Minggu, 22 April 2018

Menikmati Keseharianku yang Multiprofesi


Kugoyang-goyangkan kepala Abi. Kutepuk pelan pipi yang kusadari semakin menirus, sekenanya. Tak bangun juga. Adzan subuh bersahut-sahutan. Ah, kalau tidak segera bangun, aku bisa kesiangan.




Lagi, kusenggol kaki Abi agar bangun terlebih dahulu. Kak Ghifa masih menggelayut di pelukan. Diendus-endusnya ketekku. Kubiarkan saja, berharap dia pulas kembali agar aku bisa bekerja di dapur dengan damai. Aku ogah kalau harus masak sambil menggendongnya.
“Mi, gula, enak.” 
Nggoyeng, Mi.” 
Asah-asah (nyuci piring), Mi.”
"Stop, Kakak bisa sendiyi, Mi!" 
Kalau semua kuturuti, dijamin masakanku akan sering gosong.


Akhirnya, aku berhasil kabur dari rayuan manja Kak Ghifa. Kudapati Abi sudah menanak nasi setelah tadi 'pamit' dengan kecupan di pipi kananku. Sambil berbincang kegiatan yang akan kami lakukan seharian, Abi berperan di depan cucian piring dan seperangkatnya. Aku mengorek-ngorek tempat bumbu dan memasak masakan yang direquest sama Abi.

Jangan bayangkan aku bakal masak menu istimewa ya! Abi mah nerimo, sarapan sama lauk sisa semalam, sama telur ceplok, atau telur dadar plus sambal tomat sudah lahap banget. Oiya, suamiku juga hobi sama sayur plonco (oyong dipotong panjang-panjang direbus sama bumbu) yang ditemani sambal terasi. Bisa nambah nasi kalau menunya itu.
Satu hal yang kupahami soal masak-memasak setelah memiliki suami, kenapa sampai sekarang ibu selalu mengutamakan masakan permintaan bapak dibandingkan keinginannya sendiri? Karena kebahagiaan orang tersayang akan menjalar dengan cepat ke kita. Bukankah memang seperti itu 'tabiat' seorang istri? Membahagiakan orang sekitar adalah tujuan utama dan itulah bentuk sederhana dari cintanya. Kemudian saat sudah memiliki anak, bentuk cintanya mulai berkembang lagi.

Tiba-tiba...

“Ummiiiiii….nene (ke sini), Ummii……..” teriak Kak Ghifa terus menerus sampai aku berbaring di sampingnya. Geram? Pasti. Kerjaan di dapur belum kelar, anak sudah bangun. Hampir setiap hari seperti itu. Ibarat orang Jawa bilang, Kak Ghifa itu anak ketek. Kalau ketekku tak terendus olehnya, dia pasti ikutan bangun.

Kalau Kak Ghifa sudah bangun, ehm…pengennya itu teriak aaaaaaaaa. Kenapa sih, bangunnya nggak nanti saja, Kak? Selalu begitu batinku. Padahal saat membatin itu, kupasang wajah semanis mungkin agar Kak Ghifa memelukku kemudian menciumiku sambil terkekeh bau jigong. Sebenarnya kalau sudah dicium ya hatiku luluh.

Sebelum aku berlari ke kamar tadi, sambil mengusek-ngusek panci yang penuh dengan noda hitam, Abi mendengarkan perintah untuk meneruskan aktivitasku untuk sementara waktu. Ya, setidaknya sampai Kak Ghifa sudah bisa ditinggal. Kalau nggak? Ya sudah. Ibu rumah tangganya ganti dulu.

Pas bejo, aku bisa kembali ke dapur atau membersihkan lantai sambil Kak Ghifa menggelayut manja di punggungku. Wajahnya pasti ditekuk karena sesungguhnya dia ogah beranjak dari tempat tidur. Duh, Kakak, kalau ummi nggak ngajar sih oke-oke saja, Sayang. Kalau tiap hari telat gara-gara rengekanmu ya apa kata masyarakat depan sekolah ummi? Bisa-bisa ummi diusir dari sana.

