Jumat, 28 Februari 2014

Baju Kreditan

Di tempat kamu ada orang yang suka menawarkan pakaian kreditan? Ambil barang dulu, bayarnya per hari, per minggu, atau kadang per bulan. Kalau sudah lunas bisa ambil lagi, kadang ada yang belum lunas sudah ambil lagi. Hihihi. Di tempatku lagi moncer lagi nih.

Kemarin sore, tadi pagi, wah...pada datang semua. Rumahku jadi salah satu tempat pemberhentian ibu kredit (penjual pakaian kreditan). Dagangannya disebar sana-sini kemudian ibu-ibu di sekitar rumah pada nimbrung. Ramai banget pokoknya. Aku juga suka sekali ikutan nimbrung, nggak selalu beli sih, tapi ikutan heboh sana-sini.

Berbagai macam baju ada, ada selimut, handuk, sarung, dsb. Kita juga bisa pesan terlebih dahulu. Mau model kayak apa, harganya kisaran berapa, dan tentunya bayarnya bisa dicicil. Ada yang Rp 10.000/angsuran, Rp 20.000/angsuran, macam-macam-lah. Aku sendiri kemarin pesan baju gamis, tapi yang bayar ibu. Hahaha. Belum ada barangnya, jadi nunggu dulu, entah kapan lagi datangnya.

Mengenai harganya? Ehm, ada juga yang cocok, tapi ada juga yang wow, 2x lipat dari harga seharusnya apabila kita beli dengan uang kontan. Namanya juga kredit ya, kadang minggu ini bayar, minggu depannya bayar, eh dua minggu selanjutnya libur. Kasihan kan ibu kredit. Kalau mau murah ya bisa beli langsung di toko ya? Dari beberapa barang yang dibawa ibu kredit, ada satu hal yang tidak aku temukan, kerudung. Ibu penjual tidak pernah bawa, kalau ada kan aku bisa juga ikutan kredit. Loh...

Enaknya membeli di ibu kredit itu ya pasti kita tak perlu mengeluarkan uang kontan dalam jumlah banyak, istilahnya uang bisa diolor-olor untuk keperluan yang lain. Eh, eh, eh, ada untung pasti ada uginya juga lho. Apa hayo? Seringkali baju yang kita beli di  ibu kredit itu banyak yang punya, kembaran gitu. Nah, kalau mau beli di ibu kredit pintar pilah-pilah ya? Selamat belanja.

Kamis, 27 Februari 2014

Bonus Kuota Internet dari Indosat


Semenjak SMP, aku sudah pakai kartu prabayar IM3 dari provider Indosat. Tapi sering ganti-ganti nomor, untuk nomor handphone yang sekarang kira-kira baru 3 tahun. Alasan memilih kartu prabayar ini salah satunya karena bonus SMS yang ditawarkan (dulu). Meskipun sekarang bonusnya tak sebanyak kartu prabayar lainnya, tapi salah satu programnya yang Ce-Esan membuatku nyaman untuk setia menggunakannya. Setelah 3x kirim SMS aku bisa SMS-an sepuasnya dengan dia. Alasan lain, kartu prabayar ini sinyalnya lumayanlah kalau diajak jalan-jalan.

Sebulan aku paling banyak menghabiskan pulsa handphone sebesar Rp 50.000, Rp 25.000 untuk paket internet dan setengahnya lagi untuk SMS atau telepon. Selain program Ce-Esan, program yang saat ini aku suka banget dari Indosat adalah paket internet yang Rp 25.000/6GB. Tapi sayang, program itu akan berakhir 31 Maret 2014 ini.

Tiga tahun berlangganan bisa disebut pelanggan setia?

Semalam dapat SMS dari Indosat yang memberitahukan aku mendapat bonus kuota internet dari Indosat sebesar 200 MB sebagai apresiasi karena aku telah setiap pada provider ini. Ciieee...Alhamdulillah, lumayanlah ya dapat tambahan kuota internet. Aku pun segera cek di *363*77#, dan ternyata memang benar, aku mendapat bonus kuota internet dari Indosat.

Tadi pagi, saat beres-beres meja belajar, aku cek baterai handphone yang satunya. Eh, ada SMS. Aku baca. Ternyata ada pemberitahuan juga kalau nomorku yang satu ini (Indosat-Mentari) juga dapat bonus kuota internet dari Indosat. Padahal nomor tersebut belum ada satu bulan lho. Nah, apakah kamu juga pengguna kartu prabayar dari Indosat? Dapat bonus kuota internet dari Indosat juga? Selamat ya? Semoga bermanfaat dan buat Indosat jangan sungkan-sungkan kalau mau bagi bonus kuota internet setiap hari, eh, setiap buan juga nggak masalah. Terimakasih Indosat.

Rabu, 26 Februari 2014

Curhat Rasa ‘Setan’ Seputar Skripsi

Aku mulai dari mana ya? Bingung.
Saat aku menulis postingan ini, TV sedang menontonku mengerjakan validasi penelitian yang seharusnya sudah aku kerjakan duluuu banget. Ngapain aja selama ini? Kebanyakan nge-blog? Bantuin bapak ibuk?

“Kebanyakan alesan!”

Semangatku untuk mengerjakan skripsi ini mulai muncul, sekalipun sangat minim. Kemalasanku, terlalu banyaknya alasan karena ini dan itu tak akan merubah kenyataan kalau skripsi ini akan kelar sendirinya.

Jumat, 21 Februari 2014

Hidupkan Kembali Facebook FLP Kudus

FLP itu ada di setiap daerah ya? Sebut saja per kabupaten. Buku karya FLP juga sangat banyak. Sangat produktif. Itulah pikirku saat pertama kali menemukan beberapa buku di toko buku dengan sampul belakang bertuliskan FLP Jogja, FLP Pati, dsb.

“Kalau setiap daerah ada, di Kudus pasti juga ada.” batinku.

Kemudian aku searching di facebook dengan keyword FLP. Banyak sekali yang muncul, ku scroll ke bawah, ku cari FLP Kudus. Gabung.

Berbulan-bulan gabung di FLP Kudus, tak ada apa-apa. Ku putuskan untuk searching FLP lagi. Pilihan jatuh pada FLP daerah lain yang sifatnya grup terbuka. Aku bisa melihat-lihat postingan di wall grup tersebut. Ada yang berbeda di sini, tiap anggota sangat aktif untuk memposting karyanya dan anggota lain memberikan masukan atas karya temannya. Ada juga info-info pembuatan antologi (pertama kali aku tahu antologi itu apa ya dari menyelinap di grup FLP), dan acara kopdar-an untuk membedah suatu buku. Wah, ini asyik banget. Aku yang notabene baru belajar mengenal dunia menulis kalau ada feedback yang baik dari teman lainnya akan semakin membuatku semangat untuk terus belajar, dan belajar.

GA dari Hayano-Lokoggaya


Berkali-kali ikutan GA di blog Hayano Handmade, berkali-kali juga belum beruntung? Ah, sama. Terus kamu mau nyerah gitu aja? Jangan! Kali ini Hayano menggandeng Lokoggaya ngadain giveaway lagi lho. Asyiiikk....

Siapa tahu kali ini kita yang beruntung? Aamiin. He :)

Kamis, 20 Februari 2014

Bahayanya Koran Bekas Pembungkus Gorengan

Masih ingat postinganku yang berjudul “Untuk Para Penikmat Es Teh”? Ah, belum juga hilang rasa heranku, kini aku menemukan lagi kecurangan dari penjual gorengan. Terlepas dari prasangka kalau penjual itu sengaja atau tidak untuk mencari keuntungan, secara jelas koran bekas memang tidak seharusnya digunakan sebagai pembungkus gorengan. Koran yang seharusnya mendapat giliran untuk digiling dan diproses menjadi kertas lagi justru malah menjadi pembungkus gorengan.

Tempo hari, ibu menawarkan gorengan yang disebut tahu mercon. Tahu ini seperti gorengan tahu isi biasa akan tetapi isinya bukan kol dan wortel melainkan irisan jamur yang sudah dicampur dengan bumbu. Nama mercon diberikan dengan dalih rasanya pedas yang cetar seperti mercon. Padahal kalau di mulutku tak pedas-pedas amat. Ibu juga sependapat. Tapi lumayan lah, kan gratisan.

Rabu, 19 Februari 2014

Sikap Saling Menghargai


Bermula dari SMS teman yang memintaku untuk menggantikannya mengisi acara di suatu kampus. Sebelum memutuskan ya, aku meminta pertimbangan beberapa orang termasuk ibuku. Semua bilang oke, maka aku menyetujui tawaran temanku itu. Itung-itung menyalurkan hobiku.

