Rabu, 20 Januari 2021

Aku Memilih Anakku Tidak ke Sekolah Selama Pandemi


Bukannya memang tidak boleh ke sekolah, ya?

Oh, tidak. Sekolah anakku tetap masuk. Akan kuceritakan secara lengkapnya.

Kakak sedang mengerjakan tugas dari bunda gurunya

Maret 2020 mulai heboh kan karena ada Corona, sekolah daring semua. Termasuk anak didikku kelas 1 SD. Mau tidak mau. Semua kaget dengan rutinitas itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Kabarnya kan virus ini mengerikan, mematikan.

Ya, walaupun orang-orang di daerahku pada santuy. Ke mana-mana nggak pakai masker. Seperti kuceritakan di New Normal di Sekitarku.

Awal pandemi, anakku dapat tugas daring. Mulai diminta kirim foto setelah mandi pagi, kirim foto hasil gambar anak, dan itu berjalan nggak lama kok. Sebulan juga nggak ada terus stop, grup sepi kayak kuburan.

Sampai akhirnya setelah lebaran bulan Mei 2020, guru PAUD anakku share informasi kalau sekolah mulai masuk. Katanya daripada klumbrak-klumbruk (tidur nggak jelas) di rumah.

Aku mulai kelabakan tuh. Weh? Berani, ya, masukkin anak-anak di saat pandemi gini? Pikirku. Ada apa gerangan?

Apakah karena letak sekolah yang nyempil di dalam kampung kemudian jarang kena sidak? Berbeda dengan sekolahku yang terletak di pinggir jalan raya, bisa kapan saja kena sidak.

Eh, eh, ternyata oh ternyata, hampir semua walimurid pada setuju anak-anaknya sekolah. Wow.

Jujur, aku langsung izin di grup kalau anakku nggak bisa berangkat dulu karena alasan pandemi. Lha aku kerja pula, gimana aku ngawasin anakku kalau kutinggal sendiri di sekolah. Bersenggolan dengan teman, pastilah, namanya anak-anak.

((Kesannya aku lebay banget nggak, sih?))

Berbulan-bulan Kakak nggak sekolah. Kalau pagi, dia ikut aku ke sekolah. Sampai akhirnya, sepupunya yang sama-sama nggak pernah masuk kayak Kakak, eh, mau berangkat ke sekolah. Awal mula orangtuanya sepemikiran denganku, pandemi gini kok anak-anak ke sekolah. Tapi, karena melihat sikon di sekitar kok kayaknya aman, Corona nggak sampai sini, akhirnya dia mengizinkan anaknya ke sekolah.

((Corona nggak sampai sini, Gaes, katanya))

Namanya anak-anak, lihat temannya sekolah, dapat cerita ini dan itu, Kakak ingin sekolah juga.

Okelah. Tapi, masalah datang.

Entah karena apa, awalnya selama satu minggu Kakak mau sekolah sendiri meski ada drama menangis dulu. Eh, lama-lama setiap kali aku pulang kerja dia selalu bilang nggak mau sekolah, nggak mau sekolah.

Duh, kenapa ini?

Kegiatan senam pas hari Jumat doang


Sekadar info, selama pandemi ini Kakak masuknya seminggu hanya tiga kali, Senin, Rabu, dan Jumat. Mulainya seperti biasa, pukul 08.00 sampai 09.45.

Setiap kali jatahnya sekolah, dia malah rewel banget kalau pagi. Nggak mau sekolah. Dulu, sebelum pandemi dan almarhumah ibuku meninggal kan bulekku yang antar dan nunggui. Sekarang nggak ditunggui.

Muncul deh rasa bersalahku. Jangan-jangan dia pengen ditungguin juga seperti teman-temannya?!

Info lagi, di sekolah Kakak ini walimuridnya memang boleh banget masuk. Jadi, kalau pas kegiatan menulis dimulai, walimuridnya siap sedia pada masuk dan ngajari menulis. Ini nih yang bagiku nggak banget. Jadi, nggak dihandle sama gurunya. Padahal muridnya nggak sampai 30 anak dan gurunya ada 2.

((Maaf, ya, Bunda guru, aku kesannya agak julid))

Akhirnya, "Oke, Ummi tunggui, tapi semua kegiatan Kakak harus lakukan sendiri."