Tak berhenti di situ tantanganku di pagi hari, giliran soal makanan dan air mandi Kak Ghifa sudah siap. Sewajarnya, mandi dulu dong ya baru makan. Apakah demikian juga dengan Kak Ghifa? Lebih tepatnya mah sering makan dulu baru mandi. Hihihi.

Kak Ghifa mandi bersama adik Naura

Lanjut, masih soal makan dan mandi, kalau makan sendiri lama, disuapin nggak mau. Mandi juga gitu, harus dibujuk dengan rayuan maut. Bawa mainan lah, gayungnya harus dua, kakak yang pasang bak mandi di bawah pancuran, halah. Bujuknya susah banget, eh, giliran diajak pakai handuk, mentas, malah, “Sik (bentar)…Mi, main sik. Taruh handuke (handuknya).”

Lha bocah kok ndekte wong tuwo.
(Anak-anak kok mengajari orang tua)

Kalau nggak diturutin kemauannya, nangis jadi andalan balita seusia Kak Ghifa, 2,5 tahunan. Hiiiiiiiihhhh....gemes puol.

“Kakak, sudah siang, ayo selesai mandinya. Nanti ummi bisa terlambat.” Kalau aku bilang gitu, Kak Ghifa pasti balik tanya, “Ummi kerja? Ummi sekolah?” sambil mencet-mencet mainan bebeknya yang kemasukan air.

“Iya, Ummi kerja, ke sekolah.”

Emoh (nggak mau).” jawabnya dengan wajah yang tak berdosa.

Lah dalah. Selalu seperti itu semenjak di tahun kedua usianya. Oke, sabar, ini memang tahapan emosional sesuai usianya. Hahaha. Aku selalu berusaha 'jangan sampai kalah sama anak kecil!'. Pun jangan sampai Kakak menangis di pagi hari. Bisa pecah belah hari-hariku nanti kalau mendengar Kakak menangis.

Wis pokoke prinsipku itu, pagi hari nggak ada yang nangis. Karena kalau pagi sudah nangis, seharian Kak Ghifa bisa rewel. Ini akan sangat mempengaruhi moodku. Aku selalu berusaha untuk menjadi seorang ahli jiwa tanpa sekolah tapi selalu dihadapkan dengan hal yang begini terus setiap harinya. Sanggupkan aku Ya Allah.

Terus, suatu keharusan pula saat aku berangkat sekolah, kami sudah sarapan dan wangi. Nggak mau kalau aku sudah rapi mau ke sekolah, tapi anak atau suamiku masih tenglomprot (lecek bau jigong). Pun aku rela banget terlambat ke sekolah 10 – 15 menit demi prinsipku tadi. Kalau semua terlaksana, pagiku rasanya penuh semangat. Kalau tidak? Bisa ditebak, ibarat bom atom kalau sudah meledak akan membawa dampak buruk di mana-mana.


"Ummi berangkat kerja ya, Kakak." pamitku.

"Emoh (nggak mau)." Diikuti rengekannya.

Remuk hatiku. Tak tega. Meskipun sok-sokan cuek, tapi sebenarnya aku lebih senewen karena merasa bersalah telah meninggalkannya. Ingin rasanya aku ada di rumah bersamanya. Tapi tidak. Aku harus tetap bekerja, tak ada pilihan lain.

Seminggu yang lalu, aku  sempat dibuat mlongo sama sikap Kak Ghifa. Ketika aku hendak ganti baju seragam, tiba-tiba

"Wau (sakit), Mi....huhuhu. Wau...." Aku mencium gelagat mencurigakan. Menggelikan. Saat aku bilang, oke Ummi nggak sekolah, dia langsung cengengesan. Di situ aku ingin tepok jidat. Anakku?