Ika mendongeng untuk anak-anak PAUD
Sehari kemudian ada yang SMS, kusebut si A, "Mbak, bisa mengisi dongeng di acara ini?" Aku tanyakan beberapa hal berkaitan dengan kegiatan tersebut, seperti tema, jumlah audience yang datang, dan yang dikehendaki nanti aku mendongeng untuk siapa. Dari beberapa pertanyaan yang aku tanyakan yang pasti jawabannya hanya target mendongengku nanti adalah anak TK. Oke.

Aku bertanya lagi, "Acara itu kapan?" Si A menjawab awal bulan Februari. Wah berarti masih lama ya. Sekitar sebulanan, batinku. Satu minggu dari SMS tersebut, si A meminta ketemuan. Baiklah, akhirnya aku pergi ke kampus tersebut dengan tujuan ya bertemu dengan si A. Aku parkir motorku dan kemudian mengambil handphone hendak menghubungi si A untuk menanyakan di mana posisinya.

Senin, 17 Februari 2014

Host di Dangdut Academy Indonesia

Dangdut itu bukan lagi musiknya wong deso. Dangdut kini telah merajai segala kalangan. Salah satunya kalangan di keluargaku. Setiap malam pasti ada suara penyanyi dangdut yang keluar dari si kotak ajaib, televisi.

Pasti tahu ya acara lomba menyanyi lagu dangdut di Indosiar, Dangdut Academy Indonesia. Mau tidak mau aku yang bukan termasuk penikmat lagu dangdut (suka goyang-goyang juga sih, he) nonton juga. Dari 3 penghuni rumah yang 2 nonton acara tersebut, aku ya ikut juga nonton. Ada yang nonton juga?

Setelah seminggu acara ini berturut-turut tayang di televisi, ada satu poin yang jadi sorotanku. Host atau pembawa acara tersebut. Ini memang sengaja ganti tiap harinya? Awalnya dulu Rina Nose dengan Ramzi, kemudian Ramzi sendirian, ganti lagi Bianca, dan terakhir aku lihat adalah Irfan Hakim.

Tersengat Semangat

Rasanya sedikit hopeless ketika diminta oleh dosen pembimbing untuk merubah total bab 4 ku. Huh, ini mengerjakannya sampai nggak tidur lho, Bu! Halah, lebay. Semua pejuang skripsi normalnya juga seperti itu, mungkin. Tapi mau nggak mau aku harus mengerjakannya.

Parahnya lagi beliau memintaku untuk menyamakan dengan teman yang juga bimbingan dengan beliau. Kalau sudah sesuai format di buku panduan tapi cara penyampaiannya beda kan nggak papa. Halah, idealisnya keluar. Nurut dosen pembimbing saja lah. Mau lulus April 2014 nggak?

Minggu, 16 Februari 2014

Blogger dan Skripsi

Untung aku ini blogger. Halah, jadi blogger baru beberapa bulan saja sudah sok. Ya, paling nggak untung diakui sebagai blogger, aku selalu berusaha konsisten lah untuk posting tulisan di blog ini.

Blogger yang aku maksud dalam postinganku ini adalah blogger tulen ya. Bukan blogger yang hanya copy paste dan menggandakan postingan sampai 10 kali dengan kalimat yang diacak, apalagi blogger yang gila banget mencari uang dari blog dengan cara yang menurutku kurang layak. Bagi kamu yang blogger tulen, selamat ya?

Selamat juga untukku. Untung aku mengenal dunia blogger. Menjadi seorang blogger itu sangat luar biasa. Betul kan? Banyak sekali manfaat yang bisa aku petik dari dunia blogger.

Sabtu, 15 Februari 2014

Selangkangan di Blog Mak Pungky

Belum genap sebulan aku follow blog-nya Mak Pungky yang centilnya amit-amit *kabur tapi pesonanya sungguh cetar membabi buta. Kamu juga mau merasakan pesonanya? Kenali sosoknya di galaksipungky.blogspot.com.

Sudah berkunjung? Coba tengok deh sebelah kiri. Ya, coba tengok! Di bagian ARCHIVE! Nyolok mata banget waktu aku lihat ada tulisan “SELANGKANGAN”. Secara kasat mata pasti akan langsung berasumsi, ini nama kok sensual dan fenomenal banget ya? Kalau ada cabe-cabean dan terong-terongan lewat, pasti langsung di klik. Hahahaha.

Aku klik deh itu SELANGKANGAN (cabe-cabean dong aku? Bukan!). Apa yang aku temukan? Postingan dengan judul “Petualangan Finansial Pekerja Seks Komersial”, wow. Aku semakin penasaran apa yang Mak Pungky sampaikan di sana. Ku tarik scroll ku perlahan, ku baca, ku pahami, dan ku eja secara pasti. Tak lebih dari 15 postingan yang aku temukan di sana.

Luar biasa, melalui SELANGKANGAN aku kenal Mak Pungky dari sisi yang lain. Begitu cerdasnya dia menyampaikan arti vagina, keluarga, aborsi, cinta, anak papa, mahasiswa, sampai pada PSK. Semuanya dilengkapi dengan foto-foto yang SELANGKANGAN banget. Satu postingan yang sangat menghenyakkanku, sebut saja judulnya, “PSK, Mahasiswa, dan Bahagia”.

Foto ini nyuri di FB Mak Pungky
Dengan judul seperti itu, ada ribuan tanda tanya dalam otakku, apa maksudnya? Hah, lagi-lagi ini bukan postingan biasa. Membuka mata hatiku lebar-lebar akan pentingnya memiliki keluarga dan lingkungan yang lebih membahagiakan dari seorang PSK. Postingan ini mengingatkanku pula pada walikota Surabaya yang sangat ramai di perbicangkan setelah tampil di acara Mata Najwa. Ya, aku harus bersyukur karena aku bukan seorang PSK. Bukan PSK yang pernah diceritakan oleh Bu Risma, hidup sampai menua dengan profesi sebagai PSK dan memungut uang Rp 1.000 untuk sekali main. Astaghfirullah...

Aku patut bersyukur...

Kembali ke SELANGKANGAN. Sayang seribu sayang, ku perhatikan postingan untuk label ini tidak menjadi prioritas utama Mak Pungky. Hal itu tampak dari tanggal postingan yang berjarak sangat jauh. Padahal kalau label ini ditekuni lagi, akan ada banyak orang yang akan menantikan kapan, dan kapan postingan akan segera dipublish. Ku sebut postingan ini akan punya fans tersendiri.

Bahasa yang khas, perlu imajinasi yang kuat, dan kerutan pada kening menjadi jurus jitu membaca postingan di SELANGKANGAN. Ah, kalau cabe-cabean pasti langsung di skip deh. Hahaha, yakin!

Yuk, Mak Pungky menulis lagi untuk SELANGKANGAN. Oya, selamat ulang tahun dan cayooo masuk 10 besar SB2014. Selamat berjuang, Mak!

Aini

Mata sipit, kulit sawo matang, tinggi badan sama-lah denganku, satu hal yang selalu aku ingat darinya adalah kesetia-an menjaga diri dengan jilbabnya yang syar’i. Pertama aku tahu dia kapan ya? Saat semester 3 deh. Dia mengalihkan pandanganku karena jilbabnya yang syar’i.


“Subhanaallah, kapan aku bisa seperti dia?” itulah ekspresi pertamaku saat melihat dia. Maklum, kami memang satu angkatan. Tapi dia kelas A sedangkan aku kelas D. Jadwal kuliah kami sangat padat, jadwal pagi di gedung A, jadwal siang di gedung Z. Jadi ya hanya tahu saja dia itu anak kelas A, itu juga tahu dari seragam kelasnya.

Apakah kamu percaya dengan kekuatan pikiran? Ya, aku dulu pernah berpikir kapan ya aku bisa berkenalan dengan dia. Dan ternyata Allah mengabulkan. Aku bertemu dengannya di kelas keterampilan komputer. Semenjak hari pertama perkuliahan itu, aku tahu namanya. Panggil saja namanya Aini.

Seminggu sekali kita bertemu di kelas keterampilan komputer. Di kelas ini dari semua progam studi kumpul jadi satu. Mungkin karena dari program studi yang sama dan di kelas ini paling sedikit jumlahnya, dia sering duduk di kursi sebelahku. Kami mulai sedikit akrab. Ketika bertemu di luar kelas keterampilan komputer dia selalu menyapaku lebih dulu, “Assalamualaikum, Icha. Apa kabar?” sambil cipika-cipiki. Seperti itu terus.