Aku bela-belain izin sama kepsekku nih, kalau pagi nganter Kakak dulu, ntar pulangnya langsung ke sekolah. Jalan tuh, sebulanan mungkin.

Kulihat di sekolah Kakak hepi banget, dia mau mengikuti semua kegiatan di kelas secara mandiri. Hanya saja aku harus duduk di sebelah bangkunya. Oh, tidak. Duduk dekat pintu, no no no.

Sampai walimurid lain pada berseloroh, "Kalau ditunggui Umminya kok ya ceria banget. Kalau nggak ditunggui kok cemberut sampai pulang."

Kakak sesekali nengok ke arahku untuk memastikan apakah aku masih setia menunggunya


Bunda gurunya juga pernah cerita, Kak Ghifa pernah nangis mulai berangkat, masuk, sampai mau pulang. Pas bunda gurunya bilang, "Mas Ghifa nggak usah nangis. Dilihatin temannya tuh lho. Temannya saja nggak ada yang nangis." Kakak malah nangis sekencang-kencangnya.

Lah, iya.

Hahaha.

Saat kubawa kesekolahku, hanya ada aku dan Kakak saja, kami ngobrol dari hati ke hati, kenapa kok dia nangis setiap kali di sekolah?

"Aku maunya ditunggui Ummi, enak."

"Pas nangis, malah dimarahin."

Hahaha. Sesuai perkiraanku, deh. Tapi, maaf, aku juga nggak mau menghakimi bunda gurunya. Karena setiap guru dan anak itu kan unik.

Sebulan nungguin Kakak sekolah, aku juga dapat cerita baru. Maaf, bukan aku sok sok an mengkritisi cara mengajar bunda gurunya, tapi rasanya gatel banget, sih, toh dulu aku juga pernah ngajar anak-anak usia PAUD dan TK.

Tapi, yang perlu digaris bawahi, ini bukan sepenuhnya salah bunda gurunya yang masih lajang, satunya belum memiliki buah hati, ya. Salahku juga memilihkan sekolah seperti ini untuk anakku. Salahku dewe. Dadi yo rasak-rasakno.

Jadi, setiap kali masuk, anak-anak langsung berdoa, kemudian langsung buka majalah, mengerjakan tugas majalah, selesai dikumpulkan, istirahat jajan (lamaaaaaaa banget), kemudian masuk, nyanyi sebentar, pulang betek-betek-an (mencongak).

Seperti itu kegiatan umumnya. Kalau Jumat, setelah berdoa, kadang olahraga/jalan-jalan keliling kampung, nyanyi-nyanyi bentar, nanti terus kegiatan menulis lagi.

Aku bisa bayangin, sih, Kakak yang kinestetik merasa tertekan dengan rutinitas di dalam kelas yang seperti itu-itu saja. Yang dipikirkan anak-anak di kelas adalah jam istirahat. Sering banget anak-anak saat menulis atau mewarnai pada ngambek (kebanyakan gitu semua), maunya istirahat saja.

Ehm...

Maka dari itu, saat aku dapat sentilan dari kepala sekolah tentang izinku nganter Kakak sekolah, setelah curhat juga di IG story, aku mantab untuk bawa Kakak ke sekolahku saja. Kuajari sendiri. Hahaha.

Entahlah, keputusanku itu tepat atau tidak sebagai pola parenting Kakak? Tapi, melihat Kakak tidak nyaman di sekolah kok aku merasa makin bersalah.

Aku sampai berpikir, jangan-jangan aku yang terlalu lebay?! Aku yang terlalu protektif dengan Kakak? Kalau aku ikhlas melepas Kakak, nanti kan Kakak juga jadi terbiasa sendiri. Seminggu, dua minggu menangis, kan wajar?

Tapi,

Melihat cara bunda gurunya megang murid, aku kok ragu kalau Kakak akan baik-baik saja. Maaf, maaf, banget. Aku tak bermaksud menyalahkan bunda gurunya. Sekali lagi ini salahku yang begitu saja melepas anakku. Karena selama ini aku percaya bahwa, 'anak cerdas mau sekolah di mana saja bakalan cerdas'.