Pada akhirnya, aku tetap berangkat sekolah. Karena mau tidak mau Kak Ghifa harus belajar atas kenyataan hidup bahwa ibunya harus bekerja. Alhamdulillah, dia tak menangis, karena aku menerapkan beberapa tips berikut agar Kakak tetap bisa menerima kenyataan bahwa ibunya seorang ibu pekerja.
  1. Sebagai ibu aku harus kuat dan pantang menyerah sekalipun senewen melanda. Aku harus tetap bekerja karena keadaan menuntut demikian.
  2. Memberikan alasan sesimpel mungkin, kenapa aku harus kerja? Misalnya Ummi kerja agar bisa membeli susu, mainan, atau baju. Ucapkan beberapa kali dan sesering mungkin. Entah saat berpamitan atau sedang berbincang-bincang dengan Kakak.
  3. Memotivasinya saat kutinggal dia tetap bisa bermain bersama teman, saudara, tentu dengan neneknya yang kebetulan menjaganya selama aku pergi.
  4. Tetap berpamitan dalam keadaan apapun. Semenjak dia usia 40 hari aku sudah meninggalkannya. Setiap hari, entah dia masih terlelap ataupun sedang bermain, aku selalu berpamitan. Tak pernah aku pergi tanpa ijin. Cium tangan, cium pipi kanan kiri dan dahi, kadang berpelukan, kemudian melambaikan tangan. Mau nangis atau nggak aku tetap berangkat.
  5. Saat pulang dari sekolah maupun les privat, orang pertama yang kucari adalah Kak Ghifa. Kupeluk dia sekenanya, kalau tidak sedang tidur, kutanya apa yang dia lakukan seharian dan kuceritakan apa yang kulakukan seharian.
Alhamdulillah, drama di pagi hari yang penuh tangisan itu jarang sekali kudapati.

Pikirku, karena aku rela meninggalkan anakku di rumah, maka saat aku di luar rumah, aku harus benar-benar bermanfaat bagi orang lain. Saat di sekolah maka fokusku ya di sekolah. Sebaliknya, saat aku di rumah aku pun tetap fokus dengan apa-apa yang di rumah.

Yah, sesekali di sela-sela kegiatan di luar, aku pun tetap mencari kebahagiaan. Karena yang dibutuhkan oleh keluargaku adalah seorang ibu yang bahagia. Misalnya menjemput kebahagiaan dengan tetap aktif di beberapa komunitas yang aku ikuti. Sebut saja salah satunya komunitas bloger. Aku tak ada waktu khusus sih, pokoknya sekenanya. Toh, semua kini bisa diakses lewat jentikan jari.

Saat murid-muridku sedang olahraga, pelajaran bahasa inggris dan agama, aku menggunakan waktu luang itu untuk intip-intip whats up group komunitas atau menulis draft di blogku ini. Setelah murid-muridku pulang sesekali juga kugunakan untuk menulis.

Aku bersama murid-muridku saat perayaan Hari Katini, Jumat lalu.
Aku tahu waktuku makin ke sini makin terbatas untuk menulis. Saat muridku sudah pulang, sekitar pukul 11.00, Senin, Rabu, dan Jumat, aku menawarkan diri untuk melatih murid kelas 4 untuk berlatih membaca puisi dan berpidato. Di hari lainnya, kugunakan untuk les privat muridku yang belum bisa membaca. Kapan lagi waktuku untuk menulis? Malam sudah tentu sangat capek. Yah, jalan satu-satunya menggunakan waktu sesingkat-singkatnya untuk menulis. Karena aku tidak lagi mencari kesempatan melainkan harus menciptakan kesempatan itu. Ke mana-mana, buku agendaku selalu ada di tas. Jadi, saat ada ide langsung kutangkap dan kutuangkan dalam buku.