Aini, lama tak pernah bertemu dengannya, aku dibuat shock dengan adanya kabar kalau dia baru pulang dari rumah sakit. Dia mengalami kecelakaan yang cukup parah. Ceritanya dia kecelakaan di samping kampus, tulang di bagian pahanya ada yang patah sehingga dia harus dioperasi. Karena kesibukan PPL di SD dan mengurus proposal skripsi tak ada pikiran untuk menjenguknya, ada sekelebat keinginan untuk SMS dia tapi aku takut kalau justru mengganggu. Jangan ditiru ya?

Aku tahu kabar dia selanjutnya dari teman PPLku dulu yang kebetulan teman sekelas Aini. Aini mengambil cuti untuk kuliah semester 7 kemarin. Aku masih tak berani SMS dia. Apalagi saat aku mendengar kabar kalau dia ngambek tidak mau berlatih berjalan karena ditinggal abah dan uminya mengantar jamaah yang pergi umroh.

“Kuatkah aku jika aku ada di posisi Aini?”

Suatu ketika HP ku berbunyi, ada nama Aini di sana. Masyaallah, dia yang justru menanyakan kabarku, selama ini aku kemana ya? Kenapa aku tak berani SMS dia dan menanyakan kabarnya, terlebih lagi kalau memberikan semangat kepadanya. Sayangnya, SMS-an kami tak lama. Dia tiba-tiba menghilang.

Hari ini rasanya Allah merangkulku. Tak pernah membayangkan sedikitpun kalau hari ini (14 Februari 2014) aku bisa bertemu Aini di kampus. Setelah hampir 2 semester aku tak melihatnya.

“Aini....” sapaku.
“Icha...” dia datang menghampiriku dengan tampilannya yang khas. Perempun yang selalu mengenakan pakaian syar’i.
“Assalamualaikum Icha... Apa kabar kamu?” kami bersalaman dan cipika-cipiku.
“Alhamduillah Aini... Kamu sudah sembuh Aini?” pertanyaan bodoh meluncur dari mulutku.
“Iya, Cha. Pas aku di rumah sakit, kamu kok nggak datang?” mak deg hatiku. Segitu pentingkah kehadiranku baginya? Ya Allah, aku ini bukan teman yang baik.
“Maaf Aini, aku baru tahu kabar kamu pas kamu sudah pulang.”
“Iya, nggak papa, Cha.”

Kami mengobrol sebentar. Tampak di sebelahku juga ada seornag perempuan, mungkin kakaknya. Aini ke kampus diantar oleh kakaknya. Ya, karena Aini masih sedikit kesulitan untuk berjalan. Di sela-sela obrolan kami, ku lihat Aini menahan rasa sedihnya. Tampak matanya berkaca-kaca. Sebelum air mata itu tumpah, Aini minta pamit padaku.

“Semangat ya! Aini kuat.” dia meninggalkanku bersama lenyapnya salam yang diucapkannya.

Aini, kamu pasti kuat. Ya, kamu kuat.

Jumat, 14 Februari 2014

Yuk, Berani Mencoba Hal Baru


Tempo hari, aku memposting status di akun facebookku, seperti di bawah ini bunyinya. Postingan tersebut tak lebih hanya untuk memperingatkan diri sendiri. Ya, agar aku tak takut untuk mencoba hal baru.

Status 12-02-2014
Aku memang tipe orang yang sangat takut untuk mencoba hal yang baru. Mungkin ini adalah imbas dari sifatku yang selalu perfeksionis. Semua harus tampak sempurna dan aku harus paling yang terbaik. Jadi, ketika ada hal baru dan aku harus mencoba rasanya sangat takut.

Seperti kemarin saat aku harus membayar uang kuliah di bank. Kampus memang membuat sitem baru untuk pembayaran uang kuliah. Dulunya dengan cara manual, antri satu per satu di kampus. Ya, dengan adanya sistem baru ini cukup menguntungkan. Tapi...

Karena posisi rumah yang jauh dengan kampus dan tak ada kuliah, rasanya eman kalau ke kampus hanya untuk membayar uang kuliah. Rugi waktu, tenaga, dan pastinya materi. Nah, ada teman yang tiba-tiba BBM, “Buk, kamu nggak usah ke Kudus. Kirim lewat bank situ aja. Nanti aku fotoin slipku.”

“Loh nggak papa to? Nanti kalau nggak bisa gimana? Uangku hilang dong.” selidikku.
“Bisa-bisa, Buk. Kan kayak transfer biasa.”
“Lah, aku tek takut e.”

Sistem kepepet, inilah yang paling jitu membunuh ketakutanku. Ibu sudah mendesakku untuk segera membayar uang kuliah. Takut kalau lama-lama dipegang malah luntur sedikit demi sedikit. Oke, mau nggak mau aku memang harus segera pergi ke bank.

Otakku berputar-putar menyusun skenario segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Bismillah aku berangkat ke bank dan memastikan terlebih dahulu ke satpam kalau bank tersebut memang melayani pembayaran uang kuliahku.

“Oiya, Bu, bisa. Bisa dikirim lewat bank ini.” (dipanggil ibu, hehehe)

Lega rasanya. Kemudian aku mengisi slip setoran yang telah disediakan. Pelan-pelan aku mengisi slip tersebut (katrok banget, haha..). Saking pelannya, satpam bank tersebut mendekatiku lagi, “Ada yang saya bantu lagi, Bu?”

“Eh, tidak, ini sudah mau selesai kok.” jawabku kaget.

“Kalau sudah ini nomor antriannya dan silahkan ke teller. Terimakasih.”

Tanpa menunggu lama, aku langsung menuju ke teller. Keadaan bank ini masih sepi. Jadi, aku tak perlu menunggu lama.

“Assalamuaaikum, ada yang bisa saya bantu?” sapa teller cantik berjilbab hijau.

Ku utarakan maksudku dan segera teller tersebut memproses setoranku. Tak lebih dari 5 menit setelah memastikan pengirimanku, done! Oalah, cuma kayak gini aja to prosesnya? Kenapa tidak dari kemarin-kemarin ya?

Aku keluar dari bank dengan senyum lebar. Kalau takut mencoba hal-hal baru ternyata justru akan membuatku tak maju. Salah diawal kan lumrah ya, koreksi dan selanjutnya harus lebih berhasil.

Ada juga yang sepertiku? Takut melakukan hal baru? Ah, jangan hanya dipikir hasilnya saja. Prosesnya itu lho yang sebenarnya memberikan pelajaran penting. Jangan sampai karena takut kita ketinggalan dari teman-teman yang lainnya. Yuk, berani mencoba hal baru!

Kamis, 13 Februari 2014

Mulia Sekali Cita-Citamu, Nak

“Aku ingin jadi Romo, Mbak.” Kata Nicho
“Romo?”
“Iyaa..” Nicho meyakinkanku.

Anak se-usia Nicho (12 tahun) ingin menjadi Romo. Luar biasa. Bagaimana tidak, ketika yang lainnya mengagungkan cita-cita sebagai dokter, polisi, ataupun guru, dia justru bercita-cita sebagai Romo. Dari cerita Nicho, Romo itu ternyata seperti kiai dalam agama Islam.

***
Cita-cita adalah keinginan seseorang yang tertanam dalam pikiran. Akan ada usaha yang dilakukan seseorang untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Bahkan ada yang rela melakukan hal-hal yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Misalnya, artis di negeri ini, sebagian ada yang rela melakukan operasi ini dan itu demi mewujudkan cita-cita mereka untu menjadi artis yang terkenal.

Kembali ke cita-cita. Selain ada yang berusaha, ada juga yang hanya nyonggo uang saja. Ingin jadi A tapi tak ada gerak. Ingin jadi B, tidur-tiduran saja. Halo? Move! Lakukan yang terbaik untuk menggapai cita-cita kamu.

Suatu sore saat aku menemani Nicho belajar.
“Beneran Nicho mau jadi Romo. Nggak pengen jadi dokter atau polisi gitu?” dia hanya menggeleng.
“Memangnya Nicho sudah tahu bagaimana caranya kalau jadi Romo?” dia langsung menerangkan garis besar tata cara jadi Romo sesuai apa yang dia tahu. Aku hanya manggut-manggut.