Aku sampai mengoreksi lagi kalimat yang kupercaya itu, iya, bisa terwujud kalau anak memang sudah mandiri, paling tidak paham betul mana yang baik dan tidak. Kalau anak seusia Kakak kok rasanya seribu satu. 

Sampai detik ini aku menuliskan postingan ini, Kakak masih sering ikut aku ke sekolah. Sesekali dia kutinggal di rumah saat abinya ada proyek di rumah.

Ketika di rumah bersama abinya, Kakak akan memilih kegiatan menangkap ikan dengan bakul tempat berkat. Hahaha. Dan aku takjub, Kakak sekarang sudah jago menangkap ikan sendiri dengan bakul yang diberi tangkai kayu.

Kalau ikut denganku, apa nggak ganggu? Ya, dikatakan ganggu sih ya agak ganggu, tapi lebih baik seperti itu. Aku jadi tahu Kakak sedang ngapain saja. Bisa pantau dia sedang belajar apa.

Bergaya dengan topi pemadam hasil karyanya

Pokoknya kalau baru sampai sekolahku, aku bersih-bersih, Kakak sering bantuin nyapu juga. Kalau pas nggak mood, ya, dia duduk saja nunggu aku selesai bersih-bersih kelas dan halaman. Setelah itu, baru deh kegiatan Kakak. Mulai dari berdoa, kemudian senam, nyanyi-nyanyi, lanjut kadangkala menggunting, mewarnai, menulis angka, menulis huruf, menyusun balok, kemudian istirahat. Kulatih dia seperti di sekolahnya tapi ada kegiatan menyanyi dan gerak terlebih dahulu. Alhasil, dia hapal semua tepuk ice breaking yang sering kugunakan untuk pembelajaran bersama anak didikku.

Ending dari semua drama sekolah Kakak ini, akhirnya Allah jawab dengan hasil ujian CPNSku. Sembari menunggu SK CPNS-ku turun Februari ini, sejak awal semester 2 Kakak sudah kucabut dari sekolahnya dan akan kubawa ke sekolah yang baru. Sekolah Kakak ini nanti satu komplek dengan tempat tugasku yang baru. Bedanya, sekolahnya ini memang tidak boleh ditunggui. Selama daring pun tugas tetap jalan. Grup WA selalu ramai tak seperti kuburan.

Aku berharap apa yang kualami ini tak dialami keluarga yang lain. Sudah, cukup Kakak saja yang mengalami salah pilih sekolah. Semoga di sekolah Kakak yang baru nanti Kakak bisa bertemu dengan teman-teman yang bisa saling mendukung dan dipertemukan dengan guru yang tepat.

Beginilah cerita drama sekolah anak seorang guru, hihi. Terlebih di masa pandemi. Semua kerja ekstra. Tapi, Ummi nggak papa kerepotan ngajarin Kakak dibandingkan harus melihat dan mendengar cerita kalau Kakak harus menangis setiap hari.

14 komentar:

  1. Di SMP anakku pernah dijadikan sekolah percobaan gitu masuk sekolah, tapi buat yang ortunya mengizinkan aja, anakku gak dikasih izin Ternyata cuma berjalan 2 hari langsung distop.
    Gak lebay kok kalau gak mengizinkan anak sekolah, semuanya demi kebaikan juga ya.
    Kalau menurut aku sih mending ortunya gak masuk ya, jadi kurang mandiri juga anaknya.

    BalasHapus
  2. Jadi ingat saat anak2 masih PAUD, boleh ditungguin juga, tapi cuma seminggu. Masih banyak mainnya sih, jadi mainan, nyanyi, makan bareng2, bekalnya bawa dari rumah :D
    Semoga kakak senang di sekolah barunya ya, dapat teman2 baru yg menyenangkan.

    BalasHapus
  3. Jadi ingat pengalaman mengajar Fahmi, putra saya. Saya ajarkan dia pelajaran di paud dan TK, oleh saya sendiri di rumah. Alhamdulillah, saya dapat "kurikulum" dari kenalan dunia maya yg juga mengajarkan anaknya homeschooling karena di Jepang masih susah cari sekolah
    Alhamdulillah, Fahmi masuk SD, tanpa harus masuk sekolah paud/tk dulu

    BalasHapus
  4. Jd inget pengalaman sendiri...shlmnya aku juga pernah ngajar TK mba dan melihat ada kurang sreg gitu makanya mencoba menjadi guru di rmh dulu aja utk anakku biar bisa lebih optimal. Klo guru di sekolah mungkin krn anak didiknya banyak jd sepertiny kurang apa gitu secara personal ke anak2 *just my thoughts ya

    BalasHapus
  5. Persis sama seperti anak pertamaku, Mbak.