Tak hanya keterbatasan waktu untuk menyalurkan hobiku menulis dan berkomunitas, pun kebersamaan dengan keluarga, terutama Kak Ghifa. Karena saat aku pulang sekolah, sekitar pukul 13.00, Kakak sedang tidur siang. Bangun tidur sekitar pukul 14.00, dan pukul 15.00 aku sudah harus berangkat les privat lagi sampai waktu maghrib tiba. Sisanya sampai pukul 21.00 saja kebersamaanku bersama keluarga. Di waktu itulah 'kekejamanku' sering keluar saat Kak Ghifa rewel dengan dalih bahwa aku sudah sangat lelah kerja seharian. Maaf, Sayang, padahal ini bukan salahmu.

Oleh karena itu, langkahku untuk no gadget saat bersama keluarga sangat kuperjuangkan. Karena aku tak ingin melewatkan kebersamaan bersama mereka. Sudah banyak waktu yang kuhabiskan di luar. Apa iya, aku mau dikalahkan dengan rasa lelah?

Menyeimbangkan hidup. Kalau dahulu rasanya aku ingin segera resign, kini justru aku mulai menemukan titik terang. Seandainya dulu aku jadi resign, entah seperti apa aku sekarang ini. Aku yang tak bisa diam, bakalan stres banget kalau selalu berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Tapi saat aku tetap mengajar, bertemu murid-muridku kelas 1 SD yang unik-unik dan berinteraksi dengan banyak orang, membuat pikiranku terbarui setiap hari. Pun saat aku menuangkan apa yang ada di hati dan pikiranku, seperti menemukan terapi jiwa yang murah meriah.
Saat aku mengikuti workshop public speaking bersama akademi bicara
Mumpung saat berada di usia produktif pula, kugunakan kehausan akan hal-hal baru dalam diriku untuk belajar banyak hal. Seperti misalnya belajar public speaking yang pernah aku ikuti bersama akademi bicara. Aku niat banget untuk ikut workshop tersebut. Rela bolos sekolah karena kebetulan murid-muridku juga sedang libur saat kakak kelasnya sedang try out.

Pun, aku berpikir, tak selamanya aku menjadi guru. Ya kalau targetku di-ijabah sama Allah bisa jadi guru PNS. Kalau tidak, apa iya aku harus jadi guru honorer selamanya? Kalaupun masih jadi guru honorer, tak ada salahnya bukan untuk belajar hal baru? Toh, semua profesi butuh ilmu public speaking. Tujuan utamaku untuk ikut workshop itu pun untuk murid-muridku. Agar mereka bisa menikmati apa yang aku sampaikan. Siapa tahu juga bisa memanfaatkan ilmu tersebut untuk orang lain juga. Bukankah memang kodratnya manusia diciptakan agar bermanfaat bagi sesamanya?



Bagi orang introvet sepertiku ini, me time itu tidaklah yang harus pergi ke luar kota, piknik ke suatu tempat, atau menginap di hostel. Cukup dengan di rumah sama Kakak dan Abi, berguling-guling di ranjang, bermain kuda-kudaan, nyanyi lagu kesukaan Kak Ghifa sambil divideo saja sudah jadi me time bagiku. Atau seringnya pas hari Minggu, aku nyobain resep baru yang aku contek dari internet. Kemudian yang jadi tester-nya ya Abi dan Kakak. Kalau mereka bilang yes, duh, senangnya. Soalnya kan aku jarang banget masak yang aneh-aneh. Sempatnya masak yang simpel-simpel. Makanya, kalau weekend, mencoba resep baru juga sudah jadi me time yang aku banget.

Ya, sesimpel itu. Kupikir, aku akan sangat egois kalau menghabiskan waktu beberapa jam hanya untuk me time, sendiri, yang jauh dari keluargaku. Padahal 6 hari aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk bekerja.

Sebenarnya, setiap haripun aku sudah merasakan yang namanya me time. Walau hanya 15 menit. Ngapain me time kok hanya 15 menit? Belanja di minimarket. Setiap hari aku selalu ke minimarket. Bukan menghabiskan uang suami ya. Melainkan hanya membeli buah tangan untuk Kak Ghifa.