Disaat usiaku sama dengan Nicho, ketika aku ditanya cita-citaku apa, aku hanya jawab, “Jadi guru.” Itupun berubah-ubah ketika ada teman yang punya cita-cita yang lebih bagus. Hehehe, masih kayak lintang ngaleh gitu. Meskipun sekarang insyaallah akan jadi guru, bukan guru saja tapi guru yang juga aktif menulis.

Bagaimana dengan Nicho? Ini adalah kali kedua aku bertanya cita-citanya. Dulu waktu kelas 5 dia pun menjawab dengan tegas ingin menjadi Romo, sekarang sudah kelas 6 pun jawabnya sama. Terlepas apa agama dia dan apa agamaku, aku hanya bisa memotivasinya untuk menggapai cita-cita mulia dia.

“Nicho kalau mau jadi Romo harus rajin belajar.”
“Aku tahu Mbak, kalau nanti aku jadi Romo, terus akunya bodoh mana ada umatku yang percaya.” jawab Nicho.
“Hehehe,” kami tertawa bersama.

Selasa, 11 Februari 2014

Iri

Pernahkah kamu merasa iri? Iri dengan sesuatu yang tak jelas. Iri pada sesuatu yang tak seharusnya kamu timpa dengan rasa iri.

Tahu nggak bentuk iri itu seperti apa? Iri itu seperti ribuan cacing kremi yang berdesak-desakkan (ala aku). Menurut kamu?

Apa yang kamu rasakan? Rasanya ‘iri’ itu begitu menyakitkan ya? Sangat. Terlebih saat tak mampu mengendalikannya. Kekuatan Allah Yang Maha Dahsyat yang sering terucap dalam lisan “Astagfirullah...” saja masih memporak-porandakan semuanya.

Kemudian apa yang harus dilakukan? Mencari ujung atas nama iri? Sering kucari tapi sulit ku kenali yang mana ujungnya? Ah, letaknya hanya di sini. Ya, di sini. Di dalam dadaku, dadamu juga.

Tak bisakah kammu menyentuhnya? Aku belum mampu. Imanku, ya imanku yang terlalu lemah. Jika kamu bisa menyentuhnya, imanmu tularkan padaku ya?

Kapan Kamu Menikah?


Judulnya buat kamu nyesek ya? Apa kesindir habis-habisan? Sudahlah biasa saja. Aku ini lho biasa aja (yang bener?) meskipun setiap hari ada yang nanya, “Lho adiknya mau nikah, lha mbakyune kapan?”

Adik keponakanku yang usianya satu tahun di bawahku rencananya April nanti akan menikah. Biasa lah, hidup di desa kabar seperti itu akan selalu cepat beredar mengalahkan kecepatan cahaya yang mencapai 299.792.458 meter per detik. Kabar yang pasti akan berujung dengan bumbu-bumbu pemanis dan mrembet ke mana-mana.

Sebenarnya aku patut ‘panas’ hati nggak? Nggak! Toh aku kan juga bukan kakak kandung dia. So, kalau dia mau menikah terlebih dahulu kan tak masalah. Tapi ya itu tadi, mulut para tetangga itu lho yang membuat pedas telingaku.

“Nanti kalau waktunya sudah datang juga menikah. Saya masih kuliah, biar wisuda dulu. Kasihan bapak dan ibu kalau saya belum wisuda sudah menikah. Paling tidak saya ingin bapak dan ibu merasakan keberhasilannya menyekolahkan saya. Kalau sudah ada suami kan beda rasanya.”

Itulah jawabanku setiap kali ada yang bertanya, “Kapan kamu menikah?” Panjang memang, tapi paling tidak bisa menutup mulut tetangga. Sebenarnya pertanyaan itu tidak hanya datang kepadaku, kepada ibu juga. Setiap kali berkumpul dengan tetangga atau sedang arisan pasti ditanya, “Lha Ika kapan, Mbak?”

Sesampainya di rumah ibu pasti langsung mengadu padaku. “Mbak itu lho tanya kapan kamu nikah... Mbak ini lho tanya juga, Mbak sana, Mbak sini...” Kalau ibu mengadu seperti itu kadang aku hanya guyoni, “Lha kapan, Bu?” Seringnya ya hanya nyengir dan mesam-mesem.

Ibu mengadu padaku, aku mengadu kepada dia. Dia malah jawab, “Lha sekarang aku juga siap.” Aku pasti langsung ngamuk. Menurutku dia itu terlalu baik, di usianya yang sudah kepala 3, dia tetap setia menungguku sampai wisuda. Aku yakin dia lebih sering mendapati pertanyaan-petanyaan seperti itu. Ah, bersabarlah calon imamku..

Hebatnya lagi, justru dia yang selalu menguatkan aku setiap kali aku lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan tetangga yang sepele tapi bikin nyesek. Hahaha. Akhirnya ngaku juga. Nyesek dalam artian kok cerewet banget sih mereka. Sebeneranya mereka cerewet ada landasannya. Perempuan yang seusiaku, tinggal beberapa saja di sini. Sudah banyak yang menggendong baby. Parahnya lagi, murid TK di tempatku ngajar ada yang anaknya teman SD ku dulu lho. Huh, biasa aja *sambil kipas-kipas

Ah, sudahah. Lupakan tetangga, ini hidup-hidupku. Kalau aku nggak bisa makan, mereka kan nggak mau tahu juga. Benarkan? Sekarang fokus saja pada skripsi, dan lanjut berkarya, OK.

Aku jadi mikir, aku saja yang sudah ada calonnya geremetan mendengar bisik-bisik tetangga. Nah, yang belum ada pasangan terus seperti apa? Hah! Siapapun itu, tenang saja Allah pasti sudah menyiapkan jodoh untuk kamu. Tinggal nunggu waktunya saja. Jangan tanya kapan ya? Sudah, sudah, yuk, sebelum jodoh itu datang kita perbaiki dulu diri kita! Agar nanti lebih siap mengarungi bahter rumah tangga yang samara. Aamiin.

Senin, 10 Februari 2014

Si Bungsuku Tumbuh Juga

Belum menikah kok bilang si bungsuku tumbuh juga? Ah, ini bukan baby ko, ini tentang gigi. Ya, gigi bungsu. Ada yang belum tahu gigi bungsu itu gigi apa?

Gigi bungsu itu adalah gigi geraham ketiga atas dan bawah. Jadi, ada empat gigi bungsu yang kita miliki. Disebut gigi bungsu karena tumbuhnya paling terakhir dan biasanya tumbuh pada usia sekitar 17-25 tahun.

Sumber gambar di sini
Nah, sudah hampir seminggu ini gigi bungsuku tumbuh. Kok lama banget? Iya, dulu waktu gigi bungsuku yang sebelah kiri bagian bawah tumbuh juga lama. Sakitnya juga sama. Sakit? Iya, selain sakit selama gigi bungsuku tumbuh, ada juga efek sampingnya, seperti:
  1. Pusing ringan
  2. Badan seperti masuk angin, meriang gitu
  3. Gusi sakit
  4. Tumbuh sariawan
  5. Nafsu makan berkurang
  6. Bau mulut kurang sedap
  7. Saat pagi hari, susah membuka mulut

Kalau sudah seperti itu mau ngapa-ngapain jadi males, tapi aku nggak mau jadi manusia yang merugi. Harus tetap beraktivitas dan produktif.

Setelah aku searching, ternyata rasa sakit yang aku alami itu dikarenakan posisi gigi bungsu mendesak gigi yang sebelumnya. Ngeri banget apabila letak gigi bungsu ini sampai mengganggu gigi geraham yang sebelumnya, karena mau nggak mau dianjurkan untuk dicabut. Hi, sudah ngeri aku. Semoga saja tidak.

Nah, dalam seminggu ini untuk mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan, aku hanya berusaha menjaga kebersihan mulut dan gigi dengan rajin-rajin menggosok gigi setelah makan dan sebelum tidur. Rasa sakitnya memang tidak hilang, akan tetapi agak mendingan. Hal itu aku lakukan juga agar tidak ada kotoran yang menumpuk pada gigi bungsuku. Nanti malah ada ulatnya jadi infeksi deh. Bisa-bisa jadi sariawan dan nggak nafsu makan. Tidak!

Ada yang gigi bungsunya belum tumbuh? Selamat menanti ya?

Sabtu, 08 Februari 2014

Ku Temukan Dia di Facebook

Setiap orang akan mengalami masa-masa di mana dia akan mulai memahami dirinya. Caranya berbeda-beda, begitu juga dengan aku. Proses penemuan ‘inilah diriku’ yang pernah alay benar-benar baru ku sadari, saat ini.
Awal kenal facebook

Teknologi informasi-lah yang membantuku untuk memahami siapa diri ini sebenarnya. Facebook, salah satunya. Pertama kali kenal facebook pada Agustus tahun 2009. Itu artinya saat aku masih duduk di kelas XII SMA. Masa-masa SMA itu, “Jangan alay ah.” tulis Mbak Titis di blognya. Hahaha, aku juga pernah melalui tahap ini, tapi dulu. Sekarang? Sepertinya masih.