    Anakku masuk SD nangis mulai brangkat sampai pulang. padahal selama mau berangkat di rumah, emosinya baik, pakai seragam sendiri, natain buku dan sebagainya. Smapai di sekolah, itu tiang dipeluk dan anaknya gak mau masuk kelas

    usut punya usut, anaknya minta ditemani umminya. Aduh kenapa? ternyata ya gitu, perlakukan yang beda atara guru dan umminya. Pas nangis dibiarin masuk dan pintunya dikunci, anak mana gak sedih, kalau masuk kelas awal sekolah, lalu gurunya ngunci pintu dari luar, lalu umminya suruh pergi dari sekolah, gimana perasaan si anak. hiks sedih

    BalasHapus
  6. Nah, banyak banget hikmah dari pengalaman dirimu bu Guru.
    Mengenal karakter anak sendiri akan lebih baik, hingga bisa menyekolahkan di sekolah yang tepat, mana yang cocok.
    TApi aku setuju banget anak cerdas dimanapun dan sama siapapun belajar akan tetep cerdas. Apapun pilihan cara belajar buat kaka, yang penting happy buat keduanya.
    Semangaaat!!

    BalasHapus
  7. sama nih aku juga, adiku nggak aku ijinin kuliah tatap mukaa, untungnya belum diwajibkan untuk ke kampus, sejauh ini masih online via zoom ehehhe

    BalasHapus
  8. Aku merasa masa pandemi begini buat anak anak memang sebaiknya belajar di rumah saja. Toh demi kebaikan bersama y

    BalasHapus
  9. Alhamdulillah,
    Ibunya adalah seorang guru, sehingga bisa mengkritisi dan memperbaiki.
    MashaAllah~

    Yakin,
    Kalau pilihan Ibu kebaikan ananda.

    BalasHapus
  10. Jadi inget anak bungsuku. Harusnya tahun 2020-2021 ini dia masuk TK. Tapi karena aku sama sekali gak mau dulu anak masuk tatap muka, sekali pun cuma sekian hari per minggu, dan cuma sekian anak yang masuk sekolah, aku gak mau. Jadinya gak aku masukin TK. Aku ajari sendiri di rumah. Gak ada kurikulum memang. Aku ajari baca, nulis, ngomong, nyanyi, dan main. Semoga juga aku gak salah pilih. Untuk kemandirian, saat ini 2 anakku yang kecil memang masih susah. Selama pandemi di rumah terus. Ya gimana lagi, kalo tatap muka, aku masih khawatir.

    BalasHapus
  11. Aduh aku kasian sama kakak Ghifa di sekolahnya yang lama.. kegiatannya monoton banget ya Mbak.. dan ditungguin ortunya itu lho, bikin gak mandiri bangett :(
    Kalau di Play Group dan TK anak-anakku (meski ya ada beberapa kekurangan), boleh ditungguin tapi dalam minggu pertama aja. Malah kalau hari pertama anak udah mau ditinggal, ya ditinggal aja.
    Semoga di sekolah barunya kak Ghifa lebih hepi yaa.. ya meski mungkin akan ada tantangan lain, tapi semoga lebih baik dan lebih menyenangkan :)

    BalasHapus
  12. pilihan yang tepat. ponakanku juga seperti itu. gpp, extra sabar menghadapi mereka dan membimbing mereka belajar dirumah. lebih aman dan tidak khawatir melihat mereka ada didepan mata kita.

    Tetap semangat mba...

    BalasHapus
  13. memang kalau di masa pandemi seperti ini kita harus banyak pertimbangan ya mba.. apalagi menghindari penularan virus

    BalasHapus
  14. Lebih baik mencari aman dulu Mbak dengan belajar daring, aku juga sih lebih memilih ngajar online dulu

    BalasHapus