Semenjak usia Kak Ghifa 1 tahun, setiap kali pulang kerja, aku selalu menyempatkan diri untuk membeli buah tangan untuknya. Ya, sesuai sabda Rasul di atas, menyenangkan orang lain, dalam hal ini anakku sendiri agar rasa cinta diantara kami tetap terjaga. Terlebih lagi untuk menebus rasa bersalahku karena sudah meninggalkannya.

Buah tangan yang kubeli macam-macam, mulai dari susu UHT, puding, es krim, dan pastinya biskuit. Tak perlu yang mahal-mahal. Sekali beli biasanya aku patok maksimal 10.000 saja. Soal varian yang kubeli itu se-bosennya Kakak. Kalau pas lagi suka susu UHT ya seminggu beli susu mulu. Kalau sekarang Kakak lagi suka sama biskuit berwarna orange ini, namanya Julie’s Peanut Butter Sandwich.


Awal mula beli biskuit ini tuh gara-gara lihat diskon di IG @julies.ind. Biasalah ya, insting emak-emak kalau lihat diskonan langsung cling cling. Lumayan banget kan, harga normal kemasan 90 gram di Indomaret tuh Rp 8.500 sedangkan ini Rp 10.000 dapat 2. Nggak rugi deh ya follow IGnya. Biar nggak ketinggalan info terbarunya.


Awal membeli biskuit ini aku coba-coba sih. Karena memang Kakak belum pernah makan. Tapi ternyata sekali gigit Kak Ghifa langsung suka. Kebiasaannya kalau makan biskuit yang ada isiannya selalu dibuka, kemudian dijilatin tuh selainya. Baru deh dimakan bagian rotinya. Sekalinya makan itu kok nggak mau habis. Pas aku cobain sendiri, sekali gigit, kres kres kres, memang gurih dan renyah. Selai-nya  pun kacang banget tapi nggak enek lho. Aku ikutan nggak mau berhenti makan kalau belum habis sebungkus. Jadi, kalau beli cuma sebungkus ya kurang. Lha Abi juga mau. Hahaha. Makanya pas gajian awal bulan aku langsung borong. Sampai kasirnya tanya buat apa? Hihihi.


Seminggu lebih Julie’s Peanut Butter Sandwich ini tersimpan di almari dan jadi cemilan wajib di rumah. Per pulang kerja aku berikan biskuit itu untuk Kak Ghifa. Ini sekaligus penghematan judulnya. Hihihi. Pun, saat aku sedang berkutat dengan pekerjaan, selepas Kakak tidur, biskuit yang diimpor dari Malaysia ini setia menemaniku. Santai, meskipun impor, biskuit ini insya Allah halal.


Sampai saat kami sekeluarga pergi piknik tipis-tipis ke Api Abadi Mrapen awal bulan lalu, Julie's Peanut Butter Sandwich ada di tas bekal kami juga. Kemasannya yang ramping dan mudah dibuka ini nggak bikin repot. Terus di dalamnyapun ada mika pelindungnya. Nggak bakal remuk deh kalau kepentok.

Nggak lengkap lah ya kalau piknik nggak fe-fotoan. Apalagi Kak Ghifa juga makin sadar sama kamera. Makanya, wajib deh kalau piknik bawa tripod juga. Soalnya Kakak lebih siap kalau difoto sambil lihat wajahnya di layar dibandingkan posisi difoto. Lihatlah keseruan kami.


Sampai rumah, Kakak hepi banget melihat-lihat foto yang aku ambil tadi. Aku juga nding, soalnya jaraaaang banget bisa pergi bertiga gitu. Pun, dulu kalau difoto dia selalu nangis dan saat melihat dirinya di layar pasti juga nangis. Hihi. Sekarang? Ketagihan kan dia.

Ide pun muncul nih di benakku. Kalau foto piknik kemarin di-ikutkan lomba foto di instagram atau facebook dengan tema "Temukan #BuahTanganPenuhCintaDariJulies" seperti ketentuan yang ada di facebook Julies Indonesia ini bisa nih. Siapa tahu salah satu hadiah berupa microwave, cooking set sampai shopping voucher senilai total jutaan rupiah bisa dikirim ke alamatku. Lagian masih ada waktu juga sampai akhir April ini.