Apa-apa diupdate. Makan nasi goreng diupdate, sedang ngumpul sama anak-anak OSIS diupdate, mau belajar update, eh dimarahin ibu kok ya update juga. Alay banget. Parahnya lagi kejadian yang diupdate pun sudah lewat alias latepost. Karena apa? Harus pergi ke warnet dulu baru bisa ber-alay-alay ria. Itupun aku lakukan setiap dua minggu sekali dengan merogoh kocek Rp 5.000/jam. Warnet kan masih jarang.

Status teralay-ku
Beda ya kalau sekarang, teknologi komputer seperti tablet sudah menjamur. Banyak orang kini menggunakannya. Sekarang pun dengan modal smartphone aku bisa update kapan pun dan di mana pun. Tapi kalau sekarang updatenya agak bermutu. Sedikit lah.

Facebook tak hanya membantuku untuk menemukan ‘inilah diriku’ tapi juga menemukan ‘dialah pemilik hatiku’. Ya, dia yang telah melingkarkan cincin di jari manisku 8 Juni 2013 lalu, ku temukan pula di facebook. Jujur, aku adalah tipe orang yang mudah sekali jatuh cinta dengan orang meskipun aku belum pernah bertemu dengannya. Modalnya hanya satu, kenyamanan.

Sambil nyanyi "My Facebook" dari Gigi Band
Dengan dia ternyata aku bisa mengerem perasaan itu. Aku tak boleh jatuh cinta dengan dia sebelum kita bertemu. Dia di Jogja, dan aku di Demak.

Awalnya, aku ini adalah tempat curhat dia. Dia meng-add facebookku karena ingin menanyakan teman sekelas ku. Lama-kelamaan, mungkin termakan nasihat orang Jawa, “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino”. Aku mencium gelagat cinta-cintaan darinya, tapi aku masih mengerem diri karena aku takut kalau aku ini hanya sebagai pelarian saja.

Hingga awal aku kuliah, dia masih menghubungi aku lewat inbox facebook. Waktu itu kami belum bertukar nomor telepon. Komunikasi ya hanya terjalin saat kami bertemu di facebook. Perasaan itu tidak bisa dikalahkan dengan akal sehat, demi bisa berkomunikasi dengan dia, aku rela setiap pulang kampus pergi ke warnet dan chatting dengannya. Dia mah enak, kan bisa menggunakan komputer kantor, lha aku? Kenapa juga dia nggak minta nomor hape ku ya? Aku juga gengsi kalau minta duluan.

Singkat cerita, akhirnya dia meminta nomor hapeku. Komunikasi lebih intensif.

Masih ingat kapan Gunung Merapi di Magelang ber-erupsi? Dia pulang kampung (rumahnya tak jauh dari rumahku, 30 menit-lah). Saat itu juga awal pertemuan kami yang tidak sengaja. Kami bertemu di sebuah masjid dekat supermarket tempatku belanja. Sampai akhirnya pertemuan itu berakhir dengan kalimat yang keluar dari mulutnya, "Kulo tresno kalih jenengan."

Jadul ya? Memang, tak seperti ekspektasiku, "I Love you" atau "Aku Sayang Kamu". Agak terdengar aneh, tapi romantis juga. Aku hanya menjawab, "Kalau begitu, datanglah pada orangtuaku."

Berani sekali aku langsung menerima pernyataan cinta dia. Eits, sebelumnya aku sudah mencari tahu informasi tentang dia. Usut punya usut dia adalah kakak keponakan dari sahabatku waktu SMA. Ya, paling nggak tahulah siapa dia.

Seminggu kemudian, keseriusan dia benar-benar terbukti. Datanglah dia ke rumahku bertemu dengan bapak ibu. Diungkapkannya kalau dia serius denganku dan siap menungguku sampai wisuda. Sekarang giliran bapak ibu yang kelabakan mencari informasi tentang dia. Ya, ibu hanya was-was anak semata wayangnya ini salah pilih orang. Tapi insyaallah semua akan berakahir indah tahun ini. Semoga. Aamiin.

***

Apakah ada juga yang sepertiku? Menemukan si dia di facebook? Tetanggaku ada juga lho, malah beda pulau. Hihihi. Nah, karena banyaknya fenomena 'penipuan cinta' di facebook, nggak ada salahnya kalau sebelum melangkah lebih jauh selidiki dulu seluk beluk dia. Jangan sampai terbuai dengan kata-kata manisnya. Satu hal yang pasti, Allah akan mengirimkan jodoh dengan cara yang paling indah. Tentunya bagi kita. Cari dia di facebook? Nggak ada salahnya. Daripada beralay-alay ria mulu?

Alhamdulillah JUARA 2

Jiwa Peminta-minta

“Gawat, alamat telat nih!” aku segera meluncur dari teras rumah yang posisinya lebih tinggi dari jalanan depan rumah.

Syuurr...

Benar saja, saat ku lirik jam tanganku, jarumnya menunjukkan pukul 15.30 WIB. Ku pancal porsneleng motor dan segera meninggalkan rumah.

“Huh, jangan buru-buru! Nicho nggak akan pindah rumah kok.” Hiburku pada diri sendiri. Baru 100 meter dari gang masuk rumah, ku dapati barisan truk dan tronton yang berjalan sedikit lamban.

“Ada apa sih kok macet? Kecelakaan ya?” Ceracauku sambil membenahi selempang tas yang sedikit melorot.

Untung saja, aku cukup mahir kalau urusan selap-selip. Agak melipir-melipir, tapi berhasil juga melewati kendaraan bertubuh gendut itu. Tentu bersaing dengan pengendara sepeda motor lainnya.

Tepat di depan kantor pemerintahan yang tempo hari baru diresmikan, ku temukan sebuah jawaban. Tampak ada dua laki-laki yang ku taksir usianya sama denganku sedang memegang ‘bakul plastik’ dan berdiri di tengah jalan. Posisi mereka saling memunggungi. Bisa menebak apa yang mereka lakukan? Ada dua laki-laki lainnya sedang mengangkat batu berwarna kuning (kalau kena air langsung hancur dan becek) untuk menguruk beberapa lubang yang ada di dekat laki-laki pembawa ‘bakul plastik’ tadi.

Meminta sumbangan pada pengendara kendaraan yang melintasi jalan tersebut atas jasa yang mereka lakukan. Itulah yang mereka lakukan. Memang, semenjak Kudus (jalur pantura) dilanda banjir, jalur tengah Semarang-Purwodadi menjadi jalur alternatif bagi kendaraan berat yang akan menuju atau meninggalkan Surabaya dan daerah lainnya. Guyuran hujan akhir-akhir ini berhasil menggerus beberapa ruas jalan yang masih beraspal. Ditimpa beban berat dan terus-terusan digerus oleh air, kasihan sekali aspal itu. Ya, salah satunya yang aku ceritakan. Lubang yang terbentuk cukup dalam dan jaraknya pun cukup dekat antara lubang satu dengan lubang yang lainnya. Hal itu memaksa para pengendara untuk melambatkan laju kendaraannya.

Kembali pada dua laki-laki itu. Menambah kemacetan, itu pikirku saat melihat mereka ‘meminta-minta’ pada pengendara yang lewat atas jasa yang mereka lakukan. Memang, kepedulian mereka atas jalan yang rusak sangat baik, toh aku pun belum tentu bisa melakukan hal tersebut. Akan tetapi, ‘meminta-mintanya’ itu lho tak sebanding dengan apa yang mereka lakukan. Ruas jalan yang ditambal dengan batu ala kadarnya pun tak seberapa, dan apakah mereka tak memiliki rasa malu dari ‘meminta-minta’ itu. Ujungnya, uang hasil ‘meminta-minta’ itu akan dibakar pula (membeli rokok) atau untuk membeli pulsa.

‘Meminta-minta’ seakan-akan kini menjadi hal yang lumrah bahkan bukan menjadi sesuatu yang tabu lagi. Berita yang pernah marak, si kaya dari hasil ‘meminta-minta’ ini menunjukkan bahwa mental mereka ya mental ‘meminta-minta’. Tidak ingatkah dengan nasihat lama, bahwa tangan di atas itu lebih mulia dibandingkan tangan di bawah? Seginikah harga diri manusia saat ini? Apa yang salah?

