbar, kemiri, ini panci, kompor, hahahaha.


Bisa makan bersama dengan keluarga itu nyenengin banget. Apalagi kalau mereka suka dengan masakan yang kita buat.

Tulisan ini berawal dari komentar tetanggaku yang sama-sama punya anak tunggal dan perempuan pula. Posisinya kayak ibuku, sama-sama punya anak tunggal yang sudah berumah tangga tapi masih satu atap.

Beliau main ke rumah saat aku hendak memasak untuk makan siang.

Soto buatanku memang belum seenak buatan ibu.


"Kamu malah bisa masak." Begitu komentarnya saat melihatku membungkus ikan pindang untuk kubuat pepes kemangi.

"Hahahaha. Kalau nggak aku, siapa lagi, Dhe. Kasihan ibu, pulang, capek dari pasar harus masak." Jawabku.

"Iya. Nggak kayak Fatus (anaknya). Masak ora iso (nggak bisa)."

Aku tak menyahut. Mulutku terkunci dan tanganku asyik menusukkan lidi ke daun pisang.

Dalam hatiku, dulu aku sama sekali tidak bisa memasak.

Dari situlah aku punya anggapan, kalau sebelum menikah, perempuan tidak harus bisa memasak. Buktinya adalah aku.

Saat masih lajang, aku benar-benar tak bisa memasak. Semasa kuliah aku hanya bisa memasak mie instan. Karena jarang di rumah, sehari-hari harus berkutat di kampus dan TK (mengajar di TK), kemudian ibuku adalah seorang ibu rumah tangga, yang ada aku hanya jadi tukang makan doang.

Soal perbumbuan, aku kenal sejak SD. Karena suka main masak-masakan (suka ngambil bahan-bahan dapur ibu) dan aktif di pramuka (karena terpaksa tuntutan nilai). Sudah, karena itu aku tahu mana bedanya ketumbar dan merica, mana kunyit mana kencur.

Lulus kuliah, jeda dua bulan setelah wisuda aku langsung menikah. Mana ada acara kursus memasak. Hahaha. Aku justru heboh mempersiapkan pernikahanku yang serba 'aku' semua. Bikin undangan sendiri, ditambah siang malam berkutat dengan souvenir pernikahan.

Lebaran kemarin aku bikin nastar sendiri. Belajarnya, ya, dari internet.

Sumpah, nggak ada waktu untuk kursus memasak. Toh, tak ada dana untuk itu.

Kini, meskipun tak pandai-pandai banget, aku bisa memasak. Terkhusus makanan kesukaan suami.

Hahaha.

Santai, masakan kesukaan suamiku mudah banget kok buatnya, cukup didihkan air, kasih garam dan gula, kemudian masukkan mentimun. Itu namanya plonco.

Ditemani dengan ikan asin hangat dan sambal terasi, suami sudah hepi dan lahap makanannya.

Masak begitu doang, sudah diganjar pahala sama Allah, pun suami benar-benar merasa diperhatikan. Soalnya menu makanan itu tidak ada yang suka di keluargaku. Kalau bukan aku yang buatin, siapa lagi?

Sampai sini, aku percaya kalau keadaan akan 'memaksa' seseorang mau belajar memasak setelah menikah. Demi siapa? Suami dan nantinya akan ditambah dengan anak.

Masih tentang keadaan, semenjak ibuku jadi ibu pekerja alias ikut ke pasar bapakku, mau tidak mau kalau ibu tidak sempat memasak karena capek, ya, aku yang memasak.

Awalnya, bapakku komplain, jelas, rasa masakanku kalah enak dibandingkan masakan ibuku yang endol markendol. Tapi, mau bagaimana lagi, ibuku terlalu capek.

"Asin, Ka, sambalmu."

"Sayur beningmu kurang garam."

"Rasa gudegmu nggak ngalor nggak ngidul (nggak jelas)."

Dulu, pas awal-awal memasak, komentar-komentar seperti itu sering banget kuterima dari bapak dan ibu. Apakah aku sakit hati? Jelas. Sudah capek-capek masak, malah dipaido, siapa yang tahan?

Lagi-lagi karena keadaan. Kalau aku ngambek nggak mau masak, siapa lagi yang mau masak?

Biki sambal pecel yang puedeeeessss

Akhirnya aku banyak lihat resep-resep di Mbah Google, nonton video memasak di Youtube, dan nggak sungkan untuk tanya sama ibu walau sering diejek. Hahaha.

Alhamdulillah, kini, setelah terjun ke dapur selama 2 tahun lebih, yaaa, masakanku nggak separah dulu lah. Aku juga sudah bisa bikin kue ulang tahun Kak Ghifa awal bulan lalu. Komentar yang makan sih, sukses kue ulangtahunnya. Sampai-sampai lupa difoto karena ludes duluan.


Semua modalnya hanya satu, terdesak. Kalau sudah terdesak, kita akan mau belajar. Setelah belajar, kok nggak enak, mau belajar lagi. Namanya juga belajar, sekali dua kali memasak, kalau belum endol markendol, ya, wajarlah.

Kamu, bagaimana, sependapat nggak sama aku? Atau mungkin kamu ada cerita lain? Kapan kamu bisa memasak? Apakah sudah jago memasak sebelum menikah? Atau mungkin punya cerita unik serupa? Bisa tuh tulis juga di blog kamu, insyaallah aku akan berkunjung. Jadi, jangan lupa japri aku, ya!

Terakhir, yang ada rencana segera menikah, jangan sampai mundur karena perkara belum bisa memasak, ya. Learning by doing saja. Semua bisa diobrolin kok sama si dia. Ihiiirrr.

2 komentar:

  1. Aku ga suka masak. Hihihi Ibuku ga bisa masak, aku dl pas kecil pernah coba masak, dan ayahku melihat masakanku dg jijik. Beliau agak OCD. So yeah.... Aku tumbuh jd wanita yg ga suka masak.

    Lain dg adikku yg ttp "ngeyel" dan akhirnya jago masak.

    Soale aku klo masak, jd ga mau makan. Capek dan eneg duluan. Dulu awal nikah, 2 minggu anjlog 8 kg krn masak dan ga mau makan. Cara diet yg sangat sesat. Wkakaka

    Akhirnha suami mengultimatum aku ga boleh masak.
    Paling seminggu sekali. Itu pun dg konsekuensi,hbs masak aku beneran ga makan. Ahahhaa
    Aq bersyukur dpt suami yg pengertian bgt.

    BalasHapus
  2. Aku bisa masak setelah kuliah, awalnya terpaksa. Karena kalau beli suka ngabisin jatah. Setelah kembali ke rumah, kemampuan tidak digunakan. Daripada bentrok "kepentingan" sama koki terkenul di rumah, mending bagian makan. Wakakakak...

    BalasHapus