Kamu kalau mau ikutan juga, buruan saja ke Indomaret. Karena sekarang ini sampai tanggal 24 April nanti, ada promo beli 2 Julie's Peanut Butter Sandwich gratis 1. Lumayan banget. Kalaupun belum pede untuk ikutan lomba, biskuit yang satu ini cocok kok dijadikan buah tangan untuk saudara atau hanya disajikan saat kumpul dengan keluarga. Tapi, jangan salahkan aku ya kalau ketagihan.


Ah, Minggu yang produktif banget. Momen-momen seperti ini bakalan sering aku tunggu-tunggu. Meskipun tak bisa demikian setiap Minggu-nya, paling tidak kami semua punya me time bersama, kami harus saling mendukung satu sama lain. Ya, itulah kunci dari hari-hariku yang hectic tapi tetap terasa nikmat dan harus disyukuri. Karena kalau setiap anggota tidak bisa saling mendukung, ya sudah.

Sebagai manusia biasa, aku pun sering kok mengeluh karena lelah dengan rutinitas yang terlalu padat. Sampai aku pernah  lho berada di titik, "Aku seorang ibu, kenapa aku harus bekerja? Bukankah ada Abi?" Akan tetapi, betapa aku tak pernah bersyukur punya suami seperti Abi. Suami yang tak pernah berpangku tangan untuk ikut terjun mengerjakan tugas istrinya. Pun Kak Ghifa, balita 2,5 tahun yang setiap hari membuatku rindu ingin segera pulang ke rumah. Karena mereka, aku belajar, bahwa sesingkat apapun waktu kebersamaan kami, asalkan kami kompak dan bersyukur atas apa yang sudah jadi garis hidup ini, insya Allah, bahagia pun akan menghampiri. Terakhir, benar kata mereka, bahwa "You are STRONGER than you think."

*Saat ini, kamu yang merasa tak ada waktu untuk keluarga karena kesibukan ini itu, cobalah melipir sebentar! Ajak keluarga untuk duduk bersama dan rasakan."

73 komentar:

  1. Aku selalu salut dengan kesibukan ibu rumah tangga. Apalagi ketika ditambah memiliki profesi di luar rumah. Salut banget, Mbak.
    Anak-anak pasti senang ya ketika dapat biskuit Julie's nya.

    BalasHapus
  2. Ntar siang mau ah beli dan biar bisa dapatkan promo bei 2 gratis satu :). Biskuit ini emang enaaakk

    BalasHapus
  3. jadi ibu memang harus setrong ya mba, duh job desc nya gak selesai-selesai kayaknya, harus kerjasama banget sm anggota keluarga lainnya.
    aku blm pernah cobain biscuitnya, nanti ah coba cari.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kalau aku memang kerjasama sama keluarga sangat penting, Mbak, apalagi masih tinggal sama orangtua.

      Hapus
  4. Salut mbak dengan kesehariannya! Perempuan memang strong!

    BalasHapus
  5. Subhanallah, ummi yang keren! tetap tegar sama rengekan bocah.

    BalasHapus
  6. Tadi aku liat di indomaret julies ini abis loh mba. Hihi. Ah, selalu salut lah sm emak yg multijob. Keren lah. Senengnya suaminya nerimo apapun masakannya y mba. Kalau gt pekerjaan jd ringan jg. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak, aku bersyukur banget punya suami seperti Abi. Semiga kita selalu dilindungi dengan orang2 tercinta.

      Hapus
  7. Profesi sebagai Ibu, Istri ahh multiprofesi, semuanya bisa dikerjakan ya Mba, dan belom tertentu bisa dikerjakan oleh para lelaki. Tapi emang beneran kudu tega ga tega ninggalin anak buat bekerja, ya menikmati deh, yang penting happy

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena sesungguhnya ibu yang hepi adalah kunci.