Ah, meminta-minta seakan kini menjadi sebuah kultur.

Aku kutip dari http://majalahqalam.wordpress.com, ada seorang Psikolog Koentjoro dari Universitas Gajahmada (UGM) pernah meneliti kehidupan pengemis (aku sebut peminta-minta) di Desa Karangrejek dan Mojolegi, Yogyakarta. Apa yang mereka temukan? Koentjro menemukan fakta, peminta-minta asal kedua desa itu memang miskin. Bukan karena mereka malas bekerja. Tapi sayangnya, kebiasaan penduduk dua desa untuk ‘meminta-minta’ sudah menjadi kultur di balik kemiskinan yang mendera mereka. Sehingga di sana ada pemeo, “Mengemis pekerjaan halal, tidak melanggar ajaran agama dan peraturan pemerintah.”

Ada lagi, aku menemukan sebuah keluarga muda yang berprofesi sebagai ‘peminta-minta’di Kota Semarang. Mereka menggunakan anaknya sebagai umpan belas kasihan para ‘pemberi’. Sedihnya, dari anaknya yang pertama sampai yang ketiga, semua diajak ‘meminta-minta’. Bukan sekaligus, melainkan mereka digunakan sebagai alat saat mereka masih kecil. Ketika sudah usia sekolah, mereka memproduksi anak lagi, begitu seterusnya, dan seakan-akan sudah terjadwal. Ironis memang. Tapi ini kenyataan.

Kemudian, apa komentar kamu tentang foto ini?

Dok.  Pribadi

Foto ini aku ambil bulan Nopember tahun 2013 sekitar pukul 14.00 WIB. Ini terjadi di desa yang selalu aku lewati setiap pulang-pergi kampus. Tampak anak-anak sedang melakukan hal yang sama dengan dua laki-laki yang aku ceritakan di atas. Bedanya mereka hanya menjaga pintu buka tutup (perbaikan jalan) yang jarak tempuhnya tak lebih dari 100 meter. Jadi, tanpa mereka orang pun akan tahu ada kendaraan yang lewat.

Ini anak kecil lho ya, umur mereka rata-rata masih SD. Bukankah jam segitu harusnya mereka sedang menuntut ilmu di madrasah? Jawaban yang keluar dari mulut mereka, "Aku gak mangkat kok, Mbak. Ngene enak." (Aku nggak berangkat, Mbak. Begini (meminta-minta) enak kok).

Analisis terburukku mengenai apa yang anak-anak ini lalukan adalah dari MENIRU orang-orang dewasa yang sebelumnya juga melakukan hal yang sama saat awal jalanan tersebut diperbaiki. Meniru, inilah karakteristik yang identik pada diri anak-anak. Akankah mereka juga akan menganggap 'meminta-minta' juga sebagai hal yang lumrah di kemudian hari?

Astagfirullah, jangan sampai ini tertanam dalam diri mereka sampai dewasa nanti. Kalau iya, maukah negara ini mendapat julukan negara yang penuh akan jiwa 'peminta-minta'? Move on! Now!

Mari, kita mulai dari diri kita sendiri, mandiri OK!
Semoga Allah selalu melimpahkan rezeki bagi kita semua dengan jalan yang selayaknya. Yakinkan pada diri kita kalau Allah menebar rezekinya di mana saja dan kapan saja. Tergantung kita, peka apa tidak?

Rabu, 05 Februari 2014

Dokter Muda Peduli Sampah

Adakah diantara kita yang suka berkutat dengan sampah? Sepertinya hanya pemulunglah yang mau berjibaku dengan sampah. Itupun berembel-embel dengan kalimat, “Mau bagaimana lagi? Demi sesuap nasi.” Ada juga yang lainnya lho, pengrajin sampah kan juga berjibaku dengan sampah. Ah, jumlahnya juga tak seberapa dibandingkan jumlah penduduk negeri Indonesia tercinta ini.

Warga yang membawa samaph untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan di klinik Indonesia Medika
Bagaimana dengan dokter muda ini ya? Perkenalkan beliau adalah laki-laki berusia 25 tahun, namanya dr Gamal Albinsaid. Jebolan dari SMAN 3 Kota Malang dan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (UB). Sudah ganteng, dokter lagi. Tambah satu lagi, beliau juga berhasil menggagas Klinik Asuransi Sampah (KAS).

dr Gamal
simomot.com
Apa itu KAS? KAS disebut juga dengan asuransi kesehatan berbasis sampah. Yaitu konsep berobat dengan sistem asuransi sampah. Dengan kliniknya yang bernama Indonesia Medika yang tersebar di 5 lokasi di Malang, masyarakat ‘miskin’ dapat menikmati layanan kesehatan hanya dengan menggunakan sampah sebagai alat pembayarannya. Sampah yang dapat ditukar dengan layanan kesehatan dari dr Gamal ini adalah tipe sampah non organik seperti plastik, kaleng hingga kardus bekas yang dihargai Rp 10 ribu oleh klinik dr Gamal. Sampai sekarang telah lebih dari 500 masyarakat ‘miskin’ yang telah menikmati layanan ini. Lumayan banyak ya?

Ide kemunculan KAS ini berawal dari kisah seorang pemulung bernama Triyono dengan putrinya berusia 3 tahun yang saat itu sedang sakit diare. Penghasilannya yang hanya Rp 10.000 memaksa Triyono mengurungkan niatnya untuk mengajak sang buah hati berobat. Tak berhenti begitu saja, ia terus berusaha mencari uang. Akibatnya, anaknya tidak bisa berobat. Setiap hari hanya diajak mulung, lalu meninggal dunia. Innalillahi....

Kembali ke Indonesia Medika, mulai dibentuk pada tahun 2010, bersama dengan empat teman dokter yang saat ini magang di RS Dr Saiful Anwar ini. Ide tersebut juga dikuatkan dengan adanya dukungan dari salah satu dosen dr Gamal, yaitu Rita Rosita.

Tak butuh waktu lama, setelah sempat mandeg selama enam bulan. Maret 2013, proyek ini kembali diaktifkan dengan sasaran utamanya warga tidak mampu. Sesuatu yang baik pasti akan banyak orang yang membantu, hal ini dibuktikan dengan adanya 47 anak muda dari seluruh Indonesia yang sudah bergabung untuk ikut berbagi dalam Indonesia Medika. Dari jumlah tersebut, 17 orang diantaranya sudah berstatus tenaga tetap. Mereka ini mendapat bayaran dari Indonesia Medika dengan sistem bagi hasil, sedangkan yang lainnya merupakan tenaga sukarelawan.

Untuk biaya operasionalnya sendiri, dr Gamal mengaku mendapat dukungan dari beberapa perusahaan dan organisasi internasional, seperti AusAID (Australian Agency for International Development), Ashoka, Socentix, hingga LGT Venture Philanthropy. Selain dari itu, Indonesia Medika juga mencari dana dari penjualan merchandise.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, dengan niat hati yang tulus untuk mengabdi pada masyarakat, angin segar pun datang kepada dr Gamal. Pada 30 Januari 2014, dr Gamal diundang ke London, Inggris, untuk menghadiri jamuan makan malam dengan Prince of Wales sekaligus mendapatkan penghargaan “The Prince of Wales Young Sustainability Entrepreneur” yang diberikan langsung oleh Pangeran Charles sang pewaris tahta kerajaan Inggris.

dr Gamal dan Pangeran Charles
simomot.com
Penghargaan tersebut diberikan sebagai apresiasi untuk peran pemuda usia dibawah 30 tahun dalam mengatasi isu lingkungan, sosial dan kesehatan. Dalam kesempatan tersebut, dr Gamal berhasil menyisihkan 511 wirausaha peserta dari 90 negara. Dengan prestasinya tersebut, dr Gamal mendapatkan hadiah 50.000 euro atau sekitar Rp 800 juta sebagai dukungan finansial dan paket mentoring dari Universitas Cambridge yang dirancang secara individu.

Siapapun akan berdecak kagum atas prestasi dr Gamal. Muda, berprestasi, cinta akan lingkungan, dan pastinya ikut mengubah wajah Indonesia. Sekarang balik bertanya pada diri sendiri, "Aku sudah memberikan apa ya untuk Indonesia? Terlalu seringkah diri ini ngedumel dan mempermasalahkan Indonesia yang terlalu banyak ini dan itu tanpa adanya action? Ya, apa yang sudah diri ini berikan pada Indonesia?"