      Hapus
  8. Kemarin aku beli di Indomaret 2 gratis 1 langsung diborong hihi enak sih

    BalasHapus
  9. Kalo ada yg bilang perempuan lemah..ish...coba deh liat betapa sibuk n ga ada brentinya kerjaan kita.keep strong bu guru, sun buat kak ghifa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuhuuuu! Tinggalkan nih orang2 yg suka pada nyinyir.

      Hapus
  10. Anak seusia Kak Ghifa itu lagi butuh-butuhnya sama bunda. Kalau bisa mereka maunya nempel terus kayak anak koala ke induknya. Namun di situlah bukti bahwa anak-anak memang dangat membutuhkan kita. Terkadang kalau ingat ini saya merasa betapa berharganya jadi ibu yang dirindui dan dicintai serta amat dibutuhkan anak-anaknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak, sedang lucu2nya ya. Ke mana-mana harus ada aku. Suatu hari pasti aku akan merasakan masa seperti ini

      Hapus
  11. Kak Ghifa pinter yaa udah tau kalo ibunya harus kerja. Kalo anak2ku yg mudah ditinggal2 tu Hana, Thifa malah agak lama baru bs ngerti kalo ditinggal emaknya kerja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apa mungkin dari usia 40 hari sering kutinggal kali Mbak. Jadi sudah terbiasa.

      Hapus
  12. AKu seneng banget kalau ada cerita seperti ini mbak. Karena rasanya senasib gitu. Pagi pagi udah ribut urusan dapur, pulang capek yang kena anak padahal kitanya yang salah.

    Tapi apapun perbuatan kita, semoga tetap demi kepentingan keluarga ya mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya Allah, iya, Mbak. Aku selalu ingat, aku bisa seperti ini karena keluarga.

      Hapus
  13. semangat yaaa.. . inspiring pisan kisahmu say. .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Mbak, semoga bisa menguatkan sesama perempuan, Mbak.

      Hapus
  14. Masyaallah. Semoga senantiasa diberkahi kesehatan dlm menjalankan setiap profesimu ya mbak. Iya nih, melipir sebentar sambil ngemil itu cukup utk menjaga kewarasan hehehe...

    BalasHapus
  15. Ini juga dimakan anak-anakku seneng deh makan biskuit ini enak dan bergizi menemani anak-anakku bermain dan belajar

    BalasHapus
  16. susah ya jadi seorang ibu.... Itulah mungkin kenapa Allah memberikan posisi yang istimewa bagi seorang ibu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, aku bersyukur jadi seorang ibu, Mbak.

      Hapus
  17. ibu bekerja memang repotnya pagi hari yaa. pas bangun mau mandi tahu-tahu anaknya bangun dan nangis-nangis nggak mau ditingal. terus harus nyiapin bekal juga. ah, semoga saja kita tetap bisa menjadi ibu bekerja yang selalu ada untuk anak kita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya Allah. Sesingkat mungkin harus ada waktu untuk anak.

      Hapus
  18. Keren bgd mama ghifa. Mobilitas tinggi nih. Sehat, semangat dan sukses selalu ya cikgu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya Allah. Doa yang terbaik juga untukmu, Mbak.

      Hapus
  19. Jadi wanita emang kudu strong ya, apalagi klo udah memutuskan utk jadi ibu pekerja. Kadang emang lelah, tapi klo kita ikhlas, semuanya akan ringan dan terasa menyenangkan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah, Mbak, ikhlas yg utama, kemudian banyak2 bersyukur.

      Hapus
  20. Salut mbak, bisa banyak banget yang dikerjakan namun tetap keluarga jadi prioritas..

    BalasHapus
  21. Me time memang perlu, namun ternyata bisa dilakukan bersama keluarga ya mbak, bukan harus sendiri saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, Mbak, bisa tidur siang bertiga, Maa Syaa Allah bahagianya.