Katanya pemuda itu penerus bangsa? Kalau hanya ngedumel saja semua orang pasti bisa. Ini sedang menggurui diri sendiri ya? Ayolah lakukan sesuatu agar ada sedikit perubahan dalam diri Indonesia. Semangat belajar, semangat kuliah, semangat berorganisasi, semangat menulis, dan satu lagi langkah mudah yang bisa kita lakukan. Mau tahu apa?

Jangan golput di pemilu, April 2014 nanti! Hahaha. Langkah kecilmu tapi nyata untuk perubahan. Yuk jangan mau kalah dengan dr Gamal! Aku tunggu di TPS terdekat ya?


*Tulisan ini tak didukung oleh partai tertentu.

Sumber referensi:
simomot.com
http://www.tribunnews.com
http://www.timlo.net
http://health.liputan6.com

Selasa, 04 Februari 2014

Gonta-Ganti Template Blog

Misal, ada yang sebelumnya penah berkunjung ke blog ini dan sekarang berkunjung lagi pasti merasakan ada perubahan pada template blogku. Jangan heran! Sudah lebih dari sepuluh kali template blogku ini berubah. Parahnya lagi berubahnya bisa jadi dalam hitungan jam saja. Maaf, aku masih ababil. Bukan anak buah bang Billy ya?


Pernah ada seorang teman blogger yang care sama aku tiba-tiba nge-chat di facebook ku, “Templatenya ganti lagi ya neng?”, “Iya mbak.” jawabku. “Jangan sering gonta-ganti template ya, Mbah Google nggak suka lho.”

Kira-kira begitulah perbincangan singkat kami tentang templateku yang sering gonti-ganti. Sebenarnya mau juga punya template yang tetap, tapi apa daya, jiwa ababilku sering kali naik pangkat tiap kali lihat template blog teman yang kece abis. Kalau mereka bisa kenapa aku nggk, semboyan itu yang seringkali aku agung-agungkan, tapi rasanya kok justru jatuh ke sifat iri ya? Hadeh.

Kemudahan mendapatkan template gratis menjadi tokoh utama yang menggodaku sering gonta-ganti template. Tapi, makin ke sini aku makin paham sebetulnya template itu tak harus yang keren, kece, cetar membahana ala Syahrini. Template yang simpel dan nyaman di mata juga bisa jadi perhitungan yang kedua. Terus yang pertama apa? Konten. Ya, konten blog itu lebih penting.

Template keren tapi tidak dibarengi dengan konten blog yang cetar membahana membabi buta juga sama saja bohong. Terus kalau ngomongin tentang konten yang baik, menurutku bisa diawali dengan konsistennya pemilik blog memposting artikel yang bermanfaat bagi pembaca. Lha aku? Mosting tulisan aja masih dang-tek alias suka-suka gue. Hihi. Sekali posting tulisan isinya curhat mulu. Tak apalah ya, karena aku pernah membaca kalimat seperti ini, “Menulislah dari apa yang kamu suka.” Aku suka curhat, semoga saja curhat yang berkualitas dan bermanfaat ya? Dari konsisten menulis yang notabene idenya dari curhatan semoga bisa jadi ‘sesuatu’ di kemudian hari. Jangan pernah berhenti menulis ya? Happy blogging kawan!

Kekuatan Sebuah Komentar

Ada yang berkomentar di postingan kita. Terus kita marah, ada nggak? Ya, pasti ada ya kalau komentarnya justru promosi atau sering kita kenal dengan spam. Bahasa keren lainnya komentar OOT (out of the topic). Tapi kali ini aku akan membahas tentang komentar yang baik-baik saja alias komentar yang mendukung topik tulisan kita baik secara langsung ataupun nggak langsung.

Menurut kamu apa sih kekuatan komentar bagi diri kamu? Kalau aku, adanya komentar di setiap postingan yang aku buat akan menimbulkan semangat tersendiri untuk tetap menulis. Bahkan, dulu aku sangat gila komentar. Contoh kecilnya saat menulis status di facebook, kalau nggak ada komentar dari teman, rasanya mengkal banget hati ini. Biasanya aku akan membuat status lagi yang cukup fenomenal agar ada yang komentar, kalau nggak ada yang komentar bisa-jadi bibirku ini akan manyun seharian. Itulah aku, dulu selaku newcomer di dunia per-facebook-an. Cukup dimaklumi kan?

Kalau di dunia blogger bagaimana? Sama halnya. Aku juga gila banget dengan yang namanya komentar. Ada 1 komentar yang nangkring di bawah postingan rasanya senang banget dan buru-buru untuk membalas komentar tersebut. Posting lagi satu tulisan, kok nggak ada yang komentar ya? Tulis lagi satu postingan, nggak ada yang komentar lagi. Lama-lama aku jadi capek sendiri dan akhirnya ide itu mandeg. Mutung nggak mau nulis dengan alasan nggak ada yang komentar.

“Hello, kamu tuh siapa? Penulis hebat bukan, tulisan kamu juga masih acakadul, nggak usah berharap ada yang ngasih komentar deh, sudah ada yang baca aja syukur banget!”

Setan itu benar, ya setan baik hati yang ada dalam diriku. Sudah ada yang baca aja, wis bejo banget yo? Nggak perlu berharap lebih yang penting ayo nulis, dan nulis lagi. Ada yang komentar atau nggak itu urusan belakangan, buat bonus saja misalnya ada yang komentar.

Pernah suatu hari ketika aku down banget, aku menyemangati diriku sendiri dengan menulis catatan seperti ini, 

Ya, setiap orang pasti memiliki motivasi tersendiri untuk tetap menulis. Bagiku, menulis itu harus kuat mental. Layaknya peribahasa, semakin tinggi suatu pohon maka angin yang menerjang pun semakin kencang.

Suatu hari ada teman yang mungkin sengaja mengacak-ngacak blogku. Waktu bertemu denganku, tahu komentar dia apa tentang blogku? “Blogmu kok malah kayak buku diary ya mbak?” Langsung makjleb deh hati ini. Padahal iya, blog ku kan banyak curhatnya. Hahaha.

Bukan aku namanya kalau cepat putus asa. Aku menghibur diri sendiri, “Mending dong aku punya blog, lha kamu? Basic-nya anak teknik komputer tapi blog saja nggak punya. Malu-maluin.” Ini aku ngomongnya sama diri sendiri ya. Bukan di depan temanku.

Oya, semakin lama nge-blog aku makin sadar kalau komentar itu nggak harus selalu ada di bawah postingan kita. Bisa jadi komentar itu datang lewat sosmed lainnya. Bisa jadi juga komentar itu datang dari orang yang takpernah kita duga. Misalnya, pernah ada seseorang yang mengirim inbox di facebook menanyakan informasi yang aku tulis di blog. Kok bisa dia tahu facebookku? (Itu salah satu keuntungan kalau kita membuat menu “About Me”.) Jadi, masih gila komentarkah? Sekarang tidak!

Nah, sampai pada paragraf ini aku menyimpulkan kalau komentar itu memang penting. Bisa jadi semangat untuk menulis. Tapi bukan berarti kalau nggak ada yang komentar kemudian kita berhenti menulis. Ayolah sambil menunggu ada yang komentar di postingan kita, rajin-rajinlah blog walking, bacalah tulisan mereka yang banyak dapat komentar, pelajari dan perbaiki konten tulisan kita. Yakin deh, kalau tulisan kita bermanfaat bagi pembaca nanti juga akan ada yang berkomentar. Komentarnya pun tidak harus langsung di bawah postingan kita, bisa jadi secara langsung atau lewat sosmed yang lainnya.

Nunggu ada yang komentar? Capek, jamuran lagi. Yuk, menulis!

Senin, 03 Februari 2014

Untuk Para Penikmat Es Teh

Ada yang kemarin siang (1 Februari 2014) menonton Redaksi Siang Trans 7? Beberapa berita aktual, tajam, dan terpercaya disajikan di sana. Satu berita yang nyantol di hati, tagline-nya aku lupa, pokoknya tentang gelas dan sedotan bekas yang digunakan oleh penjual minuman asongan di Jakarta. Penjual asongan itu seringkali ditemukan di tempat keramaian atau pas ada event besar.

Begini ceritanya, gelas minuman yang sudah dipakai alias bekas dicuci alakadarnya (dapat dari pemulung) kemudian digunakan lagi sebagai kemasan minuman seperti es teh yang laris manis dibeli oleh masyarakat. Tak hanya gelasnya lho, sedotannya juga. Parah banget kan?

Kemasannya seperti ini nih,
tapi kalau yang di gambar itu nggak termasuk dalam kasus ini ya?

Belum hilang rasa heran dalam hati, aku jadi ingat kejadian yang hampir sama dengan apa yang aku lihat di berita tersebut. Pernah, aku menemukan sedotan kotor di dalam rak sendok. Tidak hanya satu, lebih dari 5 sedotan. Di dalam sedotan itu ada tanah yang mengering. Saat itu aku memilih untuk meminta sedotan lain yang masih terbungkus plastik pada penjual bakso langgananku. Ini tempat bakso langgananku, nggak harus di Jakarta ya? Waspada....

Dari kejadian yang aku alami tersebut ditambah lagi berita di Redaksi Siang itu seperti berkesinambungan. Aku kira (mungkin) sedotan itu terkena debu jalanan yang masuk ke warung. Bukan bermaksud untuk suudzon, tapi sedotannya nggak satu saja lho? Masak iya sih sedotan seperti itu digunakan lagi dengan embel-embel keuntungan lebih? Padahal harga sedotan satu pack (isinya lebih dari 100 sedotan) hanya Rp 1.000. Tapi inilah kenyatannya.

Kembali ke berita, tidak hanya gelas yang telah dicuci alakadarnya, ternyata proses pembuatan es teh itu sendiri juga perlu kita waspadai. Dari berita tersebut ditampilkan gambar orang-orang yang membuat es teh berada tepat di sisi Kali Ciliwung yang tampak kotor. Tempat penampungan es batunya pun hanya terbuat dari sterofoam bekas yang dirangkai hingga berbentuk bangun kubus (banyak kotorannya) dan larutan air tehnya juga diprediksi dari campuran teh bekas atau kedaluwarsa.

Bisa dibayangkanlah ya di dalam minuman kemasan itu banyak bakterinya? Terus apa yang bisa kita lakukan? Nah, buat kamu yang sering membeli minuman kemasan seperti itu yuk mulai dikurangi. Tapi itu kan seger banget? Yah, kan masih ada penjual minuman yang lebih terpercaya kualitasnya. Beli minuman dengan kemasan yang tersegel. Tempatnya jauh? Ya sudah bawa minuman sendiri aja dari rumah. Jangan banyak alasan deh kalau mau sehat. Nanti kalau sakit baru nyesel! (Waduh, malah marah-marah)

Membawa minuman dari rumah memang menjadi pilihan yang cerdas, selain menghemat pengeluaran, kebersihan air yang masuk di dalam tubuh kita juga cukup terjamin. Peduli dengan kesehatan diri sendiri kan penting. Tak hanya peduli dengan diri sendiri, kita juga bisa peduli terhadap kesehatan orang lain. Bagaimana caranya? Kita bisa memutus rantai penggunaan gelas dan sedotan bekas itu dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, dan:

Gelas, kita bisa membakar alas gelas, atau meremas-remas gelas.
Sedotan, menyobek sedotan, melipat-lipatnya atau menggunting sedotan.

Bagaimana? Mudah bukan? Yuk, kita peduli diri sendiri dan juga lingkungan sekitar. Selamat mencoba dan selalu berbagi.

Sabtu, 01 Februari 2014

Tips Sukses Presentasi

Manusia mana yang tidak pernah berbicara di depan umum? Iya, berbicara di depan umum? Mengobrol dengan orang lain kan termasuk juga berbicara di depan umum, meskipun lingkupnya tergolong non formal.

Berbicara adalah suatu keterampilan yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir dan akan berkembang tahap demi tahap mulai dari bentuk tangisan, celotehan, sampai mampu berbicara secara lancar. Sayangnya, berbicara ternyata juga menjadi suatu keterampilan yang cukup sulit bagi beberapa orang, salah satunya mereka yang berstatus mahasiswa.

Mahasiswa mana yang tidak pernah berbicara di depan umum. Sebut saja di depan teman-teman sekelas saat mempresentasikan suatu makalah. Berbicara di depan umum (selanjutnya disebut presentasi) menjadi makanan sehar-hari bagi mahasiswa. Baik itu presentasi yang bersifat kelompok atau individu, tetap saja apabila seseorang itu tidak terbiasa presentasi di depan umum akan merasa kaku, takut, grogi, malu, atau sampai pingsan? Janganlah ya?

Berikut ini akan aku bagi tips sukses presentasi agar kamu lebih siap dan peracya diri. Selamat menyimak!
  1. Presentasi berarti membutuhkan PPT (power point). Buatlah PPT yang maksimal 20 slide. Namanya kan PPT jadi kamu masukkan kalimat intinya saja. (Lihat contoh di sini)
  2. Print out PPT kamu. Agar lebih hemat print dengan pilihan warna hitam putih dan setiap lembar memuat 4 slide/6 slide sesuai kebutuhan kamu.
  3. Pelajari materi yang akan kamu presentasikan.
  4. Pelajari hasil prin out PPT kamu, jika diperlukan beri keterangan tambahan untuk menunjang penguasaan materi kamu.
  5. Baca buku referensi lain apabila kamu merasa masih tidak menguasai materi dalam satu buku referensi saja.
  6. 24 jam sebelum action, berlatihlah berbicara di depan cermin.
  7. Kenakan baju senyaman mungkin dan tentunya sesuaikan dengan situasi dan kondisi.
  8. Saat presentasi, jangan tatap mata audience, tataplah dahinya agar tak terlalu grogi.
  9. Berdoalah.
  10. Enjoy and be your self! Maka sorot matamu akan meyakinkan audience.


Bagaimana? Caranya mudah bukan? Satu yang perlu diingat, semu itu buttuh proses. Banyak latihan berbicara di depan umum akan menjadi salah satu penunjang keberhasilan. Tekun, itulah kunci kesukesannya. Selamat mencoba ya?

Honor dan Guru Privat


Jangan dibayangkan besarnya honorku ya? Aku kan hanya guru les privat “Si Senyum Tipis”, jadi tak mungkin kalau mengungkuli PNS. Sebulan, alhamdulillah uang Rp 150.000 siap masuk kantong. Dalam takaranku itu sudah lumayan besar jika dibandingkan dengan teman seprofesiku. Setiap satu minggu ada dua kali pertemuan, yaitu hari Selasa dan Kamis. Pertemuan itu dimulai pukul 16.00-17.30 WIB di rumah “Si Senyum Tipis”.

Berbeda, temanku ada yang satu minggu tiga kali pertemuan dan honornya hanya Rp 125.000. Aku wajib bersyukur nih ya? Enaknya lagi, ibunya selalu menghidangkan kudapan lezat untukku. Ada pisang goreng, biskuit, kue, buah, snack yang setiap kali pertemuan berbeda-beda. Minumnya juga sering berubah-ubah lho, kadang kopi, teh, es sirup, bubur, wedhang jahe, dll. Dari kudapan yang ada, yang paling favorit adalah keripik pisang dan kopi hangat. Enaknya...

Awal mula aku bisa menjadi guru les privat “Si Senyum Tipis” dari chattingku bersama bapaknya. Bapaknya itu adalah guru SMA ku dan dulunya juga guru les bahasa inggrisku. Jadi, seperti bergilir, kini anaknya yang megang aku. Hihi...

Sudah hampir dua tahun aku menjadi guru les privat “Si Senyum Tipis”, alhamdulillah tak ada hambatan yang berarti. Biasanya pas musim hujan begini nih agak repot karena perjalanan ke rumah murid es ku ini memakan waktu 15 menit dengan sepeda motorku. Tapi karena iming-iming kudapan dari ibunya aku selalu tambah semangat. Kalaupun di jalan kedinginan nanti sampai sana akan dihangatkan dengan kudapan lezat sang ibu. He, modus banget ya?

Kembali ke bagian honor, minggu depan insyaAllah aku akan terima honorku. Wah, rasanya tak sabar deh. Kalau biasanya aku akan membelanjakan uang itu untuk keperluan dapur ibu, kali ini ibu memintaku untuk menggunakan uang itu untuk membeli radio. Kata ibu biar uang kerjaku itu juga berbentuk benda. Ada kenangannya. Terlebih lagi ibu juga kasihan padaku karena radio kesayanganku sudah rusak sejak awal kuliah dulu.

Tekadku, aku akan tetap membeli radio, tapi radio yang biasa aja, sepertinya ada yang harganya Rp 50.000-an. Sisanya kan bisa buat bantu ibu juga. Ah, bahagia itu sebenanya sangat sederhana ya? Melihat ibu tersenyum saja rasanya sudah bahagia.

Selamat gajian!