      Hapus
  22. wah tugas seorang ibu banget ih.. semua serba bisa. salut yaa sama ibu-ibu diluar sana. mau apapun semua bisa dikerjain sendiri..

    BalasHapus
  23. Lengkap tulisannya. Gak semua org ngerti ribetnya working mom kyk apa, tapi insyaAllah aktivitasnya bermanfaat ya mbak. Suatu hari anak2 pasti akan bangga, ibunya sibuk tapi tetep bis akasi perhatian ke mereka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya Allah, semoga kelak Kakak Ghifa juga bisa bangga seperti yang Mbak katakan.

      Hapus
  24. Jadi ibu memang kudu setrong ya Ika, mengerjakan apapun kudu bisa hehehee... Tetep deh meski kita aktif di berbagai kegiatan, keluarga harus jadi prioritas. Aku pun merasakan kebahagiaan luar biasa klo pulang kantor trus peluk anak2 :)) Apalagi sekarang yg bisa langsung dipeluk tinggal seorang, waaahhh... precious moment banget tuh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Laaaah...Mbak, aku malah mbrebes mili baca komentar Mbak Uniek. Aku pasti akan merasakan hal yang sama, suatu hari nanti.

      Hapus
  25. Jadi ibu sekaligus berkarya/bekerja bikin kerjaan pasti banyak banget ya mbak. Tapi pasti happy kalau lihat hasilnya :-)

    BalasHapus
  26. Mbak ika, perempuan strong banget. Ngurus anak, keluarga dan juga tetap bisa jadi guru yang baik untuk murid didiknya. Josss pokoknya mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku bisa karena dukungan keluargaku, Mbak. Semoga dirimu juga makin strong ya.

      Hapus
  27. Bener2 emak rempong yg perhatian sama anak deh. Salut aku...mbak. multitasking bingits!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Mbak Archa. Sudah jadi teman berkomunitas yg kece badai juga.

      Hapus
  28. Huaa kelewat promonya akuu. Salut aku sama working mom yang tetep bisa menjaga waktu brkualitas brsama keluarga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siapa tahu nanti ada promo lagi, Mbak. Kalau pas JSM tuh sering ada promi juga, Mbak.

      Hapus
  29. Wes hebat poll pokoke bu guru satu ini. Salut dg berbagai pengorbanannya. Kalo capek ngaso dulu sambil ngemil Julies

    BalasHapus
  30. Awale pengen nangis. Tibake malah pengen ngemil aku mbaak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ngapa nangis, Mbak? Makan Julies dulu, yuk!

      Hapus
  31. Kudu pamitan memang sebenernya tapi kl aku pamit anakku malah kejer dan dia lari ngejar. Padahal yg jagain dah gabisa lari. Yawis akhirnya umpet2an kl mo pergi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beda kasus nih, Mbak. Kan aku sudah tiap hari ya. Kalo Mbak Un kan nggak tiap hari pergi ya.

      Hapus
  32. wahhhh hebat ummi satu ini. setrong dan juga multi talent.. keren mba.. inspirasi para ibu2 nihh

    BalasHapus
  33. Mba, mau info kelas public speakingnya dong...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku sudah tulis juga di postingan awal Mei, mbak.

      Hapus
  34. Semangat mbak ika...semoga lelahmu jadi lillah ya...sehat dan bahagia selalu jadi emak kudu setrong 😁😁

    BalasHapus
  35. Samaaa.. aku juga suka membawa buah tangan kalau pergi darimana2. Karena pasti ditagih. Xixixi

    BalasHapus
  36. I feel you, Ka... Aku pernah mengalami rengekan si kakak waktu pamitan kerja. Sempet galau resign atau enggak. Akhirnya tetep kerja dan si kakak bisa dikasih pengertian. Adiknya malah gampang. Mungkin krn ada si kakak yg nemeni di rumah, jadi nggak rewel ditinggal kerja. Semangat Ika, pokoknya niat kerja untuk keluarga, insya Allah berkah

    BalasHapus